R.A. Kartini adalah sosok perempuan muda Indonesia yang memperjuangkan martabat perempuan untuk mendapatkan persamaan hak yang kala itu terkekang oleh adat. Kesempatan pendidikan yang pernah didapatkan menjadikan beliau mahir menulis dan berbahasa Belanda, banyak membaca dan berkorespondensi dengan sahabat-sahabat pena dari Belanda, sehingga wawasannya berkembang dibandingkan perempuan lain pada umumnya di masa itu. Pemikirannya berhasil merubah pola pikir pribumi terhadap status sosial dan hak-hak wanita serta mengubah perspektif Belanda terhadap wanita pribumi.
Beliau lahir pada 21 April 1879 di Jepara, dari pasangan R.M. Adipati Ario Sosroningrat daan M.A. Ngasirah. Sebagai putri Bupati Jepara, Kartini kecil sempat bersekolah di Europese Lagere School (ELS), namun harus berhenti pada usia 12 tahun karena beliau disiapkan oleh ayahnya untuk dipingit. R.A. Kartini dipingit oleh Bupati Rembang, R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada usia 15 tahun.
Meskipun R.A. Kartini berhenti sekolah dan harus tinggal di rumah, semangat belajarnya tak pernah berhenti. Kartini menghabiskan sebagian besar waktunya dengan banyak membaca, terutama majalah De Locomotief dan De Hollandsche Lelie. Beberapa buku yang juga sempat beliau baca antara lain Hilda van Suylenburg karya Goekoop de-Jong Van Beek en Donk (1866-1944), Berthold Meryan karya Cornelie Huygens (1848-1902), De Vrouw en Sosialisme karya Ferdinand August Bebel (1840-1913), serta buku Max Havelaar dan Minnebrieven karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker). Bacaan-bacaan tersebut menginspirasi pemikiran Kartini, termasuk pola pikir wanita Eropa yang berbeda jauh dengan kekangan adat yang dijalaninya.
Selain membaca, Kartini juga aktif melakukan korespondensi dengan sahabat penanya dari Belanda, di antaranya Estelle Zeehandelaar (Stella), J. H Abendanon dan Rosa Manuela Abendanon (istrinya), Marie Ovink-Soer, Henri Robertus Van Kol dan Hilda Gerarda De Booy-Boissevain (istrinya).
Pemikirannya tentang emansipasi wanita di tanah air sangat tinggi. Kartini ingin memajukan perempuan pribumi yang masih terikat dengan budaya dan adat yang merenggut kebebasan untuk menentukan jalan hidup. Saat itu, status sosial wanita dipandang sebelah mata, umumnya harus menjalani pernikahan di usia belia, sulit untuk dapat mengenyam pendidikan, dan hanya diperbolehkan untuk tinggal di rumah mengurus anak. Beliau ingin menunjukkan jika perempuan bisa berperan lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang pendidikan.
Pemikiran-pemikiran itu, beliau tuangkan dalam tulisan yang sempat dimuat beberapa kali di majalah De Hollandsche Lelie, dan juga pada surat yang dikirimkan ke sahabat-sahabat penanya. Meski beliau menikah 12 November 1903 dalam usia 24 tahun dengan R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, semangat dan cita-citanya tidak pudar. Bahkan suaminya mendukung keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah wanita.
Perjuangan R.A. Kartini harus terhenti di usia 25 tahun. Beliau wafat pada 17 September 1904, setelah melahirkan putra semata wayangnya, Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904.
Setelah wafat, tulisan dan surat-surat beliau yang berisi pemikiran-pemikiran tentang emansipasi wanita, dibukukan oleh salah satu sahabat penanya, J. H Abendanon dengan judul “Door Duisternis tot Licht ” (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku ini berhasil mengubah pola pikir pribumi terhadap status sosial dan hak-hak wanita, dan juga mengubah perspektif Belanda terhadap wanita pribumi. Atas jasa dan perjuangan beliau, Presiden Soekarno, melalui Surat Nomor 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan tanggal lahir beliau, 21 April, diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Kartini.
Sumber
Laman nasional.kompas.com
Laman gramedia.com
Kontributor
Muhammad Taufik Al Asy’ari
Satria Dhaniswara Rahsa Wijaya