Paparan Topik

Pengembangan Industri Aluminium Indonesia

Industri aluminium dalam negeri merupakan salah satu industri penting yang mendapat dukungan kuat dari pemerintah. Dari sisi suplai, Indonesia memiliki bahan baku aluminium yang melimpah yakni bauksit.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kegiatan produksi alumunium di pabrik PT Handal Alumunium Sukses, Cirebon, Jawa Barat, Rabu (25/4/2018). Sebagai salah satu industri manufaktur domestik, PT Handal Alumunium telah melakukan ekspor perdana produk aluminium extrusion ke Belanda sebesar 13,8 ton. Untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik alumunium, hingga kuartal ke IV 2017 telah diproduksi sekitar 600 ton.

Fakta Singkat

  • Aluminium adalah salah satu unsur kimia dalam tabel periodik dengan nomor atom 13. Ia dilambangkan dengan “Al”
  • Aluminium merupakan salah satu industri yang akan dikembangkan di Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) yang terletak di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara.
  • Pada 2022 Badan Pusat Statistik mencatat jumlah ekspor sebanyak 256 ribu ton dengan total nilai sebanyak 890 juta dolar AS.
  • Lima negara yang menjadi tujuan utama ekspor aluminium Indonesia adalah Amerika Serikat, RRT, Vietnam, Belanda, dan Australia.

Pemerintah Indonesia melihat nilai penting aluminium dalam pengembangan industri kendaraan listrik maupun perlengkapan lainnya. Aluminium merupakan salah satu industri yang akan dikembangkan di Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) yang terletak di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Kawasan industri ini digadang pemerintah menjadi kawasan industri hijau terbesar di dunia. Disebut hijau karena kawasan ini dirancang dengan sumber energi terbarukan.

Aluminium adalah salah satu unsur kimia dalam tabel periodik dengan nomor atom 13. Ia dilambangkan dengan “Al”. Secara fisik, aluminium berwarna putih keperakan, memiliki kepadatan yang rendah sehingga ringan, mudah didaur ulang, konduktivitas termal dan listrik yang baik, serta memiliki ketahanan yang baik terhadap korosi.

Karena sifat-sifat tersebut ia menjadi bahan yang baik dalam konstruksi bangunan, kendaraan, pesawat terbang, peralatan elektronik seperti kabel listrik, peralatan rumah tangga dan berbagai peralatan lainnya. Kegunaannya yang amat luas ini membuat aluminium memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Kata ‘alumunium’ adalah bentuk tidak baku dari kata ‘aluminium’ dalam bahasa Indonesia. Sementara, dalam bahasa Inggris terdapat dua kata yang mengacu pada hal yang sama yakni kata ‘aluminum’ yang biasa digunakan di Amerika Utara dan ‘aluminium’ yang biasa digunakan di Inggris.  

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Tumpukan batang alumunium di pabrik peleburan alumina milik PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum di Kuala Tanjung, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, Selasa (5/12/2017). Hasil olahan alumina menjadi alumunium menaikkan nilai tambah dari 300-350 dollar AS per ton alumina menjadi lebih dari 2.000 dollar AS per ton alumunium. Sementara ini, Inalum mengimpor alumina dari Australia atau di pasar tunai (spot).

Produksi

Aluminium diproduksi dari bauksit yang pertama-tama diolah menjadi alumina lalu dimurnikan kembali menjadi aluminium. Untuk memproduksi satu ton alumina diperlukan sekitar dua hingga tiga ton bauksit.

Indonesia memiliki cadangan bauksit hingga 1,2 milliar ton atau setara dengan 4 persen cadangan bauksit dunia. Hal ini membuat Indonesia memiliki potensi pengembangan aluminium yang amat besar. Oleh karena itu bidang ini menjadi salah satu subsektor strategis bagi industri Indonesia.

Grafik:

Bijih tambang bauksit mentah itu sendiri mengandung 40-60 persen Al2O3, 2-25 persen Fe2O3, 1-6 persen SiO2, dan 1-5persen TiO2. Dalam pengolahannya menjadi alumnium, bijih bauksit pertama-tama diolah melalui proses bayer untuk menghasilkan Al2O3 murni dengan kandungan lebih dari 98,35 persen.

Residu dari proses tersebut disebut dengan redmud. Al2O3 (Aluminium Oksida) ini disebut juga alumina, berbeda dengan produk lanjutannya yang disebut sebagai aluminium. Al2O3 murni lalu diproses lebih lanjut untuk menghasilkan smelter grade alumina (SGA) dan chemical grade alumina (CGA). Proses lanjutan ini disebut sebagai proses hall-heroult.

Proses ini mencampurkan senyawa kryolit (Na3AlF6) dalam suhu 980 derajat Celcius serta melakukan proses eletrolisis leburan garam. Hasilnya ialah logam aluminium dengan kandungan sekitar 99,5 hingga 99,8 persen. Proses pengolahan ketiga ialah Hoopes Process dan Godean Process yang akan memurnikan logam tersebut hingga kadar aluminiumnya mencapai 99,9 persen.

Infografik: Aluminum

Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa dua sektor industri turunan yang paling banyak menerima produksi aluminium global ialah sektor industri transportasi dan sektor bangunan dan konstruksi. Keduanya menyerap produksi aluminium global hingga masing-masing 29 persen dan 25 persen. Karena itu, industri hilir dari aluminium sangatlah beragam.

Sektor lain yang juga menyerap banyak aluminium adalah sektor industri kemasan dan kelistrikan, masing-masing dengan persentase serapan hingga 12 persen dan 11 persen. Sebagai catatan, kendaraan listrik yang dipandang sebagai industri strategis nasional tiap mobilnya mengandung sekitar 0,25 ton aluminium. Hal ini menguatkan argumentasi bahwa industri aluminium memang memiliki peranan penting bagi industri nasional.

Grafik:

 

Kapasitas Industri Aluminium Indonesia

Menurut data Kementerian ESDM, produksi alumina Indonesia mencapai 0,77 persen dari total produksi dunia pada tahun 2020. Sementara itu produksi aluminium Indonesia mencakup 0,37 persen dari total produksi aluminium dunia.

Angka ini diharapkan akan meningkat seiring dengan bertambahnya smelter pengolahan bauksit di Indonesia dan larangan ekspor bijih bauksit mentah yang efektif sejak Juni 2023.

Grafik:

 

Kementerian Perindustrian mencatat bahwa pada tahun 2021 kapasitas pengolahan bauksit menjadi alumina nasional mencapai 1,3 juta ton per tahun. Secara lebih detail, data tersebut menjelaskan bahwa industri nasional mampu memproduksi sebanyak 1 juta ton smelter grade alumina dan 300 ribu ton chemical grade alumina.

Sementara itu, data real produksi alumina Indonesia menunjukkan perkembangan pesat dari 70 ribu ton di tahun 2015 menjadi 1360 ribu ton di tahun 2021, sementara untuk aluminium Indonesia justru mengalami penurunan produksi dari 257,1 ribu ton di tahun 2015 menjadi 200,6 ribu ton di tahun 2021.

Grafik:

 

Dari data ekspor aluminium, tampak bahwa pada tahun 2018 Indonesia mengekspor sebanyak 284 ribu ton aluminium (HS 76), dengan total nilai sebesar 780 juta dolar AS. Volume ekspor tersebut menurun di tahun-tahun berikutnya tetapi nilai jual aluminium sendiri meningkat.

Di tahun 2022 Badan Pusat Statistik mencatat jumlah ekspor sebanyak 256 ribu ton dengan total nilai sebanyak 890 juta dolar AS. Lima negara yang menjadi tujuan utama ekspor aluminium Indonesia adalah Amerika Serikat, RRT, Vietnam, Belanda, dan Australia.

Grafik:

 

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja menyelesaikan pembuatan perabotan dapur berbahan alumunium di Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, Senin (20/9/2021). Meski pandemi berdampak pada terpuruknya perekonomian, para perajin tetap bertahan untuk melayani para pelanggan.

Dalam hal konsumsi, pasar Indonesia menyerap hingga 1,54 persen dari total konsumsi aluminium dunia. Meskipun Indonesia mengekspor aluminium hingga 257 ribu ton pada tahun 2021, Indonesia juga mengimpor aluminium bahkan dengan jumlah yang lebih besar pada tahun tersebut yakni 273,3 ribu ton.

Hal ini memang diperlukan karena Indonesia memiliki kebutuhan aluminium mencapai 1 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya sebesar 250.000 ton. Akan tetapi, jumlah volume impor aluminium Indonesia telah menurun dalam kurun sepuluh tahun terakhir.

Grafik:

 

Target Pengembangan

Pemerintah menargetkan produksi aluminium meningkat menjadi 400 ribu ton per tahun pada tahun 2024. Hal ini berarti dua kali total produksi di tahun 2021. Untuk mencapai target tersebut pemerintah berupaya meningkatkan investasi pada pembangunan smelter aluminium di Indonesia.

Salah satu smelter baru yang sedang dikerjakan ialah smelter milik PT Adaro Energy Indonesia yang berada di kawasan industri Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI), Kalimantan Utara. Smelter baru ini dibangun dengan total investasi sekitar 2 milliar USD atau 30,55 triliun rupiah, pada lahan seluas 600 ha.

Pemerintah juga berupaya menggandeng perusahaan luar negeri yang memiliki kapasitas industri mumpuni. Salah satunya pada 31 Maret 2022 Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan perusahaan aluminium besar dari Uni Emirat Arab, Emirates Global Aluminium. Berdasarkan MoU tersebut, Inalum dan EGA akan bekerja sama dalam peningkatan kapasitas industri smelter Inalum di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, menggunakan teknologi EGA. 

Berbagai kebijakan fiskal juga diterbitkan untuk mendukung upaya peningkatan kapasitas industri nasional dalam rangka down-streaming, baik untuk aluminium maupun bahan tambang penting lainnya. Hal tersebut mulai dari fasilitas bea impor, potongan pajak dan tax holiday.

Pembebasan bea impor selama dua tahun diberikan untuk impor mesin smelter, impor barang dan bahan untuk keperluan produksi sesuai kapasitas terpasang. Pembebasan bea impor selama empat tahun juga diberikan untuk impor barang dan bahan saat menggunakan mesin domestik. Dalam hal kelonggaran pajak (tax allowance), Pemerintah memberikan pengurangan pajak penghasilan netto perusahaan sebesar 30 persen dari nilai investasi, untuk periode selama enam tahun (lima persen setiap tahunnya).

Pengurangan untuk PPh badan hingga 100 persen juga diberikan bagi perusahaan dengan nilai investasi di atas 500 miliar rupiah, dalam kurun waktu yang berbeda sesuai besaran investasinya, ditambah dengan 50 persen pengurangan PPh badan selama dua tahun. Insentif juga diterbitkan pemerintah daerah untuk mendukung peningkatan investasi di sektor industri aluminium.  

Selain smelter yang sedang dibangun di Kalimantan Industrial Park Indonesia, Kalimantan Utara. Pengolahan aluminium Indonesia berada di tiga tempat. Pertama ialah Kawasan Ekonomi Khusus Galang Batang, Bintan, Kepulauan Riau. Kedua adalah Kawasan Industri Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Ketiga adalah Kawasan Industri Ketapang, Kalimantan Barat.

Upaya pemerintah dan perusahaan pengelola kawasan industri terkait mengelola kawasan-kawasan industri ini, termasuk penyediaan infrastruktur padanya, akan menentukan keberhasilan upaya Indonesia untuk mewujudkan peningkatan kapasitas industri aluminium. (LITBANG KOMPAS)