Demi mendukung kebijakan hilirisasi tembaga, PT Freeport Indonesia (PTFI) melakukan investasi besar dalam pembangunan smelter baru tembaga di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Java Integrated dan Industrial Port Estate (JIIPE) di Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur, Selasa (7/2/2023). Smelter tembaga Design Single Line terbesar di dunia yang padat karya ini ditargetkan bisa beroperasi pada Mei 2024.
Fakta Singkat
- Lambang Tembaga: Cu
- Nomor Atom: 29
- Nama Latin: Cuprum
- Produk Tembaga : Bijih Tembaga -> Konsentrat Tembaga -> Katoda Tembaga
- Cadangan Tembaga Nasional: 24 juta ton (per 2023, diperkirakan habis 2045)
- Total Tambang dan Smelter RI: 24 tambang dan 2 smelter
- Total Produksi Tambang RI: 731 ribu ton (2021)
- Total Produksi Katoda Cu RI : 290 ribu ton (2021)
- Pasar Konsentrat Tembaga RI: 69 persen pasar domestik (2019)
- Pasar Katoda Tembaga RI: 2,14 persen pasar domestik (2019)
Pada 20 Juni 2023, Presiden Joko Widodo menghadiri pelaksanaan ground-breaking pabrik foil tembaga di Gresik, Jawa Timur. Pabrik yang dimiliki dan dikelola oleh PT Hailiang Nova Material Indonesia ini merupakan pabrik foil tembaga pertama di Indonesia dan diperhitungkan sebagai pabrik terbesar di Asia Tenggara.
Pabrik ini menjadi salah satu bentuk upaya hilirisasi industri tembaga di Indonesia, setelah pemerintah mendorong pengembangan smelter tembaga milik PT. Freeport Indonesia yang memproduksi katoda tembaga. Pada proses selanjutnya, produk foil tembaga dimaksudkan salah satunya untuk memenuhi kebutuhan industri mobil listrik di Indonesia.
Upaya hilirisasi tersebut merupakan upaya pengembangan potensi sumber daya mineral tembaga Indonesia yang sangat besar. Indonesia memiliki 24 perusahaan tambang di seantero nusantara dan hanya 2 smelter katoda tembaga. Indonesia memproduksi 1,6 juta ton konsentrat tembaga dan 180 ribu ton katoda tembaga.
Jumlah produksi ini menempatkan Indonesia menjadi salah satu dari 10 produsen tembaga terbesar dunia. Meski Indonesia unggul dengan kekayaan sumber daya mineral tembaga ini, tetapi pengembangan potensi ini menjadi produk industri yang lebih maju masih merupakan tantangan sulit.
KOMPAS/IRWAN GUNAWAN
Pabrik pengolahan tembaga menjadi tembaga konsentrat diatas ketinggian 2.700 meter permukaan laut di pegunungan Jayawijaya (20/11/1979).
Pengertian Tembaga
Tembaga adalah satu dari elemen unsur kimia dengan nomor atom 29, bernama Latin Cuprum, dan dilambangkan dengan singkatan Cu. Logam dengan warna kemerahan ini termasuk dalam kategori logam transisi 1B atau kelompok unsur 11 dalam tabel periodik unsur. Tembaga ditemukan di alam dalam berbagai bentuk, utamanya dalam bentuk mineral campuran mulai dari mineral sulfida, karbonat, maupun silikat.
Tembaga juga dapat ditemukan dalam bentuk tembaga murni. Tembaga dalam bentuk senyawa sulfida terdapat pada Kalkopirit (Chalcopyrite) CuFeS2 , Bornit (Bornite) Cu5FeS4 , Kuprit (Cuprite) Cu2O.
Tembaga dalam bentuk senyawa karbonat meliputi Azurit (Azurite) Cu3(CO3)2(OH)2 dan Malakit (Malachite) Cu2(CO3)(OH)2 .
Sementara tembaga dalam bentuk senyawa silikat ialah Apachite Cu9Si10O29·11H2O , Dioptase CuSiO3•H2O, Gilalite Cu5Si6O17•7(H2O), Plancheite Cu8Si8O22(OH)4•(H2O), Shattuckite Cu5(SiO3)4(OH)2, dan Chrysycolla.
Tembaga merupakan konduktor panas dan listrik yang amat baik. Selain itu, karena tembaga amat mudah dibentuk dan memiliki titik lebur yang tinggi pada suhu sekitar 1984 derajat Celcius, ia menjadi bahan yang ideal untuk berbagai kegunaan.
Aplikasi penggunaannya amat beragam mulai dari pelapis peralatan masak, pembuatan kabel listrik, campuran logam untuk berbagai industri, hingga pembuatan sirkuit dan komponen elektronik, juga kegunaan lainnya.
Penambangan Tembaga
Dalam sejarahnya tembaga pertama kali digunakan oleh manusia pada kisaran tahun 8000 sebelum masehi, pada zaman neolitik (Neolithic atau New Stone Age). Pada waktu itu tembaga hanya digunakan sebagai pengganti batu.
Pada kisaran tahun 4000 sebelum masehi, ketika metalurgi mulai berkembang di Mesopotamia, tembaga mulai dibentuk dengan cetakan dengan dipanaskan pada nyala api dan dicampurkan dengan tin sehingga membentuk perunggu.
Pada masa kekaisaran Romawi (31 sebelum masehi hingga 476 masehi) tembaga diambil dari tambang di Siprus (Cyprus) sehingga tembaga dinamai Cyprium yang artinya logam dari Siprus. Nama itu perlahan berubah menjadi Cuprum dan menjadi nama Latin tembaga hingga saat ini.
Salah tambang tembaga yang telah lama beroperasi di Indonesia dan sekaligus merupakan tambang terbesar kedua di dunia adalah tambang Grasberg di Papua. Tambang yang merupakan tambang terbuka dan bawah tanah ini dikelola oleh PT Freeport Indonesia.
Kapasitas produksi tambang ini diperhitungkan hingga 700 ribu ton per tahun. Tambang terbukanya beroperasi sejak tahun 1990 dan berakhir pada triwulan keempat tahun 2019. Setelah penambangan terbukanya selesai, , ekstraksi bijih tembaga dilanjutkan dengan penggalian tambang bawah tanah Grasberg Block Cave yang dimulai sejak triwulan kedua tahun 2019.
Pulau Papua memang merupakan sumber utama tembaga Indonesia. Cadangan bijih tembaga yang terkandung di sana mencapai 71 persen dari total cadnangan tembaga nasional. Keberhasilan pengolahan sumber daya ini bagi perkembangan nasional dan terutama Papua sendiri menjadi tuntutan logis dari fakta kekayaan alam tersebut.
Pulau Nusa Tenggara sendiri diperhitungkan memiliki sumber daya bijih yang lebih besar dari Papua, sekitar 4.488 juta ton. Akan tetapi data ini merupakan data sumber daya dan bukan candangan tembaga. Sumber daya berarti kandungan tembaga yang ada pada bumi suatu wilayah sementara cadangan tembaga adalah kandungan tembaga pada suatu wilayah yang memungkinkan untuk diekstrasi.
Grafik:
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2020 menunjukkan bahwa pada tahun 2020 terdapat 24 perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia dan 8 perusahaan lain yang masih dalam tahapan eksplorasi.
Provinsi dengan jumlah tambang tembaga terbanyak di tahun itu adalah Sulawesi Tengah dengan total 7 perusahaan tambang, diikuti oleh Papua dengan total 5 perusahaan tambang.
Grafik:
Proses Produksi Tembaga
Produksi tembaga pertama-tama dimulai dari eksplorasi kandungan tembaga pada kerak bumi. Bila telah terkonfirmasi kandungan deposit tembaga, penambangan bijih tembaga baru atau copper ore baru dapat dilakukan, baik dengan metode penambangan terbuka maupun penambangan bawah tanah (tergantung dari letak deposit tembaga).
Bijih tembaga itu sendiri terdiri dari dua jenis yakni bijih tembaga sulfida dan bijih tembaga oksida. Proses ekstrasi atau pemurniah kedua bijih tersebut berbeda. Bijih sulfida di dalamnya terkandung bornit, kalkosit, dan kalkopirit.
Sementara bijih oksida mengandung perunggu, azurite dan chrysocolla. Bijih oksida diproses melalui proses dengan air bernama hydrometallurgy yang meliputi proses leaching, solvent extraction, dan electrowinning. Sementara bijih sulfida diolah melalui proses pyrometallurgy yang meliputi smelting, converting, fire refining, dan electrolytic refining.
Proses pyrometallurgy yang menggunakan api ini akan menghasilkan material sisa atau sekunder yang dikenal sebagai copper scrap. Sebagian besar proses pengolahan bijih tembaga adalah menggunakan proses pyrometallurgy tersebut.
Dari kedua proses tersebut dihasilkanlah katoda tembaga atau copper cathode dengan kandungan tembaga hingga 99,99 persen. Katoda ini selanjutnya diproses untuk dicetak dengan cara dilelehkan (melting) dan pencampuran dengan logam lain (alloying). Katoda tembaga yang sudah jadi akan dipasarkan untuk diolah lebih lanjut bagi industri turunan berikutnya, seperti misalnya industri kabel listrik.
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Cadangan dan Produksi Tembaga Dunia
Data dari US Geological Survey menunjukkan bahwa di dunia terdapat sekitar 890 ribu ton tembaga. Indonesia memiliki cadangan tembaga yang cukup besar yakni 3 persen dari total cadangan tembaga dunia atau sebesar 24 ribu ton.
Dengan jumlah tersebut Indonesia merupakan negara dengan total cadangan tembaga terbesar ke-10 di dunia, berdasarkan data US Geological Survey. Negara dengan cadangan tembaga terbesar dunia adalah Chile, dengan total 23 persen total cadangan tembaga dunia atau sebesar 190 ribu ton, diikuti oleh Australia dan Peru masing-masing dengan total 97 ribu ton dan 81 ribu ton tembaga.
Grafik:
Chile juga merupakan negara yang memproduksi tambang tembaga terbesar di dunia, hingga 27 persen produksi tambang tembaga dunia atau sekitar 5620 ribu ton pada tahun 2021, diikuti oleh Peru dengan 12 persen atau sekitar 2300 ribu ton dan RRT dengan 1910 ribu ton.
Indonesia sendiri pada tahun 2021 memproduksi hingga 731 ribu ton dan menjadi negara produsen tambang tembaga terbesar ke-10 dunia, terbesar di Asia Tenggara.
Grafik:
Meskipun menghasilkan mineral tambang tembaga dengan jumlah yang besar, Indonesia pada tahun 2021 hanya memproduksi smelter tembaga atau copper cathode dengan jumlah 290 ribu ton. Seperti dijelaskan di atas, katoda tembaga merupakan hasil pemurnian bijih tembaga.
Negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman tidak memiliki tambang tembaga tetapi mereka berhasil memproduksi katoda tembaga lebih banyak dari Indonesia, masing-masing dengan 1510 ribu ton, 647 ribu ton, dan 615 ribu ton.
Grafik:
Seperti telah dijelaskan di awal, tembaga menjadi komoditas mineral yang penting karena kegunaannya yang luas. Data dari Kementerian ESDM RI menunjukkan bahwa 31 persen tembaga digunakan untuk sektor industri elektronik (equipment), diikuti dengan sektor konstruksi bangunan sebesar 30 persen. Sektor lain yang banyak mengkonsumsi tembaga adalah infrastruktur dengan total 15 persen, diikuti dengan sektor transportasi dan industri.
Faktanya setiap rumah membutuhkan sekitar 180 kg tembaga. Di samping itu, tembaga juga merupakan bahan mineral yang amat tahan lama, diperkirakan bahwa 80 persen tembaga yang pernah diproduksi masih digunakan sampai hari ini. Sektor industri besar terkini yang amat memerlukan tembaga adalah kendaraan listrik. Hal ini yang membuat komoditas ini memiliki signifikansi strategis bagi Indonesia.
Negara yang mengkonsumsi tembaga dengan jumlah terbesar di dunia adalah RRT. Pada tahun 2022 tercatat bahwa pasar RRT menyerap hingga 55 persen tembaga murni global. Negara asia lainnya juga mengkonsumsi hingga 21 persen tembaga murni global, diikuti Eropa dengan 13 persen dan Amerika dengan 10 persen.
Konsumsi tembaga ini menunjukkan kapasitas industri negara dalam pengolahan tembaga menjadi barang-barang turunannya atau dengan kata lain tingkat hilirisasi industri tembaga negara atau suatu wilayah.
Grafik:
Kekayaan sumber daya alam dan kapasitas industri pengolahan bijih tembaga tercermin dari neraca perdangangan global atau ekspor-impor bijih tembaga. Negara pengekspor terbesar bijih tembaga dunia adalah Chile. Pada tahun 2021 nilainya mencapai 29 milyar USD, dua kali lipat dari Peru yang merupakan pengekspor bijih tembaga terbesar kedua.
Indonesia merupakan pengekspor bijih tembaga terbesar ketiga dengan total nilai 5 milyar USD di tahun 2021. Sementara itu, dari data impor tampak bahwa negara yang menjadi pasar utama bijih tembaga dunia adalah China, dengan total nilai impor hingga 52,4 milyar dolar USD. Nilai tersebut merupakan 4,3 kali nilai impor Jepang yang merupakan pengimpor terbesar kedua tembaga dunia, dengan nilai impor hingga 12 milyar USD.
Grafik:
Grafik:
Meskipun Chile telah menjadi ekportir terbesar bijih tembaga dunia, namun ia juga merupakan ekportir katoda tembaga terbesar dunia. Nilainya mencapai 20,8 milyar USD, empat kali nilai ekpor katoda tembaga Jepang yang berada di posisi kedua. Hal ini menunjukkan tingginya kapasitas pengolahan tembaga di Chile.
Berbeda dengan Indonesia yang merupakan ekportir bijih tembaga terbesar ketiga dunia, dalam hal ekpor katoda tembaga Indonesia hanya menempati posisi keempat belas, dengan total nilai ekspor sebesar 1,8 milyar USD. Sementara itu, importir katoda tembaga terbesar dunia adalah China, dengan total nilai impor hingga 28,8 milyar USD, diikuti oleh Amerika Serikat sebanyak 8,5 milyar USD.
Grafik:
Grafik:
Industri Tembaga Nasional
Data tahun 2015 hingga 2019 dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah produksi tembaga nasional selalu berada di bawah target yang direncanakan oleh Pemerintah. Pada tahun 2015 Pemerintah menargetkan produksi konsentrat tembaga sebesar 310 ribu ton tetapi hanya terealisasi sebesar 197,6 ribu ton.
Realisasi produksi sempat meningkat menjadi 246,2 ribu ton di tahun 2016 dan 247,2 ribu ton di tahun 2017. Tetapi jumlah produksi tersebut lalu menurun menjadi 230,9 ribu ton di tahun 2018 dan turun kembali menjadi 180,2 ribu ton di tahun 2019. Penurunan ini diperkirakan salah satunya berkaitan dengan selesainya pertambangan terbuka Grasberg di Papua.
Grafik:
Fakta penurunan produksi tersebut persis menunjukkan bahwa mineral tembaga bukanlah mineral yang terbarukan. Jumlahnya terbatas di alam membuat Indonesia mesti berusaha mengembangkan potensinya melalui hilirisasi sebelum mineral ini habis sehingga dapat memperoleh nilai ekonomi yang optimal dari eksploitasi sumber daya ini.
Data dari Kementerian ESDM juga menunjukkan bahwa cadangan tembaga Indonesia diperkirakan akan habis pada tahun 2045 dengan memperhitungkan bahwa Indonesia memiliki cadangan tembaga sebanyak 2,6 milyar ton pada tahun 2020 dan memproduksi sekitar 100 juta ton per tahunnya.
Grafik:
Berkaitan dengan upaya hilirisasi industri tembaga, dua smelter yang beroperasi di Indonesia saat ini adalah smelter milik PT Smelting di Jawa Timur yang selesai dibangun tahun 2000. Ia mampu mengolah hingga 1 juta ton per tahun dan memproduksi katoda tembaga sebanyak 300 ribu ton per tahun. Smelter kedua ialah smelter PT Batutua Tembaga Raya di Maluku yang selesai dibangun tahun 2014 dengan kapasitas input sebanyak 1,4 juta ton per tahun, tetapi hanya mampu menghasilkan sekitar 25 ribu ton per tahun.
Selain dua smelter tersebut, pada tahun 2021 PT Freeport Indonesia dan Tsingshan Steel asal Tiongkok telah menyepakati kerja sama pembangunan smelter baru di Telek Weda, Halmahera. Smelter tersebut dibangun dengan biaya seninal 1,8 miliar USD. PT. Freeport juga tengah membangun smelter tembaga di Gresik dengan kapasitas hingga 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan 16 ribu ton katoda tembaga per tahun.
Indonesia sejatinya tidak hanya kaya akan sumber daya tembaga ini. Faktanya, bila dibandingkan dengan negara yang kaya akan sumber daya mineral tembaga lainnya, khususnya negara di Amerika Selatan dan Amerika Utara, Indonesia memiliki keunggulan dalam biaya produksi katoda tembaga.
Indonesia memiliki total net cash-cost untuk produksi katoda tembaga sebesar 1,28 USD/Lb, lebih kecil dari perusahaan tambang dan smelter di Amerika Selatan dengan net cash-cost sebesar 1,77 USD/Lb dan Amerika Utara dengan net cash-cost 1,92 USD/Lb. Hal ini menunjukkan comparative advantage Indonesia dalam industri katoda tembaga ini yang mestinya menjadi pertimbangan bagi para investor untuk membagun smelter tembaga di Indonesia.
Grafik:
Apakah Indonesia masih punya cukup tambang tembaga untuk mensuplai smelter-smelter baru? Nyatanya potensi pengembangan industri tembaga Indonesia masih sangat besar. Pada tahun 2020 hanya terdapat 2 IUPK dan 1 IUP yang menjadi pemasok 2 smelter dalam negeri yakni smelter milik PT Smelting dan PT Batutua Tembaga Raya. Ada total 21 tambang atau IUP lain yang berpotensi dikembangkan oleh investor untuk hilirisasi tambang tembaga.
Sejauh ini data tahun 2015-2019 menunjukkan bahwa rata-rata 60,8 persen produksi koknsentrat tembaga Indonesia mengalir ke pasar ekspor. Sisanya 39 persen teralokasikan pada pasar domestik. Tahun 2019 sendiri 69 persen konsentrat tembaga dikonsumsi oleh pasar lokal.
Hal ini merupakan berita baik karena mengindikasikan peningkatan kapasitas pengolahan konsentrat tembaga dalam negeri. Penyebab utama peningkatan konsumsi konsentrat tembaga dalam negeri adalah mulai beroperasinya smelter tembaga milik PT. Smelting pada tahun 2019 tersebut.
Grafik:
Sementara itu, bila menilik alokasi produksi katoda tembaga, data tahun 2015-2019 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2015-2019, rata-rata 32 persen katoda tembaga Indonesia mengalir ke pasar domestik dan 68 persen mengalir ke pasar global.
Data dalam kurun waktu tersebut menunjukkan tren penurunan konsumsi pasar domestik. Di tahun 2019, pasar dalam negeri Indonesia bahkan hanya mengkonsumsi 2,14 persen dari produksi katoda tembaga, menurun dari 51,69 persen di tahun 2015. Hal ini bukanlah berita baik karena menunjukkan bahwa industri hilir yang mengolah katoda tembaga Indonesia mengalami penurunan.
Grafik:
Alokasi produksi konsentrat dan katoda tembaga nasional tentu tercermin pula dari perkembangan jumlah atau volume ekspor-impor komoditas tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa Indonesia sendiri tidak mengimpor konsentrat tembaga karena kebutuhan dalam negeri untuk komoditas tersebut telah terpenuhi dari tambang-tambang nasional.
Tren penurunan volume ekspor konsentrat tembaga tampak pada perkembangan data ekspor konsentrat tembaga tahun 2016-2019. Sementara volume ekspor katoda tembaga mengalami peningkatan pada kurun waktu 2015-2019, setelah sempat menurun pada tahun 2018.
Grafik:
Grafik:
Pemerintah berupaya mendorong pengembangan industri hilir tembaga, baik itu smelter katoda tembaga maupun industri turunan lanjutan yang mampu menyerap produksi katoda tembaga Indonesia.
Pada industri hilir lanjutan dari katoda tembaga, yang diperlukan bukan hanya smelter. Hilirasasi lanjutan ini menuntut pengintegrasian beragam industri tambang Indonesia. Pemerintah bersama pihak swasta perlu mengintegrasikan rantai suplai komoditas tambang yang tersebar di berbagai daerah di tanah air.
Mulai dari nikel yang ada di Sulawesi, bauksit yang ada di Bintan dan Kalimantan Barat, tin yang ada di Bangka Belitung, hingga copper foil yang ada di Gresik. Hanya dengan integrasi ini, tentunya dibarengi dengan infrastruktur yang memadai, peningkatan kapasitas industri nasional mungkin terlaksana. Salah satunya ialah untuk pengembangan industri kendaraan listrik nasional yang menjadi proyek strategis nasional.
Faktor pendukung lain yang perlu ialah pengembangan sumber daya manusia nasional yang mampu menunjang peningkatan kapasitas industri tersebut. Selain pentingnya streamlining kebijakan perizinan, ketersediaan lulusan sekolah kejuruan dan sarjana teknik nasional yang mumpuni merupakan kunci yang sangat menentukan keberhasilan pemerintah dalam menarik minat para investor untuk terlibat dalam proyek besar nasional ini.
Terkait lulusan sarjana teknik yang berkaitan dengan industri pertambangan, data tahun 2019 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 23,2 ribu luluan teknik, termasuk di dalamnya 9,8 ribu lulusan teknik pertambangan, 3,6 ribu luluan teknik geofisika, 8,6 ribu lulusan teknik geologi, dan 1,2 ribu luluan teknik metalurgi material dan kimia. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Deloitte. (2021). Sekilas data tentang industri tembaga Indonesia. Deloitte Indonesia Perspectives, Edisi 2, 27-32.
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI. (2020). Booklet Tambang Tembaga 2020.
- “10 tambang tembaga terbesar di dunia ada Indonesia,” Kompas.com, 4 Januari 2022
- “Cara pengolahan tembaga,” Copperleluhur.com, 3 April 2021.
- “Cooper: Annual Report 2022,” Nornickel.
- “Copper Ore,” OEC
- “Investasi Rp 3,2 triliun, PT Smelting targetkan olah 1,3 juta ton konsentrat tembaga,” Kompas.id, 19 Februari 2022.
- “Jokowi resmikan groundbreaking pabrik foil tembaga di Gresik, disebut terbesar se-Asia Tenggara,” Kompas.com, 20 Juni 2023.
- “Menperin akselerasi hilirisasi mineral, produksi katoda tembaga meningkat,” Kementerian Perindustrian RI, 20 Februari 2022.
- “Presiden Jokowi tinjau smelter PT Freeport Indonesia, target selesai tahun depan,” Java Integrated Industrial and Port Estate.
Artikel terkait