Tokoh

Raden Ajeng Kartini

Raden Ajeng Kartini atau biasa ditulis RA Kartini adalah pahlawan nasional yang memperjuangan emansipasi perempuan. Surat-suratnya yang dibukukan dengan tajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang” memuat cita-cita dan pemikiran-pemikirannya dalam memperjuangan hak-hak perempuan di Indonesia.

Fakta Singkat

Nama Lengkap
Raden Ajeng Kartini

Lahir
Mayong, Jepara, 21 April 1879

Meninggal
Rembang, 17 September 1904

Gelar
Pahlawan Nasional
Keppres Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau acap disapa Kartini merupakan sosok pahlawan Indonesia yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan. Cita-cita luhur Kartini ingin menghapuskan penderitaan perempuan yang terkungkung dalam tembok tradisi dan adat-istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa. Kala itu, perempuan selalu menjadi potret tragis yang tidak memiliki kebebasan, seperti pelarangan mengenyam pendidikan, adanya pingitan, hingga harus siap dipoligami oleh suami dengan dalih berbakti.

Kartini, melalui surat-surat yang dikirimkan ke sababat penanya  mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam mendobrak tradisi feodal-patriarkal yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Ia ingin perempuan memiliki masa depan yang lebih maju, bebas, cemerlang, dan merdeka. Ia menganggap pendidikan merupakan jalur mutlak yang diperlukan demi mengangkat derajat perempuan dan martabat bangsa Indonesia. Baginya, pengajaran kepada perempuan secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa.

Atas cita-cita dan perjuangannya melalui pemikiran-pemikiran itu Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 108 Tahun 1964 tentang Penetapan Kartini sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno.

Putri ningrat

Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ia merupakan seorang perempuan berdarah ningrat Jawa. Ayahnya  yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah wedana Mayong, yang kemudian menjadi Bupati Jepara, sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah.  Sang ibu merupakan seorang putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.

Putri kelima dari 11 bersaudara ini memang terlahir dari keturunan keluarga cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV menjadi bupati pada usia 25 tahun. Dia adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya dengan pelajaran khas Barat, langsung dari seorang guru asli Negeri Belanda.

Sifat progresif kakeknya yang memberikan pendidikan Barat pada putra-putranya, diwarisi oleh sang ayah Sosroningrat. Dia menyekolahkan semua anaknya ke Europese Large School, sekolah gubernemen kelas satu yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan Jawa yang tersohor.

Pada 1885 Kartini mulai bersekolah di Europese Large School (ELS). Di sekolah inilah untuk pertama kalinya Kartini mendapatkan bahan bekal perjuangannya. Setamatnya di ELS, Kartini ingin meneruskan pendidikannya ke Semarang, di Hoogere Burgerschool (HBS). Kartini pernah ditawari untuk sekolah ke Belanda oleh gurunya. Namun, sang ayah tidak lagi memberi izin dan Kartini tak kuasa melawan.

Ia bersekolah hanya sampai usia 12 tahun, dan terpaksa harus keluar untuk menjalani masa pingitan. Masa-masa inilah disebut Kartini bagai ‘dalam penjara’. Kartini tidak banyak bergaul selama masa pingitannya. Justru, ia mulai merenung tentang nasib perempuan yang terkungkung adat dan tidak bisa menentukan masa depannya sendiri.

Dalam masa pingitan tersebut Kartini mengasah pemikirannya dengan banyak belajar seorang diri. Sebab bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda, salah satunya Rosa Abendanon.

Memasuki usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri. Lantaran menguasai bahasa Belanda, maka ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda.

Stella Zeehandelaar, kawan pena Kartini, menyarankan kepada Ir. H. H. van Kol (anggota parlemen Belanda yang satu partai dengan Stella) agar mengunjungi putri-putri Bupati Sosroningrat. Ia menjelaskan bagaimana keinginan Kartini dan Roekmini (adiknya) untuk bisa belajar ke Belanda.

Pada 20 April 1902, van Kol yang didampingi wartawan De Locomotief, Stoll, tiba di Jepara dan disambut dengan sangat ramah oleh keluarga Bupati Jepara. Di sinilah kesempatan van Kol untuk berbincang dengan Kartini, sekaligus membicarakan beasiswa itu. Kartini diminta untuk segera membuat surat permohonan.Berkat peran Van Kol memperjuangkan beasiswa Kartini dalam sidang Tweede Kamer pada 26 November 1902, Menteri Seberang Lautan A. W. F. Idenburg menyetujui untuk memproses beasiswa tersebut.

Kendati jalan sudah terbuka, tapi ia batal ke Belanda karena alasan politis. Alasan itulah yang menjadikan Kartini kembali memilih berkorban demi ketenteraman keluarga dan mengorbankan pamrih pribadi. Lantas, ketika beasiswa dari Belanda akhirnya benar-benar datang, Kartini menyarankan supaya Agus Salim yang berangkat.

Memasuki usia 24 tahun, Kartini menyadari bahwa usahanya untuk bersekolah lagi tak akan pernah terlaksana. Saat ia menunggu keputusan beasiswa dari Batavia, tiba-tiba Bupati Sosroningrat menerima utusan Bupati Djojoadhiningrat dari Rembang yang membawa surat lamaran untuk Kartini.

Kartini tak mampu menolaknya. Ia lantas menyetujui saran ayahnya untuk menikah, dengan berbagai alasan, antara lain, di Rembang ia bisa meneruskan cita-citanya membuka sekolah didampingi seorang suami yang berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan. Ia pun resmi menjadi seorang istri dari duda yang telah memiliki tujuh anak dan dua orang selir.

Raden Ajeng Kartini

Karier

Perjuangan Kartini dimulai sejak ia berada dalam masa pingitan saat ia berusia 12 tahun. Selama masa pingitan ini Kartini mulai rajin membaca buku dan mengasah pikirannya. Memasuki usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda.

Dari buku-buku, koran, dan majalah, Kartini kian tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Adapun beberapa buku yang dibacanya adalah Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht karya Louis Coperus, karya Van Eeden, Augusta de Witt, Goekoop de-Jong Van Beek, dan sebuah roman anti-perang Die Waffen Nieder karangan Berta Von Suttner.

Peradaban pemikiran milik Eropa itulah yang menimbulkan keinginan tulus Kartini untuk memajukan perempuan pribumi, di saat kondisi sosial perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini juga banyak membaca surat kabar De Locomotief asuhan Pieter Brooshooft. Ia beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat dalam majalah tersebut. Kartini pun hadir sebagai contoh terbaik hasil pendidikan Belanda kepada kaum inlander. Mulai saat itu, nama Kartini sontak dikenal, apalagi setelah tulisan-tulisan lainnya dimuat dalam berbagai majalah. Tema tulisannya berkisar soal kepentingan pendidikan bagi kaum bu-miputra, terutama kaum wanita bumiputra.

Melalui majalah De Hollandsche Lelie, ia lantas memperoleh sahabat pena pertamanya, yaitu Stella Zeehandelaar. Diikuti oleh sejumlah teman pena lain yakni Abendanon, H. H. van Kol dan istrinya, Nyonya M.C. E. Ovink, dan  Dr. Nicolaus Adriani.  Kartini mulai memasuki babak baru dalam kehidupan perjuangannya.

Kartini melukiskan dan menguraikan cita-cita, ulasan, dan kecamannya kepada Belanda melalui lukisan penanya. Ia selalu berusaha mengenal bagaimana kehidupan rakyat sekitarnya. Ia pun menemukan bahwa pendidikan adalah kemutlakan yang perlu dibangun untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Sebab itu, perlu didirikan sekolah untuk perempuan bumiputera.

Menurut Sulastin Sutrisno guru besar luar biasa pada Fakultas Sastra UGM Yogyakarta seperti dikutif dari Majalah Intisari, 1991, Kartini tak jarang juga menulis tentang kesenian yang ada di Jepara, misalnya seni ukir, seni batik dan lainnya. Padahal kegiatan menulis di saat itu bagi wanita, masih dianggap tak patut — apalagi dilakukan seorang gadis. Namun demikian, dokumen karangan Kartini di beberapa media massa itu sampai sekarang belum ditemukan. Dalam sejumlah tulisannya, Kartini memakai nama samaran Tiga Soedara.

Selain itu, perjalanan hidup Kartini tak bisa lepas dari seni. Baginya, pikiran adalah puisi dan pelaksanaannya adalah seni. Dengan kebesaran daya ciptanya, ia dapat merasakan nafas seni dalam jiwa-jiwa puisi tersebut. Alih-alih seni merupakan salah satu alat terpenting dalam perjuangan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan, persis seperti Kartini.

Kartini merupakan seorang seniwati dalam banyak bidang, jauh sebelum ia mengkhususkan dirinya sebagai seniwati sastra. Adapun beberapa bidang seni yang dikuasai Kartini ialah membatik, melukis, mengukir, peminat musik, dan pengarang.

Perjuangan Kartini berakhir setelah ia menikah. Pada 13 September 1904 ia melahirkan anak yang dinamai Soesalit. Kartini yang memang sudah mulai sakit-sakitan pun akhirnya meninggal empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, yaitu pada 17 September 1904.  Kartini meninggal pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Kiprahnya memperjuangan emansipasi wanita akhirnya diakui negara setelah lebih dari setengah abad dari wafatnya. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

.

Daftar Penghargaan

  • Gelar Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1964

surat-surat Kartini

Satu hal yang membuat Kartini istimewa dan bernilai lebih adalah surat-surat berbahasa Belanda yang ia tulis kepada sahabat penanya yang sebagian besar orang Belanda. Sahabat pena pertamanya adalah Stella Zeehandelaar yang dikenal melalui majalah De Hollandsche Lelie. Lalu pasangan suami istri Abendanon yang di kemudian hari membukukan surat-surat yang dikirim Kartini. Kemudian Ir. H. H. van Kol dan istrinya, Nyonya M.C.E. Ovink, serta Dr. N. Adriani. Sahabat penanya itu merupakan orang-orang yang berpengaruh besar pada pemikiran dan cita-cita Kartini.

Dari surat-suratnya  Kartini membaca apa saja dengan teliti, sambil membuat catatan-catatan. Perhatiannya tak hanya semata soal emansipasi perempuan, tetapi juga masalah sosial umum. Ia melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Sampai di akhir usianya, tercatat ada 246 surat tinggalan Kartini yang tersimpan di luar negeri. Dari surat sejumlah itu, kemudian dianalisis 155 surat yang kemudian dicetak dan dipublikasikan sebagai buku Door Duisternis tot Licht. Buku tersebut merupakan surat-surat Kartini yang dikumpulkan dan dibukukan oleh pasangan suami istri Jacques Abendanon.

Rosa Abendanon tampaknya telah memberi pengaruh besar terhadap pemikiran Kartini. Hal itu tercermin dari kalimat-kalimat di suratnya. Kepada Nyoya Abendanon-lah Kartini menumpahkan segala pemikiran, cita-cita, dan isi hatinya melalui ratusan lembar surat yang ditulis dengan tangannya sendiri.

Dalam surat- surat Kartini. Nyonya Abendanon selalu disebut “Ibu” dan merupakan tempat Kartini mencurahan isi hati pribadinya. Bahkan sampai kini, surat terakhir Kartini diketahui dikirim ke Nyonya Abendanon, tertanggal 7 September 1907, (Rembang) hanya 6 hari sebelum kelahiran putra tunggal Kartini atau 10 hari menjelang Kartini tutup usia.

Selain itu, sahabat pena pertamanya adalah Stella M. Zeehandelaar, wanita Belanda (putri seorang dokter) yang usianya lima tahun lebih tua dari Kartini turut mempengaruhi pemikiran dan cita-cita Kartini. Stella yang dianggap Kartini wanita “modern”, berkenalan pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollanse Lelie. Lalu Stella yang terpisah jarak begitu jauh dengan Kartini, rupanya berperan besar dalam pemikiran penulisan gadis Jepara ini. Dalam salah satu suratnya, Stella memberikan komentar tak mengerti pertimbangan Kartini yang menerima lamaran Bupati Rembang sebagai suami.

Kemudian seorang insinyur pengairan yang pernah bertugas di Jawa yakni Ir Henri Hubert van Kol.  Henri sering berhubungan dengan orang Jawa dan melihat ketimpangan dan kemiskinan salah satu bangsa jajahan negaranya, dan dituangkannya dalam tulisan. Kartini kenal dengan Henri van Kol dan istrinya, Nellie van Kol-Porrey melalui majalah langganan Kartini, De Hollanse Lelie. Pengaruh pasangan Belanda ini cukup besar dalam pemikiran Kartini, khususnya dalam soal kemiskinan dan masyarakat Jawa di sekitar kehidupan Kartini.

Sosok lainnya adalah asisten residen Ovink di Jepara. Keluarga Ovink berkenalan dengan keluarga Bupati Jepara, lalu Nyonya Maria Ovink yang menjadi guru privat anak-anak Bupati Jepara ini akrab sekali dengan Kartini. Kartini belajar banyak dari Nyonya Ovink-Soer yang dikenal berasal dari keluarga seniman, juga penulis roman dan buku anak-anak.  Sosok terakhir adalah Dr Nicolaus Adriani, pakar etnologi dan linguistik Toraja sebagai salah satu “langganan” korespondensi Kartini.

Surat-surat Kartini terhadap sosok-sosok tersebut lantas dikumpulkan dan diterbitkan oleh J. H. Abendanon dalam bahasa Belanda. Cetakan pertama diterbitkan oleh s-Gravenhage, Van Dorp (1911) dengan judul Door Duisternis Tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” atau “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku kumpulan surat Kartini ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Abendanon kemudian juga menulis artikel tentang Kartini Les Idees d’une Jeune Javanaise (Pikiran-pikiran Perempuan Muda Jawa) pada tahun 1913 dalam majalah Perancis L’Asie Francaise. Terjemahan surat-surat Kartini terbit dalam Bahasa Perancis tahun 1960. Adapun Edisi Inggris pertama terbit di New York tahun 1920 berjudul Letters of a Javanese Princess terjemahan Agnes L Symmers, dengan kata pengantar oleh sastrawan Belanda, Louis Couperus, yang mengalami beberapa kali cetak ulang.

Sementara Edisi berbahasa Melayu, terbit tahun 1922 dalam seri Volkslectuur (Bacaan Rakyat) di Jakarta. Edisi tersebut memuat pilihan tertentu dari surat-surat Kartini yang ada dalam edisi Belanda di bawah judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Terjemahan dilakukan oleh empat orang Indonesia dengan kata pengantar oleh Abendanon sendiri.

Tahun 1938, kemudian keluarlah buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang terbitan  Balai Pustaka hasil karya Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Buku itu kemudian, dicetak berkali-kali hingga terbitan terakhir Tahun 2008. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Sunda, serta bahasa asing lainnya.

Terbitnya surat-surat Kartini sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikirannya mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran Kartini pun menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, salah satunya W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”. Lagu tersebut menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka.

KOMPAS/JULIUS POURWANTO

Ibu Tien Soeharto berziarah di makam RA Kartini di Rembang Jawa Tengah dalam rangka peringatan Hari Kartini (21/4/1979)

Perintis emansipasi

Pramoedya Ananta Toer menggambarkan Kartini sebagai pemikir modern Indonesia pertama yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin. Sah saja, pasalnya Kartini memang bercita-cita mengubah kondisi kehidupan yang menurutnya tidak adil dan justru menindas di balik istilah adat-istiadat dan feodalisme politik Jawa.

Jasa kepahlawanan Kartini antara lain melawan perkawinan di bawah umur (pada akhir 1800-an, sudah marak perempuan usia anak -13 sampai 14 tahun- dinikahkan secara paksa), memperjuangkan pendidikan kepada masyarakat Jawa, menyuarakan gagasan untuk kemajuan masyarakat Jawa kepada teman-teman korespondennya di negara-negara Barat.

Perlakuan yang tidak sama antara dirinya dan saudara laki-lakinya, serta apa yang ia ketahui perihal keadaan masyarakat sekitarnya mendorong Kartini untuk bangkit menuntut emansipasi perempuan. Kemudian, ia menemukan bahwa pendidikan perempuan lah yang harus menjadi landasan atau sendi yang kuat untuk meningkatkan martabat bangsa dan khususnya perempuan itu sendiri.

Emansipasi merupakan corak dari kehidupan kaum perempuan, yaitu menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kartini pun telah mengenal istilah emansipasi dari buku-buku Barat bacaannya semenjak ia terkurung dalam pingitan.

Menteri Sosial RI di masa Orde Baru yakni Prof Dr Haryati Soebadio mengutarakan saat Kartini menerima “nasibnya” menjadi menjadi istri bupati (yang sudah beranak enam), bukan berarti dia menyetujui poligami. “Kartini bersedia menjadi istri bupati karena dia yakin bisa berbuat banyak terhadap cita-citanya. Pengertian emansipasi tak harus diartikan wanita itu memiliki kebebasan dalam segala hal yang sama dengan lelaki. Yang diperjuangkan Kartini adalah kesempatan wanita mengenyam pendidikan setinggi-tingginya,” kata menteri sosial tersebut.

Sulastin Sutrisno yang banyak mendalami Kartini melalui surat- suratnya dan menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, menganggap dalam jiwa perempuan Jawa ini, sebenarnya mengendap jiwa luhur dan cita-cita murni. Walaupun Kartini hanya 5 hari saja mengenyam kebahagiaan Ibu yang sejati, mereguk kebahagiaan 5 hari saja mendekap putra tunggalnya, kemudian wafat sebelum melaksanakan buah pikiran dan menjadi saksi keterwujudan pikiran-pikirannya, namun surat-suratnya sebetulnya sudah mewariskan suatu kehidupan jiwa yang kaya, serta nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Kartini meninggal dunia dengan bahagia seperti yang sebelumnya ditulis kepada Nyonya Abendanon: “Walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Jalan sudah terbuka dan saya telah turut merintis jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputra.” (Kompas, 21 April 1991)

 

KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDI

Sejumlah wisatawan mengunjungi Museum Kartini di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, menjelang peringatan Hari Kartini, Senin (15/4/2013). Museum ini dulunya menjadi tempat tinggal RA Kartini bersama suaminya, Bupati Rembang Djojo Adiningrat.

Referensi

Arsip Kompas

Buku Besar Dari Surat-Suratan, KOMPAS, 21 Apr 1991   Halaman: 001

Raden Ajeng Jadi Ibu Kita, KOMPAS, 21 Apr 1991   Halaman: 001

Tak Lekang Dimakan Zaman: Surat-surat Kartini * Edisi Khusus, KOMPAS, 01 Jan 2000   Halaman: 050

Apa Hebatnya Kartini? *Swara, KOMPAS, 14 Sep 2004   Halaman: 04

Mengenang Satu Abad Wafatnya RA Kartini: Ode bagi Sang Fajar *Swara, KOMPAS, 14 Sep 2004   Halaman: 043

Buku
  • Rosyadi, I. (2020). A. Kartini: Biografi Singkat 1879-1904. Garasi. ISBN: 978-623-7219-58-3
  • Toer, P. A. (2018). Panggil Aku Kartini Saja (Cetakan 12 ed.). Lentera Dipantara. ISBN: 978-979-3820-05-7
  • Pane, A. (2008). Habis Gelap Terbitlah Terang. Balai Pustaka. ISBN : 978-979-4070-63-5
Situs Web

Biodata

Nama

Raden Ajeng Kartini

Lahir

Mayong, Jepara, 21 April 1879

Jabatan

Pahlawan Nasional

Pendidikan

Europese Large School (1885-1891)

Kiprah

  • 1879: Kelahiran Kartini
  • 1879-1884: Masa balita, dijuluki sebagai ‘Si Jaran Kore’ karena sangat gesit
  • 1885-1891: Masa kanak-kanak dan usia sekolah
  • 1891-1895: Masa pingitan
  • 1895-1898: Selesainya masa pingitan dan mulai menulis
  • 1899: Mulai berkorespondensi dengan Estella Zeehandelar danbanyak dikenal perempuan Belanda berkat tulisannya di Jurnal De Hollandshce Leile
  • 1900: Gagasan Kartini di bidang pendidikan mulai terlihat nyata
  • 1901: Gagasan mendirikan sekolah banyak ditentang dan mendapat pendidikan guru di rumah bersama kedua adiknya
  • 1902: Keberhasilan van Kol untuk memperjuangkan beasiswanya ke Belanda
  • 1903: Batal pergi ke Belanda karena hasutan Abendanon; tersebarnya Nota Kartini yang berisi tuntutan kesetaraan pendidikan untuk seluruh anak bangsa; mendirikan “Sekolah Gadis Jawa Pertama di Hindia Belanda”; menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat (8 November); beasiswa Kartini diserahkan kepada Agus Salim
  • 1904: Meninggal dunia empat hari setelah melahirkan putra pertamanya
  • 1964: Dianugerahi gelar Pahlawan Nasional

Penghargaan

Gelar Pahlawan Nasional (2 Mei 1964)

Keluarga

Suami

K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat

Anak

Soesalit Djojoadhiningrat

Sumber
Litbang Kompas