Paparan Topik | Pilkada Serentak

Pilkada Serentak: Antara Keberhasilan dan Kegagalan Pemimpin Hasil Pilkada

Sejak pertama kali diperkenalkan, pilkada telah menjadi sarana untuk memilih pemimpin daerah yang diharapkan berkualitas. Pilkada serentak 2024 dilaksanakan di 545 daerah meliputi 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Warga melintas di dekat mural bertemakan pilkada serentak di kawasan Depok, Jawa Barat, Senin (14/10/2024). Kampanye untuk mengikuti dan mensukeskan pelaksanaan Pilkada 2024 yang tinggal 45 hari, terus digalakkan elemen masyarakat melalui beragam kreativitas salah satunya melalui media mural. 

Fakta Singkat

Pilkada Serentak

  • Pilkada 2024 diikuti oleh 1.556 pasangan kandidat kepala daerah di berbagai tingkat pemerintahan, terdiri dari: 103 pasang calon gubernur-wakil gubernur di 37 provinsi, 1.168 pasang calon bupati dan wakil bupati di 415 kabupaten, 284 pasang calon wali kota dan wakil wali kota di 93 kota.
  • Berdasarkan data KPK, dari tahun 2004 hingga 2024, sebanyak 167 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
  • Pada pilkada serentak 27 November 2024, sebanyak 605 calon politisi dinasti akan berlaga.

Tahun 2024 menjadi tahun politik yang penuh dinamika. Pada awal tahun, tepatnya 14 Februari, rakyat Indonesia memilih Presiden, Wakil Presiden, serta para anggota legislatif. Kini, menjelang akhir tahun, tepatnya 27 November, perhatian beralih ke Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan secara serentak untuk memilih Bupati, Walikota, dan Gubernur.

Pilkada 2024 akan diikuti oleh 1.556 pasangan kandidat kepala daerah di berbagai tingkat pemerintahan. Peserta pilkada terdiri dari: 103 pasang calon gubernur-wakil gubernur di 37 provinsi, 1.168 pasang calon bupati dan wakil bupati di 415 kabupaten, 284 pasang calon wali kota dan wakil wali kota di 93 kota.

Pilkada adalah bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan otonomi daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah merupakan produk penting dari langkah penghapusan sentralisasi politik yang dijalankan selama masa Orde Baru.

Undang-undang ini memberikan kewenangan luas kepada daerah untuk mengatur dan mengelola urusan pemerintahan mereka sendiri, kecuali dalam hal-hal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, seperti urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.

Sejak awal penerapannya, otonomi daerah bertujuan mendorong hadirnya pemimpin daerah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah dan mampu menjawab tantangan pembangunan di tingkat lokal. Salah satu instrumen pentingnya adalah pilkada secara langsung. Berbeda dengan pemilihan tingkat nasional yang bersifat umum dan menjangkau isu publik di sebuah negara, pilkada fokus pada isu-isu publik yang lebih langsung memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat di tingkat lokal.

Pada awalnya, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia dan keberhasilan pelaksanaan pemilu nasional, mekanisme pilkada berubah.

Mulai 2005, pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih kepala daerah mereka secara langsung. Dengan perubahan ini, pemerintah daerah semakin berperan sebagai pemegang mandat rakyat dalam mengelola dan memimpin daerahnya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petugas yang menggunakan boneka maskot Pilkada Serentak Jawa Timur menyambut kedatangan kirab Maskot Pilkada Serentak 2024 Jawa Timur di Kota Lama, Surabaya, Selasa (8/10/2024).

Tujuan Pilkada

Pilkada langsung bukan tanpa alasan. Dalam buku Dinamika Politik Pilkada Serentak yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI pada 2017, dijelaskan beberapa latar belakang mengapa pilkada langsung dianggap penting.

Pertama, pilkada langsung diharapkan dapat memutus mata rantai oligarki yang sering terjadi dalam penentuan pasangan kepala daerah oleh DPRD. Sebelumnya, pemilihan oleh segelintir anggota DPRD sering kali hanya mewakili kepentingan elite politik, yang justru menutup akses bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya.

Kedua, pilkada langsung diharapkan dapat meningkatkan kualitas kedaulatan rakyat dan partisipasi publik dalam menentukan pemimpin daerah. Melalui pemilihan langsung, rakyat memiliki kesempatan untuk memilih pasangan calon yang dianggap terbaik dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan kata lain, proses ini memberi ruang bagi rakyat untuk berperan aktif dalam demokrasi lokal.

Ketiga, pilkada langsung memungkinkan proses seleksi kepemimpinan yang lebih berbasis pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat, bukan atas keputusan elite dari atas (top-down). Pemilihan langsung memberi peluang bagi pemimpin yang benar-benar didukung oleh rakyat untuk memimpin, bukan hanya yang dipilih oleh kelompok elite tertentu.

Pemimpin yang terpilih melalui pilkada langsung cenderung lebih responsif terhadap aspirasi rakyat karena mereka harus mempertanggungjawabkan kinerjanya langsung kepada konstituen mereka. Mereka lebih peka terhadap kebutuhan daerah dan lebih berfokus pada program-program yang dapat memberikan dampak positif langsung bagi masyarakat, seperti peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang berkualitas.

Keempat, salah satu tujuan utama pilkada langsung adalah untuk meminimalkan praktik politik uang yang sering terjadi dalam pemilihan yang dilakukan oleh DPRD. Dalam pemilihan langsung, meski tak sepenuhnya bebas dari politik uang, diharapkan adanya transparansi dan partisipasi yang lebih tinggi dari masyarakat sehingga dapat mengurangi potensi transaksi politik yang merugikan.

Kelima, pilkada langsung juga diharapkan dapat meningkatkan legitimasi politik eksekutif daerah. Legitimasi yang lebih kuat ini akan mendukung stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan daerah. Dengan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat, pemerintah daerah diharapkan dapat bekerja lebih maksimal dalam menjalankan tugas dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Spanduk ajakan menyukseskan Pilkada Serentak 2024 di Jawa Barat terpasang di salah satu sudut Jalan Gatot Subroto, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (9/11/2024). 

Sisi Positif

Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sejak 2005, rakyat daerah memiliki kedaulatan politik untuk memilih pemimpinnya dan membangun daerahnya dengan kewenangan yang luas. Perubahan fundamental ini penting karena setiap daerah memiliki kekhasan dan keunikannya sendiri.

Pilkada  memegang peranan kunci dalam proses ini, karena tidak hanya memberikan kesempatan kepada warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tetapi juga memperkuat demokrasi di tingkat akar rumput. Oleh karena itu, setiap jabatan kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun  kabupaten/kota,  harus  melibatkan  intervensi  langsung  warga  negara  untuk  melaksanakan  “kepala  daerah  dipilih  secara  demokratis”.

Pilkada, yang seringkali dianggap sebagai arena pertempuran politik, sesungguhnya juga menjadi wahana untuk menguji kualitas kepemimpinan yang tidak hanya berbicara soal kemenangan elektoral, tetapi juga bagaimana seorang pemimpin mampu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.

Sejak pertama kali diperkenalkan, pilkada telah menjadi ajang yang menghasilkan sosok-sosok pemimpin-pemimpin baru yang berkualitas. Dari sekian banyak nama yang muncul pasca pilkada, beberapa di antaranya menunjukkan kualitas kepemimpinan yang cukup menonjol.

Salah satu contoh nyata adalah Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, yang berhasil mengubah wajah kota dari “kota sampah” menjadi kota yang bersih dan tertata. Bupati Sragen Untung Sarono Wiyono Sukarno menciptakan sistem yang jauh lebih efisien dengan pemanfaatan teknologi internet (Kompas, 30/9/2019).

Contoh lainnya adalah Joko Widodo, yang saat menjabat sebagai Wali Kota Solo, mampu menciptakan tata kota yang lebih manusiawi dengan pendekatan yang tidak hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat. Jokowi berhasil memindahkan pedagang kaki lima dengan cara yang lebih elegan dan bermartabat, memberi ruang bagi pedagang untuk berkembang sambil menjaga keindahan kota.

Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, meraih perhatian luas dengan kebijakan budaya yang mengangkat potensi lokal. Melalui pendekatan budaya dan festival, Anas berhasil mengangkat masyarakat Osing yang sebelumnya terpinggirkan, menjadikan mereka sebagai ikon utama kebudayaan Banyuwangi. Pembenahan yang dilakukan Azwar Anas mengubah Banyuwangi menjadi salah satu contoh sukses daerah yang mampu mengangkat kearifan lokal sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Lalu nama yang meroket setelah melakukan pembenahan taman kota dan reformasi birokrasi di berbagai lini adalah Tri Rismaharini.  Walikota Surabaya ini bahkan tercatat paling aktif melakukan inovasi di pemerintahan kotanya.

Selain mereka, masih banyak kepala daerah hasil pilkada yang telah menunjukkan dedikasi dan kinerja dalam membangun daerah mereka. Nama-nama seperti Bupati Tapin Arifin Arpan, Bupati Malinau Yansen Tipa Padan, Wali Kota Makassar Muhammad Danny Pomanto, Bupati Bojonegoro Suyoto, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, dan Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo.

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, Bupati Jombang Suyanto, Bupati Badung Anak Agung Gde Agung, Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, Bupati Luwu Timur Andi Hatta Marakarma, Bupati Gorontalo David Bobihoe, Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama, dan Wali Kota Blitar Djarot Saiful Hidayat.

Dari keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai, kita dapat melihat bahwa pilkada tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh politik, tetapi juga pemimpin-pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan, berani mengambil langkah-langkah inovatif, dan berkomitmen untuk membangun daerah mereka guna menciptakan kesejahteraan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Dengan dibantu saksi, petugas mengecek keabsahan surat suara dalam penghitungan suara di TPS 999 saat berlangsung Simulasi Pemungutan dan Penghitungan Suara untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya, Jawa Timur, Jumat (22/11/2024). 

Ironi

Meskipun banyak pemimpin daerah yang berhasil menunjukkan prestasi dan membuktikan bahwa pilkada dapat melahirkan pemimpin berkualitas, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pemimpin yang terpilih melalui pilkada dapat memenuhi harapan masyarakat. Banyak juga kasus di mana pemimpin daerah gagal menjalankan amanah dengan baik.

Realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa sejumlah kepala daerah terlibat dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi. Berdasarkan data KPK, dari tahun 2004 hingga 2024, sebanyak 167 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Sebagian besar kasus ini melibatkan suap dan gratifikasi, sementara sisanya terkait penyalahgunaan anggaran atau pengadaan barang dan jasa (Kompas, 15/11/2024).

Fakta ini menggambarkan bahwa, meskipun pilkada langsung memungkinkan masyarakat memilih pemimpin secara lebih demokratis, namun tidak menjamin terpilihnya sosok yang bersih dan amanah. Hal ini salah satu penyebab utamanya disebabkan oleh biaya kontestasi yang tinggi. “Investasi” yang ditanamkan untuk meraih kedudukan jauh melampaui kemampuan keuangan para kepala daerah.

Korupsi telah menghambat proses pembangunan daerah. Padahal, seharusnya pemerintah berjalan bebas dari korupsi dan program-programnya tepat sasaran. Dengan demikian, tercapai tujuan bersama, yakni kesejahteraan masyarakat.

Menurut Ryaas Rasyid, pemimpin daerah saat ini hanya sebatas menonjolkan pencitraan dan uang. Demi mengincar jabatan kepala daerah, mereka rela bermain politik uang sehingga ini berakibat fatal di kemudian hari. Ditambah lagi, pencitraan yang ditampilkan ke publik sering kali berlawanan dengan etika serta prestasi mereka.

Pilkada langsung juga memindahkan konflik politik dari level parlemen ke masyarakat. Hal ini tidak jarang memperburuk polarisasi politik dan sering kali memicu perpecahan sosial yang tajam, terutama ketika isu agama dan etnisitas digunakan untuk meraih dukungan.

Salah satu contoh terbaru adalah insiden carok di Sampang, Madura, pada 17 November 2024, yang disebabkan oleh perbedaan dukungan pada calon Bupati Sampang dalam Pilkada 2024. Insiden ini berakhir tragis dengan tewasnya seorang korban setelah terlibat perkelahian fisik menggunakan senjata tajam (Kompas, 19/11/2024).

Fenomena politik dinasti juga menjadi isu yang semakin menonjol dalam setiap pilkada. Politik kekerabatan ini, meskipun tidak dilarang secara eksplisit, menciptakan ketidaksetaraan dalam kompetisi politik dan memperkuat struktur kekuasaan berbasis hubungan keluarga.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Election Corner Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), dan PolGov UGM, pada pilkada serentak 27 November 2024, sebanyak 605 calon politisi dinasti akan berlaga. Jumlah ini hampir dua kali lipat dibandingkan dengan pilkada serentak sebelumnya, yang menunjukkan adanya kecenderungan menguatnya politik kekerabatan (Kompas, 20/11/2024).

Meskipun tak ada larangan terhadap politik dinasti, keberadaannya berpotensi merusak iklim demokrasi Indonesia. Alih-alih memberikan kesempatan kepada pemimpin-pemimpin baru dengan berbagai ide dan perspektif segar, pilkada justru kian terfokus pada pewarisan kekuasaan dalam lingkaran keluarga tertentu. Hal ini membuat sistem politik kita semakin terpolarisasi dan tertutup bagi mereka yang tidak memiliki akses ke jaringan kekuasaan yang sudah mapan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Otonomi Daerah: Dua Sisi Wajah Desentralisasi,” Kompas, 30 September 2019.
  • “Bola Liar Korupsi Kepala Daerah di Pilkada,” Kompas, 14 Desember 2019.
  • “Pilkada dan Kesejahteraan Rakyat,” Kompas, 30 September 2020.
  • “Pilkada Langsung Serentak: Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia,” Kompaspedia, 7 Desember 2020.
  • “Pilkada dan Kepemimpinan Daerah,” Kompas, 14 September 2024.
  • “Pilkada Serentak dan Pembangunan Daerah,” Kompas, 11 November 2024.
  • “Ilusi Pemberantasan Korupsi,” Kompas, 15 November 2024.
  • “Pilkada Harus Direformasi,” Kompas, 19 November 2024.
  • “Pilkada dan Pemimpin Inovator,” Kompas, 18 Juni 2024.
  • “Melonjak Drastis, 605 Politisi Dinasti Ikuti Pilkada Serentak,” Kompas, 20 November 2024.
Buku

Djohan, Djohermansyah, dkk. 2016. Menelisik Sisi Pelik Desentralisasi dan Praktik Pilkada. Jakarta: Yayasan Bhakti Otonomi Daerah.

Internet

Artikel terkait