Paparan Topik | Hari Kartini

Kartini dan Feminisme di Indonesia

Hari Kartini diperingati setiap 21 April, mengikuti hari lahir Raden Ajeng Kartini pada 21 April 1879. Perjuangan Kartini merupakan potret feminisme di Indonesia.

IPPHOS

Suasana Peringatan Hari Kartini 21 April 1952 di Palembang.

Fakta Singkat

Hari Kartini

  • Diperingati setiap tanggal 21 April.
  • Telah diperingati masyarakat umum jauh sebelum Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan pada 1964.

Perjuangan Kartini

  • Kesetaraan kedudukan dan kemajuan perempuan pribumi.
  • Hak pendidikan bagi seluruh perempuan pribumi.
  • Kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum bagi perempuan.
  • Cikal bakal feminisme di Indonesia.

Keistimewaan Kartini

  • Mendirikan sekolah perempuan pertama kali.
  • Figur perempuan idealis yang visioner.
  • Perjuangan batin melalui ide dan pemikiran.
  • Tertuang dalam setiap bait surat yang ditulis.

Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Peringatan tersebut membawa semangat perjuangan perempuan dalam mendapatkan pendidikan yang setara.

Melalui surat-suratnya, Kartini berhasil menyuarakan harapan perempuan akan kebebasan yang pada saat itu terkungkung oleh tradisi. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, dilarang sekolah, dipingit, hingga harus siap menikah dengan laki-laki yang tidak mereka kenal. Oleh karena itu, bagi Kartini, pendidikan mutlak diperlukan untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia.

Perhatian Kartini yang ia tuangkan dalam surat-suratnya tidak hanya berkutat pada emansipasi perempuan saja, tapi juga masalah sosial umum lain. Ia melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Tak hanya melalui surat-surat, perjuangan Kartini juga tampak dari pembentukan sekolah bagi anak perempuan. Upaya Kartini memajukan bangsanya, terutama pendidikan bagi anak perempuan, kemudian juga menginspirasi banyak pihak untuk mendirikan sekolah bagi anak perempuan. Pada tahun 1907, didirikan Sekolah Kartini di Batavia (Jakarta), tiga tahun setelah ia meninggal pada 17 September 1904.

Selanjutnya, terbentuk pula Yayasan Kartini di Den Haag, Belanda, yang kemudian mendirikan berbagai sekolah di Malang, Cirebon, Bogor, Surabaya, Semarang, dan Solo seperti di Batavia.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo melakukan inspeksi pasukan dalam apel bersama wanita TNI, Polwan, dan segenap wanita komponen bangsa di Silang Monas, Jakarta, Rabu (25/4/2018). Kegiatan untuk memperingati hari Kartini tersebut disemarakkan dengan pertunjukkan seni budaya dan atraksi keterampilan parjurit.

Dasar Peringatan

Pendidikan merupakan salah satu upaya Kartini untuk mengubah kedudukan perempuan bangsanya. Dalam pengantar buku Habis Gelap Terbitlah Terang terbitan Balai Pustaka, dirangkumkan perjuangan Kartini, “jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah dia mendidik anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya”.

Perempuan kelahiran Jepara ini menjadikan pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai ihwal yang diperjuangkan demi menuntut adanya kesetaraan.

Upaya yang diperjuangkan Kartini telah memengaruhi pergerakan perempuan-perempuan pribumi. Melalui hobi menulis dan membacanya serta mencari informasi atau bertukar pikiran dengan rekan-rekannya di Belanda, ia juga memberikan teladan bagi tokoh-tokoh perempuan di Indonesia.

Surat-surat Kartini diterbitkan pertama kali pada tahun 1911 di Den Haag, Belanda, dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Buku tersebut kemudian menarik minat banyak orang di Belanda dan membangkitkan simpati kepada Kartini. Melalui buku Habis Gelap Terbitlah Terang, suara yang tak terdengar tentang kehidupan seorang puteri di Jawa tiba-tiba menjadi terbuka.

Dalam pengantar atas penerbitan buku tersebut dalam bahasa Inggris, Louis Couperus menggambarkan Kartini sebagai seorang putri “… yang menjalani kehidupan monoton dan seringkali melankolis karena dipingit dalam tembok istana yang disebut Kabupaten”.

Melalui surat-suratnya, Kartini melampaui tembok istana kabupaten yang mengasingkannya dari dunia luar. Suara Kartini yang dipaksa untuk diam oleh tradisi pada zamannya terdengar hingga negeri Belanda.

Berbagai tema seperti kebebasan, pekerjaan, hidup, hingga cinta seorang puteri Jawa terungkap melalui surat-surat Kartini. Ia berhasrat untuk terus belajar hingga ke Belanda untuk kemudian kembali mengajar anak perempuan bangsanya. Meskipun tidak berhasil sekolah lanjut hingga ke Belanda, Kartini berhasil membuka sekolah untuk anak perempuan.

Menurut Louis Couperus, “Raden Ajeng Kartini berhasil membebaskan dirinya dari penindasan tradisi yang sempit. Melalui bahasanya yang sederhana dalam surat-suratnya, ia mengidungkan lagu pujian ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’”.

Penghargaan terhadap cita-cita dan semangat Kartini diberikan oleh Presiden Soekarno dengan Ketetapan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964. Soekarno menetapkan R. A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Penetapan tersebut juga merupakan penegasan pemerintah atas berbagai penghormatan terhadap jasa Kartini yang telah berkembang luas di masyarakat. Berbagai kalangan telah memperingati hari lahir Kartini setiap tanggal 21 April sebagai Hari Kartini jauh sebelum penetapan Kartini sebagai pahlawan.

IPPHOS
 Perayaan Hari kartini di SR Salemba No.33 Jakarta (21 April 1948)

Perjuangan Kartini

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau kerap dikenal R. A. Kartini, merupakan perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa, anak kelima dari 11 bersaudara kandung dan tiri.

Ayahnya merupakan Bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, menikah dengan M. A. Ngasirah yang merupakan keturunan dari seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Berdasarkan silsilah keluarganya ini, Kartini adalah seorang priyayi dan aristokrat serta memiliki “darah pesantren”.

Pada akhir abad ke-19 terjadi perubahan politik di Negeri Belanda yang sangat berpengaruh pada sirkulasi politik Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, hingga mengubahnya ke arah politik etis. Kemunculan politik etis ini membawa pengaruh besar dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

Meskipun demikian, penerapan politik etis tak serta merta mengubah bentuk pendidikan di Indonesia. Alih-alih semakin terbuka, pendidikan masih berjalan apa adanya dalam kelas-kelas tertentu. Situasi politik yang tidak menentu dan kuatnya pengaruh adat, menjadikan perempuan pribumi semakin terbelakang dalam bidang pendidikan.

Pada masa itulah, muncul Raden Ajeng Kartini yang ingin membebaskan kaum perempuan dari keterbelakangan dan memajukan pendidikan kaum perempuan.

Ia mengawalinya dengan memperjuangkan kemajuan dan kedudukan serta mendirikan sekolah untuk perempuan bangsawan. Kartini menilai, perempuan golongan biasa dengan sendirinya akan meniru kemajuan perempuan bangsawan. Para gadis bangsawan ini juga diharapkan mampu memberikan stimulus bagi perempuan lain untuk turut berpikir dan memperbaiki kedudukannya sebagai kaum perempuan.

Cita-cita dan semangat Kartini dituangkan dalam surat-surat yang ditulis dan dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya sejak usia 20 tahun (1899). Dalam suratnya, ia menjelaskan tentang pergaulan lingkungan, keadaan rakyat yang terbelakang, minimnya pendidikan dan pengajaran bagi para gadis pribumi. Bahkan, Kartini juga mengecam para pejabat Belanda atas kelalaiannya terhadap rakyat.

Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, dilarang belajar, dipingit dan harus siap berpoligami dengan laki-laki yang tidak mereka kenal. Bagi Kartini, pendidikan mutlak diperlukan untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Pengajaran terhadap perempuan juga secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa.

Kartini mencetuskan perubahan besar bagi kebangkitan perempuan Indonesia. Ia mewujudkan perlawanannya melalui surat-surat yang ia kirimkan kepada J. H. Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Mandri, serta kepada teman-temannya.

Surat-surat Kartini juga ditujukan kepada para sahabat penanya, yang sebagian besar orang Belanda, seperti kepada Stella M. Zeehandelaar yang merupakan anggota militan pergerakan feminis di Belanda, Nyonya M.C.E. Ovink yang merupakan istri asisten residen yang bertugas di Jepara, serta Dr. N. Adriani seorang ahli bahasa yang gemar surat-menyurat. Tak kurang dari 150 surat Kartini  yang berhasil dikumpulkan.

Perhatian Kartini yang ia tuangkan dalam surat-suratnya tidak hanya berkutat pada emansipasi perempuan saja, tapi juga masalah sosial umum lain. Ia melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

IPPHOS
Upacara peringatan Hari Kartini di Yogyakarta pada tanggal 21 April 1950.

Gelombang feminisme pertama di Indonesia

Era Kartini dapat dimasukkan dalam periodisasi kemunculan gelombang feminisme pertama di Indonesia. Meskipun sebagian besar merupakan konsep dari Barat, feminisme dimanifestasikan oleh seluruh dunia dan diwakili berbagai lembaga yang berkomitmen untuk melakukan aktivitas atas nama hak dan kepentingan perempuan -termasuk di Indonesia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan feminisme sebagai gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Secara longgar, feminisme dapat dipahami sebagai klaim pemberdayaan perempuan untuk berpartisipasi melalui berbagai bentuk pendekatan.

Kata “feminis” merujuk pada seseorang yang mencoba untuk memahami dan membongkar hierarki jender dalam dunia intelektual dan pribadi mereka. Dengan kata lain, feminis adalah seseorang yang menganut feminisme.

Dengan pemahaman tersebut, Kartini dapat sebut sebagai seorang feminis, feminis nasional pertama Indonesia.

Julukan tersebut berasal dari kesamaan waktu atau masa perjuangan Kartini  dengan gelombang pertama munculnya konsep feminisme Barat, yaitu pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Dalam periodisasi feminisme, gerakan feminis gelombang pertama dicirikan dengan perjuangan kesetaraan hukum perempuan, khususnya terkait masalah hak pilih, pendidikan, kondisi kerja yang baik, serta penghapusan standar ganda jender.

Sama seperti Kartini, gelombang pertama feminisme ini menuntut kebebasan akses pendidikan untuk perempuan demi menciptakan generasi perempuan intelektual yang setara dengan laki-laki.

KOMPAS/KARTONO RYADI
Lomba lintas alam “Dharma Wanita” diadakan di sekitar Kompleks Senayan dalam rangka memperingati Hari Kartini, 20/4/1977.

Perayaan Hari Kartini di tengah pandemi

Pandemi Covid-19 turut memunculkan tantangan bagi perempuan. Potensi peningkatan beban perempuan di rumah tangga dan potensi kekerasan terhadap perempuan semakin tinggi.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perempuan menjadi salah satu kelompok yang rentan terdampak pandemi karena memiliki kebutuhan spesifik yang harus mereka penuhi. Kebutuhan tersebut menyangkut tiga kodrat alami perempuan, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui. Selain itu, risiko kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan Indonesia juga tengah menjadi ancaman yang cukup serius.

Seperti dikisahkan dalam perjuangan Kartini, perempuan harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan terhadap penggunaan dana desa dan program padat karya sebagai upaya pengurangan dampak Covid-19.

Oleh sebab itu, pada perayaan Hari Kartini tahun 2020 lalu, pemerintah mengajak warga masyarakat untuk melihat lebih dalam dampak pandemi Covid-19 terhadap perempuan. Pemerintah pusat dan daerah perlu menekankan bahwa penanganan bencana nonalam tetap memegang nilai inklusif, dengan tidak mengandung tindak diskriminatif terhadap perempuan (Kompas, 21/4/2020).

Di sisi lain, selama pandemi pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengubah tantangan tersebut menjadi peluang bagi perempuan, baik dari sisi sosial, kesehatan, maupun ekonomi. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga membagikan masker untuk pedagang dengan mengenakan kebaya dan topeng wajah tokoh pahlawan nasional RA Kartini di Pasar Burung Depok, Manahan, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Selasa (21/4/2020). Selain untuk memperingati Hari Kartini, kegiatan ini juga untuk mengkampanyekan penggunaan masker di kalangan pedagang pasar tradisional.

Referensi

Buku dan Jurnal
Internet
Aturan Pendukung