Paparan Topik | Kemerdekaan RI

Peringatan Kemerdekaan RI: Menatap Tantangan Masa Depan Bangsa

Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus menjadi momentum untuk merefleksikan kembali makna kemerdekaan dan tantangan yang dihadapi bangsa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga merayakan HUT RI-77 dengan mengadakan upacara di tengah pasang air laut di Dusun Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (17/8/2022). Perayaan kemerdekaan kali ini untuk memberikan pesan kepada pemerintah tentang pentingnya pemulihan lingkungan di kawasan tersebut.

Fakta Singkat

  • Peringatan Proklamasi Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia mengusung tema besar “Nusantara Baru, Indonesia Maju.”
  • Tahun 2024 bertepatan dengan pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dan pergantian kepemimpinan di Indonesia.
  • Di masa lalu, kemerdekaan terutama dimaknai sebagai pembebasan dari belenggu penjajahan fisik.
  • Di masa kini, kemerdekaan dimaknai lebih luas, antara lain mencakup hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, akses terhadap kesehatan yang memadai, peluang ekonomi yang setara, kebebasan dari diskriminasi, hingga kebebasan dari langkah kriminalisasi dan represi penguasa.

Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan tonggak bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari tersebut, 79 tahun silam, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta dengan penuh keberanian mengucapkan, “Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Pembacaan teks proklamasi ini menandai lahirnya sebuah negara berdaulat yang bernama Indonesia.

Kini, setiap tanggal 17 Agustus, euforia peringatan kemerdekaan menyala di seluruh penjuru tanah air. Berbagai perlombaan khas yang menarik, disertai dengan nuansa sukacita, digelar sebagai bagian dari perayaan kemerdekaan.

Kegembiraan ini tidak hanya mencerminkan kebanggaan terhadap tanah air, tetapi juga sebagai ungkapan syukur kepada para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Namun, peringatan proklamasi kemerdekaan tidak boleh berhenti pada hal-hal yang sifatnya seremonial.

Pada 2024 ini menjadi penanda usia kemerdekaan Indonesia yang telah mencapai 79 tahun. Hal ini menjadi momentum merefleksikan kembali bagaimana kemerdekaan itu dipahami dan diterjemahkan dalam konteks masa kini.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Tim penyelam Seaworld Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara mengibarkan bendera merah putih setelah berlangsung upacara memperingati Dirgahayu Kemerdekaan RI di dalam aquarium, Senin (17/8/2020). Upacara ini digelar untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan RI.

Definisi Merdeka

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka memiliki tiga dimensi makna, yaitu (1) bebas (dari perhambatan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; (3) tidak terikat, tidak oleh tergantung dari orang atau pihak tertentu. Definisi ini menekankan kebebasan sebagai elemen utama, yang pada dasarnya mencerminkan kemandirian dan keterlepasannya dari berbagai bentuk ketergantungan atau pengekangan.

Di masa lalu, kemerdekaan terutama dimaknai sebagai pembebasan dari belenggu penjajahan fisik. Kata “merdeka” dan “terjajah” memiliki makna yang saling bertolak belakang: merdeka berarti bebas dari penjajahan.

Kemerdekaan adalah upaya untuk menghapuskan belenggu penjajahan yang diterapkan oleh kekuatan asing. Hal itu ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa pada masa lalu, kemerdekaan berarti pembebasan dari segala bentuk penjajahan, baik fisik maupun politik.

Namun, seiring dengan perubahan zaman, arti kemerdekaan juga berkembang. Tidak lagi sekedar lepas dari belenggu penajajahan bangsa asing. Hal ini pun sebenarnya sudah disadari oleh para pendiri bangsa sejak awal. Soekarno, dalam pidato-pidatonya, sering kali mengaitkan kemerdekaan dengan cita-cita sosial keadilan dan kesejahteraan rakyat. Begitu pula, Hatta menekankan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai salah satu pilar kemerdekaan yang sesungguhnya.

Saat ini, makna merdeka tersebut menjadi kian terbuka. Mencakup juga hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, akses terhadap kesehatan yang memadai, peluang ekonomi yang setara, kebebasan dari diskriminasi, hingga kebebasan dari langkah kriminalisasi dan represi penguasa. Dengan pemahaman ini, kemerdekaan berarti juga menciptakan ruang bagi kebebasan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Perempuan mengenakan kebaya berjalan di landas peraga dalam acara Istana Berkebaya di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (6/8/2023). Acara dalam rangka rangkaian HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia ini diikuti 401 penampil. Presiden Joko Widodo bersama Ibu Iriana Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin bersama Ibu Wury Estu Handayani Ma’ruf Amin hadir dalam acara ini. Dalam sambutannya Joko Widodo menyampaikan bahwa kebaya melambangkan karakter masyarakat Indonesia yang anggun, lemah lembut, sopan, dan bersahaja.

Tantangan Masa Kini

Di tengah hiruk-pikuk perkembangan global dan dinamika politik, kemerdekaan yang dulu dipertaruhkan dengan darah dan air mata kini harus dihadapi dengan kesadaran baru akan tantangan yang lebih kompleks. Perjuangan mencapai kemerdekaan dari penjajah telah selesai, namun tantangan untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang hakiki belumlah selesai.

Beberapa tantangan utama yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini meliputi ketidakmerataan ekonomi, akses pendidikan berkualitas, kesetaraan hak berkeyakinan, pelanggaran HAM dan tindakan represif, serta penggusuran dan perampasan tanah.

  • Kesenjangan Ekonomi

Salah satu tantangan utama adalah ketidakmerataan, kesenjangan, dan ketimpangan ekonomi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2024 terdapat 25,22 juta orang atau 9,03 persen dari penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka adalah orang-orang yang pengeluarannya dalam sebulan ada di bawah standar garis kemiskinan, yaitu Rp 550.458 per kapita per bulan. 

Persentase penduduk miskin ini mengalami penurunan dibandingkan dengan periode Maret 2023. Penurunan tahun 2024 sekaligus merupakan penurunan ketiga kalinya sejak pandemi Covid-19. Pada saat pandemi, angka kemiskinan sempat melonjak hingga di atas 10 persen (double digit).

Meski persentase ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, penurunan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan peningkatan kesejahteraan yang merata. Penelitian oleh SMERU Research Institute menyebutkan bahwa standar garis kemiskinan yang digunakan saat ini untuk mengukur angka kemiskinan terlalu rendah dan tidak relevan lagi dengan status ekonomi Indonesia yang sudah naik kelas dari negara berpendapatan rendah.

Pada 2023, Indonesia telah termasuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country) dengan produk nasional bruto (PNB) per kapita sebesar 4.580 dollar AS. Berdasarkan standar negara menengah atas itu, seseorang semestinya baru dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari 6,85 dollar AS PPP (purchasing power parity/paritas daya beli) atau sekitar Rp 1,2 juta per bulan. Jauh dari standar garis kemiskinan RI saat ini (Rp 550.458 per bulan) yang justru lebih dekat dengan standar rata-rata negara berpendapatan rendah. Warga yang konsumsinya di atas garis tersebut tidak lagi dianggap miskin meski kenyataannya mereka masih hidup sangat rentan (Kompas, 15 Januari 2024).

Selain itu, kesenjangan antara kaya dan miskin masih tinggi, dengan sebagian besar kekayaan negara terpusat di tangan segelintir orang. Berdasarkan data BPS, rasio gini Indonesia pada Maret 2024 sebesar 0,379. Rasio gini merupakan ukuran yang paling sering digunakan dalam mengukur tingkat ketimpangan. Nilai rasio gini berkisar 0 (nol) hingga 1 (satu), di mana semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kemiskinan di Jakarta – Seorang anak berdiri di depan pintu rumah bedeng yang dibangun kembali di lahan bekas kebakaran di Kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (5/2/2016). Banyaknya pendatang miskin yang mencoba mencari perubahan hidup di Jakarta menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi.

  • Akses Pendidikan Berkualitas

Tantangan lainnya adalah akses terhadap pendidikan berkualitas. Meskipun kebijakan pendidikan telah mengalami berbagai pembaruan, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) pada 2024 baru mencapai 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang 40 persen. Bahkan, lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen) (Kompas, 20 Februari 2024).

APK PT digunakan untuk mengetahui berapa banyak penduduk usia 17-24 tahun yang menempuh pendidikan tinggi. Kendala utamanya faktor ekonomi, yakni biaya kuliah yang tinggi. Sebagian besar dari mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi berasal dari keluarga tidak mampu. Ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural dalam sistem pendidikan kita. Padahal, negara dengan APK PT lebih tinggi punya peluang menjadi negara maju karena kualitas SDM-nya tinggi.

Kualitas pendidikan juga terlihat dari rendahnya skor Programme for International Student Assessment (PISA) di bidang membaca, matematika, dan sains yang di bawah 400. Selain itu, kualitas dan fasilitas pendidikan antardaerah juga masih timpang.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menyoroti perkembangan rata-rata lama sekolah (RLS) di Indonesia. RLS di 2005 mencapai 7,3 tahun dan meningkat menjadi 9,08 tahun pada 2022 (Kompas, 1 Juni 2023).

“Bayangkan dalam 17 tahun (RLS) cuma naik 1,78 tahun. Karena itu, memacu pendidikan menjadi sangat penting,” ujarnya dalam diskusi kelompok terpadu (FGD) “Visi Indonesia Emas 2045: Manusia Cerdas dan Sehat Menuju Indonesia Emas 2045” di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Lebih lanjut, Suharso mengatakan, tingkat pendidikan pekerja Indonesia (per Agustus 2022) didominasi oleh lulusan sekolah dasar (SD). Padahal, pendidikan berkualitas yang merata menjadi salah satu poin penting transformasi sosial.

Pendidikan bukan hanya sebuah hak dasar, tetapi juga merupakan kunci untuk membuka kesempatan dan mengembangkan potensi individu. Kemerdekaan yang sejati mencakup kebebasan untuk mengejar pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk mencapai potensi penuh mereka.

KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA

Siswa-siswa kelas jauh SDN 4 Mulyasejati sedang bermain di halaman sekolah di Dusun Sukamulya, Desa Mulyasejati, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Senin (17/7/2017). Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah di daerah perbukitan dan hutan jati yang belum dialiri listrik dan aspal ini. Meski berada di bangunan sekolah yang sudah tidak layak, murid-murid tetap bersemangat belajar dalam keterbatasannya.

  • Kesetaraan Hak Berkeyakinan

Indonesia dikenal dengan keragaman budaya, suku, dan agama yang melimpah. Namun, kerukunan antar kelompok sering kali diuji oleh ketegangan sosial dan konflik sektarian. Salah satu isu toleransi yang paling sering muncul ialah kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk dalam melaksanakan ibadah.

Aturan mengenai hak kebebasan beragama sudah lama tertuang dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR). Isinya, “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama”. Selain Pancasila, Indonesia telah menerjemahkan nilai ini dalam hak “bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dalam Pasal 28E Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) 2023, disebut skor nasional mencapai 76,02 dengan kategori tinggi. Namun, praktik kehidupan sehari-hari masih menunjukkan tingginya ketegangan.

Laporan Setara Institute mencatat, terdapat 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah selama 2007 hingga 2022. Gangguan tersebut meliputi pembubaran serta penolakan aktivitas ibadah, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan sebagainya.

Masalah ini juga mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memastikan kesetaraan hak beragama. Contoh nyata dari ketidakmampuan pemerintah tersebut ialah adanya aturan pemerintah yang diskriminatif. Dalam hal pembangunan rumah ibadah saja, misalnya, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 menghadirkan segudang persyaratan administratif yang mengatur pendirian rumah ibadah dengan hitungan matematis dan mengabaikan hak-hak asasi manusia (Kompas, 4/6/ 2021).

Beberapa persyaratan ini ialah daftar KTP umat pengguna tempat ibadah, dukungan masyarakat setempat setidaknya 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa, dan rekomendasi dari kantor departemen agama kabupaten/kota serta Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.

Bagi para penganut agama mayoritas, tentu hal ini tidak menjadi persoalan. Namun, bagi agama minoritas, syarat administratif ini bisa jadi terlampau sulit untuk dipenuhi. Misalnya, persyaratan rekomendasi dari FKUB di tingkat daerah. Berdasarkan peraturan menteri yang sama, anggota FKUB dipilih oleh pemerintah daerah dan disesuaikan dengan proporsi penganut agama di daerahnya.

Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi dan reformasi kebijakan serta praktik hukum untuk memastikan bahwa semua warga negara dapat menjalani keyakinan mereka tanpa diskriminasi dan intimidasi.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO 

Ibu-ibu pengajian pulang dari Masjid Al-Azhar yang dibangun dengan dinding yang sama dengan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Nasaret, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (16/12/2019). Gereja dan masjid satu dinding ini menjadi salah satu simbol kerukunan umat beragama di Kalteng.

  • Pelanggaran HAM dan Tindakan Represif

Merujuk laporan Amnesty Internasional Indonesia, Indonesia juga semakin terjerat dalam siklus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sistematis, melibatkan aparat negara dalam praktik-praktik yang melanggar hak-hak dasar warga. Negara kerap menerapkan tindakan-tindakan represif terhadap penolakan warga sipil yang menentang proyek-proyek yang merugikan masyarakat maupun lingkungan.

Salah satu contoh nyata adalah kriminalisasi terhadap suara-suara kritis. Pada 4 April 2024, aktivis lingkungan hidup Daniel Frits Maurits Tangkilisan dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara dan denda Rp 5 juta karena mengkritik budidaya udang di Karimunjawa yang merusak lingkungan. Ia dinyatakan bersalah atas ujaran kebencian menurut Pasal 45A Jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE UU ITE.

Di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, negara gagal melakukan konsultasi yang memadai dengan masyarakat mengenai proyek pembangunan yang mengancam akses Masyarakat Adat ke tanah leluhur mereka. Ketika masyarakat Rempang menolak proyek tersebut, aparat keamanan merespons dengan kekerasan pada 7 September 2023, menggunakan meriam air, gas air mata, dan peluru karet.

Di sisi lain, kekerasan di Tanah Papua terus berlangsung. Operasi militer di Papua terus menyulut konflik. Baku tembak aparat keamanan dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua tetap terjadi. Tindakan represif menghilangkan kebebasan individu untuk mengekspresikan pendapat mereka, berkumpul dengan orang lain, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik.

Melihat masalah ini, perlu untuk adanya reformasi mendalam dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/5/2023). Aksi Kamisan ke-772 ini digelar dengan tema Peringatan 25 Tahun Reformasi : Tegakkan Supremasi Hukum dan HAM. Dalam aksi kali ini mereka meminta Pemerintah, khususnya Presiden, untuk benar-benar melaksanakan amanah agenda reformasi tanpa kepentingan politik praktis. Selain itu, mereka juga menuntut Jaksa Agung membentuk Tim Penyidik Ad Hoc untuk menindaklanjuti sejumlah pelanggaran HAM Berat masa lalu yang telah diselidiki Komnas HAM. 

  • Penggusuran dan Perampasan Tanah

Dalam upaya percepatan pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional, Indonesia sering kali menghadapi masalah serius terkait pembebasan tanah. Demi mencapai target pembangunan yang ambisius, sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, seperti petani, nelayan, dan komunitas adat, yang terdampak secara langsung oleh proses tersebut.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah dan Pembangunan Pertanahan Kementerian ATR/BPN tahun 2021, telah dilakukan pembebasan tanah seluas 23.000 hektar untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) dan 10.000 hektar untuk proyek non-PSN. Walaupun tujuan kebijakan ini adalah mempercepat realisasi proyek-proyek penting untuk kemajuan ekonomi negara, kenyataannya sering kali memicu eskalasi penggusuran dan perampasan tanah, yang mengakibatkan konflik dengan masyarakat yang kehilangan akses terhadap tanah mereka.

Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, selama periode waktu 2020-2023 setidaknya terdapat 115 konflik agraria yang disebabkan oleh kebijakan proyek strategis nasional. Penggusuran yang terjadi sering kali tidak diimbangi dengan kompensasi yang adil atau relokasi yang layak. Hal ini menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat terdampak, yang harus menghadapi kehilangan mata pencaharian serta tempat tinggal mereka.

Kebijakan yang dimaksudkan untuk mendorong kemajuan justru memperburuk ketidakadilan sosial. Pembangunan yang berkelanjutan seharusnya tidak hanya mengukur kemajuan dari segi infrastruktur semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat yang terdampak.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga duduk di tepian rel kereta api yang berada di sekitar perkampungan padat penduduk di Empang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/12/2020). Pemerintah pusat melalui Kementrian PUPR memberikan dana bantuan sebesar Rp 68 miliar, dari jumlah dana total Rp 382 miliar untuk seluruh Indonesia, kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Program ini untuk perbaikan kawasan pemukiman di perkotaan, terutama pemukiman padat. Beberapa masyarakat berharap jika program ini bukan program penggusuran dan benar-benar dilaksanakan untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka di lingkungan padat ini.

Tema Peringatan Hari Kemerdekaan

Rangkaian persoalan yang dipaparkan di atas merupakan refleksi atas tantangan yang harus dipecahkan oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam perjalanan menuju 100 tahun Indonesia merdeka. Dalam konteks ini, kemerdekaan bukan sekadar sebuah peristiwa yang telah terjadi, melainkan sebuah perjalanan yang terus berlangsung, yang menuntut setiap individu untuk selalu beradaptasi dan mengatasi tantangan yang ada.

Peringatan Proklamasi Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia tahun ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa. Tema besar yang diusung adalah “Nusantara Baru, Indonesia Maju.” Tema ini dipilih untuk mencerminkan momen transisi penting yang tengah dijalani bangsa Indonesia.

Salah satu fokus utama peringatan tahun ini adalah pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Ibu kota baru, yang diberi nama Ibukota Nusantara (IKN), bukan sekadar perubahan administratif, tetapi sebagai simbol dari upaya untuk meratakan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat integrasi nasional dan mendukung pemerataan pembangunan yang lebih merata.

Tahun 2024 juga menandai pergantian kepemimpinan di Indonesia. Melalui pemilihan umum pada Februari 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden yang baru, menggantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.

Dengan tema “Nusantara Baru, Indonesia Maju,” peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini membawa harapan baru dan semangat untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan. Bangsa Indonesia menyambut masa depan dengan tekad untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan yang lebih merata, serta siap menghadapi berbagai tantangan yang ada di hadapan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Dekadensi Toleransi Bergama Indonesia di Mata Dunia,” Kompas, 4 Juni 2021.
  • “Momentum Memaknai Kembali dan Merawat Kemerdekaan RI,” Kompaspedia, 18 Agustus 2022.
  • “Memacu Pendidikan Berkualitas Menyongsong Indonesia Emas 2045,” Kompas, 1 Juni 2023.
  • “Peringatan Kemerdekaan Jangan Berhenti pada Seremonial,” Kompas, 17 Agustus 2023.
  • “Rangkaian Bulan Kemerdekaan Digelar di IKN,” Kompas, 9 Januari 2024.
  • “Menanti Pemerintah “Buka-bukaan” Data Kemiskinan yang Sebenarnya,” Kompas, 15 Januari 2024.
  • “Biaya Kuliah yang Makin Tinggi,” Kompas, 31 Januari 2024.
  • “Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi,” Kompas, 20 Februari 2024.
  • “Simbolisasi Transisi di Peringatan HUT Ke-79 RI, Seperti Apa?” Kompas, 25 Juni 2024.
Internet

Artikel terkait