KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Beras dengan harga bervariasi tergantung kualitas dijual di Pasar Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur pada Minggu (18/2/2024). Harga beras medium mencapai Rp17.000 per kilogram.
Fakta Singkat
- Harga beras pada masa pemerintahan Hindia Belanda 3–4 gulden per kg.
- Harga beras pada awal kemerdekaan Rp 1 per kg, namun pada akhir Orde Lama harga mencapai Rp 610 per kg.
- Harga beras pada masa orde baru relatif terkendali karena diatur ketat pemerintah melalui bulog.
- Harga beras Rp 340 per kilo saat Indonesia swasembada pangan pada dekade 1980-an.
- Pada masa awal reformasi harga beras di atas Rp 3000 per kg, bahkan tembus di atas Rp 10.000 pada awal masa pemerintahan Jokowi pada tahun 2014.
- Tahun 2024, harga beras mencatatkan rekor tertinggi dengan Rp 18.000 per kg atau melonjak 17 persen dibandingkan harga rata-rata tahun sebelumnya.
Beras merupakan komoditas strategis dalam ekonomi Indonesia karena menjadi sumber makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia.
Kenaikan harga beras yang terjadi sejak pertengahan Februari mencapai hampir 30 persen di atas HET yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 7 Tahun 2023, HET beras berlaku sejak Maret 2023 adalah Rp10.900 per kg medium, sedangkan beras premium Rp13.900 per kg untuk zona 1 yang meliputi Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi.
Sementara, HET beras di zona 2 meliputi Sumatera selain Lampung dan Sumsel, NTT, dan Kalimantan dipatok Rp 11.500 per kg medium dan beras premium Rp 14.400 per kg. Sementara di zona ke 3 meliputi Maluku dan Papua, HET beras medium sebesar Rp 11.800 per kg, dan untuk beras premium sebesar Rp 14.800 per kg.
Kenaikan harga itu berpotensi mengerus kesejahteraan masyarakat dan dikhawatirkan menambah angka kemiskinan nasional. Beras dikonsumsi cukup merata oleh hampir seluruh masayarakat Indonesia sehingga menjadikannya sebagai bahan pokok utama.
Harga beras yang tinggi jauh di atas HET disebabkan produksi yang menurun sebagai dampak perubahan cuaca akibat El Nino. Fenomena cuaca tersebut menyebabkan musim hujan di Indonesia tidak merata. Ada daerah yang frekuensi dan curah hujannya tinggi, serta ada pula yang sedang, bahkan rendah sekali.
Untuk menedam gejolak harga, Bulog menggelontorkan cadangan beras pemerintah ke pasar induk dan pasar ritel. Beras ini biasanya merupakan hasil impor dari produsen beras dunia seperti Vietnam, Thailand, Pakistan, dan Myanmar.
Upaya impor tersebut masih menjadi salah satu ”langkah instan” andalan pemerintah untuk memasok permintaan beras nasional. Hingga 18 Februari, realisasi impor beras 2024 sudah mencapai 507.000 ton. Alhasil, Indonesia hingga kini menjadi salah satu importir beras terbesar di dunia.
Padahal pada masa Orde Baru, pemerintah kala itu jarang mengimpor beras. Produksi beras nasional saat itu pernah melebihi pertumbuhan penduduk. Pada kurun 1967–1978, pertumbuhan produksi padi nasional mencapai 4,34 persen per tahun, sementara pertumbuhan penduduk 2,5 persen per tahun.
Begitu pula pada periode 1979–1987, periode terjadinya swasembada beras pada 1984 yang menunjukkan pola yang sama, yaitu pertumbuhan produksi padi (4,89 persen per tahun) di atas pertumbuhan penduduk (2,17 persen) per tahun.
Kesuksesan itu mendapatkan pengakuan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada 1985 berupa undangan bagi Indonesia yang diwakili Presiden Soeharto untuk menghadiri dan berpidato dalam sidang FAO di markasnya di Roma, Italia pada November 1985. Setahun kemudian, pada 21 Juli 1986, Presiden Soeharto menerima penghargaan FAO atas prestasi tersebut berupa medali emas.
Namun pada masa reformasi, luas panen cenderung mengalami penurunan sekitar 0,20 persen per tahun mengakibatkan pertumbuhan produksi 1,16 persen per tahun di bawah pertumbuhan penduduk. Pada kondisi itu, impor beras mencapai hampir 2 juta ton/tahun. Sejak itu, hampir tiap tahun Indonesia selalu mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Tulisan berikut memaparkan perkembangan kenaikan harga beras yang pernah terjadi dalam sejarah perberasan di Indonesia. Kemudian dijelaskan juga perkembangan produksi beras nasional, dan impor beras yang dilakukan pemerintah pada masa reformasi.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Harga beberapa jenis beras di salah satu kios pedagang di Pasar Rejowinangun, Kota Magelang, Jawa Tengah, Selasa (20/2/2024).
Perkembangan harga beras
Di Indonesia, padi yang menghasilkan beras mempunyai sejarah panjang sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Tanaman yang memiliki nama latin Oryza sativa ini diperkirakan sudah menjadi makanan pokok bangsa ini sejak masa kerajaan Hindu-Budha di Nusantara.
Pada masa kolonial, tanaman padi merupakan hasil bumi yang dihasilkan oleh mayoritas penduduk Jawa karena tanaman itu merupakan bahan makanan pokok penduduk Jawa. Pada masa awal sistem tanam paksa diterapkan, hasil produksi padi di Jawa pada tahun 1837 tercatat sebesar 1,2 juta ton. Produksi itu meningkat menjadi 1,8 juta ton pada tahun 1856. Belum ada catatan pasti berapa harga beras saat itu.
Meski demikian, satu abad berselang atau pada 1934, disebutkan dalam sejumlah dokumen, harga beras di Jawa sekitar 3–4 gulden per kilogram. Sementara harga bahan pokok lainnya seperti singkong hanya 0,5 gulden per kilogram.
Di awal kemerdekaan, beras terbilang langka dan harganya pun terbilang tinggi. Tahun 1950 misalnya beras dijual sebesar Rp103 per 100 kg atau Rp 1 rupiah per kilogram, pada tahun selanjutnya mengalami kenaikan hampir 100 persen.
Kemudian tahun 1960, harga beras mencapai Rp 60 per kilogram dan meningkat 5 kali lipat menjadi Rp 300 per kilogram pada tahun 1962. Setahun berselang harga beras kembali meningkat dua kali lipat menjadi Rp 610 per kilogram pada tahun 1963.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Pada tahun 1965 harga beras tercatat sudah mencapai harga yang sangat tinggi, yaitu Rp 74.117 per 100 kg atau Rp 741 per kilogram. Sementara harga jagung juga terus mengalami kenaikan yang drastis, yakni Rp 35.111 per 100 kg atau Rp 351 per kilogram.
Pada masa orde baru harga beras relatif stabil dan jarang terjadi gejolak harga. Hal itu tak bisa lepas dari peran Badan Urusan Logistik (Bulog) yang didirikan Pemerintah pada 1967. Lembaga itu diberi kewenangan pengelolaan bahan pokok terutama beras dan menjalankan peran sebagai stabilisator harga beras.
Pada era Soeharto, peran Bulog sangat signifikan dalam meredam gejok harga beras dengan kemampuan kepemilikan cadangan berasnya yang mencapai jutaan ton dalam gudang-gudang. Mekanisme droping beras ke pasar melalui program “Beras Bulog” efektif meredam gejala kenaikan harga kebutuhan pokok. Pada era orde baru itu, harga beras relatif stabil dan jarang dijumpai gejolak harga.
Selain itu, harga beras tanpa gejolak karena kebijakan perberasan pada masa Orde Baru fokus pada stabilitas harga dan menjaga pasokan beras dalam negeri dengan menerapkan harga dasar gabah dan beras dimulai pada tahun 1973. Awalnya kebijakan harga output ini terkait dengan kegiatan pembelian beras dalam negeri. Inpres mengenai hal ini terbit pertama kali pada tahun 1973, yaitu Inpres Nomor 2 Tahun 1973 tentang Pembelian Beras dalam Negeri untuk Tahun 1973/1974, terbit pada 14 Maret 1973.
Kebijakan ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya tanpa ada perubahan berarti, kecuali untuk tingkat harga pembelian, melalui penerbitan Inpres serupa dengan perubahan pada tingkat harga dan tahun pembelian. Perubahan tingkat harga pembelian dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan pendapatan riil petani padi karena indeks harga umum meningkat setiap tahun.
Saat Indonesia dinyatakan swasembada beras pada dekade 1980-an, harga beras rata-rata di tingkat eceran mencapai Rp 320 per kilogram. Sementara harga BBM bensin pada tahun yang sama mencapai Rp 350 per liter dan solar Rp 240 per liter. Lima tahun berselang, harga beras itu meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp 520 per liter, sementara harga bensin Premium Rp 450 dan Solar tetap Rp 240 per liter.
Menjelang runtuhnya Orde Baru, harga beras tembus Rp 2.500 per kilogram atau melonjak lima kali lipat dalam kurun 8 tahun, sementara bensin Premium Rp 1.000 dan Solar Rp 550 per liter atau meningkat kurang dari 15 persen dalam kurun yang sama.
Pada masa reformasi, harga beras terus melonjak meski pemerintah fokus pada stabilitas harga dasar padi dan beras. Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Inpres ini mencakup penetapan harga dasar pembelian gabah kering giling petani oleh Bulog sebesar Rp 1.725 per kg dan penetapan harga pembelian beras oleh Bulog sebesar Rp 2.790 per kg.
Selain itu, Pemerintah kembali mengubah status Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum) yang berfungsi untuk menjaga harga pembelian beras, stok pangan nasional, melaksanakan program raskin, dan usaha komersial. Kemudian diterbitkan Inpres No.3/3012 untuk stabilisasi ekonomi nasional dan stabilisasi harga beras melalui kebijakan pengadaan gabah dan beras serta penyaluran beras.
Inpres itu juga, secara ekplisit disebutkan dibolehkan impor beras untuk memenuhi kebutuhan stok dan cadangan beras pemerintah serta untuk menjaga stabilitas harga beras dalam negeri jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi.
Meski sejumlah kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk menstabilkan harga beras, dalam perjalanannya harga beras terus meningkat di atas harga yang dipatok pemerintah. Tahun 2002 misalnya, harga beras medium di pasar rata-rata mencapai Rp 3.400 per kilogram, sementara harga HET atau beras di gudang Bulog sebesar Rp 2.790.
Pada awal Pemerintahan SBY, harga beras mencapai Rp 3.600 per kilogram, sementara empat tahun berselang atau akhir periode pertama SBY tahun 2009 harga beras meningkat menjadi Rp 5.700 per kilogram atau meningkat 60 persen dalam kurun 4 tahun. Tahun 2008, HET beras yang dipatok pemerintah sebesar Rp 4.600 per kilogram dari gudang Bulog.
Pada periode kedua pemerintahan SBY, harga beras tak pernah turun. Tahun 2009, harga beras rata-rata sebesar R p5.700 per kilogram dan diakhir masa pemerintahan SBY tahun 2014, harga beras mencapai Rp 9.600 per kilogram. Pada akhir pemerintahan SBY, harga dasar beras dari gudang Bulog atau pengilingan sebesar Rp 6.600 per kilogram.
Pada era Jokowi, harga beras tembus di atas Rp 10.000 per kilogram. Awal pemerintahan Jokowi pada 2015, harga beras medium per kilogram rata-rata sebesar Rp 10.900. Pemerintah masih menggunakan patokan pemerintah sebelumnya, yakni Rp 6.600 dari pembelian Bulog atau pengilingan.
Lima tahun berselang, harga beras pada akhir pemerintahan Jokowi mencapai Rp 12.500 per kilogram atau meningkat 15 persen dalam kurun empat tahun. Jika dirata-rata harga beras pada periode pertama pemerintahan Jokowi hanya merampat naik rata-rata empat persen per tahun.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, harga beras relatif stabil, yakni di angka Rp 12.000 per kilogram hingga tahun 2022. Namun menjelang akhir periode kedua pemerintahan Jokowi, harga beras melonjak hingga Rp 14.000 per kilogram untuk beras medium dan Rp 18.000 per kg untuk beras premium.
Dalam kurun dua tahun atau dibandingkan dengan awal tahun 2022, kenaikan harga beras itu mencapai 17 persen. Lonjakan harga beras itu merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah perberasan di Indonesia.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Pedagang beras menunggu pembeli di kawasan Lawata, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (16/2/2024). Harga beras 50 kilogram di Kendari mencapai Rp730.000/karung, naik dari sebelumnya yang di kisaran Rp650.000/karung.
Artikel Terkait
Produksi Nasional
Tanaman padi yang menghasilkan beras hampir diproduksi di semua wilayah Indonesia terutama di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Sentra produksi beras itu memiliki populasi penduduk yang cukup tinggi pula sehingga sejalan dengan produksi beras yang dihasilkannya. Beberapa wilayah yang memiliki populasi penduduk yang cukup tinggi di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Jika dicermati, kontribusi masing-masing pulau terhadap produksi beras secara nasional yakni Pulau Jawa menyumbang terbesar, yakni sebesar 55 persen dari total produksi beras nasional, disusul Sumatera sebesar 23 persen, Sulawesi 11 persen, Kalimantan 7 persen, dan Bali, Nusa Tenggara 5 persen.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tren produksi padi nasional 2008–2017 cenderung meningkat. Produksi padi pada 2007 tercatat 57,15 juta ton gabah kering giling (GKG), lalu pada 2008 menjadi 60,32 juta ton GKG, dan pada 2009 sebesar 64,39 juta ton GKG.
Pada periode 2010–2017, produksi padi nasional kembali fluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Tahun 2010 tercatat 66,47 juta ton GKG atau meningkat 2 juta ton dibandingkan tahun seleumnya, kemudian pada 2011 sebesar 65,75 juta ton GKG atau menurun hampir 1 juta ton.
Tahun 2012 kembali melonjak lebih dari 3 juta ton menjadi 69,05 juta ton GKG. Sementara pada 2013, produksi padi meningkat menjadi sebesar 71,28 juta ton GKG, lantas tahun 2014 menurun kembali menurun 0,5 juta ton menjadi 70,84 juta ton GKG.
Trend kenaikan produksi terus berlanjut menjadi 75,39 juta ton GKG pada 2015, kemudian meningkat lagi menjadi 79,36 juta ton GKG, dan 81,38 juta ton GKG di tahun 2017. Pencapaian tahun 2016 dan 2017 itu mencatatkan rekor tersendiri yakni produksi tertinggi sejak Indonesia berdiri.
Dengan mengacu angka konversi gabah ke beras yang digunakan Kementan sebesar 58,13 persen maka produksi beras nasional pada 2007-2017 berturut-turut adalah 33,22 juta ton pada 2007, 33,06 juta ton pada 2008, 37,43 juta ton pada 2009, dan 38,64 juta ton pada 2010.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Adapun produksi beras nasional pada 2011 mencapai 38,22 juta ton, pada 2012 sebanyak 40,14 juta ton, pada 2013 sebanyak 41,43 juta ton, pada 2014 sebanyak 41,18 juta ton, dan pada 2015 mencapai 43,82 juta ton. Selanjutnya pada 2016 dan 2017 masing-masing sebanyak 46,13 juta ton dan 47,30 juta ton.
Selanjutnya produksi padi 2019 mencapai 54,6 juta ton GKG atau setara 31,31 juta ton beras. Lima provinsi menjadi sentra produksi beras di tahun 2019 yakni Jawa Tengah, dengan luas panen 1.678.479 ha menghasilkan padi 9,6 juta ton GKG atau setara 5,5 juta ton beras, kemudian Jawa Timur, dengan luas panen 1.702.426 ha menghasilkan padi 9,58 jut ton GKG atau setara 5,5 juta ton beras.
Tiga provinsi lainnya, yakni Jawa Barat, dengan luas panen 1.578.835 ha menghasilkan padi 9,08 juta ton GKG atau setara 5,2 juta ton beras, kemudian disusul Sulawesi Selatan, dengan luas panen 1.010.188 ha menghasilkan padi 5,05 juta ton GKH atau setara 2,9 juta ton beras, dan terakhir Sumatera Selatan, dengan luas panen 539.316 ha menghasilkan padi 2,6 juta ton GKG atau setara 11,5 juta ton beras.
Pada 2020, produksi padi sebesar 54.65 juta ton gabah kering giling (GKG) atau mengalami kenaikan sebanyak 45.17 ribu ton atau 0.08 persen jika dibandingkan dengan 2019 yang sebesar 54.60 juta ton GKG. Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras, produksi beras pada 2020 sebesar 31.33 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 21.46 ribu ton atau 0.07 persen dibandingkan 2019 yang sebesar 31.31 juta ton.
Sementara produksi padi pada 2021 sebesar 55.27 juta ton GKG atau mengalami kenaikan sebanyak 620.42 ribu ton atau 1.14 persen dibandingkan produksi padi di 2020 yang sebesar 54.65 juta ton GKG. Jika dikoversi padi ke beras, produksi beras pada 2021 sebesar 31.36 juta ton dan mengalami kenaikan sebanyak 0,5 persen dibandingkan produksi beras di 2020 sebesar 31.33 juta ton.
Tahun 2022, produksi beras kembali meningkat 0,59 persen menjadi 31,54 juta ton dari tahun sebelummya yang tercatat 31,36 juta ton. Sepanjang 2022 produksi beras paling besar atau panen raya tercatat pada bulan Maret, yakni 5,49 juta ton. Sedangkan produksi beras paling rendah atau paceklik pada Desember yang hanya 1,11 juta ton.
Produksi beras tahun 2022 terbesar disumbang oleh Jawa Timur dengan produksi 5,5 juta ton atau 17,44 persen dari total produksi nasional. Produsen beras terbesar berikutnya adalah Jawa Barat 5,44 juta ton, Jawa Tengah 5,38 juta ton, dan Sulawesi Selatan 3,07 juta ton.
Tahun 2023, BPS memprediksi produksi beras nasional susut sampai 2,05 persen. Dari 31,54 juta ton tahun 2022 ke 30,90 juta ton tahun 2023. Penurunan itu sejalan dengan menyusutnya luas panen tahun 2023 sekitar 2,45 persen atau 0,26 juta hektar (ha) dari 10,45 juta ha tahun 2022 menjadi 10,20 juta ha tahun 2023.
Impor beras
Seiring meningkatnya produksi beras, konsumsi beras secara nasional juga meningkat meski konsumsi per kapita menurun. Tahun 2019, konsumi beras penduduk Indonesia menurut Kementan mencapai 94,9 per kg per kapita per tahun, dan tahun 2020 turun menjadi 92,9 per kg per kapita per tahun. Tahun 2021-2024, Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan tingkat konsumsi beras secara nasional turun sebesar 7 persen menjadi 85 kg per kapita per tahun.
Meski demikian, angka konsumsi itu jauh lebih tinggi daripada konsumsi rata-rata dunia yaitu sebesar 80-90 kg perkapita selama setahun. Bahkan, negeri tetangga seperti Malaysia dan Thailand konsumsi berasnya berkisar 80 kg per kapita setahun, China 60 kg, Jepang 50 kg, dan Korea 40 kg per kapita per tahun. Tingginya tingkat konsumsi ini membuat ketergantungan Indonesia akan beras impor masih sangat tinggi.
Indonesia sebenarnya merupakan salah satu negara produsen padi terbesar di dunia dengan produksi padi mencapai 60 juta ton atau setara beras 34 juta ton per tahun. Namun tingginya tingkat konsumsi beras nasional tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai sehingga membuat Indonesia menjadi salah satu importir beras terbesar di dunia sejak tahun 1998.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Dalam kurun dua dekade terakhir, impor beras Indonesia menunjukkan fluktiatif dan kecenderungan menurun pada beberapa tahun terakhir. Volume dan nilai impor beras tertinggi pada tahun 2011 dan 2018, sementara terendah pada 2004 dan 2005.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor beras Indonesia menunjukkan tren yang menurun sejak 2018. Pada saat itu, volume impor beras tertinggi yakni 2, 25 juta ton atau senilai 1 miliar dollar AS pada 2018, kemudian turun menjadi 444,5 ribu ton pada tahun 2019 dan penurunan berlanjut di tahun 2020 menjadi 356,3 ribu ton pada tahun 2020.
Meski demikian, sejak tahun 2021 impor beras kembali meningkat. Pada 2021 impor beras tercatat sebesar 407,7 ribu ton atau meningkat 15 persen dibandingkantahun 2020 yang tercatat 356 ribu ton. Setahun berselang, impor kembali meningkat menjadi 429 ribu ton pada tahun 2022.
Tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia melakukan impor beras sebanyak 3,06 juta ton. Angka impor tersebut merupakan yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Angka impor tersebut mengalami peningkatan 613,61 persen dibandingkan 2022. Pada 2022 Indonesia mengimpor beras sebanyak 429 ribu ton.
Impor beras terbanyak berasal dari Thailand, yaitu 1,38 juta ton atau mencakup 45,12 persen dari total impor beras. Disusul oleh Vietnam dengan 1,14 juta ton (37,47 persen), Pakistan 309 ribu ton (10,10 persen), Myanmar dengan 141 ribu ton atau sekitar 4,61 persen, dan dari negara lainnya 83 ribu ton atau sekitar 2,70 persen. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Kementerian Perdagangan RI. 2014. Profil Komoditas Beras.
- Komalasari, Khudori. Ironi negeri beras. Penerbit Insist Press, Yogyakarta, 2008
- Penulis Mardianto, Sudi (ed.), Achmad Suryana (ed.). 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM-UI.
- BPS. 1974. Statistik Pertanian: Produksi Padi di Indonesia 1968/1973. Jakarta: BPS.
- Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Litbang Kementerian Pertanian. Dinamika Kebijakan Harga Gabah dan Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta: Litbang Kementerian Pertanian.
- “‘Rice Estate’ dan Peningkatan Produksi Beras”. Kompas, 17 September 1973, halaman 4.
- “Produksi Pangan 20 Juta Ton Setara Beras Memecahkan Rekor”. Kompas, 31 Desember 1980, halaman 4.
- “Kekeringan Tidak Membuat Indonesia Mengimpor Beras”. Kompas, 7 Agustus 1991, halaman 1.
- “Pulau Jawa Basis Produksi Pangan?”. Kompas, 07 Juli 1997, halaman 4
- “Impor Beras Akibat Kekeliruan Kebijakan”. Kompas, 09 Juni 1998, halaman 3.
- “Bulog dan Peran Stabilisasi Pangan”. Kompas, 27 Agustus 1998, halaman 1.
- “Impor Beras: Terbesar dalam Sejarah”. Kompas, 8 November 1999, halaman 19.
- “Tidak Ada Pilihan, Harus Swasembada Pangan”. Kompas, 17 Januari 2004, halaman 39.
- “Beras yang Tak Pernah Tuntas”. Kompas, 17 Januari 2004, halaman 44.
- “Nenek Moyang Kita Petani Padi”. Kompas, 20 Apr 2006 Halaman 37.
- “Pertanian: Setelah Swasembada Beras, Lalu Apa Lagi?”. Kompas, 16 Desember 2008, halaman 21.
- https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2020/05/28/asal-usul-dan-evolusi-padi-hingga-ke-nusantara
- https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/10/15/produksi-beras-nasional-naik-meski-luas-panen-turun-tahun-ini
- https://www.kompas.id/baca/metro/2024/02/24/harga-beras
- https://www.kompas.id/baca/riset/2024/02/24/akankan-harga-beras-terus-mengimpit?open_from=Tagar_Page
- https://www.kompas.id/baca/utama/2018/03/01/beras-sudah-diimpor-sejak-zaman-hindia-belanda