Paparan Topik | Bahan Pokok

Program Food Estate: Dari Rencana Hingga Realitas

Program Food Estate merupakan upaya mengantisipasi kelangkaan pangan dan menjaga pasokan pangan dalam negeri, khususnya kebutuhan beras. Program ini melibatkan dua pendekatan utama yakni intensifikasi dan ekstensifikasi.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Aktivis lingkungan dari Greenpeace, Walhi Kalteng, Save Our Borneo (SOB), dan LBH Kota Palangkaraya membentangkan spanduk raksasa memprotes lokasi Food Estate singkong di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (10/11/2022). Proyek ini dianggap mengubah kawasan hutan menjadi kebun singkong.

Fakta Singkat:

  • Program Food Estate merupakan inisiatif dari Presiden Joko Widodo dalam upaya mengantisipasi bahaya kekeringan dan kelangkaan pangan.
  • Tujuan utama Food Estate adalah untuk menjaga pasokan pangan dalam negeri, khususnya kebutuhan beras.
  • Proyek ini menuai banyak kritik terkait kelayakan lahan dan penggunaan kawasan hutan lindung.

 

Program Food Estate merupakan inisiatif dari Presiden Joko Widodo dalam upaya mengantisipasi bahaya kekeringan dan kelangkaan pangan yang diperkirakan akan terjadi di tengah wabah pandemi Covid-19 pada kuartal kedua 2020 lalu.

Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Presiden Jokowi memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuka lahan baru untuk persawahan, melalui program Food Estate, dengan fokus pada lahan basah dan lahan gambut.

Sebelumnya, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) juga mengeluarkan laporan pada tanggal 24 Maret 2020, kemungkinan terjadinya krisis pangan global akibat kebijakan isolasi regional yang memutus rantai makanan di berbagai negara.

Lahan yang akan digunakan dalam rencana pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah, misalnya, berasal dari eks proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah.

Tujuan utama Food Estate adalah untuk menjaga pasokan pangan dalam negeri, khususnya kebutuhan beras, selain untuk memperbaiki kawasan PLG dan memperluas lahan sawah di Kalimantan Tengah.

Program ini juga diatur melalui Keputusan Presiden No. 10 September 2020, untuk mempertegas tingkat kepentingan dan memperlihatkan prioritas Pemerintah dalam kerangka Rencana Pembangunan Nasional.

Laporan Pengembangan Food Estate Provinsi Kalimantan Tengah oleh Kementerian Pertanian memberikan gambaran rinci mengenai program ini. Dengan durasi pengembangan selama 4 tahun (2020-2023), program ini mengalokasikan target intensifikasi pertanian seluas 30.000 ha pada tahun pertama (2020).

Selanjutnya pada tahun kedua (2021), sasaran meliputi intensifikasi seluas 14.135 ha dan ekstensifikasi seluas 16.643 ha (total 30.778 ha). Berikutnya pada tahun ketiga (2022) ditetapkan target intensifikasi pertanian seluas 2.000 ha dan ekstensifikasi pertanian seluas 10.000 ha (total 12.000 ha). Sedangkan pada akhir program (2023), fokusnya bergeser pada ekstensifikasi pertanian seluas 10.000 ha.

Namun, proyek Food Estate ini menuai banyak kritik terutama dalam aspek regulasi. Tidak tercakup dalam RPJMN 2020-2024, regulasi terkait proyek ini baru muncul pada November 2020, setelah proyek sudah berjalan di beberapa daerah. Perubahan peraturan, termasuk Permen LHK Nomor 7/2021, mengenai Penyediaan Kawasan Hutan untuk Food Estate, menimbulkan kontroversi terutama terkait ancaman terhadap kawasan lindung.

Lalu, pasal 485 Permen LHK Nomor 7/2021 menciptakan perdebatan karena memberikan kewenangan menggunakan kawasan hutan lindung yang sepenuhnya tidak berfungsi sebagai kawasan Food Estate, yang dianggap bertentangan dengan prinsip Undang-Undang Kehutanan.

Kawasan Hutan Lindung pada Areal Eks-PLG
Sumber : KLHK

Program Food Estate Menuai Banyak Kritik

Program Food Estate melibatkan dua pendekatan utama: intensifikasi dan ekstensifikasi. Lahan intensifikasi merujuk pada pengembangan lahan sawah yang telah eksis, sementara ekstensifikasi melibatkan pembukaan lahan baru.

Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Kalimantan Tengah mencatat bahwa total luas lahan Food Estate yang sudah atau sedang dikembangkan mencapai 44.000 hektare.

Kabupaten Kapuas mendominasi dengan total 34.000 hektare lahan, sementara Kabupaten Pulang Pisau memiliki 10.000 hektare lahan intensifikasi dan 16.000 hektare lahan ekstensifikasi, menunjukkan komitmen pada kedua pendekatan tersebut. Menggabungkan keduanya, luas keseluruhan lahan untuk komoditas padi dalam program Food Estate di Kalimantan Tengah mencapai sekitar 60.000 hektare, hampir setara dengan wilayah DKI Jakarta.

Kritik awal dari para ahli dan pemerhati lingkungan menyoroti pilihan lokasi pengembangan Food Estate, yaitu kawasan eks-Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG).

Kawasan eks-PLG ini sebagian besar terdiri dari gambut, yang sebelumnya merupakan proyek lumbung pangan yang tidak berhasil, menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai keputusan untuk kembali memilih kawasan tersebut.

Ironisnya, meskipun proyek serupa di masa lalu telah meninggalkan dampak serius pada ekosistem dan menimbulkan kerugian besar bagi negara, namun proyek ini diulang kembali di kawasan yang sama tanpa usaha untuk memperbaiki kondisi lahan tersebut.

Kedalaman Gambut Kawasan PLG dan sekitarnya

Sumber: Masterplan Eks-PLG

Area Food Estate dianggap Tidak Layak

Program Food Estate ternyata menghadapi berbagai masalah dalam realisasinya. Permasalahan utama yang muncul adalah soal kelayakan lahan. Beberapa aktivis menyatakan bahwa kegagalan program ini sudah terlihat sejak awal, disebabkan oleh kurangnya penilaian dampak yang tepat sebelum memilih lokasi dan membuka hutan untuk tanaman yang tidak sesuai dengan karakteristik tanah setempat.

Sebanyak 30% lahan di lokasi Food Estate Kalteng berupa lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3-meter yang seharusnya difungsikan sebagai pengatur hidrologi. Selain itu, 25% berupa gambut dangkal kurang dari 1,5-meter yang rentan terhadap kebakaran.

Kejadian ini pernah terjadi pada tahun 2015, ketika terjadi kebakaran hutan di Pulang Pisau seluas 98.784 hektar yang menunjukkan bahwa lahan gambut sangat rawan bencana. Produktivitas pertanian di lahan gambut juga jauh lebih rendah dan rawan degradasi kesuburan jika diberi pupuk berlebih.

Investigasi lapangan pada tahun 2022 dan 2023 menemukan semak liar dan ekskavator terlantar di lahan yang dibuka untuk perkebunan singkong dan beras. Perkebunan singkong seluas 600 hektare tersebut terbengkalai, dan 17.000 hektare sawah juga tak kunjung panen.

Penduduk desa sekitar juga menyampaikan adanya peningkatan tingkat keparahan banjir setelah hutan di sekitar mereka ditebang untuk diubah menjadi perkebunan pangan.

Peta indikasi kehilangan kawasan hijau tahun 2017, 2020 – 2022
Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Gunung Mas
Sumber: Google Earth

Geser ke kanan untuk foto selanjutnya.

Berkurangnya kawasan hijau juga dapat menimbulkan bencana nyata. Hasil pantauan permukaan muka bumi dari Google Earth dari tahun 2017-2022 di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Gunung Mas yang merupakan area awal pengembangan proyek Food Estate, ditemukan indikasi kehilangan kawasan hijau terutama pada periode tahun 2020-2022 di beberapa desa di 3 Kabupaten tersebut.

Di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, terlihat sekali terjadi penurunan kawasan hijau, bahkan melibatkan area yang seharusnya merupakan zona larangan (no-go zone). Hal ini menimbulkan indikasi bahwa proyek Food Estate berjalan di lokasi yang semestinya dilindungi.

Peta no go zone kawasan eks-PLG

Sumber : WRI Indonesia

Selain itu, perubahan kawasan hijau juga terjadi di Desa Tewai Baru. Meskipun area ini memiliki merupakan bagian dari program perhutanan sosial dengan skema hutan tanaman sejak tahun 2019, hak milik hutan sosial tetap berada di bawah kontrol negara.

Otoritas dalam pengelolaan lahan, meskipun dimiliki oleh masyarakat sesuai dengan Permen LHK P.11 Tahun 2020 tentang hutan tanaman rakyat, menunjukkan ketidakselarasan antara hak milik dan hak kelola.

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan tidak cukup, dan bahkan mereka menghadapi kesulitan untuk mengakses lahan yang sebelumnya merupakan sumber mata pencaharian utama mereka.

Perubahan Kawasan Hijau di Desa Tewai Baru 2008 dan 2022
Sumber: Google Earth

Dengan berbagai kendala tersebut, target peningkatan ketahanan pangan dari program Food Estate akan sulit tercapai, ditambah lagi ada potensi kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang makin besar.

Untuk mengurangi dampak negatif dari program ini diperlukan kajian dan evaluasi menyeluruh terhadap program agar tidak berakhir tragis seperti kegagalan megaproyek sejenis di masa lalu.

Hasil kajian juga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki atau memaksimalkan program sejenis yang sedang berjalan maupun akan berjalan di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Artikel Akademik
  • Pantaugambut.id (2022). Food Estate Kalimantan Tengah, Kebijakan Instan Sarat Kontroversi. Kajian Food Estate

  • Mulyono, J. (2023). Implementasi Program Pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah. Jurnal Analis Kebijakan Volume 7 Nomor 1, 13-28.