KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Yohanes Sapulette (58) membuat sagu di Desa Masihulan, Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah (5/5/2019). Pembuat sagu semakin berkurang karena semakin menurunnya tingkat konsumsi sagu.
Fakta Singkat
- Diversifikasi pangan lokal adalah upaya untuk memperluas dan mengoptimalkan pemanfaatan berbagai jenis pangan yang tersedia di suatu daerah.
- Tujuan diversifikasi pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis makanan pokok seperti beras, serta memanfaatkan kekayaan sumber daya alam lokal.
- Diversifikasi pangan lokal mampu menopang ketahanan pangan, mengurangi risiko kekurangan pangan, dan meningkatkan kualitas gizi masyarakat.
- Ragam pangan lokal di Indonesia meliputi umbi-umbian, jagung, sagu, dan buah-buahan.
- Ragam pangan lokal mempunyai kandungan gizi yang dapat memberikan variasi nutrisi yang lebih lengkap dan seimbang.
Ketahanan pangan menjadi isu penting ditengah makin nyatanya laju perubahan iklim. Kendati hingga saat ini ketersediaan pangan nasional masih terus diupayakan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan strategis. Di antaranya penguatan riset dan peningkatan keterampilan petani, pemberian modal produksi, hingga pengembangan infrastruktur.
Namun dari data BPS, ketahanan pangan di Indonesia menghadapi tantangan besar karena pertumbuhan jumlah penduduk yang signifikan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 diperkirakan mencapai sekitar 277 juta jiwa. Proyeksi ini didasarkan pada hasil Sensus Penduduk 2020 dan penambahan tahunan yang dihitung berdasarkan tren demografis yang ada. Kondisi tersebut memunculkan ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan pangan. Saat ini, ketersediaan pangan di Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 60-70 persen dari kebutuhan penduduknya.
Berbagai kebijakan strategis yang disebutkan di atas tentu tidaklah cukup. Terlebih dalam prakteknya kebijakan yang diterapkan masih berfokus pada produksi pangan bersumber dari beras. Untuk itu, mulai tahun 2020 Pemerintah melalui Kementerian Pertanian gencar menyelenggarakan Gerakan Diversifikasi Pangan. Diversifikasi pangan dapat diartikan dengan mengubah pola konsumsi masyarakat agar tidak tergantung pada satu komoditas saja. Harapannya, ketergantungan konsumsi beras akan menurun, dan konsumsi pangan lokal sumber karbohidrat lain meningkat. Gerakan ini tentunya akan dapat menopang ketahanan pangan nasional.
Ragam Pangan Lokal Indonesia
Indonesia mempunyai beberapa ragam komoditas pangan lokal yang unggul, seperti sorgum, ubi kayu, jagung dan ubi jalar. Ketersediaan benih dan bibitnya juga tersebar luas di Nusantara sehingga memudahkan dalam peningkatan produksinya. Selain itu pangan lokal tersebut juga terbukti cukup tahan dengan kondisi ekstrim seperti kekeringan dan tanah miskin unsur hara.
Dalam buku “Potensi Pangan Lokal di Indonesia” terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian tahun 2019 disebutkan beberapa ragam pangan lokal yang ada di wilayah Indonesia. Dari hasil riset yang Kementerian Pertanian lakukan, tiap jenis pangan lokal itu mempunyai kandungan gizi yang bervariasi dan kaya tidak kalah dengan beras. Adapun ragam pangan lokal yang dimaksud meliputi:
1. Ganyong (Canna edulis Kerr)
Jenis umbi ini dapat tumbuh pada berbagai kondisi iklim. Umur panennya sekitar 6-8 bulan dan angka produktivitas mencapai 40-80 ton/ha. Ganyong bisa dimanfaatkan dari patinya yang menjadi kandungan utama. Selain itu, terdapat mineral penting seperti zat besi, kalsium dan fosfor. Pati ganyong mudah dicerna sehingga sering digunakan sebagai makanan bayi dan orang sakit. Umbi ini tumbuh di wilayah Jawa Barat (Majalengka, Sumedang, Ciamis, Cianjur, Garut, Lebak, Subang dan Karawang), Jawa Tengah (Klaten, Wonosobo, Purworejo), dan Jawa Timur (Pasuruan, Malang).
2. Garut (Maranta arudinance L)
Umbi ini umumnya dikembangkan di ladang, termasuk tanaman agroforestri, dan cocok ditanam dibawah naungan. Umur panennya 7-9 bulan dan produkstivitasnya bisa mencapai25-30 ton/ha. Garut mengandung mineral : Cu , Fe , Mn , P , Mg, Zn, K, Vit B komplek, vit C, dan serat pangan. Umbi ini juga ternyata bebas Gluten, serta Indeks Glikemik rendah. Garut tumbuh di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Kalimantan Selatan.
3. Hanjeli (Coix Lachryma-jobi L)
Dikenal sebagai tanaman biji-bijian atau orang menyebutnya sebutan jali atau jali-jali. Tanaman ini tumbuh di daerah marginal atau dataran tinggi dengan ketinggian sampai dengan 1000 mdpl. Mempunyai umur panen 3,4 – 5 bulan. Produktivitasnya sekitar 0,3 – 0,5 ton/ha. Tanaman ini mempunyai kadar protein tinggi yaitu 14 – 20 persen dan mengandung Vitamin E yang bermanfaat untuk kesehatan. Selain itu, biji yang telah disosoh dapat dikonsumsi seperti beras, dikukus, dibuat bubur dan makanan jajanan tradisional. Hanjeli juga bisa digunakan sebagai bahan baku tepung dalam pembuatan kue. Hanjeli hanya bisa ditemui di wilayah Jawa Barat (Sumedang, Ciamis, Garut, Sukabumi, Cirebon dan Indramayu).
4. Hotong (Setariaitalica Italica L Beauv )
Tanaman banyak tumbuh di desa Tanimbar Kei Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Kandungan karbohidratnya hampir sama dengan beras tetapi memiliki kandungan protein lebih tinggi dibanding beras. Dikembangkan di daerah marginal, ladang, huma dengan ketinggian mencapai dengan 1000 mdpl. Umur panen 3,5 – 4 bulan dan angka produktivitas mencapai 1,5 – 2 ton/ha.
5. Iles-iles (Amorphophallus muelleri)
Tanaman yang termasuk tanaman umbi-umbian ini mempunyai nama lain Porang. Tanaman porang mulai dilirik sebagai pangan setelah adanya permintaan ekspor dari China, Vietnam dan Australia. Tanaman ini mempunyai karakteristik tumbuh dengan intensitas cahaya 60-70 persen, hidup di dataran rendah sampai 1000 mdpl dengan suhu 25-35 C dan curah hujan 300-500 mm. Umur panen sekitar 5 – 7 bulan dan tingkat produktivitas mencapai 2 – 5 ton/ha. Iles-iles mengandung glukomanan yang digunakan dalam industri pangan dan minuman (bakery, pasta/mie, olahan daging seperti bakso, nugget, sosis, hamburger dan minuman) serta digunakan pula untuk kesehatan dan farmasi. Iles-iles tumbuh di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan.
6. Jagung (Zea Mays)
Jagung memang sudah dikenal lama sebagai pengganti nasi karena rasa kenyang sama seperti nasi. Tanaman ini paling banyak dikembangkan di wilayah Jawa. Tanaman yang termasuk kelompok Serealia ini dapat tumbuh mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 4000m. Umumnya umur panen jagung sekitar 100 – 130 hari. Dari data BPS tahun 2018 produktivitas jagung mencapai 51,78 ku/ha. Jagung mempunyai keunggulan daya simpan lama, tidak terkontaminasi aflatoksin, nilai cerna yang lebih tinggi, indeks glikemik rendah, mempunyai rasa yang tidak asam, dan lebih cepat tanak.
7. Kentang (Solanum tuberosum L)
Kelompok umbi batang ini mampu hidup di dataran tinggi pegunungan dengan ketinggian 1000 – 1.500 mdpl. Umur panennya sekitar3 – 4 bulan dan mampu digenjot produktivitasnya hingga 20 – 30 ton per Ha. Dari hasil penelitian Jagung mengandung vitamin B (thiamin) dan niasin dalam jumlah cukup tinggi serta beberapa jenis mineral seperti fosfor, besi, dan kalium. Biasanya dikonsumsi dengan cara dikukus, direbus, digoreng. Pemanfaatjna lainnya jagung digunakan sebagai bahan baku puree kentang dalam pembuatan kroket, mashed potato, perkedel, dan stik serta bahan baku tepung kentang. Kentang juga mengandung vitamin C dan antioksidan karotenoid seperti lutein dan zeaxanthin yang baik untuk kesehatan mata. Kentang banyak dikembangkan di wilayah Riau, Bangka Belitung, Banten, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.
8. Labu Kuning (Cucurbita moschata).
Labung kuning menjadi jenis tanaman pangan yang mempunyai kandungan gizi cukup tinggi dan lengkap. Menurut penelitian labu kuning mengandung senyawa yang dapat berfungsui sebagai bioaktif, yaitu antioksidan. Antara lain alanine, B-karoten, mannitol, treonin. Labu kuning dapat tumbuh di dataran tinggi pegunungan dengan ketinggian 0 – 1.500 mdpl, membutuhkan drainase yang baik dan memiliki nilai pH tanah 5,5-7. Umur panennya sekitar 50-60 hari setelah tanam. Angka produktivitasnya mencapai 428.197 ton. Labu kuning umumnya dipotong dan dikonsumsi dengan cara dikukus atau digoreng dan dimanfaatkan untuk membuat kue tradisional. Labu kuning banyak dibudidaya di Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan.
9. Pisang (Musa paradisiaca L)
Produksi pisang di Indonesia mencapai lebih dari 50 persen produksi pisang di negara-negara Asia. Terdapat lebih dari 200 jenis pisang yang tersebar di Indonesia. Umumnya banyak tumbuh di Sumatera dan Jawa. Umur panennya sekitar 4 – 5 bulan dan produktivitasnya mencapai 77,64 ton/ha. Selain dimakan langsung, pisang banyak diolah menjadi produk olahan seperti bahan baku tepung dan produk siap santap (tepung pisang instan, sawut instan, puree, selai, dodol, dll). Pisang mengandung vitamin dan mineral yang lengkap, dan memiliki energi yang tinggi dan dapat menghasilkan energi secara cepat.
10. Sagu (Metroxylon sp)
Tanaman yang termasuk ke dalam kelompok Palm ini memiliki siklus hidup sekitar 10 – 12 tahun. Sagu dapat tumbuh di ketinggian optimal < 400 dpl, Suhu optimal 24,5-29°C, RH optimal 40-60 persen. Umur panen sekitar 8 – 10 Tahun. Produktivitas sagu mencapai 100-600 kg pati/batang. Di Papua, tanaman sagu juga tak hanya jadi sumber karbohidrat, namun juga protein. Sagu selain dapat dimakan langsung sebagai pangan pokok seperti papeda, kapurung, sinonggi, dll, juga diolah menjadi mie, kue, campuran bakso dan sosis. Sagu mengandung sumber pati resistant yang berfungsi menjaga kesehatan usus besar. Sagu banyak tumbuh di wilayah Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua.
11. Sorgum (Shorgum bicolor)
Tanaman sorgum masuk ke kelompok Serealia. Karakternya banyak tumbuh di wilayah kering dengan suhu tinggi, curah hujan rendah dan lahan yang terdegradasi seperti di wilayah Nusa tengara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Umur panen mencapai 3 – 4 bulan. Sorgum mengandung antosianin yang bermanfaat sebagai antioksidan, serta memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari beras. Sorgum juga kaya akan besi dan fosfor. Tepung sorgum dapat digunakan menjadi aneka produk makanan, antara lain mie roti, aneka kue dan cookies serta makanan tradisional.
12. Singkong (Manihot esculenta)
Singkong yang populer sebagai kudapan ternyata juga bisa menjadi pangan lokal pengganti nasi. Singkong merupakan sumber serat dan karbohidrat kompleks. Kedua nutrisi tersebut berfungsi untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan, mengurangi peradangan, dan mengendalikan kadar gula darah. Tanaman singkong dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, yakni antara 10-1.500 mdpl. Produktivitas salah satu jenis ubi kayu ini mampu mencapai 102 Ton dengan umur panen 10 bulan.
13. Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott)
Talas termasuk dalam kelompok talas-talasan (Araceae). Umbi talas mengandung pati sebanyak 18,2 persen sukrosa serta gula pereduksinya 1,42 persen dan karbohidrat sebesar 23,7 persen. Talas juga mengandung protein, vitamin B1, unsur P dan Fe yang lebih tinggi dan kadar lemak yang rendah. Talas dapat tumbuh pada ketinggian 0–1300 m dpl. Produktivitas talas mencapai 9,52 ton/hektar. Talas dapat dikembangkan sebagai bahan baku pangan dan industri kosmetik.
Strategi Diversifikasi Pangan Lokal
Berangkat dari pemahaman bahwa ketahanan pangan harus dibangun berbasiskan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal maka diperlukan langkah strategi untuk meningkatkan keanekaragaman produksi dan konsumsi pangan lokal.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2020-2024 dijelaskan beberapa langkah kerja dalam melaksanakan progam menjamin ketersediaan pangan yaitu melalui diversifikasi pangan lokal.
Implementasi diversifikasi pangan tersebut meliputi dua program. Pertama, Kementerian Pertanian mendorong peningkatan pangan sumber karbohidrat yang disesuaikan dengan potensi wilayah dan preferensi masyarakat setempat dengan pengembangan dan pemanfaatan pangan lokal seperti ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang dan sorgum.
Kedua, melalui pemanfaatan lahan pekarangan dan kebun sekitar rumah melalui program Pekarangan Pangan Lestari P2L. Program ini dilakukan oleh kelompok masyarakat yang secara bersama-sama mengusahakan lahan pekarangan sebagai sumber pangan secara berkelanjutan untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan, serta pendapatan. Tercatat pada tahun 2020 sebanyak 3.600 penerima manfaat dari program ini.
Strategi diversifikasi pangan juga berupaya dikuatkan melalui penelitian dan pengembangan berbagai varietas pangan lokal. Seperti yang dilakukan oleh LIPI dengan Universitas Kyoto, Jepang untuk mengkaji potensi pengembangan sorgum untuk menggantikan alang-alang di lahan marjinal. Tercatat sudah 100 jenis sorgum lokal yang dipetakan, termasuk di Kalimantan. Selain mendorong penelitian dasar untuk pemetaan dan pemuliaan varietas, pemerintah juga tengah mengkaji pengolahan produk pangan lokal ini agar bisa diterima pasar.
Pemerintah juga terus menggenjot konsumsi enam komoditas pengganti beras seperti ubi kayu, jagung, sagu, kentang, pisang, dan talas. Pemerintah telah menetapkan provinsi prioritas untuk budidaya.
Jumlah provinsi prioritas beragam untuk setiap jenis bahan pangan, termasuk provinsi dengan target produksi tertingginya. Jumlah provinsi paling banyak adalah peningkatan produksi untuk ubi kayu, yaitu 17 provinsi. Sedangkan talas 14 provinsi, diikuti jagung dan sagu (masing-masing 7 provinsi), kentang (5 provinsi), dan pisang (4 provinsi).
Provinsi Jawa Barat menjadi target produksi terbesar ubi kayu pada 2022 dengan total 17.582 ton, disusul Jawa Tengah (9.359 ton) dan Sumatera Utara (4.146 ton). Untuk bahan pangan jagung, dua provinsi prioritas adalah Jawa Timur (4.921 ton) dan Nusa Tenggara Timur (3.812 ton). Sementara provinsi penghasil sagu didominasi wilayah Indonesia bagian timur (Maluku, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Selatan).
Komoditas kentang difokuskan di Jawa Barat (28.370 ton) dan Sumatera Utara (10.904 ton), sedangkan pisang berada di Sulawesi Selatan dengan target 26.217 ton. Produksi bahan pangan talas turut ditingkatkan, utamanya berada di Papua, Jawa Barat, dan Papua Barat.
Tantangan dan Ancaman
Diversifikasi pangan lokal diharapkan mampu mengatasi kurangnya ketersediaan akibat perubahan iklim. Namun, dalam prakteknya tidak hanya iklim saja yang menjadi tantangan utama. Ada beberapa faktor lain yang turut menjadi tantangan bahkan menjadi ancaman diversifikasi pangan.
Pertama penerapan teknologi pertanian di kalangan petani yang masih minim menjadi penghambat produktivitas diversifikasi pangan lokal. Faktor pertama ini berkaitan dengan faktor kedua yaitu kesiapan sumber daya manusia yang masih mumpuni dalam praktek diversifikasi pangan.
Selain kedua faktor tersebut, juga terdapat faktor lain yang menjadi ancaman dalam pengembangan diversifikasi pangan lokal diantaranya masih tingginya impor terigu dari luar negeri, dan pola konsumsi masyarakat yang dominan kepada produk beras.
(LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Arif, Ahmad (2020). Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan .Jakarta. Kepustakaah Populer Gramedia
- Arif, Ahmad (2019). Sagu Papua untuk Dunia .Jakarta. Kepustakaah Populer Gramedia
- Herawati, Heny, dkk (2019). Potensi Pangan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.
- —- Statistik Pertanian. (2013).Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
- ——- (2022). Analisis Ketahanan Pangan Tahun 2022. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian
- “Pangan Lokal Berperan Penting dalam Mencapai Ketahanan Pangan“, Kompas, 30 Oktober 2021. Penulis: Pradipta Pandu.
- “Mengapa Pangan Lokal Masa Depan Kita” Kompas, 25 Mei 2021. Penulis: Mochamad Indrawan.
- “Ragam Pangan Lokal Dikaji“, Kompas, 24 maret 2018. Penulis: Ahmad, Arif.
- “Diversifikasi Nonberas untuk Ketahanan Pangan” Kompas, 13 November 2021. Penulis: Yoesep Budianto
Artikel terkait