KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kemacetan terjadi selepas Gerbang Tol Cikampek Utama, Purwakarta, Jumat (29/4/2022). Volume kendaraan dari Jakarta yang menuju ke arah timur terus meningkat pada H-3 Lebaran yang diprediksi akan menjadi puncak arus mudik.
Fakta Singkat
- Pada mudik Lebaran 2024, pemerintah memprediksi 193,6 juta penduduk akan melakukan perjalanan mudik.
- Angka ini juga meningkat begitu signifikan dibandingkan potensi pergerakan nasional semasa Lebaran 2023, dengan jumlah pemudik 123,8 juta orang (45,8 persen).
- Secara nasional BI, pada Lebaran 2024 telah menyiapkan uang tunai sebesar Rp197,6 triliun. Jumlah uang layak edar yang disediakan itu naik sebesar 4,65 persen dibanding realisasi tahun 2023 yang tercatat sebesar Rp188,8 triliun.
- Mudik erat kaitannya dengan filosofi hidup masyarakat Jawa kuno, “mangan ora mangan sing penting kumpul”. Filosofi ini mendorong kebersamaan dan pertemuan sebagai sumber cinta relasional.
- Mudik turut menyimpan metafora spiritual, yakni “pulang ke kampung halaman” menjadi simbol kembalinya manusia ke asal-usulnya.
- Dalam falsafah Islam, mudik merupakan momentum “kembali ke fitrah”.
Setelah pandemi mereda, masyarakat Indonesia sangat antusias menyambut mudik lebaran tahun 2024. Sebagaimana telah menjadi tradisi nasional, Hari Raya Lebaran atau Idul Fitri yang disertai dengan libur panjang nasional menjadi waktu untuk mudik kembali ke kampung halaman terutama bagi masyarakat kota.
Lebaran 2024 akan menjadi momen mudik terbesar sejak dibukanya kembali izin mudik bagi masyarakat Indonesia pascapandemi. Diprediksi, masyarakat akan sangat antusias untuk menyambutnya.
Secara total, potensi pergerakan selama Lebaran 2024 akan mencapai 193,6 juta orang. Jumlah ini setara dengan 71,7 persen total penduduk Indonesia, yang artinya, mayoritas masyarakat Indonesia akan ikut serta dalam dinamika mudik Lebaran. Dalam tiga tahun terakhir, ini menjadi kali pertama angka potensi pergerakan melebihi setengah populasi penduduk Indonesia.
Angka pergerakan pemudik tahun ini meningkat begitu signifikan dibandingkan potensi pergerakan nasional semasa Lebaran 2023, dengan jumlah pemudik 123,8 juta orang (45,8 persen).
Peningkatan lebih signifikan juga tampak dari perbandingan masa Lebaran 2022, dengan jumlah pemudik mencapai 85,5 juta orang atau setara dengan 31,6 persen populasi nasional.
Hal ini tidak hanya menunjukkan telah terbebasnya masyarakat dari ketakutan dan keterbatasan akibat pandemi Covid-19. Lebih dari itu, jumlah pemudik yang masif ini menunjukkan bagaimana mudik telah menjadi suatu fenomena yang begitu mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia.
Untuk itu, mudik dapat dibaca secara lebih mendalam dan seksama. Secara mikro, mudik merupakan suatu tradisi organik dalam keluarga besar. Kegiatan ini memiliki sifat personal untuk menjalin, menjaga, dan mempererat hubungan atau silaturahmi dalam sistem keluarga. Namun pada tataran yang lebih makro, mudik telah bertransformasi menjadi suatu sistem kultural kolektif dalam masyarakat Indonesia.
Dengan jumlah pemudik hampir setengah dari populasi suatu negara, mudik tidak lagi semata agenda keluarga, tapi juga agenda negara. Fenomena ini dapat dipahami bahwa aktivitas mudik memiliki akar yang kuat di masyarakat sehingga mampu memberikan dampak yang bertahan lama dan luas. Akar fenomena mudik dapat ditemukan dalam makna filosofis mudik yang luhur dan mendalam.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Kendaraan yang menuju ke Jawa melintas di Gerbang Tol Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (19/4/2023). Astra Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), pengelola Tol Cipali, memprediksi volume kendaraan yang melewati jalur itu berkisar 121.000 unit.
Prediksi dan Kesiapan Mudik Lebaran 2024
Layaknya tahun-tahun lalu, volume pemudik terbesar juga berada di Pulau Jawa, baik itu sebagai daerah asal maupun daerah tujuan. Jawa Timur menjadi daerah asal terbanyak dalam melakukan mudik, dimana 31,3 juta orang (16,17 persen) pemudik berangkat dari provinsi tersebut. Angka ini diikuti oleh daerah Jabodetabek yang mengirimkan 28,43 juta pemudik (14,68 persen).
Sementara sebagai daerah tujuan, Jawa Tengah menjadi magnet terbesar dengan menerima 61,6 juta pemudik (31,81 persen). Di peringkat berikutnya, ada Jawa Timur sebagai tujuan bagi 37,6 juta pemudik (19,44 persen) dan Jawa Barat sebagai tujuan bagi 32,1 juta pemudik (16,59 persen).
Secara total, Pulau Jawa menjadi daerah asal bagi 59,54 persen pemudik dan menjadi daerah tujuan bagi 80,2 persen pemudik. Selain seluruh provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Sumatera Utara menjadi provinsi paling ramai atau populer lainnya. Sebanyak 10,67 juta pemudik (5,51 persen) berasal dari provinsi ini, dan 5,79 juta pemudik (3 persen) menjadikkannya sebagai daerah tujuan.
Pergerakan secara masif pemudik akan meningkatkan kepadatan arus transportasi menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan dalam fenomena mudik Lebaran 2024. Untuk itu, pemerintah secara rutin dan berkelanjutan melakukan upaya-upaya pengendalian dan pencegahan kepadatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menjamin kelancaran proses mudik sebagai salah satu fenomena nasional.
Salah satu upaya tersebut dalam konteks transportasi darat adalah pembangunan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) bagi pemudik dari Jawa Barat yang bergerak ke arah timur via Tol Trans-Jawa. Selama ini, penumpukan kerap terjadi dalam pertemuan pemudik dari Jabodetabek dan Jawa Barat di Gerbang Tol Cikampek.
Hadirnya Tol Cisumdawu diprediksi mengurai hal ini. Kini para pemudik dari Bandung dan sekitarnya tidak perlu lagi memutar lewat Jalan Tol Cipularang dan melalui Gerbang Tol Cikampek. Melalui Tol Cisumdawu, para pemudik dari Jawa Barat mampu memotong jalur masuk ke Jalan Tol Cikopo-Palimanan via Dawuan.
Jalan tol yang telah dibuka secara bertahap sejak Februari 2023 lalu juga dilengkapi dengan panorama yang begitu indah, sehingga mampu memberikan pengalaman mudik yang berbeda dan disebut sebagai jalan tol terindah di Indonesia (Kompas, 12/4/2023, “Tol Cisumdawu, Si Pengurai Arus Mudik Lebaran 2023”).
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Kendaraan keluar dari Gerbang Tol Cimalaka, ruas Jalan Tol Cileunyi – Sumedang – Dawuan (Cisumdawu) di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Sabtu (15/4/2023). Pemerintah berencana mengoperasikan secara fungsional dari Cimalaka ke Dawuan pada 18 April 2023. Saat ini, pengendara yang ingin ke Cirebon harus keluar GT Cimalaka lalu mengakses jalan arteri sebelum masuk ke GT Kertajati yang merupakan ruas Jalan Tol Cikopo-Palimanan.
Selain Tol Cisumdawu, momen mudik Lebaran 2024 juga dihadirkan oleh sejumlah ruas-ruas jalan tol baru. Ruas-ruas tol yang baru dibuka tersebut antara lain Cibitung-Cilincing seksi Taruma Jaya-Cilincing, Ciawi-Sukabumi seksi 2 Cigombong-Cibadak, Cimanggis-Cibitung seksi 2A Jatikarya-Cikeas, Pasuruan Probolinggo, Solo-Yogyakarta, NYIA Kulon Progo, dan Jakarta-Cikampek II Selatan. Secara total, jalan nasional di Pulau Jawa yang siap digunakan untuk mudik kali ini mencapai panjang 4.858 kilometer.
Mengacu pada rilis resmi Persiapan Operasi Posko Angkutan Lebaran Tahun 2024 / 1445 H oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) pada Maret 2024, persiapan angkutan lebaran telah dilakukan secara khusus terhadap delapan lintasan terpantau nasional di sembilan cabang. Sebelumnya, PT ASDP Indonesia Ferry adalah Badan Usaha Milk Negara (BUMN) yang fokus bergerak dalam bisnis jasa penyeberangan air dan pelabuhan.
Kedelapan jalur yang telah dipersiapkan secara khusus oleh ASDP adalah Merak-Bakauheni, Ketapang-Gilimanuk dan Jangkar-Lembar, Padangbai-Lembar, Kayangan-Pototano, Ajibata-Ambarita, Bajoe-Kolaka, Tanjung Api-Api-Tanjung Kalian, dan Panajam-Kariangau. Untuk itu, ASDP juga telah mempersiakan total 51 dermaga dan 215 unit kapal demi melayani perjalanan mudik tahun ini.
Sama dengan Badan Kebijakan Transportasi, Kemenhub, ASDP turut memprediksi peningkatan volume pada mudik tahun ini. Di delapan lintasan terpantau nasional, jumlah penumpang angkutan Lebaran 2024 diperkirakan mencapai 5,78 juta pemudik atau meningkat 15 persen dibanding lebaran tahun lalu.
Selain itu, besaran penumpang ini akan turut serta membawa kendaraan. Jumlah total kendaraan yang akan turut diangkut diperkirakan mencapai 1,38 juta kendaraan, dengan mayoritas varian mobil pribadi. Angka ini meningkat 14 persen dibandingkan Lebaran 2023. Untuk memfasilitasi kebutuhan ini, pemudik akan memerlukan total 23.231 trip angkutan, meningkat 5 persen dibanding periode yang sama tahun 2023.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Sebanyak 1.100 pemudik motor saat mereka tiba menggunakan Kapal Motor Dobonsolo dari Tanjung Priok di Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (16/4/2023).
Nilai Luhur dalam Filosofi Mudik
Pada awalnya, mudik merupakan urusan begitu mikro. Keluarga dari suatu daerah akan kembali ke daerah asal setelah pergi ke perantauan. Masa itu, belum terjadi sentralisasi pertumbuhan dan pendudukan di kota, sehingga daerah desa masih menjadi kawasan tempat tinggal utama.
Jumlah penduduk yang melakukan perantauan pun belum masif. Hal-hal tersebut membuat mudik belum menjadi suatu giat kolektif luas yang bisa mendorong pergerakan hingga setengah populasi suatu negara. Meski begitu, kultur pulang kampung bagi mereka yang merantau telah hidup.
Fenomena demikian mulai berubah setelah urbanisasi masif terjadi. Mengacu pada Kompaspedia (23/5/2022, “Urbanisasi dan Akselerasi Tumbuhnya Kota-Kota”), periode 1970-an menjadi momen dimulainya migrasi ke kota secara masif di Indonesia. Secara paralel, hal tersebut diiringi dengan bergesernya model ekonomi nasional yang mengakomodasi kapitalisme dan pertumbuhan pesat ruang kota. Pada titik ini, kota pun menjadi ruang yang dibangun untuk melayani kepentingan kapitalistik tersebut.
Sebagai dampaknya, masyarakat secara nyata terdampak oleh perubahan model ekonomi, urbanisasi kian masif, dan kota menjadi ruang tujuan baru bagi penduduk desa. Meski terjadi perubahan orientasi kehidupan tersebut, kultur atas mudik tetap bertahan. Kelanggengannya kini bahkan mencakup skala yang kian luas sebagai salah satu dampak dari kian tingginya jumlah masyarakat desa yang pindah ke ruang kota.
Bertahannya kultur mudik dalam arus pusaran zaman yang ditandai dengan perubahan orientasi kehidupan dan mencakup jumlah manusia yang masif. Fenomena ini mengindikasikan akar yang kuat dari latar belakang mudik itu sendiri. Latar belakang inilah yang menjaga aktivitas mudik dan mendorong para perantau untuk tetap kembali ke kampung halaman mereka, untuk bertemu dengan sanak saudara, keluarga, dan orang tua.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan memberangkatkan truk pengangkut sepeda motor dalam Program Mudik Gratis DKI Jakarta 2023 di Terminal Terpadu Pulo Gadung, Jakarta Timur, Minggu (16/4/2023). Sebanyak 281 sepeda motor tersebut diangkut menggunakan 13 truk ke tujuh kota tujuan. Yakni, Kebumen, Yogyakarta, Solo, Semarang, Wonogiri, Jombang dan Malang. Program Mudik Gratis DKI Jakarta 2023 tersebut bertujuan menekan banyaknya pemudik yang menggunakan sepeda motor sehingga masyarakat dapat melaksanakan Idul Fitri 2023 dengan selamat, aman, dan nyaman.
Akar Filosofis dalam Masyarakat Jawa
Apabila ditinjau secara kultural, mudik memiliki latar belakang filosofi yang kuat. Secara lebih spesifik, filosofi tersebut berangkat dari aliran filsafat asli Nusantara. Dalam akar ke-Nusantaraan, ajaran untuk kembali kepada yang asal begitu menonjol. Kerap, istilah atau kesosokan “ibu” digunakan untuk merujuk pada tujuan kepulangan itu sendiri.
Itulah sebabnya peran ibu begitu menonjol dalam legenda di tanah air. Sejumlah contoh legenda, antara lain, Sangkuriang dari Jawa Barat dan Malin Kundang dari Sumatera Barat. Kedua cerita tersebut memiliki latar relasi yang mencolok dengan ibu. Begitu juga digunakannya istilah “Ibu Pertiwi”.
Mengacu pada KBBI, Bahasa Indonesia pun melekatkan “ibu” pada metafora yang mengandung makna “inti atau yang utama”. Terdapat istilah “ibu kota”, “ibu sungai”, dan “ibu pertiwi”. Secara lebih spesifik, metafora terakhir mengimplistikan ikatan manusia dengan tanah kelahirannya.
Selain ajaran filosofis yang muncul dari gramatikal bahasa, masyarakat Indonesia khususnya Jawa juga menganut filosofi “mangan ora mangan sing penting kumpul”.
Secara harafiah, kalimat ini berarti “makan tidak makan, yang penting kumpul”. Filosofi berusia kuno ini merepresentasikan bagaimana masyarakat Jawa tradisional begitu mengedepankan sosialisasi, silaturahmi, berkumpul, dan gotong royong daripada sibuk menghabiskan waktu untuk kepentingan sendiri.
“Mangan ora mangan sing penting kumpul”. Kata “kumpul” memberikan pesan kepada kita bahwa kepentingan bersama perlu menjadi prioritas dan berada di atas kepentingan pribadi. Dengan demikian, manusia dapat memaknai dirinya dengan benar sebagai makhluk sosial yang mengutamakan relasi dengan sesama di atas kepentingan pribadi.
Dengan demikian, filosofi kuno Jawa ini mendapat posisi penting dalam prinsip kekeluargaan masyarakat Jawa. “Mangan ora mangan sing penting kumpul” menjadi keutamaan dan pedoman umum untuk berelasi dan membangun kehidupan bersama.
Masyarakat Jawa pun mendorong diri dan lingkungannya untuk menjalin hubungan yang baik dengan tetangga maupun orang di sekitar mereka. Akibatnya, terjalinlah rasa kekeluargaan yang erat.
Mengacu pada tulisan akademik Tandywijaya dalam “‘Mangan Ora Mangan, Sing Penting Kumpul’ (Makan Tidak Makan Yang Penting Kumpul) Tinjauan Filosofis ‘Aku dan Liyan’ dalam Gagasan Togetherness Para Filsuf Barat”, konsep “kumpul” pada filosofi tersebut menampilkan bagaimana manusia dapat menjadi pribadi yang komunikatif dan aktor komunikasi. Hanya dengan “kumpul”-lah, manusia dapat mewujudkan sifat tersebut dan berkolaborasi satu sama lain.
Selain itu, Tandywijaya juga menilai bahwa terus hidupnya paradigma filsafat ini menunjukkan tantangan terus menerus bagi manusia untuk melepas kesendiriannya dan memasuki kesadaran komunikatif yang ada di dalam diri sesamanya. Dengan menerapkan “mangan ora mangan sing penting kumpul”, manusia tengah memasuki kesadaran komunikatif tempat berelasi.
Filosofi tersebut juga mendorong manusia untuk cinta relasional. Dalam cinta relasional ini, Tandywijaya memaparkan bahwa manusia tidak lagi mengabdi pada diri sendiri, melainkan berelasi pada “yang lain” yaitu dengan keluarga dan tetangga.
Terjadi pertemuan antara diri atau Aku dengan yang lain atau Mereka. Pertemuan ini yang tidak hanya berupa pertemuan fisik, tapi juga emosional dan spiritual melebur antara “Aku” dan “Mereka” menjadi ikatan “Kita”. Dengan demikian, dituliskan Tandywijaya bahwa dalam “mangan ora mangan sing penting kumpul” terdapat cinta relasional yang mesra dan mendalam.
Dalam taraf kebudayaan, filosofi ini lantas dihidupkan secara nyata melalui mudik. Dalam momentum mudik, manusia meninggalkan segala urusan pekerjaan dan kehidupan pribadinya di tanah rantau. Mereka pulang ke keluarga untuk kembali menjalin persatuan dan melebur bersama menjadi kebersamaan.
Melalui filosofi kuno ini, mudik hidup sebagai ruang kesadaran “Kita”, di mana keegoisan dan tendensi pribadi dikesampingkan untuk lebih mengutamakan kebersamaan dan persaudaraan.
Mengacu pada Kompas.id (20/5/2021, “Mengulik Sensasi Mudik”), perspektif filosofis yang begitu menghargai kelekatan dengan asal manusia menjadikan mudik tidak dapat dimaknai semata secara harafiah sebagai gerak pulang kampung. Dalam mudik turut terkandung metafora spiritual.
Pada tataran ini, mudik diterjemahkan sebagai kembalinya asal-usul manusia, dari berada di dunia sampai kehidupannya berakhir, kembali kepada Sang Pencipta. Pemahaman spiritual tersebut kental dalam masyarakat Jawa kuno.
Dalam legenda “jagat pakeliran” hal ini dikenal sebagai sangkan paraning dumadi, sebuah pertanyaan filosofis Jawa kuno mengenai dari mana dan mau ke mana arah manusia. Muatan spiritualitas ini menjadikan nuansa mudik begitu sakral.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (menggunakan topi) dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berbincang dengan pemudik saat pelepasan mudik gratis di Kota Bandung, Jabar, Senin (17/4/2023). Acara mudik gratis ini digelar atas kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Bank Jateng.
Akulturasi dengan Filosofi Islam
Filosofi “mangan ora mangan sing penting kumpul” lahir dalam konteks masyarakat Jawa. Namun, dampak filosofisnya hingga kini telah begitu menyebar, bahkan mencakup taraf nasional di Indonesia. Hal demikian dipacu dengan proses akulturasi antara agama dengan filosofi “mangan ora mangan sing penting kumpul” itu sendiri.
Setelah lahir dalam kebudayaan Jawa kuno, mudik kini berkembang menjadi fenomena yang identik dengan agama Islam. Dewasa ini, kegiatan mudik di Indonesia sendiri terjadi dalam konteks hari raya umat Muslim, tepatnya setelah berpuasa selama bulan Ramadhan dan menuju Hari Raya Besar Idul Fitri.
Dalam perayaan Lebaran, umat Muslim yang telah membersihkan diri melalui ibadat puasa akan kembali ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dengan keluarga sebagai pribadi yang baru, setelah menjalani rangkaiann ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan.
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010–2015 Said Aqil Siroj menjelaskan hal ini secara spesifik dalam bukunya Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Said Aqil berangkat dari konsep kembalinya manusia ke alam surgawi atau alam kebahagiaan. Untuk kembali ke alam tersebut, manusia di dunia harus terlebih dahulu melalui proses pembersihan diri di alam “purgatorio” atau penyucian baik jasmani maupun rohani.
Dalam tataran demikian, umat Islam mengimani bahwa kembali ke fitrah tersebut adalah Ramadhan, bulan yang mendatangkan rahmat, pengampunan, dan pelindung manusia dari alam kesengsaraan.
Setelah pembersihan diri melalui serangkain ibadah puasa Ramadhan, manusia akan kembali fitri, suci, dan bersih, yang dalam konteks kehidupan di dunia dilambangkan dengan Idul Fitri.
Pada dasarnya, alam surgawi ini adalah asal sekaligus tujuan kehidupan manusia di bumi. Artinya, manusia sejatinya merupakan mahkluk yang berasal dari alam yang suci dan penuh kebahagiaan.
Dalam konteks Idul Fitri, alam asal manusia ini dilambangkan oleh kampung halaman dan keluarga tempat manusia berasal. Setelah menyucikan diri dengan berpuasa, manusia ini lantas kembali ke alam asalnya (kampung halaman) melalui mudik.
Said Aqil menyoroti bagaimana lambang-lambang akan manusia yang kembali pada alam asalnya secara nyata hidup dalam giat mudik masyarakat. Misalnya, menjelang Hari Raya Idul Fitri orang-orang akan menyempatkan diri untuk meninggalkan pekerjaan di perantauan dan pulang kampung.
Mereka rela berjejal di kereta atau bus, mengalami macet hingga berjam-jam, hingga menginap di terminal atau stasiun kereta karena tidak kebagian tempat atau karcis.
Batas negara bahkan tidak menghalangi niat mudik. Said Aqil menyoroti bagaimana para pekerja migran, terutama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mencari rezeki di negara-negara tetangga. Meski terpisah oleh batas negara, para TKI ini akan tetap berbondong-bondong pulang menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Usaha-usaha tersebut menjadi bentuk nyata perjuangan manusia untuk kembali ke kampung halamannya, di mana dalam filosofi Islam, dimaknai sebagai “kembali ke asal”, ke kampung halaman, “kembali ke fitrah”. Said Aqil menuliskan, bahwa dalam perjuangan “pulang” tersebut, manusia menghidupi “mudik Lebaran yang sebenarnya”.
Atas landasan tersebut, tidak mengherankan para pemudik sering kali nekat melanggar aturan. Bahkan dalam sejumlah kasus, cenderung membahayakan diri ketika berkendara jarak jauh demi mudik di tanah kelahirannya. Dengan akar filosofis yang kuat, mudik menjadi suatu keniscayaan.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Suasana di dalam kereta api Kertajaya tujuan Stasiun Pasarturi, Surabaya dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (13/4/2023). Jumlah pemudik yang menggunakan kereta api dari Stasiun Pasar Senen pada kurang dua pekan jelang Lebaran 2023 masih jauh dari ramai.
Ketidakpastian Ruang Kota
Dalam konteks filosofi Jawa kuno dan agama Islam, mudik menjadi simbol atas kembalinya manusia pada akar diri dan kelahiran mereka. Kepulangan ini memberikan spirit positif bagi manusia dengan menjalin komunikasi, kedamaian, dan cinta relasional.
Dari faktor filosofis tersebut, mudik secara nyata merupakan bagian dari ritual ibadah bagi para pemudik. Selain karena latar belakang filosofis yang ada, bertahannya mudik hingga dewasa ini juga disebabkan oleh kebutuhan manusia modern akan mudik itu sendiri. Desa atau kampung dengan sifat-sifatnya yang kerap bertentangan dari kota sebagai tempat para perantau, ternyata memberikan semangat kesegaran baru bagi para pemudik.
Mengacu pada tulisan Hikmat Budiman dalam buku Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Ibu Kota, ruang kota berdiri atas dasar kepentingan kapitalisme industrial. Karena itu, kota selalu melek dengan modernitas dan perubahan zaman. Di dalamnya, juga dilengkapi pembagian kerja yang kompleks, modernitas dalam bekerja, dan dominasi fungsi uang.
Pada satu sisi, kota memang menjadi tonggak kemajuan peradaban. Dirinya menjadi keran perekonomian utama bagi negara yang kemudian didistribusikan ke masyarakat pinggiran. Namun pada sisi lain, ruang kota memberikan konsekuensi psikologis dan filosofis yang kontra-produktif bagi penduduknya.
Tulisan Hikmat Budiman memaparkan bagaimana masyarakat kota lantas hidup dalam rasa tidak aman dan dipenuhi ketidakpastian. Penduduk kota dilingkupi oleh usaha terus menerus untuk pengejaran uang. Dalam ruang kerja, tidak hanya mereka harus mengorbankan waktu dan keringat, namun juga kepribadian diri.
Belum lagi masalah-masalah sosial dan spasial yang muncul, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, disparitas sosial, dan kemacetan. Bentuk-bentuk kemapanan tradisional tercerabut dan mendorong era baru volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity atau VUCA). Semua itu terjadi dalam konteks masyarakat yang individualis dan dipenuhi persaingan kepentingan. Akibatnya, masyarakat kota merasakan kekeringan makna dan kelelahan akan pengejaran ambisi tanpa henti.
Situasi-situasi dan padatnya aktivitas masyarakat di kota yang terjadi secara terus menerus, maka desa menjadi wujud antitesis dari masyarakat perkotaan. Desa yang kerap mengalami subordinasi pembangunan, justru menjadi oasis batin yang menyegarkan para penduduk kota. Di desa, masih hidup nilai-nilai luhur tradisional sebagai akar dan asal dari kehidupan manusia.
Dengan pulang kembali ke kampung halaman maupun keluarga, masyarakat kota memperoleh kembali kesegaran batin maupun jasmaniah. Kegersangan dalam giat aktivitas di kota kembali dialiri dengan nilai-nilai luhur tradisional, perasaan solidaritas, dan kebersamaan.
Secara jasmaniah, situasi desa yang masih hijau, segar, dan lekat dengan wujud organik alam juga memberikan kesegaran. Hal-hal demikian, di mana kampung halaman menjadi oase bagi masyarakat urban, menjadikan mudik sebagai suatu kebutuhan kontemporer yang tetap eksis.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pemudik di dalam pesawat Casa NC 212 tujuan Jakarta saat mudik asyik bareng Penerbangan TNI AL di Base Ops Pangkalan Udara TNI Angkatan Laut Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (18/4/2023). Untuk angkutan Lebaran tahun ini disiapkan tiga pesawat Casa NC 212 milik Skuadron 600 dan dua pesawat CN 235 MPA milik Skuadron 800. Ada 2 rute wilayah yang disiapkan di mudik asyik tahun ini. Pertama dengan rute ke wilayah barat yaitu Surabaya, Semarang, Jakarta, Palembang dan Tanjung Pinang. Kedua rute wilayah timur tujuan Mataram, Kupang, Balikpapan dan Manado.
Risiko dan Pergeseran Filosofi Mudik
Meski memiliki mana filosofis yang kuat dan menjadi sumber kesegaran bagi manusia urban, mudik dalam konteks masa kini memiliki risiko laten bagi perkembangan ruang kota itu sendiri.
Selain itu, dengan gerak arus dinamika zaman yang berdampak pada manusia masa kini, maka hal tersebut mendorong kecenderungan-kecenderungan baru dalam pelaksanaan mudik. Risiko dan pergeseran ritual mudik ini dapat terjadi karena pemaknaan yang kurang sesuai terhadap keluhuran filosofi mudik itu sendiri. Menyadari adanya potensi pergeseran makna mudik berguna untuk menjaga nilai luhur mudik agar tak lekang oleh pembangunan dan peradaban.
Primordialisme Masyarakat Kota
Mengacu pada KBBI, primordialisme dipahami sebagai “perasaan kesukaan yang berlebihan”. Utamanya, konsep ini digunakan dalam konteks kesukaan terhadap suatu kelompok masyarakat, norma/nilai, maupun kebiasaan. Hal-hal ini sendiri bersumber dari etnik, ras, atau kultur. Sehingga dapat dipahami bahwa primordialisme adalah sikap kesukaan berlebih terhadap unsur kebudayaan atau identitas tertentu.
Irianto dalam artikel akademik “Mudik dan Keretakan Budaya” menjelaskan bahwa fenomena mudik memiliki potensi memperkuat primordialisme di tengah masyarakat kota. Tradisi pulang kampung menjadi wujud ekspresi masih kuatnya nilai-nilai identitas asal pada para penduduk kota.
Masing-masing penghuni kota masih begitu erat terafiliasi dengan daerah asalnya daripada tempat tinggalnya saat ini. Kawasan perkotaan, bagi para pendatang, tidak lebih dari sekedar rumah sementara untuk berteduh (griya). Sementara rumah tempat hidup dan tinggal (atau disebut sebagai dalem atau sering dilafalkan ndalem), masih dipahami berada di kawasan pedesaan tempat mereka berasal.
Persoalan timbul karena pandangan primordialisme demikian bersifat absolut dan tertutup. Menurut Irianto, tingkat kepedulian terhadap lingkungan rumah untuk hidup (dalem) akan jauh lebih tinggi daripada lingkungan untuk berteduh semata (griya).
Perbedaan intensitas kepedulian ini juga sekaligus menjelaskan tingginya individualisme dan egoisme dalam dinamika di ruang kota. Sebagai dampak konkret, ruang kota yang semata dipahami sebagai “tempat berteduh” pun melahirkan permasalahan kemacetan, kekumuhan, hingga kriminalitas.
Padahal, ruang kota terdiri atas masyarakat yang begitu beragam. Orang-orang dari berbagai daerah datang ke kota untuk masuk dalam suatu struktur sosial dan ekonomi besar demi mencari peruntungan. Agar masyarakat kota dapat berkolaborasi secara sehat dan saling berkembang, diperlukan watak mondial yakni sikap yang terbuka dengan suatu keseluruhan, bukan primordial yang tertutup.
Irianto menegaskan bahwa masalahnya bukan pada mudik itu sendiri yang sejatinya mengandung nilai-nilai luhur bagi masyarakat kota. Sikap bawaan yang terus diusung manusia tanpa peduli dimana ia tengah berpijak menjadi masalahnya. Untuk itu, Irianto menawarkan solusi, yakni perubahan paradigma masyarakat. Tradisi mudik tidak lagi dapat semata dimaknai sebagai kembali ke asal-usul. Menjadikan asal-usul atau masa lalu sebagai tujuan sama saja dengan tidak berkembang.
Sebaliknya, kesempatan mudik justru dapat menjadi momentum membangun kesadaran asal-usul bukan sebagai tujuan, melainkan titik-tolak kemajuan. Untuk mencapai pertumbuhan kota yang sehat, masyarakat di dalamnya tidak dapat terus mengusung sikap primordial. Sebagai alternatif, nilai-nilai luhur dari mudik maupun kampung halaman harus dapat dimaknai bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana menuju kemajuan di perantauan.
Sumber: Bank Indonesia
Ruang Pamer Diri dan Kesuksesan
Artikel Kompas.id (16/4/2023, “Mudik, Perayaan Migrasi Temporer Duta-Duta Kota”) menjabarkan bagaimana dinamika aktual mudik dihidupi oleh masyarakat kontemporer. Rata-rata perantau menggunakan mudik sebagai ruang penunjukkan kesuksesan agar tidak malu dengan keluarga besar. Mereka bahkan secara sadar melakukan persiapan spesifik atas hal ini.
Penampilan terbaru dan termewah menjadi cara utama untuk mengusung tujuan pamer diri ini. Upaya ini sendiri telah terjadi sejak periode 1980-an, namun kian mengalami perubahan cara dengan perkembangan zaman. Misalnya, pada periode 1980 hingga 1990an, pemudik biasa pulang dengan membawa televisi dan aki agar bisa menonton acara televisi bersama orang-orang di desa. Pada konteks masa kini, pemudik memamerkan mobil dan sepeda motor pribadinya. Bahkan, dengan cara menyewa kendaraan pun bisa dilakukan untuk menunjukkan diri yang berkelas di kampung halaman.
Cara penunjukkan kesuksesan yang masih sama dilakukan dari dulu hingga sekarang adalah simbolisme pakaian dan oleh-oleh. Menjelang Lebaran, baju-baju terbaik dengan model terbaru akan secara khusus dicari dan dibeli. Selain itu, juga dibeli lusinan oleh-oleh kekinian sekaligus tunjangan hari raya atau THR untuk keluarga di desa.
Upaya-upaya untuk membangun impresi positif di hadapan keluarganya tersebut secara nyata terjadi. Seolah telah menjadi tradisi bagi para seluruh pemudik untuk menjadikan mudik sebagai momen penunjukkan diri demikian.
Pada 2006, Kompas secara khusus meliput perjalanan mudik para pedagang jamu gendong. Liputan tersebut menangkap bagaimana para pekerja kerah biru perempuan menghabiskan tabungan setahun hanya untuk menikmati Lebaran di kampung.
Momentum Lebaran setahun sekali mereka gunakan untuk bersenang-senang bersama keluarga. “Kata ibu saya, cari duit selama 11 bulan dari Syawal sampai Ruwah itu sudah cukup, jadi sebulan pada Ramadhan bisa libur,” kata Sutiyem, pedagang jamu asal Krisak, Wonogiri. Tiap harinya, Sutiyem dan suami menabung Rp 2.000 hingga Rp 5.000. Menjelang Lebaran, tabungannya bisa mencapai angka Rp 1 juta lebih.
Apa yang dilakukan Sutiyem menjadi representasi atas paradigma jutaan pemudik lainnya. Kalkulasinya secara nasional pun mencapai angka yang sangat signifikan. Menurut guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, uang yang dibawa masyarakat kota ketika mudik Idul Fitri mencapai triliunan rupiah (Kompas, 28/10/2006, “Rupiah Pun Ikut Pulang Kampung”).
Kenaikan konsumsi menjelang Lebaran begitu luar biasa dan terus meningkat setiap tahunnya. Skalanya yang begitu luar biasa membuat pemerintah harus merespon hal ini.
Bank Indonesia secara rutin dan spesifik menyediakan uang tunai dalam jumlah masif pada masa Lebaran. Setiap tahunnya, terlepas dari masa pandemi lalu, jumlah penyediaan uang tunai tersebut juga terus meningkat.
Penyediaan uang tunai secara rutin dan terus meningkat ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat yang meningkat drastis pada masa Lebaran. Tidak hanya peningkatan terjadi pada masa Lebaran, namun jumlah biaya konsumsi yang dikeluarkan pada masa yang sama dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Artinya, kebiasaan peningkatan konsumsi ini kian mengakar dalam masyarakat (Kompas.id, 14/4/2023, “Kelegaan Konsumsi Pascapandemi”).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Kendaraan melintasi jembatan Kalikuto sebagai salah satu penanda jalan tol di area Jawa Tengah di Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu (12/4/2023). Dua jalan yaitu pantura dan tol Trans Jawa yang menghubungkan wilayah timur hingga barat Jawa ini akan menjadi jalur utama pemudik. Berbagai bentuk rekayasa lalu-lintas nanti akan diberlakukan agar tidak terjadi penumpukan kendaraan yang berpotensi pada kemacetan panjang saat puncak arus mudik maupun arus balik.
Mengacu Kompas (11/11/2004, “Arus Mudik, Kecelakaan dan Peradaban Publik”), fenomena mudik yang demikian menjadi indikator bagaimana Lebaran yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi, justru telah berubah makna menjadi ajang pamer. Bahkan, dengan tingginya upaya orang untuk menyewa atau memaksakan diri membeli kendaraan bermotor menjadikan mudik sebagai ajang “pameran kendaraan bermotor”.
Hal ini disampaikan oleh pemerhati budaya sekaligus akademisi Komarudin Hidayat. Dalam pantauan Komarudin, alih-alih memaknai Lebaran di kampung halaman, momentum mudik justru menjadi panggung ego dan segala bentuk pengumbaran nafsu.
Dari tahun ke tahun, makna luhur mudik justru tereduksi oleh upaya-upaya pamer diri di desa. Padahal, selain mengandung nilai-nilai luhur filosofis, mudik sendiri adalah kesempatan untuk penguatan budaya rakyat dan membangun kepedulian terhadap masyarakat cilik.
Dalam konteks yang lebih besar, kecenderungan sikap demikian dapat dijelaskan oleh tulisan Kenneth Thompson dalam buku Modernity and Its Future. Dengan berangkat dari teori Jean Baudrillard, Thompson menjelaskan bentuk kecenderungan masyarakat kontemporer atas sikap konsumtif dan citra diri. Secara sadar maupun tidak, sikap konsumtif dan kecenderungan mengagungkan citra diri menjadi bentuk khas dari keseharian manusia modern.
Sikap konsumtif dilakukan atas dasar kenikmatan semu sekaligus upaya untuk mendukung kontruksi citra diri. Sementara dalam konteks citra diri, manusia kontemporer akan mensimulasikan atau menampilkan dirinya lebih baik dari kenyataan.
Dalam hal ini, targetnya adalah impresi dari orang lain bahkan diri sendiri. Kecenderungan sikap demikian secara menonjol hidup dalam perkotaan sebagai ruang yang mengusung modernitas. Namun, tendensi sikap ini ikut terbawa ke desa pada saat mudik.
Said Aqil Siroj menuliskan bagaimana mudik sejati seharusnya dimaknai dan dilaksanakan. Secara eksplisit, Said Aqil menyoroti langsung kecenderungan pamer di kampung halaman.
“Mudik Lebaran yang sebenarnya” memiliki arti “kembali ke asal” atau ke “fitrah”. Dalam hal ini ini, arti luhur tersebut sama sekali bukan ditujukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan.
Sebaliknya, Said Aqil menuliskan bahwa tujuan utama datangnya para pemudik ke kampung halaman sama sekali bukan untuk kepentingan diri mereka. Bahkan, bukan pula untuk menyegarkan diri dan momen liburan.
Tujuan mudik yang utama adalah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Dalam tujuan memaafkan ini, terlebih dahulu perlu dibangun sikap melepaskan amarah dan dendam. Keduanya menjadi wujud keimanan dan moral manusia. Sehingga pada akhirnya, mudik sejatinya menjadi momen menghidupkan moralitas dan iman kita sebagai manusia. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Siroj, S. A. (2006). Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: PT Mizan Pustaka.
- Thompson, K. (1992). “Social and Cultural Forms of Modernity”. Dalam S. H. al., Modernity and Its Future (hal. 221-272). Oxford: Blackwell Publishers.
- Budiman, H. (2020). “Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Ibu Kota”. Dalam H. B. al., Narasi Identitas Nasional,, Modernitas, dan Ibu Kota Baru (hal. 1-96). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- Irianto, A. M. (2012). “Mudik dan Keretakan Budaya”. Jurnal Humanika Vol. 15 Nomor 9.
- Tandywijaya, E. (2020). “‘Mangan Ora Mangan, Sing Penting Kumpul’ (Makan Tidak Makan Yang Penting Kumpul) Tinjauan Filosofis ‘Aku dan Liyan’ dalam Gagasan Togetherness Para Filsuf Barat”. Jurnal Ilmu Budaya Volume 8 Nomor 2, 198-207.
• Kompas. (2004, November 11). Arus Mudik, Kecelakaan dan Peradaban Publik. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 6.
• Kompas. (2006, Oktober 28). Rupiah Pun Ikut Pulang Kampung. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 3.
• Kompas. (2023, April 12). Tol Cisumdawu, Si Pengurai Arus Mudik Lebaran 2023. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 11.
• Kompas. (2023, April 10). Separuh Penduduk Indonesia Akan Mudik Lebaran 2023. Jakarta: Harian Kompas. Hlm A.
• Kompas. (2023, April 9). Mudik Perdana, 1.800 Orang Naik Kapal Pelni dari Pelabuhan Sorong. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 4.
• Kompas.id. (2023, April 12). Jutaan Tiket Mudik Jalur Nondarat Masih Tersedia . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/04/11/jutaan-tiket-mudik-jalur-non-darat-masih-tersedia
• Kompas.id. (2023, April 5). Lonjakan Arus Mudik Lebaran Diantisipasi . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/04/05/lonjakan-arus-mudik-lebaran-diantisipasi
• Kompas.id. (2023, April 10). AP II Terima Permintaan 1.016 Penerbangan Tambahan. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/04/10/ap-ii-terima-permintaan-1016-penerbangan-tambahan/baca/ekonomi/2023/04/10/ap-ii-terima-permintaan-1016-penerbangan-tambahan
• Kompas.id. (2023, April 14). Kelegaan Konsumsi Pascapandemi. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2023/04/13/kelegaan-konsumsi-pasca-pandemi
• Kompaspedia. (2022, Mei 23). Urbanisasi dan Akselerasi Tumbuhnya Kota-Kota. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/urbanisasi-dan-akselerasi-tumbuhnya-kota-kota