Paparan Topik

Sejarah, Produksi, dan Kebijakan Hilirisasi Bauksit dan Aluminium

Indonesia merupakan salah satu produsen utama bauksit dunia. Mineral ini merupakan bahan baku utama bagi industri aluminium dan industri turunan lanjutannya seperti kendaran listrik berbasis baterai. Namun, kapasitas pengolahan bauksit Indonesia belumlah memadai.

KOMPAS/MARKUS DUAN ALLO

Dengan ponton 400 ton (berkapasitas muat 100 ton/jam), bauksit yang sudah dicuci diangkut dari tambang ke bunker penampungan sebelum dijemput kapal pembeli. Gambar diambil pada 29 Oktober 1984 di Kelong, sekitar 7 km dari Pulau Kijang, Riau. 

Fakta Singkat

  • Cadangan Bauksit Indonesia : Terbesar ke-6 di dunia.
  • Produksi Bauksit Indonesia : 4,3 persen dari produksi global.
  • Provinsi Produsen Bauksit : Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat.
  • Total Produksi Alumina 2021 : 1360 ribu ton.
  • Total Produksi Aluminium 2021 : 200,6 ribu ton.
  • Jumlah Smelter Bauksit Nasional: 4 sudah beroperasi, 8 dalam proses konstruksi.
  • Larangan Ekspor Bauksit : aktif per Juni 2023.

Kekayaan alam tersebut belum dapat diserap oleh industri lokal dan sebagian besar lari diekspor ke luar negeri. Menanggapi masalah lemahnya industri hilir dari pertambangan bauksit tersebut, pada penghujung tahun 2022, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih bauksit yang mulai berlaku pada Juni tahun 2023. Kebijakan ini diambil dengan maksud mendorong tumbuhnya industri pengolahan dan pemurnian bauksit dalam negeri.

Pemerintah telah menetapkan bahwa mulai Juni 2023 ekspor bijih bauksit ke luar tidak lagi diperbolehkan. Hal ini mengharuskan perusahana-perusahaan pengolahan bauksit membangun smelter pengolahan bauksitnya di Indonesia, alih-alih sekedar membeli bijih bauksit mentah dari Indonesia dan melakukan pengolahannya di luar negeri.

Sebagai catatan, smelter merupakan fasilitas pengolahan hasil tambang yang bekerja untuk memurnikan kandungan logam, baik itu timah, nikel, tembaga, emas, maupun perak, hingga mineral tersebut mencapai tingkat kemurnian yang memenuhi standar untuk bahan baku produk turunan selanjutnya.

KOMPAS/DOM RINETYA

Penambangan bauksit di Kijang, P. Bintan. Setelah dikeruk, bauksit kasar itu diangkut dengan truk ke tempat pencucian, dimana bauksit kasar dibersihkan dari lumpur yang masih melekat (6/4/1978) . Bongkahan-bongkahan bauksit besar lalu dipotong-potong sesuai ukuran yang dikehendaki. Dari tampat pencucian, bauksit itu dibawa dengan “ban berjalan” ke tempat pengumpulan dan selanjutnya siap untuk di ekspor. Pada gambar nampak mesin pencuci bauksit kasar.

Mineral Bauksit, Alumina, dan Almunium

Bauksit adalah mineral endapan aluminosilikat yang mengandung kandungan almunium sekitar 40 hingga 60 persen. Ia terbentuk dari proses pelapukan bebatuan yang mengandung aluminium yang lalu mengendap selama ratusan ribu hingga jutaan tahun. Ia dapat ditemukan di daerah dengan iklim tropis maupun subtropis.

Teksturnya seperti tanah liat dan berwarna coklat kemerahan. Ia tidak memiliki lambang kimia khusus karena merupakan terdiri dari berbagai komponen, terutama aluminium oksida hidrat (Al(OH)3) dan mineral campuran lainnya seperti hematit, goethite, dan gibbsite.

Mengenai kegunaannya, bauksit berperan sangat penting dalam industri khususnya industri aluminium. Bijih tambang bauksit mentah itu sendiri mengandung 40-60 persen Al2O3, 2-25 persen Fe2O3, 1-6 persen SiO2, dan 1-5persen TiO2.  Bijih bauksit yang diekstraksi dari tambang akan melewati berbagai proses pemurnian dan pengolahan hingga menghasilkan aluminium.

Mengenai proses pengolahannya, bijih bauksit pertama-tama diolah melalui proses bayer untuk menghasilkan Al2O3 murni dengan kandungan lebih dari 98,35 persen. Residu dari proses tersebut disebut dengan redmud. Al2O3 (Aluminium Oksida) ini disebut juga alumina, berbeda dengan produk lanjutannya yang disebut sebagai aluminium. Al2O3 murni lalu akan diproses lebih lanjut untuk menghasilkan smelter grade alumina (SGA) dan chemical grade alumina (CGA).

Proses lanjutan ini disebut sebagai proses hall-heroult. Proses ini mencampurkan senyawa kryolit (Na3AlF6) dalam suhu 980 derajat Celcius serta melakukan proses eletrolisis leburan garam. Hasilnya ialah logam aluminium dengan kandungan sekitar 99,5 hingga 99,8 persen. Proses pengolahan ketiga ialah Hoopes Process dan Godean Process yang akan memurnikan logam tersebut hingga kadar aluminiumnya mencapai 99,9 persen.

Selain digunakan untuk produksi aluminium, bauksit juga digunakan pada industri pembuatan keramik, cat, dan tinta. Ia juga digunakan sebagai bahan aditif dalam industri pengolahan makanan, kosmetik, dan farmasi.

Sebagai catatan, perlulah diperjelas di sini bahwa kata ‘alumina’ dan ‘aluminium’ merujuk pada dua produk dari bauksit yang berbeda. Aluminium merupakan alumina yang telah dimurnikan lebih lanjut melalui proses khusus.

Sementara kata ‘alumunium’ adalah bentuk tidak baku saja dari kata ‘aluminium’ dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris terdapat dua kata yang mengacu pada hal yang sama yakni kata ‘aluminum’ yang biasa digunakan di Amerika Utara dan ‘aluminium’ yang biasa digunakan di Inggris.   

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Tumpukan batang alumunium di pabrik peleburan alumina milik PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum di Kuala Tanjung, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, Selasa (5/12/2017). Hasil olahan alumina menjadi alumunium menaikkan nilai tambah dari 300-350 dollar AS per ton alumina menjadi lebih dari 2.000 dollar AS per ton alumunium. Sementara ini, Inalum mengimpor alumina dari Australia atau di pasar tunai (spot).

Sejarah Pertambangan Bauksit Indonesia

Dalam sejarahnya, bauksit pertama kali ditemukan oleh seorang ahli geologi berkebangsaan Prancis bernama Pierre Berthier. Berthier menemukan bauksit pada tahun 1821 di Desa Les Baux, Prancis.

Dalam perkembangannya, di tahun 1961 seorang ahli kimia berkebangsaan Prancis juga, bernama Henri Sainte-Claire Deville, memperkenalkan mineral tersebut dengan sebutan bauksit, sesuai dengan lokasi penemuannya pertama kali oleh Berthier di Desa Les Baux tersebut.

Tambang bauksit tertua di Indonesia pertama kali ditemukan di Kijang, Pulau Bintan, Kepulauan Riau tahun 1924. Pemerintah Kolonial Belanda mulai menemukan kandungan tersebut pada kisaran tahun 1920. Aktivitas pertambangan lalu mulai marak di sana sejak tahun 1935 hingga 2010.

Pada tahun 2009 PT Antam yang merupakan perusahaan nasional menghentikan kegiatan penambangan di Kijang tersebut dan kini memasuki masa pasca tambang di mana PT Antam hanya melakukan kegiatan reklamasi, revegetasi, serta aktivitas corporate social responsibility bagi masyarakat setempat. Suatu monumen dan relief telah dibangun di Kijang sebagai penanda sejarah penambangan bauksit tertua di Indonesia.        

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja menyelesaikan pembuatan perabotan dapur berbahan alumunium di Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, Senin (20/9/2021). Meski pandemi berdampak pada terpuruknya perekonomian, para perajin tetap bertahan untuk melayani para pelanggan. Perabotan dapur yang masih dipesan konsumen adalah dandang. Selain untuk keperluran rumah tangga, banyak pemesan dandang adalah para penjual makanan seperti bakso dan bubur ayam. Dandang yang paling laku adalah yang berukuran sedang dengan diameter 35-40 cm yang ditawarkan Rp 250.000 – Rp 300.000.

Cadangan dan Produksi Bauksit Indonesia

Menurut data US Geological Survey tahun 2022, cadangan bauksit Indonesia mencapai 1 milyar ton. Angka cadangan tersebut merupakan nilai cadangan terbesar keenam di dunia. Kementerian ESDM pada tahun 2020 menyebutkan bahwa cadangan bauksit Indonesia meliputi hingga empat persen dari total cadangan bauksit dunia. Bila Indonesia tidak lagi melakukan ekspor bijih bauksit ke luar dan kapasitas proses smelter Indonesia tetap di kapasitas tahun 2020 maka diperkirakan cadangan tersebut bertahan hingga 92 tahun atau hingga tahun 2112.  

Negara dengan cadangan mineral bauksit terbesar di dunia ialah Republik Nugini yang terletak di Afrika Barat, diikuti oleh Vietnam, Australia, Brazil, dan Jamaika. USGS lebih jauh menyebutkan bahwa kandungan bauksit dunia diperkirakan mencapai 55 hingga 75 milyar ton, tersebar di Afrika sebanyak 32 persen, Oseania sebanyak 23 persen, Amerika Selatan dan Kepulauan Karibia sebanyak 21 persen, Asia 18 persen, dan wilayah lainnya sebesar 6 persen.

Grafik:

 

Produksi bauksit Indonesia juga tidak kecil. Kementerian ESDM pada tahun 2020 mencatat bahwa produksi bauksit Indonesia mencapai 4,3 persen dari total produksi bauksit dunia. Sementara data dari US Geological Survey menunjukkan bahwa produksi bauksit Indonesia di tahun 2022 mencapai 21 juta ton atau terbesar kelima di dunia. Negara produsen utama bauksit dunia lainnya ialah Australia, RRT, Nugini (Afrika Barat), dan Brazil. Australia pada tahun 2022 memproduksi hingga 103 juta ton bauksit.

Grafik: 

 

Mengenai persebarannya, data tahun 2020 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 98 tambang bauksit. 84 di antaranya terletak di Pulau Belitung, Provinsi Bangka-Belitung. 8 tambang di Kalimantan Tengah dan  6 tambang di Provinsi Riau. Pada tahun 2020 hanya terdapat 2 smelter bauksit di Indonesia dan keduanya terletak di Provinsi Kalimantan Barat.

Grafik:

 

Data ekspor bijih bauksit Indonesia menunjukkan bahwa industri ini mengalami penurunan tajam pada saat pandemi Covid-19 di tahun 2020 dan 2021. Akan tetapi di tahun 2022 nilai ekspor bijih bauksit kembali meningkat dari total ekspor sebanyak 200 ton di tahun 2020 menjadi 678 di tahun 2022.

Meski demikian, nilai ekspor bijih bauksit Indonesia di tahun 2022 melonjak tinggi menjadi 1009 ribu USD, mengikuti peningkatan harga bauksit di pasar global, jauh lebih tinggi dari nilai ekspor bauksit di tahun 2018 yang hanya berkisar pada 245 ribu USD. Mengutip keterangan dari Kementerian ESDM, pada tahun 2021 Indonesia mengekspor hingga 90 persen bauksit yang diproduksinya.

Grafik:

 

Data tahun 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar bijih bauksit Indonesia di ekspor ke India, dengan total 435,5 ribu ton. Negara penerima ekspor bijih bauksit Indonesia terbanyak kedua adalah Korea Selatan dengan total 121,6 ribu ton, diikuti oleh Italia dengan 51 ribu ton, RRT 49,5 ribu ton, serta Malayasia sebanyak 20,8 ribu ton.

 

Grafik:

 

Produksi Alumina dan Aluminium Indonesia

Alumina dan aluminium adalah dua produk turunan dari mineral bauksit. Menurut data Kementerian ESDM, produksi alumina Indonesia mencapai 0,77 persen dari total produksi dunia pada tahun 2020. Sementara itu produksi aluminium Indonesia mencakup 0,37 persen dari total produksi aluminium dunia.

Angka ini diharapkan akan meningkat seiring dengan bertambahnya smelter pengolahan bauksit di Indonesia dan larangan ekspor bijih bauksit mentah. Sebagai catatan, untuk memproduksi satu ton alumina diperlukan sekitar dua hingga tiga ton bauksit.

Kementerian Perindustrian mencatat bahwa pada tahun 2021 kapasitas pengolahan bauksit menjadi alumina nasional mencapai 1,3 juta ton per tahun. Secara lebih detail, data tersebut menjelaskan bahwa industri nasional mampu memproduksi sebanyak 1 juta ton smelter grade alumina dan 300 ribu ton chemical grade alumina.

Data real produksi alumina Indonesia menunjukkan perkembangan pesat dari 70 ribu ton di tahun 2015 menjadi 1360 ribu ton di tahun 2021, sementara untuk aluminium Indonesia justru mengalami penurunan produksi dari 257.1 ribu ton di tahun 2015 menjadi 200.6 ribu ton di tahun 2021. Kementerian Perindustrian sendiri berupaya mendorong peningkatan produksi aluminium nasional dan menargetkan total produksi hingga 1,5 atau 2 juta ton di tahun 2025.

Grafik: 

 

Dari data ekspor aluminium, tampak bahwa pada tahun 2018 Indonesia mengekspor sebanyak 284 ribu ton aluminium (HS 76), dengan total nilai sebesar 780 juta USD. Volume ekspor tersebut menurun di tahun-tahun berikutnya tetapi nilai jual aluminium sendiri meningkat.

Di tahun 2022 Badan Pusat Statistik mencatat jumlah ekspor sebanyak 256 ribu ton dengan total nilai sebanyak 890 juta USD. Lima negara yang menjadi tujuan utama ekspor aluminium Indonesia adalah Amerika Serikat, RRT, Vietnam, Belanda, dan Australia.

Grafik:

 

Grafik:

Dalam hal konsumsi, pasar Indonesia menyerap hingga 1,54 persen dari total konsumsi aluminium dunia. Saat ini RRT merupakan produsen dan konsumen aluminium terbesar dunia.

Dalam kaitannya dengan mobil listrik, setiap kendaraan listrik mengandung 0,25 ton aluminium. Hal ini berarti bahwa apabila Indonesia hendak mengembangkan industri kendaraan listrik berbasis baterai dalam negeri, industri aluminium merupakan salah satu industri hulu penyokong yang akan berperan penting dalam keberhasilan pengembangan industri kendaraan listrik tersebut.

 

Kebijakan Hilirisasi Bauksit

Kebijakan larangan ekspor bauksit merupakan kelanjutan dari arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020. Dokumen hukum tersebut mengadakan perubahan ketetapan terhadap peraturan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Sejalan dengannya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas PM ESDM Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Pengolahan bijih bauksit dalam negeri akan meningkatkan nilai produksi dari industri tambang bauksit tersebut. Sebagai perbandingan, bijih bauksit mentah sebesar 6 ton hanya bernilai sekitar USD 23,1 (USD 3.85 per ton). Jika diolah ia dapat menghasilkan sekitar 3 ton sementara metallurgical grade bauxite (MGB) yang bernilai sekitar 114 USD (USD 38 per ton). Jika diolah lebih lanjut, ia dapat menghasilkan 1 ton smelter grade alumina (SGA) dengan nilai sekitar USD 325.

Sama dengan kebijakan larangan bijih nikel Indonesia, kebijakan ini kemungkinan besar akan mendapatkan perlawanan dari negara lain yang merasa keuntungannya dari ekspor bijih bauksit Indonesia berkurang. WTO sendiri menyetujui gugatan Uni Eropa terhadap larangan ekspor bijih nikel Indonesia melalui keputusan tertanggal 17 Oktober 2022. Hal ini menuntut Pemerintah Indonesia untuk siap berargumentasi mempertahankan kebijakannya di hadapan majelis panel WTO.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kegiatan produksi alumunium di pabrik PT Handal Alumunium Sukses, Cirebon, Jawa Barat, Rabu (25/4/2018). Sebagai salah satu industri manufaktur domestik, PT Handal Alumunium telah melakukan ekspor perdana produk aluminium extrusion ke Belanda sebesar 13,8 ton. Untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik alumunium, hingga kuartal IV tahun 2017 telah diproduksi sekitar 600 ton.

Melihat perkembangan yang ada saat ini, di tahun 2022 di Indonesia telah dibangun empat pabrik smelter grade alumina (SGA) yang sudah mulai beroperasi, meningkat dari sekedar dua smelter pada tahun 2020.

Keempat smelter bauksit tersebut ialah PT Indonesia Chemical Alumina, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, smelter ekspansi dari PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, dan PT Bintan Alumina Indonesia.

Sementara itu masih ada delapan smelter yang masih dalam tahap pembangunan. Delapan smelter yang masih dalam pembangunan tersebut meliputi smelter ekspansi dari PT WHWAR di Ketapang, PT Dinamika Sejahtera Mandiri di Sanggau, PT Laman Mining di Ketapang, PT Kalbar Bumi Perkasa di Sanggau, PT Parenggean Makmur Sejahtera di Kotawaringin Timur, PT Persada Pratama Cemerlang Sanggau, PT Quality Sukses Sejahtera di Pontianak, dan PT Sumber Bumi Marau di Ketapang.

Dari jumlah smelter aluminium Indonesia saat ini tampak bahwa kapasitas industri hilir bauksit Indonesia memang belum memadai. Kebijakan larangan ekspor bijih bauksit yang mulai efektif sejak Juni 2023 dimaksudkan agar memaksa perusahaan-perusahaan industri mineral ini membangun fasilitas pengolahannya di tanah air.

Akan tetapi kebijakan ini bukanlah tanpa tantangan. Dengan kapasitas saat ini Indonesia hanya mampu menyerap sekitar 13,88 juta ton bauksit atau 66 persen dari produksi tambang bauksit yang ada. Hal ini akan mengakibatkan kelebihan produksi bauksit nasional.

Dalam jangka pendek larangan ekspor juga menurunkan pendapatan ekspor dan pemasukan dari pajak terkait bagi Pemerintah. Situasi macam ini mengharuskan Pemerintah untuk aktif memastikan bahwa para pengusaha memang akan berupaya mempercepat pembangunan smelter pengolahan bauksit di dalam negeri.

Hal ini dapat dilakukan melalui serangkaian insentif, baik regulasi maupun fiskal seperti tax holiday, tax allowances, serta pembebasan pajak impor untuk perlengkapan pembangunan smelter. Bila berhasil, hilirisasi industri mineral bauksit akan menjadi peluang kemajuan ekonomi dan lapangan pekerjaan yang baik bagi Indonesia dalam jangka panjangnya.

Referensi

Regulasi
  • Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  • Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
  • Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas PM ESDM Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Internet