Paparan Topik | Pilkada Serentak

Pilkada Serentak 2024: Kontroversi Syarat Pencalonan Kepala Daerah

KPU resmi menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2024 tentang pencalonan kepala daerah pada Pilkada 2024. Dua putusan MK Nomor 60 dan 70 tahun 2024 sepenuhnya telah diakomodasi di Pasal 11 dan 15 PKPU.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Unjuk rasa berbagai elemen masyarakat yang menolak rencana DPR merevisi UU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024). 

Fakta Singkat

Polemik Aturan Pilkada Serentak

  • Pada Rabu, 29 Mei 2024, MA mengabulkan permohonan Partai Garda Republik Indonesia (Garuda) terkait aturan batas minimal usia calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang diatur dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020.
  • Pada Selasa, 20 Agustus 2024, tujuh hari menjelang pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuka, MK mengeluarkan putusan penting, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PPU-XXII/2024.
  • Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait syarat usia minimal calon kepala daerah, disebutkan bahwa calon gubernur atau calon wakil gubernur berusia paling rendah 30 tahun dan MK menyatakan persyaratan tersebut harus dipenuhi sebelum penetapan paslon, bukan sejak pelantikan.
  • Putusan Nomor 70/PPU-XXII/2024 terkait ketentuan ambang batas pencalonan, menyatakan bahwa persyaratan pengajuan pasangan calon di pilkada berdasarkan perolehan suara sah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT.
  • Pada Rabu, 21 Agustus 2024, Baleg DPR mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada..
  • Pada Kamis, 22 Agustus 2024, gelombang demonstrasi berkobar di sejumlah daerah, menuntut DPR dan pemerintah menghentikan revisi UU Pilkada dan mengikuti keputusan MK.
  • Pada Minggu, 25 Agustus 2024, KPU menerbitkan PKPU Nomor 10 Tahun 2024 tentang pencalonan dalam Pilkada 2024, dua putusan MK Nomor 60 dan 70 tahun 2024 sepenuhnya telah diakomodasi di Pasal 11 dan 15 PKPU.

Kontroversi terkait revisi undang-undang tentang Pilkada menjadi isu utama dalam proses demokrasi Indonesia dalam sepekan ini. Pada 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah dan mengubah syarat usia calon yang harus dihitung sejak penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan sejak pelantikan. Keputusan tersebut bertujuan untuk memperluas peluang bagi calon kepala daerah dan menyegarkan proses demokrasi.

Namun, respons Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah terhadap putusan ini menimbulkan ketegangan. DPR mengusulkan revisi UU Pilkada yang tetap mempertahankan ambang batas dan mengubah syarat usia sesuai pelantikan. Hal ini bertentangan dengan keputusan MK. Usulan ini memicu protes besar-besaran dari masyarakat.

Revisi UU Pilkada oleh DPR dinilai telah melawan putusan MK soal ambang batas pencalonan oleh partai politik serta mekanisme penentuan syarat usia minimal calon di pilkada. Padahal, putusan MK sifatnya final dan mengikat sehingga seharusnya dipatuhi semua pihak, khususnya pembentuk undang-undang.

Selain itu, revisi UU Pilkada yang diusulkan oleh DPR dan pemerintah dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk mengakali konstitusi. Selain itu, dianggap upaya mencari celah keuntungan kekuasaan politik tertentu dan membatasi ruang gerak calon alternatif. Ini berpotensi merusak prinsip demokrasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas sistem pemilihan.

Protes dan penolakan publik mencerminkan adanya kesenjangan antara elite politik dan masyarakat. Rakyat menuntut agar keputusan yang diambil oleh institusi hukum seperti MK dihormati dan diimplementasikan dengan konsisten. Momen ini menjadi ujian berat bagi sistem demokrasi Indonesia dan integritas lembaga-lembaga negara.

Tarik Ulur Revisi UU Pilkada

Pencalonan kepala daerah menjadi isu hangat di tengah tingginya aspek kepentingan politik pasca Pemilu 2024. Tahapan pencalonan kepala daerah yang dimulai sejak Januari 2024 pun dipenuhi kontroversi.

Secara kronologis, kontroversi ini sudah bermula sejak MA mengabulkan permohonan Partai Garda Republik Indonesia (Garuda) terkait aturan batas minimal usia calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pada Rabu, 29 Mei 2024 (Kompas, 30/5/2024).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim MA yang dipimpin Hakim Agung Yulius serta Hakim Agung Cerah Bangun, menyatakan, Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU No 9/2020 tersebut bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU berbunyi “Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.”

Perbandingan Syarat Pencalonan di Pilkada

UU No 10/2016 tentang Pilkada

Putusan MK

Putusan di Panja Baleg DPR

Pasal 40 Ayat 3 UU No 10/2016 Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% dari akumulasi perolehan suara sah dan ketentuan ini hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.

Pasal 40 Ayat 1 UU No 10/2016 telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.

Mengubah ambang batas pencalonan di pilkada berdasarkan perolehan suara sah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Tetap mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Namun, partai politik yang tak punya kursi di DPRD disyaratkan seperti yang diputuskan oleh MK.

Pasal 7 Ayat 2 Huruf e UU No 10/2016 Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota

Menolak permohonan, tetapi dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan semua persyaratan dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah. Artinya, calon gubernur harus berusia minimal 30 tahun ketika mendaftar atau ditetapkan sebagai calon yang akan maju di pilkada.

Menyatakan batas usia paling rendah calon gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon wali kota/bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik. Pada aturan lama, tidak ada frasa ”terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih”

Sumber: UU No 10/2016, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, RUU Pilkada Baleg DPR

Menurut MA, Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih”

Dengan pertimbangan tersebut, MA memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tersebut. Dengan demikian, seseorang dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur apabila berusia minimal 30 tahun dan calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil walikota jika berusia minimal 25 tahun ketika dilantik, bukan ketika ditetapkan sebagai pasangan calon.

KOMPAS/IQBAL BASYARI

Paparan terkait dengan materi pada revisi UU Pilkada yang ditampilkan dalam Rapat Panitia Kerja Revisi UU Pilkada di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Namun, putusan MA mengubah cara penghitungan usia bakal calon kepala daerah dinilai tidak logis dan sarat muatan politik. Putusan itu dicurigai dikeluarkan untuk meloloskan pihak atau kelompok tertentu, salah satunya membuka jalan bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang pada saat itu, disebut-sebut akan dicalonkan di Pilkada DKI Jakarta dan Jateng.

Saat ini, usia Kaesang 29 tahun. Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu baru berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024. Sementara pendaftaran pasangan calon dalam pilkada pada 27 Agustus dan penetapannya pada 22 September 2024.

Oleh karena itu, tak lama setelah putusan MA, sejumlah pihak mengajukan permohonan uji materi ke MK terkait ketentuan usia minimal calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan.

Pada 12 Juli 2024, MK memulai sidang pertama untuk perkara ini, dengan sidang kedua dilaksanakan pada 25 Juli 2024. Permohonan yang diajukan termasuk dari dua mahasiswa, A Fachrur Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anthony Lee dari Podomoro University, yang meminta MK memutuskan sebelum tahapan pendaftaran calon dibuka pada 27-29 Agustus 2024.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Suasana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada di Badan Legislasi (Baleg) DPR di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (21/8/2024). Pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pilkada, Baleg DPR melakukan pembahasan kilat RUU Pilkada. Tidak ada satu pun anggota Baleg DPR yang menolak rencana pembahasan kilat revisi UU Pilkada tersebut. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kanan bawah) dan Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas (kiri bawah) hadir dalam rapat itu. 

Pada 20 Agustus 2024, tujuh hari menjelang pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuka, MK mengeluarkan putusan penting, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PPU-XXII/2024. Putusan itu pertama terkait syarat usia minimal calon kepala daerah. Pada Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU No 10/2016 disebutkan bahwa calon gubernur atau calon wakil gubernur berusia paling rendah 30 tahun dan MK menyatakan persyaratan tersebut harus dipenuhi sebelum penetapan paslon, bukan sejak pelantikan (Kompas, 20/8/2024).

Artinya, usia calon gubernur-wakil gubernur paling rendah 30 tahun dan 25 tahun bagi calon bupati-wakil bupati atau calon wali kota-wakil wali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon. Jika ketentuan ini tak diikuti penyelenggara pemilu, hasil pemilihan berpotensi dinyatakan tak sah saat sengketa hasil pilkada diajukan ke MK.

Selain itu, MK membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan yang membatasi parpol dan gabungan parpol dalam mengusulkan calon, dan mengubah ambang batas pencalonan sesuai dengan jumlah penduduk daerah.

Sebelumnya di Pasal 40 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dan ketentuan ini hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.

Oleh MK, pasal ini diputuskan inkonstitusional bersyarat dan MK kemudian menyatakan bahwa persyaratan pengajuan pasangan calon di pilkada berdasarkan perolehan suara sah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Lebih rinci lagi, terkait pengajuan calon baik dari partai politik atau gabungan partai politik, MK memutuskan terdapat beberapa persyaratan seperti:

  1. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
  2. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;
  3. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;
  4. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 persen (enam setengah persen) di provinsi tersebut;

Kemudian, untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:  

  1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
  2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
  3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
  4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut.  

Dua putusan MK direspons positif oleh masyarakat. Putusan MK ini dinilai membuka kesempatan dan peluang lebih banyak pasangan calon yang muncul di pilkada.

Apalagi, sebelum putusan MK ini muncul, wacana publik berkembang soal adanya strategi dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus yang mencoba membangun koalisi besar dengan menguasai mayoritas kursi sehingga menyebabkan lahirnya persaingan melawan kotak kosong di pilkada.

Putusan MK ini menjadikan parpol bisa mengajukan paslon sesuai persentase dari DPT membuka lebar peluang munculnya banyak paslon, termasuk dari parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD. Di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, misalnya, ada delapan parpol yang dapat mengusung sendiri calonnya. Parpol itu ialah Partai Keadilan Sejahtera, PDI-P, Gerindra, Nasdem, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Solidaritas Indonesia (Kompas, 21/8/2024).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Suasana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada di Badan Legislasi (Baleg) DPR di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (21/8/2024). Pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pilkada, Baleg DPR melakukan pembahasan kilat RUU Pilkada. 

Namun, hanya selang sehari setelah putusan MK, pada 21 Agustus 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada.  Dalam draf revisi Baleg DPR masih memasukkan Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur soal ambang batas pencalonan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah bagi parpol untuk mengajukan paslon di pilkada. Padahal, MK membatalkan soal syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara dan hanya menyertakan ambang batas pencalonan berbasis jumlah penduduk di DPT untuk semua parpol, tidak hanya parpol nonparlemen (Kompas, 23/8/2024).

Selain itu, isu soal syarat usia calon gubernur juga dimaknai berbeda oleh Baleg DPR yang memutuskan dihitung saat pelantikan paslon terpilih. Padahal, MK memutuskan syarat usia 30 tahun bagi calon gubernur dan calon wakil gubernur berlaku pada saat penetapan paslon. Dalam revisi ini, DPR menghidupkan kembali ketentuan ambang batas pencalonan yang dibatalkan MK, serta mengatur syarat usia calon kepala daerah sesuai dengan putusan MA, yaitu dihitung sejak pelantikan calon terpilih.

Sebanyak delapan fraksi di DPR dan pemerintah setuju terhadap revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Hanya Fraksi PDI-P yang menyatakan tidak sependapat terhadap revisi undang-undang tersebut (Kompas, 21/8/2024).

Gelombang Protes Masyarakat

Keputusan Baleg DPR untuk merevisi UU Pilkada secara cepat dan mengabaikan putusan MK memicu protes dari berbagai elemen masyarakat. Menurut Ketua The Constitutional Democracy Initiative atau Consid Kholil Pasaribu, revisi UU Pilkada sarat dengan muatan politik pragmatis dan menggambarkan kepentingan elite penguasa yang terganggu (Kompas, 21/8/2024).

Sementara, pengajar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menegaskan bahwa jika revisi UU Pilkada itu untuk menyimpangi putusan MK, bisa membuat kacau-balau pelaksanaan pilkada. Pilkada bisa amburadul, bahkan menurut dia, bisa menjadi noktah hitam demokrasi yang sekaligus mencoreng DPR dan pemerintah (Kompas, 21/8/2024)

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pengunjuk rasa dari sejumlah elemen menggelar aksi demonstrasi di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (22/8/2024). Peserta aksi itu menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Perubahan atas UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Demonstran juga menuntut pemberantasan praktik nepotisme di berbagai jenjang pemerintahan. 

Pandangan serupa juga diungkapkan Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) Dian Kus Pratiwi, mengingatkan, jika DPR dan pemerintah tetap bermanuver dengan merevisi UU Pilkada yang menyimpang dari putusan MK, bisa dianggap melakukan pelanggaran konstitusi karena sengaja mengabaikan putusan MK. Kemudian, jika pencalonan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah tidak dilakukan seperti diamanatkan oleh putusan MK, keabsahan calon tersebut dapat menjadi obyek pembatalan atau diskualifikasi baik oleh Badan Pengawas Pemilu melalui sengketa proses ataupun perselisihan hasil pilkada di MK.

Upaya DPR dan pemerintah untuk tetap merevisi UU Pilkada yang membangkangi putusan MK itu membuat publik kecewa. Di jagat maya, suara kekecewaan, kecaman, dan tuntutan agar DPR dan pemerintah menghentikan revisi UU Pilkada pun mengalir deras.

Unjuk Rasa Penolakan Revisi UU Pilkada di Sejumlah Daerah

Kota

Titik Lokasi Unjuk Rasa

Padang

Gedung DPRD Sumatera Barat

Bengkulu

Gedung DPRD Bengkulu

Palembang

Gedung DPRD Sumatera Selatam

Jakarta

Gedung DPR/MPR, Gedung MK, Kantor KPU

Bandung

Gedung DPRD Jawa Barat

Tasikmalaya

Gedung DPRD Kota Tasikmalaya

Cirebon

Gedung DPRD Kota Cirebon

Semarang

Gedung DPRD Jawa Tengah

Surakarta

Balai Kota Surakarta

Yogyakarta

Jalan Malioboro, Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Kantor DPRD, dan Gedung Agung

Surabaya

Gedung DPRD Jawa Timur

Samarinda

Gedung DPRD Kalimantan Timur

Makassar

Gedung DPRD Sulawesi Selatan

Kendari

Gedung DPRD Sulawesi Tenggara

Ambon

Gedung DPRD Maluku

Sumber: Pemberitaan Kompas

Pada Rabu (21/8/2024), sesaat setelah tersebar rencana DPR, media sosial diramaikan unggahan berlatar biru bergambar Garuda Pancasila putih dengan latar belakang warna biru dan tulisan “Peringatan Darurat” dipadu suara sirine tanda kedaruratan. Hanya dalam hitungan menit, posting-an darurat ini membesar dan jadi trending.

Gambar dari video Emergency Alert System (EAS) Indonesia Concept yang diunggah ulang oleh akun X @BudiBukanIntel pada Rabu pagi itu tersebar luas ke seantero jagad media sosial, memberi pesan bahwa negara ini saat ini sedang tidak baik-baik saja (Kompas, 23/8/2024).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pengunjuk rasa dari sejumlah elemen menggelar aksi demonstrasi di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (22/8/2024). Peserta aksi itu menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Perubahan atas UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Demonstran juga menuntut pemberantasan praktik nepotisme di berbagai jenjang pemerintahan. 

Posting-an ini didasari kegelisahan yang cukup panjang dari catatan perilaku aktor-aktor oligarki yang bermain dengan sedemikian banal, khususnya praktik penggunaan kekuasaan untuk membangun dinasti politik sebagaimana dalam pemilihan presiden-wakil presiden dan hasilnya begitu benderang terlihat saat ini.

Seturut dengan trendingnya postingan tersebut, berbagai elemen masyarakat mulai berkonsolidasi untuk melakukan aksi serentak melawan arogansi sikap DPR yang dianggap mencederai konstitusi dan semangat negara hukum serta dinilai mementingkan transaksi kekuasaan politik semata.

Kekecewaan kemudian diwujudkan dalam gelombang unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat untuk memprotes langkah DPR tersebut. Pada Kamis, 22 Agustus 2024, gelombang demonstrasi digelar di sejumlah daerah dengan “target” unjuk rasa di antaranya di kantor DPR, DPRD, dan kantor pemerintahan.

Di Jakarta, massa terkonsentrasi di Gedung DPR/MPR/DPD dan Gedung Mahkamah Konstitusi. Mereka mendesak DPR dan pemerintah patuh terhadap putusan MK. Pasalnya, UUD 1945 menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Tak hanya mengikat pemohon, tetapi juga pihak lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR dan presiden).

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA 

Massa aksi berusaha menghindari semprotan water cannon oleh polisi di pintu belakang Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Berbagai elemen masyarakat yang didominasi mahasiswa menolak revisi UU Pilkada karena dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. 

Pada hari yang sama, tanpa konsolidasi resmi, mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat mangkir dari rapat paripurna yang dijadwalkan pada Kamis (22/8/2024) pagi. Rapat dengan agenda tunggal untuk meminta persetujuan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah itu hanya dihadiri oleh 89 orang dari total 575 anggota DPR dari sembilan fraksi partai politik yang ada di parlemen. Padahal, sehari sebelumnya, delapan dari sembilan fraksi partai telah menyetujui untuk membawa rancangan undang-undang tersebut ke rapat paripurna (Kompas, 23/8/2024).

Meski rapat paripurna tak jadi diselenggarakan, demonstrasi untuk menolak pengesahan RUU Pilkada terus bereskalasi. Bahkan, terus meluas di di banyak daerah lain, termasuk Padang, Bengkulu, Palembang, Jakarta, Bandung, Tasikmalaya, dan Cirebon. Suara perlawanan juga menggema di Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Samarinda, Makassar, Kendari, dan Ambon. Protes ini menunjukkan semakin kuatnya penolakan masyarakat terhadap revisi UU Pilkada yang dianggap mencederai konstitusi dan semangat negara hukum.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA 

Massa aksi berusaha menerobos barikade polisi di pintu belakang Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Berbagai elemen masyarakat yang didominasi mahasiswa menolak revisi UU Pilkada karena dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah terlibat bentrok dengan polisi, massa aksi mulai membubarkan saat azan maghrib berkumandang. 

Peraturan KPU

Pasca aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota, KPU akhirnya resmi menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2024 tentang pencalonan dalam Pilkada 2024 pada Minggu (25/8/ 2024) malam. Keputusan ini merupakan hasil dari rapat konsultasi antara KPU dan Komisi II DPR, di mana Komisi II DPR telah menyetujui PKPU yang mengakomodasi putusan MK.

PKPU ini akan diterapkan sebagai pedoman teknis pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Pilkada 2024. Peraturan ini juga telah diunggah di laman resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH), jdih.kpu.go.id KPU pada Minggu (25/8/2024 malam, pukul 22.00 WIB.

Berdasarkan salinan PKPU, dua putusan MK Nomor 60 dan 70 tahun 2024 sepenuhnya telah diakomodasi di Pasal 11 dan 15 PKPU No 10/2024 (Kompas, 26/8/2024).

Pertama, berkaitan dengan ambang batas pencalonan pilkada, PKPU ini mengakomodasi Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 melalui pasal 11. Dengan demikian, partai-partai politik resmi dapat mengusung calon kepala daerahnya asal memenuhi ambang batas berupa sekian 6,5-10 persen suara sah dari total DPT di wilayah yanfg bersangkutan.

Syarat Ambang Batas Pencalonan Berdasarkan Suara Sah Parpol

Pilkada Provinsi

Jumlah DPT

Suara sah parpol/ gabungan parpol

< 2 juta

10 persen

>2 juta-6 juta

8,5 persen

>6 juta-12 juta

7,5 persen

>12 juta

6,5 persen

Sumber: PKPU Nomor 10 Tahun 2024

Pilkada Kabupaten/Kota

Jumlah DPT

Suara sah parpol/gabungan parpol

<250.000

10 persen

> 250.000-500.000

8,5 persen

> 500.000-1 juta

7,5 persen

> 1 juta

6,5 persen

Sumber: PKPU Nomor 10 Tahun 2024

Kedua, berkaitan dengan syarat usia minimum calon kepala daerah, PKPU ini mengakomodir pertimbangan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 pada pasal 15.

Artinya, calon gubernur/wakil gubernur harus telah berusia 30 tahun serta calon wali kota/bupati dan wakilnya mesti sudah berumur 25 tahun pada saat penetapan pasangan calon oleh KPU.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum

Pasal 11 PKPU mengakomodasi Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan pilkada. Partai-partai politik dapat mengusung calon kepala daerahnya asal memenuhi ambang batas berupa sekian 6,5-10 persen suara sah dari total daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah yang bersangkutan.

 

Pasal 15 PKPU mengakomodasi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia minimum calon kepala daerah. Calon gubernur/wakil gubernur harus telah berusia 30 tahun serta calon wali kota/bupati dan wakilnya mesti sudah berumur 25 tahun pada saat penetapan pasangan calon oleh KPU.

Sumber: Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2024

Dengan diterapkannya peraturan ini, Pilkada 2024 diperkirakan akan berlangsung lebih kompetitif. Syarat pencalonan yang diatur dalam PKPU ini diharapkan akan membuat pilkada lebih inklusif dan memberikan peluang yang lebih besar bagi calon alternatif yang potensial untuk berkompetisi.

Di sisi lain, langkah ini juga diharapkan dapat mencegah upaya partai politik dalam mempersempit ruang kontestasi, termasuk praktik calon tunggal atau calon boneka di sejumlah daerah. Hal ini juga mengurangi kemungkinan kecurangan, karena semakin banyak pihak yang akan mengawasi proses pemilihan.

Dengan demikian, Pilkada 2024 diharapkan dapat memunculkan kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas, juga menciptakan proses pemilihan yang lebih transparan dan adil. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah Dinilai Sarat Muatan Politik,” Kompas, 30 Mei 2024.
  • “Putusan MK soal Pilkada, Bukan ”Balas Dendam” Politik, melainkan Selamatkan Demokrasi,” Kompas, 20 Agustus 2024.
  • “Perlawanan Massa Bisa Muncul jika Revisi UU Pilkada Tak Sesuai Putusan MK,” Kompas, 21 Agustus 2024.
  • “Hormati Putusan MK,” Kompas, 21 Agustus 2024.
  • “Revisi UU Pilkada Dinilai Menggambarkan Terusiknya Kepentingan Elite Penguasa,” Kompas, 21 Agustus 2024.
  • “Ketika Rakyat Mewakili Dirinya Sendiri,” Kompas, 23 Agustus 2024.
  • “Putusan MK Diterima, Revisi UU Pilkada Ditolak,” Kompas, 23 Agustus 2024.
  • “Mangkir Berjemaah yang Bersejarah Saat Paripurna DPR Pengesahan RUU Pilkada,” Kompas, 23 Agustus 2024.
  • “PKPU Pencalonan Pilkada Tuntas Diundangkan, Sudah Akomodasi Putusan MK,” Kompas, 26 Agustus 2024.
  • “PKPU Menjawab Keinginan Publik,” Kompas, 26 Agustus 2024.

Artikel terkait