KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Perempuan mengenakan kebaya berjalan di landas peraga dalam acara Istana Berkebaya di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (6/8/2023). Acara dalam rangka rangkaian HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia ini diikuti 401 penampil.
Fakta Singkat
Kebaya
- Pada tahun 1940-an, kebaya dipilih Presiden Soekarno sebagai busana perempuan Indonesia.
- Pada 1972, kebaya ditetapkan sebagai salah satu pakaian nasiona melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1972 tentang Jenis-jenis Pakaian Sipil.
- Kebaya memiliki pakem yang menjadi ciri khas kebaya itu sendiri, di antaranya meliputi, sistem bukaan, sistem pengancingan, variasi panjang, variasi potongan, dan padanan.
- Pada awal tahun 2023, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam sepakat mengusulkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO.
Kebaya sering dianggap menjadi pakaian resmi dalam upacara kenegaraan, pernikahan, dan berbagai acara resmi lain.
Beberapa waktu lalu, peragaan busana kebaya digelar di halaman depan Istana. Acara tersebut merupakan rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Sekretariat Negara (“Istana Berkebaya dan Menegaskan Identitas Budaya”, Kompas, 12 Agustus 2023).
Acara yang bertajuk Istana Berkebaya itu menampilkan lebih dari 400 orang sebagai peraga busana, meliputi model profesional, menteri dan pejabat wanita, perwakilan kedutaan besar, istri dari pimpinan institusi, hingga pelajar.
Para model profesional, duta besar negara sahabat, hingga menteri dan wakil menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Maju memperagakan kemolekan kebaya yang merupakan busana nasional Indonesia di landas peraga.
Saat memberi sambutan, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa kebaya melambangkan karakter masyarakat Indonesia. “Ya, kebaya itu melambangkan karakter masyarakat Indonesia yang anggun, yang lemah lembut, yang sopan dan bersahaja,” ujarnya.
Lebih lanjut Presiden Jokowi menambahkan, parade busana ini menjadi wadah untuk mempertahankan dan melestarikan kebaya sebagai salah satu warisan budaya yang patut dijaga agar terus hidup dan diapresiasi oleh generasi mendatang.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Presiden Joko Widodo bersama Ibu Iriana Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin bersama Ibu Wury Estu Handayani Ma’ruf Amin hadir dalam acara Istana Berkebaya di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (6/8/2023). Dalam sambutannya Joko Widodo menyampaikan bahwa kebaya melambangkan karakter masyarakat Indonesia yang anggun, lemah lembut, sopan, dan bersahaja.
Sejarah Kebaya
Merujuk KBBI, kebaya adalah baju perempuan bagian atas, berlengan panjang, dipakai dengan kain panjang. Sementara, perancang busana Didiet Maulana dalam bukunya berjudul Kisah Kebaya menjelaskan, kebaya adalah busana berbentuk dasar blus dengan bukaan kerah depan ditutup kancing, bros, atau peniti.
Adapun Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java mencatat, kebaya sebagai blus berbahan sutera, brokat, atau beludru, dengan bukaan tengah yang dikaitkan tidak dengan kancing, melainkan dengan perhiasan bros.
Ditinjau dari kesejarahannya, kebaya sudah hadir di Indonesia sejak berabad-abad lalu. Namun, terkait awal kemunculannya belum bisa diperkirakan secara pasti, terdapat banyak versi yang mengisahkan asul-usul kebaya. Sejarawan Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya 2 menunjukkan bahwa kemunculan kebaya terjadi secara bertahap dari abad ke-15 hingga abad ke-16. Berdasarkan etimologinya, menurut Lombard, kebaya mengacu ke sebelah barat Samudra Hindia.
Dalam catatan kaki di buku tersebut, Lombard memberi keterangan: mengenai kebaya, kamus Hobson-Jobson, mengemukakan bahwa kebaya berasal dari bahasa Arab kaba, artinya pakaian, tetapi diperkenalkan melalui bahasa Portugis. Menurut Lombard, pada abad ke-15 hingga abad ke-16 terjadi transformasi sosial-budaya secara besar-besaran yang dipicu oleh perdagangan, salah satunya dalam hal busana. Kehadiran orang-orang dari Arab, Cina, India, Portugis dan Belanda di Nusantara memudahkan penyerapan budaya asing dan membuat busana semakin berkembang dalam segi bentuk, motif, warna dan corak pada busana terutama kebaya.
KOMPAS/RATIH P SUDARSONO
Perempuan Kebaya – Komunitas Perempuan Berkebaya berkumpul di Kebun Raya Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (30/1/2016) pagi hingga siang. Mereka berkumpul, bergembira, dan berkampanye mengenakan kebaya tanpa ribet untuk sehari-hari.
Peneliti batik Rens Heringa dalam tulisannya berjudul ”Batik Pasisir as Mestizo Costume” dalam Fabric of Enchanment, Batik from the North Coast of Java menduga, istilah kebaya berhubungan dengan kata cambay, walaupun ini sebetulnya lebih menunjuk nama cita (kain kapas bermotif bunga) yang diimpor dari Pelabuhan Cambay di India. Nama ini diberikan untuk blus longgar buka depan yang dipakai perempuan dan laki-laki pada abad ke-15 (“Anugerah Kebaya Anne Avantie”, Kompas, 22 April 2007).
Meski istilah kebaya menurut Heringa berasal dari kata Persia untuk pakaian seperti ini, cabay, tetapi imigran Muslim dari Cina pada abad ke-15 mungkin juga berperan memperkenalkan kebaya, mengingat baju longgar berlengan panjang buka depan yang dikatupkan pada tepi-tepinya mirip dengan baju Cina bei-zi. Baju ini digunakan perempuan dari kalangan sosial bawah pada masa Dinasti Ming (abad ke-14 hingga ke-17).
Sementara itu, menurut Maenmas Chavalit dan Maneepin Phromsuthirak dalam Costumes in ASEAN, seperti dikutip dari Didiet Maulana, bentuk awal dari kebaya berasal dari Jawa, tepatnya dari Kerajaan Majapahit (1293–1500 M).
Hal serupa juga diungkapkan oleh dosen Tata Busana di Universitas Pendidikan Indonesia, Suciati, yang disertasinya membahas tentang kebaya. Kebaya lahir di Indonesia, khususnya di Jawa pada era Kerajaan Majapahit. Dari Jawa, kebaya lalu menyebar ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Peserta dari berbagai komunitas turut memeriahkan Parade Semarak Semarang di Kota Lama, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (5/5/2023). Massa peserta mengenakan berbagai macam atribut pakaian bertema sarung dan kebaya dalam rangka memeriahkan HUT Ke-476 Kota Semarang. Penyelenggaraan acara tersebut juga menjadi bagian dari agenda wisata tahunan dari seni, budaya, dan kuliner.
Referensi lain menyebut kebaya diperkenalkan pada abad ke-12 oleh para pembawa syiar agama Islam. Busana kebaya dan kerudung yang berfungsi sebagai penutup aurat perempuan lantas berkembang. Konon, kebaya berasal dari bahasa Arab habaya atau abaya, yang berarti busana panjang berbelahan depan (“Kebaya nan Tak Lekang Zaman”, Kompas, 25 April 2021).
Terkait pemakainnya, kebaya pertama kali dikenakan oleh keluarga kerajaan dan bangsawan. Sebagai pakaian kelas atas, kebaya dibuat menggunakan bahan-bahan terbaik, seperti sutera, beludru, atau brokat, dengan ditambahi aksesoris yang terbuat dari emas dan perak untuk melambangkan kemewahan.
Namun seiring berjalannya waktu, kebaya juga dikenakan oleh masyarakat biasa. Meski demikian, kebaya yang digunakan masyarakat biasa menggunakan bahan dengan kualitas dan harga yang lebih rendah. Kebaya yang dipakai masyarakat umumnya lebih sederhana, terbuat dari katun bercorak dan tanpa aksesoris seperti emas dan perak.
Kemudian, pada zaman kolonial, kebaya juga digunakan oleh perempuan-perempuan Eropa, khusunya perempuan Belanda. Terjadinya interaksi antara penduduk pribumi dengan orang-orang orang-orang Eropa menjadi faktor utama terciptanya akulturasi budaya antara Belanda dan Hindia, yang dikenal dengan istilah kebudayaan Indis.
Kebudayaan Indis ini mempengaruhi ketujuh unsur budaya secara keseluruhan, termasuk gaya berbusana. Para perempuan Eropa, yang pada awal mula kedatangannya bergaya busana Eropa berupa gaun panjang berkoset, akhirnya mencoba untuk mengenakan busana yang juga dikenakan masyarakat pribumi dalam kesehariannya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Model membawakan busana kebaya peranakan kreasi Radja Art dalam Hadiprana Fashion Festival 2023 di Mitra Hadiprana, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Merujuk Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX), kain dan kebaya dikenakan sebagai pakaian sehari-hari di rumah oleh para perempuan Eropa, sedangkan laki-laki menggunakan sarung dan baju takwo. Kebaya dipilih sebagai busana sehari-hari karena dirasa lebih sesuai dan nyaman saat dikenakan di wilayah tropis.
Namun, karena pakaian membentuk identitas sosial, membuat suatu pernyataan tentang kelas sosial, ada perbedaan antara kebaya yang digunakan oleh perempuan Eropa dan kebaya yang dikenakan perempuan pribumi. Sebagai kelompok kelas tertinggi dalam hierarki kolonial, perempuan Eropa mengenakan kebaya berenda yang terbuat dari kain brokat, salah satu kain khas Eropa, dengan kain batik yang motifnya bernuansa Eropa dan warna lembut. Adapun kebaya perempuan pribumi umumnya lebih sederhana, tidak mengenakan renda dan bewarna selain putih, dipadu kain batik sesuai pakem tradisional.
Dari berbagai sumber visual berupa foto, kebaya juga digunakan oleh perempuan peranakan Tionghoa. Desain kebaya yang digunakan perempuan peranakan miliki ciri khusus, seperti simbol fauna dan flora. Simbol-simbol tersebut juga terdapat pada kain batik yang digunakan sebagai bawahan.
Pada tahun 1920-an, kebaya mulai kehilangan pamor di kalangan perempuan Eropa. Merujuk Elsbeth Locher-Scholten dalam tulisan berjudul “Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng Perempuan Eropa dan Gaya Hidup Barat di Hindia Tahun 1900–1942” dalam Outward Apparance: Trend, Identitas, Kepentingan. Hal tersebut terjadi karena adanya penolakan “menjadi pribumi”. Kebaya danggap sebagai pakaian pribumi. Menggunakan kebaya dianggap sebagai kebiasaan buruk, bertentangan dengan citra Barat. Sebagai gantinya, perempuan Eropa menggunakan gaun pendek dan longgar yang sesuai iklim tropis.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Para peserta parade kebaya bertajuk Berkebaya Bersama Ibu Negara di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (2/10/2022). Gelaran itu diikuti oleh Ibu Negara Iriana Joko Widodo. Momentum pelaksanaannya sengaja bertepatan dengan hari batik nasional. Diharapkan, lewat acara tersebut, ada dorongan yang semakin kuat untuk menetapkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco.
Era Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, wanita Indonesia memakai kebaya dan batik sebagai simbol perjuangan dan nasionalisme. Hal ini membuat popularitas kebaya semakin meningkat. Kebaya menjadi pilihan perempuan Indonesia dalam berpenampilan sehari-hari maupun saat acara-acara khusus.
Pada tahun 1940-an, kebaya dipilih Presiden Soekarno sebagai busana perempuan. Kala itu, Presiden Soekarno melihat kebaya mampu menggambarkan identitas perempuan Indonesia sekaligus simbol emansipasi kaum perempuan tokoh kebangkitan Indonesia, seperti Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika.
Kebaya yang menjadi busana kaum perempuan Indonesia pun dikenakan para ibu negara. Fatmawati, istri Presiden Soekarno, misalnya, kerap terlihat mengenakan kebaya dalam berbagai kesempatan mendapingi Presiden Soeakarno, mulai dari acara kenegaraan hingga jamuan makan malam bersama tokoh dunia. Menurut Didiet Maulana, kebaya dalam hal ini menjadi “statement budaya”.
Pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, kebaya masuk sebagai busana nasional yang termuat dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1972 tentang Jenis-jenis Pakaian Sipil. Pada masa ini, kebaya melekat pada sosok Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto. Ibu Tien dikenal publik dengan penampilannya mengenakan kebaya di berbagai acara resmi atau kenegaraan, di dalam maupun luar negeri.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Ny Tien Soeharto bersilaturahmi dengan para lanjut usia di halaman Istana Merdeka Kamis sore (26/8/1982). Secara simbolis Ny Tien menghadiahkan bingkisan kenangan bahan kebaya dan baju kepada sekitar 655 lanjut usia pria-wanita dari 10 Panti Werdha, 11 Rumah Asuhan dan 20 unit Dharma Wanita Pusat dan DKI Jaya. Tampak Ny Tien menyerahkan kenangan kepada Ny Rahmi Hatta berupa selendang dengan tanda tangan Ny Tien dan kain batik.
Dalam berbusana kebaya, Ibu Tien sering tampil dengan kebaya motif bunga lengkap dengan setelan rambut yang disanggul, kain batik, sepatu slop, serta kain selendang yang dislempangkan sebagai atribut pelengkap.
Hal tersebut kemudian juga diikuti oleh perempuan-perempuan di sekitar Ibu Tien. Kebaya digunakan sebagai organisasi-organisasi perempuan, seperti PKK dan Dharma Wanita (organisasi istri-istri pegawai negeri sipil). Semenjak itu, penggunaan kebaya mulai mengalami pergeseran. Pemakaian kebaya sebagai pakaian sehari-hari mulai ditinggalkan. Kebaya hanya menjadi pakaian yang dipakai pada saat acara tertentu saja.
Selain itu, ditinggalkannya kebaya sebagai pakaian sehari-hari juga berkaitan dengan masuknya tren mode busana Barat dan perubahan kehidupan modern yang serba cepat. Menurut Nita Trismaya dalam artikel berjudul “Kebaya dan Perempuan: Sebuah Narasi tentang Identitas”, kaum perempuan lebih memilih pakaian modern yang berkiblat pada budaya Barat. Pakaian Barat menjadi simbol modernitas kaum perempuan terutama yang menetap di kota besar seperti Jakarta selain dengan alasan lain, yaitu kebaya identik dengan sifat “tidak praktis” dan mengurangi kebebasan bergerak.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Menteri Luar Negeri Retno L.P Marsudi (kanan) tampak menarik bersama para peserta yang mengenakan kebaya dalam acara peluncuran “Kebaya Goes to Unesco” di halaman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi di Jakarta, Minggu (19/6/2022). Kegiatan dalam rangka mendukung pendaftaran kebaya ke Unesco sebagai warisan budaya tak benda asal Indonesia itu diikuti oleh sekitar seribuan peserta.
Transformasi kebaya
Meski tidak lagi menjadi pakaian sehari-hari, eksistensi kebaya tidak pudar. Kebaya terus tumbuh mengikuti perkembangan zaman dan tren. Dalam perkembangannya, kebaya telah menjadi sebuah busana modern lewat modifikasi. Penampilan kebaya pun dapat ”disulap” menjadi lebih kasual.
Banyak anak muda saat ini mulai kembali tertarik mengenakan busana tradisional. Dalam mengenakan busana tradisional mereka kerap berkreasi, memadukannya dengan busana modern. Kebaya pun menjadi salah satu ruang mengekspresikan diri.
Dari akun @remajanusantara_ di Instagram misalnya, kita dapat melihat beberapa foto anak muda yang mengenakan pakaian tradisional, seperti songket, batik, ulos, dan kebaya, berpadu dengan celana, rok, sepatu kets dan boots. Dengan demikian, kebaya menjadi lebih variatif dan santai.
Sebagai produk kebudayaan, modifikasi dan inovasi padupadan kebaya tidak terelakan. Menurut perancang busana Musa Widyatmodjo, kebaya bisa digunakan dengan beragam gaya. Inovasi desain kebaya juga ia nilai lumrah di zaman ini.
Namun, ia mengingatkan pentingnya berkebaya dengan pakem-pakem yang ada. Pakem tersebut wajib diikuti apabila kebaya digunakan untuk kepentingan adat, misalnya pernikahan atau upacara adat lain. Kebaya yang digunakan harus benar berikut paduan kainnya. Menurut dia, inovasi kebaya tidak boleh memisahkan esensi kebaya dan ketentuan adat.
Menurut Didiet Maulana, kebaya memiliki pakem yang menjadi ciri khas kebaya itu sendiri. Pakem tersebut di antaranya meliputi, sistem bukaan, sistem pengancingan, variasi panjang, variasi potongan, dan padanan. Dari sistem bukaan, kebaya sesuai pakem memiliki bukaan di bagian depan. Jika bukaan terdapat di bagian belakang atau samping, itu sudah termasuk budaya modifikasi. Terkait sistem pengancingan, kebaya menggunakan pengancing burupa kancing, peniti atau bros yang sekaligus berfungsi sebagai aksesoris.
Sedangkan dari panjangnya, kebaya memiliki variasi panjang sejajar dengan panjang lengan (kebaya pendek) dan panjang hingga ke lutut (kebaya panjang). Dari potongannya, kebaya sesuai pakem juga memiliki potongan bagian bawah yang lurus atau lancip.
Adapun padanannya, kebaya kerap dipadankan dengan bawahan kain batik yang panjangnya melebihi lutut dan tidak melebih mata kaki. Motif batik yang digunakan umumnya motif-motif yang diambil dari pakem keraton-keraton di Jawa, seperti motif kawung, parang, dan sawunggaling. Sementara untuk kelengkapan aksesoris, kebaya biasanya dipadankan dengan tas kecil, kalung, gelang, giwang, dan selendang.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Buruh gendong Pujiharjo (80) tampil dalam kegiatan peragaan busana dengan pakaian kebaya di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Rabu (20/4/2022). Kegiatan yang diikuti 41 perempuan buruh gendong tersebut digelar oleh komunitas Perempuan Berkebaya Yogyakarta untuk menyambut Hari Kartini. Acara tersebut juga untuk menghormati para buruh gendong yang sebagian besar masih bekerja keras di pasar itu hingga usia lanjut. Selain itu, kegiatan ini juga untuk mengampanyekan pelestarian kebaya sebagai salah satu pakaian yang menggambarkan jati diri perempuan Indonesia.
Ragam Kebaya
Didiet Maulana dalam buku Kisah Kebaya, membagi kebaya menjadi empat bentuk, yakni kebaya panjang dengan panjang sampai dekat lutut, kebaya pendek yang panjangnya sampai pinggul, kebaya Kartini yang kedua sisi kerahnya bertemu dari dada ke pinggul, dan kutu baru yang kerahnya dijembatani panel persegi panjang dari dada hingga pinggang atas.
Adapun Biranul Anas dalam Seri Buku ke-10: Indonesia Indah ”Busana Tradisional” (1998) membaginya dalam tiga langgam, yakni Jawa, peranakan, dan Eropa. Kebaya Jawa kebanyakan dari katun untuk rakyat biasa dan bahan beludru atau sutra untuk bangsawan. Kebaya peranakan khas dengan sulaman dan bordir di sepanjang tepi kerah hingga bagian bawah kebaya. Sedangkan kebaya Eropa menampilkan material yang lebih mewah dengan lace atau renda (“Kebaya nan Tak Lekang Zaman”, Kompas, 25 April 2021).
Berdasarkan sebarannya di Indonesia, kebaya dikenal tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, hingga Maluku. Di berbagai daerah tersebut, kebaya biasanya dipadukan dengan wastra setempat, misalnya dikenakan dengan kain batik, songket, prada emas, ikat, tenun, atau ulos. Kebaya juga dipadupadankan dengan aneka perhiasan, mahkota, tutup kepala, atau ragam rias setempat.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sejumlah perempuan yang tergabung dalam Komunitas Kridha Dhari menari bersama di halaman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat, saat kampanye ‘Selasa berkebaya’, Selasa (25/6/2019). Tujuan kampanye ‘Selasa berkebaya’ adalah untuk kembali memasyarakatkan kebaya dikalangan kaum perempuan.
Warisan Budaya Bersama
Pada awal tahun 2023, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam sepakat mengusulkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO.
Kebaya yang akan diusulkan ke UNESCO adalah kebaya kerancang dan labuh. Di Indonesia, kebaya itu dikenal pula dengan istilah kebaya encim. Kebaya encim identik dengan warna cerah, detail bordir, dan lipatan di sisi tengah (“Indonesia Sepakat Usulkan Kebaya ke UNESCO Bersama Empat Negara ASEAN”, Kompas, 7 Februari 2023).
Keputusan pemerintah mengusulkan kebaya sebagai warisan tak benda ke UNESCO secara bersama atau joint nomintation dinilai banyak kalangan merupakan langkah tepat. Mengingat secara historis kebaya juga sebenarnya merupakan sebuah kebudayaan bersama atau shared culture yang tidak hanya ada di satu negara saja, melainkan tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Awak Suroboyo Bus dengan menggunakan kebaya bersiap untuk bertugas di Terminal Bungurasih, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (21/4/2020). Para awak Bus perempuan menggunakan kebaya dalam rangka memperingati Hari Kartini. Mereka meneladani semangat perjuangan RA Kartini dalam hal kesetaraan dengan kaum pria, baik dari pendidikan juga pekerjaan.
Faktanya, kebaya berkembang dan diakui menjadi kebudayaan di negara-negara serumpun yang memiliki kesamaan suku bangsa. Kebaya diakui sebagai salah satu pakaian tradisional etnis Melayu dan peranakan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam yang menyebar melalui hubungan dagang beberapa abad silam. Di Indonesia, dan juga di negara-negara serumpun, kebaya juga bukan kebudayaan asli penduduknya, melainkan dipengaruhi ragam kebudayaan bangsa lain, seperti Arab, China, Portugis.
Keputusan mengusulkan kebaya secara bersama atau joint nomintation merupakan upaya mempromosikan keberagaman budaya dan dialog antarkomunitas. Keputusan ini adalah momentum untuk mempererat dan mengakhiri silang pendapat soal sentimen kepemilikan tunggal terhadap kebaya. Lebih dari itu, keputusan ini juga menjadi langkah untuk bersama-sama menjaga kelestarian kebaya sesuai karakteristik masing-masing. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Didiet Maulana. 2021. Kisah Kebaya. Jakarta: Gramedia
- Djoko Soekiman. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVII-Medio Abad XX). Yogyakarta: Bentang.
- Henk Schulte Nordholt (ed). 2013. Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.Yogyakarta: LkiS.
- Nita Trismaya. 2018. “Kebaya Dan Perempuan: Sebuah Narasi Tentang Identitas”. JSRW (Jurnal Senirupa Warna), 6(2), pp.151-159.
- Novi Andika Putri dan Asep Achmad Hidayat. 2021. “Budaya Indis Pada Kebaya Abad Ke-20”. Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah, 5(1), pp.49-64.
- Suciati, Sachri Agus, dan Kahdar, Kahfiati. 2015.”Nilai Feminitas Indonesia Dalam Desain Busana Kebaya Ibu Negara”. Jurnal Ritme 1(1), pp.52-59.
- “Anugerah Kebaya Anne Avantie”, Kompas, 22 April 2007.
- “Kebaya Kekuatan Nusantara”, Kompas, 21 Maret 2021.
- “Sesuai Pakem atau Tidak, Tetaplah Berkebaya Sesuai Konteks”, Kompas, 1 April 2021.
- “Kebaya nan Tak Lekang Zaman”, Kompas, 25 April 2021.
- “Gerakan Berkebaya Ekslusivitas Versus Merjinalitas Perempuan”, Kompas, 29 November 2021.
- “Langkah Awal Menjadikan Kebaya Warisan Budaya UNESCO”, Kompas, 12 Juli 2022.
- “Indonesia Diusulkan Ikut Daftarkan Kebaya Sebagai Warisan Budaya Bersama 4 Negara ASEAN”, Kompas, 29 November
- “Indonesia Sepakat Usulkan Kebaya ke UNESCO Bersama Empat Negara ASEAN”, Kompas, 7 Februari 2023.
- “Bersama Melestarikan Kebaya”, Kompas, 8 Februari 2023.
- “Istana Berkebaya dan Menegaskan Identitas Budaya”, Kompas, 12 Agustus 2023
Artikel terkait