Paparan Topik | Terorisme

Sejarah Penanganan dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia

Aksi terorisme di Indonesia masih terus terjadi dan bentuk ancaman pun kian berkembang. Terorisme terus mengalami transformasi dalam organisasi, metode, dan targetnya. Lembaga penegak hukum mengimbangi transformasi aksi radikal tersebut dengan upaya penanggulangan dan pencegahan terorisme.

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Sejumlah warga asing berkumpul di area Monumen Tragedi Kemanusiaan Bom Bali 2002 di Jalan Raya Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (12/10/2022). Peristiwa peledakan bom di Bali pada 2002 terjadi di dua lokasi, yakni, di Kuta, Badung; dan di Kota Denpasar.

Fakta Singkat

  • Dua pendekatan penanganan terorisme di Indonesia, yakni pendekatan keras dan pendekatan lunak.
  • Hard Approach (pendekatan keras) cirinya penindakan bersenjata terhadap organisasi teror melalui kekuatan militer.
  • Soft Approach (pendekatan lunak) mengedepankan tindakan yang terintegrasi dan komprehensif dalam menangani masalah radikalisme melalui persuasif, dialog, dan mengajak keterlibatan masyarakat
  • Pada masa Orde Lama, terorisme berbentuk pemberontakan maupun gerakan separatis. Penanganannya dengan melibatkan konfrontasi bersenjata melalui kekuatan militer.
  • Pada masa Orde Baru, teror aksi-aksi separatis dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam radikal yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Soeharto. Penanganannya dengan melibatkan militer dan intelejen negara dengan menggunakan UU Anti Subversi.
  • Pada masa pascareformasi, aksi terorisme berwujud pengeboman dan bom bunuh diri dengan target rumah ibadah, pusat keramaian, kedutaan besar negara sahabat, serta aparat keamanan. Penanganan dilakukan dengan Soft Approach mengutamakan deradikalisasi dan rehabilitasi serta upaya penegakan hukum
  • Landasan hukum dengan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Kemudian, direvisi menjadi UU No. 5 Tahun 2018.
  • Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) didirikan untuk penanggulangan terorisme dengan mengedepankan metode soft approach melalui tindakan yang terintegrasi dan komprehensif dalam menangani masalah mulai dari akarnya.

Lembaga Terkait

Penanganan dan penanggulangan aksi terorisme di Indonesia dilakukan dengan dua macam pendekatan, yakni hard approach (pendekatan keras), dan soft approach (pendekatan lunak). Dua pendekatan ini muncul karena faktor latar belakang aksi terorisme dan landasan hukum yang dipakai untuk menanggulangi aksi terorisme.

Pendekatan keras bercirikan penindakan bersenjata terhadap organisasi teror melalui kekuatan militer, sementara pendekatan lunak lebih mengedepankan tindakan yang terintegrasi dan komprehensif dalam menangani masalah radikalisme. Pendekatan lunak juga mengunakan cara-cara persuasif, dialog, dan mengajak keterlibatan masyarakat dalam menangkal paham radikalisme.

Lembaga pemerintah yang berkaitan dengan terorisme, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (disingkat BNPT). Badan ini adalah sebuah lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penanggulangan terorisme.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BNPT dikoordinasikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. BNPT dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Lembaga ini dipimpin Kepala BNPT yang setingkat Menteri sesuai dengan  Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Penanggulangan Terorisme.

Dalam sejarahnya, teror yang mengancam kedaulatan negara telah dimulai sejak awal kemerdekaan dalam bentuk pemberontakan maupun gerakan separatis. Kemudian, pada masa Orde Baru terror berkembang menjadi aksi-aksi separatis, yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam radikal yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Soeharto.

Kemudian pada masa reformasi, berbagai aksi terorisme terus bermunculan, seperti pengeboman dan bom bunuh diri dengan target rumah ibadah, pusat keramaian, kedutaan besar negara sahabat, serta aparat keamanan. Pasca-reformasi, aksi terorisme di negeri ini mengakibatkan ratusan jiwa meninggal dunia. Kasus terorisme terbesar, yakni Bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang sebagian besar warga negara asing yang berkunjung ke Bali.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Salah satu petugas meminta masyarakat untuk menjauhi perimeter pasca bom bunuh diri di Kantor Polsek Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/12/2022). Ruas Jalan Astana Anyar dengan radius 100 meter dari Kantor Polsek ditutup petugas.

Definisi terorisme

Istilah “terorisme” dalam dua dasawarsa (sejak tahun 2000) kerap diperbincangkan masyarakat seiring peristiwa bom-bom bunuh diri yang menyasar tempat ibadah, kedutaan, keramaian, dan aparat keamanan.

Terorisme secara harfiahnya berasal dari kata dalam bahasa Latin, yakni terrere, yang berarti ”menakuti” atau ”menggigil” atau ”gemetar”. Ketika kata terror ditambah akhiran “isme” yang terdapat dalam bahasa Perancis, maka akan menjadi terrorism yang kemudian diartikan sebagai ”menyebabkan ketakutan”, atau ”membuat gemetar”. Atas dasar itu, teror adalah tindakan yang membuat seseorang atau sekelompok orang ketakutan.

Istilah “Terorisme” menurut Oxford English Dictionary, adalah sistem teror, kebijakan yang dimaksudkan menimbulkan teror pada orang-orang yang disasarnya.

Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “terorisme” diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Teorisme juga diartikan sebagai praktik tindakan teror.

Menurut pengertian itu, para sejarawan mencatat bahwa aksi teror sudah dipakai sejak zaman Yunani hingga Romawi Kuno. Dalam sejarah Yunani Kuno, Xenophon (430–349 BC) menggunakan instrumen perang psikologi (psychological warfare) sebagai strategi efektif untuk memperlemah lawan dengan menyebarkan ketakutan.

Pada masa Romawi Kuno, Kaisar Tiberius dan Caligula mengunakan instrumen teror seperti, penculikan, pembuangan, pengusiran, penganiayaan, dan pembunuhan sebagai metode untuk memperlemah kelompok oposisi pemerintahan.

Revolusi Perancis menjadi titik balik sejarah terorisme. Istilah ”terorisme” muncul pada zaman Revolusi Perancis ketika Le Gouvernement de la Terreur (Kerajaan Teror) berkuasa, 1793–1794, seperti diungkapkan dalam “The History of Terrorism, From Antiquity to Al Qaeda” (Gerard Chaliand dan Arnaud Blind, ed). Kerajaan Teror adalah kampanye kekejaman besar-besaran yang dilakukan Pemerintah Perancis pada masa itu. Dalam tempo setahun, mereka membunuh 16.000 hingga 40.000 orang. Dengan kata lain, Revolusi Perancis-lah yang melahirkan istilah teror atau mungkin lebih tepatnya ”terorisme negara”.

Istilah teror pada masa Yunani hingga Revolusi Perancis merujuk pada modus penguasa guna mematikan perlawanan atau pemberontakan dan intimidasi masyarakat. Dengan demikian, istilah teror dan terorisme menjadikan negara dan kekuasaan sebagai objek yang dituju. Sementara penggunaan teror merupakan strategi penguasa atau negara untuk menjaga stabilitas keamanan dan stabilitas kekuasaan para penguasa.

Penggunaan istilah “terorisme” sebagaimana pada masa Yunani Kuno, Romawi Kuno dan Revolusi Perancis, juga merujuk pada tindakan kekerasan oleh negara atau penguasa terhadap musuh domestiknya yang dianggap mengganggu stabilitas keamanan dan kekuasaan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan terorisme sebagai “tindak kejahatan yang dimaksudkan atau diperhitungkan akan menimbulkan keadaan teror pada masyarakat, sekelompok orang, atau orang-orang tertentu demi tujuan-tujuan politis”. Definisi ini diikuti penjelasan bahwa terorisme tetaplah kejahatan, tidak peduli alasannya, entah bersifat politis, filosofis, ideologis, rasial, etnik, dan religius.

Di Indonesia, definisi terorisme berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Definisi terorisme ini merupakan perubahan dari definisi terorisme sebelumnya pada UU No. 15 Tahun 2003. Jika pada definisi sebelumnya, tidak menyebutkan adanya motif politik, agama/ideologi sedangkan UU No. 5 Tahun 2018 sudah mencatumkannya. Oleh karena itu, interpretasi terhadap pengertian terorisme juga dipengaruhi oleh dinamika perkembangan ancaman terorisme, baik nasional, regional, maupun internasional.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Teroris menaikkan sandera VIP ke kapal motor saat latihan penanggulangan terorisme Komando Operasi Khusus (Koopssus) di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Selasa (21/6/2022). Satgultor TNI melaksanakan Operasi Penanggulangan Aksi Terorisme di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Latihan ini melibatkan Sat-81 Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL dan Satbravo 90 Kopasgat TNI AU, sebagai satuan aksi khusus untuk menangani aksi terorisme.

Orde Lama

Pada masa Orde Lama, aksi yang digolongkan terorisme terlihat dalam aksi perlawanan kelompok bersenjata menggunakan instrumen kekerasan dan aksi teror untuk mengganggu stabilitas keamanan nasional terhadap kedaulatan NKRI dan negara Indonesia demi mewujudkan kepentingan dan agenda politik kelompok tertentu. Aksi kelompok itu teerwujud dalam gerakan separatisme.

Oleh karena itu, dalam titik tertentu antara gerakan separatisme dan terorisme memiliki kesamaan. Mereka sama-sama menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan, baik kekerasan terhadap pemerintah ataupun masyarakat sipil yang dianggap menghalangi tujuan kelompok tertentu. Dalam menanggulangi aksi teror, negara atau pemerintah Orde Lama menggunakan cara-cara keras (hard approach) dengan melibatkan konfrontasi bersenjata melalui kekuatan militer.

Pada masa Orde Lama, aksi teror yang muncul dilatarbelakangi oleh motivasi separatisme atau ingin melakukan kudeta. Aksi-aksi itu mayoritas dilakukan oleh organisasi seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Selain itu, ada pula gerakan yang berlandaskan pada simbol keagamaan, seperti kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kelompok tersebut semangatnya adalah gerakan separatisme. Aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok itu berorientasi pada penggulingan pemerintahan yang sah, mengingat masih labilnya kondisi politik pada masa itu.

Beberapa contoh di antaranya adalah PRRI yang ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. Sementara itu, Permesta yang bebeberapa kali terlibat kontak bersenjata dengan pemerintah, akhirnya memutuskan kembali ke NKRI dan menyatakan pembubaran diri. Sementara APRA yang dipimpin Kapten Raymond Westerling di Bandung pada 1950 berhasil digagalkan TNI dan Westerling pun melarikan diri ke Belanda.

Untuk menindak aktivitas yang dianggap mengganggu kedaulatan negara, termasuk aksi terorisme, pemerintah kemudian mengeluarkan payung hukum, yakni Penetapan Presiden RI No.11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Undang-Undang Anti-Subversi itu sebenarnya tidak secara khusus sebagai produk kebijakan undang-undang yang mengatur tentang penanggulangan aksi terorisme. Namun demikian, kebijakan peraturan anti-subversi yang ditetapkan pada tanggal 16 Oktober 1963 ini memiliki ruang lingkup yang luas termasuk upaya penanganan aksi terorisme.

Latar belakang kemunculan dari kebijakan anti-subversi itu didasarkan pada situasi politik pada saat itu, khususnya pada keadaan revolusi. Dalam konteks masa revolusi tersebut, negara merasa perlu untuk membuat kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan kegiatan subversi dalam rangka mengamankan agenda dan tujuan revolusi. Pasalnya, kegiatan subversi selalu berkaitan dengan politik sehingga menjadi instrumen untuk meraih tujuan politik yakni menguasai atau menciptakan keadaan atau menimbulkan keadaan yang dapat menjatuhkan pemerintahan yang sah dan menjatuhkan negara.

Aksi teror mengganggu stabilitas dan kedaulatan negara Indonesia di masa Orde Lama

  • Gerakan Komunisme pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin (1948 dan 1965)
  • Gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan Kapten Raymond Westerling (1950)
  • Gerakan Kapten Andi Aziz (1950)
  • Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) (1950)
  • Gerakan DI/TII Kartosuwiryo (1949–1963)

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Polisi menyerbu Gedung Skyline, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016) setelah terjadi ledakan bom dan penembakan oleh sejumlah teroris.

Orde Baru

Pada masa Orde Baru, aksi terorisme yang muncul didominasi oleh gerakan-gerakan Islam radikal yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Soeharto. Ancaman teror yang mendominasi pada masa itu adalah ancaman pengeboman, dan pembajakan pesawat.

Sejumlah aksi terorisme yang terjadi pada masa Orde Baru, yakni kasus pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla pada 28 Maret 1981, dan pengeboman Candi Borobudur pada 21 Januari 1985.

Dalam menangani kasus-kasus teroris itu, negara masih menggunakan cara-cara keras (hard approach) seperti yang dilakukan Orde Lama dalam memerangi bahaya teror. Orde Baru mengunakan payung hukum sama seperti Orde Lama, yakni Penetapan Presiden No.11/1963 yang sempat dianggap tidak berlaku saat dimulainya era Orde Baru, namun pada tahun 1969 aturan itu dikuatkan menjadi UU yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Nomor 11/PNPS/ Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi atau biasa disebut UU Anti-Subversi.

Dengan payung hukum tersebut pendekatan penanggulangan terorisme yang dikategorikan sebagai kegiatan subversi lebih banyak menggunakan hard approach dengan melibatkan pasukan keamanan dan kemiliteran, yakni Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini menjadi TNI dan Polri).

Implementasi dari pendekatan keras dalam menangani terorisme itu menempatkan ABRI sebagai garda terdepan dengan mendirikan unit khusus anti-terror. Pasca-peristiwa teror pembajakan pesawat garuda Woyla pada tahun 1981 misalnya, TNI mendirikan Unit Khusus Den 81 Kopassus pada tahun 1982 dan Den Bravo Paskhas pada tahun 1990.

Di samping itu, penanganan dan penanggulangan terorisme pada masa Orde Baru juga dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi intelijen melalui Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Melalui institusi itu, kebijakan penanggulangan terorisme Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan militer yang menempatkan ancaman terorisme sebagai gangguan terhadap eksistensi negara.

Pemberlakuan UU Anti-Subversi dalam menangulangi terorisme berakhir pada tahun 1999 melalui UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/ Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Pencabutan ini dalam rangka merespon spirit reformasi 1998 yang menilai UU Anti-Subversi Tahun 1963 bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum. UU itu dalam penerapannya kerap menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di dalam maysarakat.

Gerakan kelompok bersenjata yang mengarah pada aksi terorisme pada masa Orde Baru:

  • Komando Jihad, gerakan terorisme yang kendalikan salah satunya oleh Haji Ismail Pranoto. Gerakan Komando Jihad mulai melakukan aksi-aksi teror pada sekitar tahun 1976;
  • Front Pembebasan Muslim Indonesia, sebuah gerakan di Aceh yang dipimpin oleh Hassan Tiro dengan motif ketidakadilan pembangunan dan tindakan represif pemerintah terhadap umat Muslim di Aceh;
  • Gerakan Fretelin’s (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) di Timor Timur.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Seorang peserta aksi solidaritas antarumat beragama memungut bunga untuk ditata di depan Katedral Hati Yesus yang Mahakudus Makassar, Sulawesi Selatan, pada perayaan Minggu Paskah (4/4/2021). Aksi itu adalah respons terhadap serangan teror bom bunuh diri yang terjadi pekan lalu.

Pasca-reformasi

Pada era Reformasi, UU No.11/PNPS/1963 dicabut melalui penetapan Undang-Undang No.26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/ Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

Dengan tidak adanya payung hukum yang spesifik dalam penindakan aksi teror, berbagai aksi terorisme terus bermunculan, seperti pengeboman dan bom bunuh diri dengan target rumah ibadah, pusat keramaian, kedutaan besar negara sahabat, serta aparat keamanan.

Salah satu aksi teror dalam skala besar dan mengakibatkan puluhan korban tewas terjadi pada Malam Natal Tahun 2000 di sejumlah gereja di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, ledakan bom di Kedutaan Besar Filipina, bom di Bursa Efek Jakarta, dan aksi terorisme terbesar, yaitu peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002.

Rentetan teror yang terjadi itu direspon pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No.2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002.

Perpu tersebut merupakan kebijakan strategis dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sekaligus untuk memperkuat ketertiban masyarakat dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, serta tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.

Selanjutnya, Perpu No.1 Tahun 2002 ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 pada 4 April 2003. UU tersebut menjadi payung hukum bagi pemberantasan tindak pidana terorisme dalam kaitannya dengan hard approach, di samping UU No.9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Undang-Undang tersebut memberikan tugas dan wewenang kepada Polisi sebagai unsur utama dalam memberantas aksi terorisme. Berlandaskan payung hukum UU No.15 Tahun 2003, aksi teror sebagai bentuk kejahatan khusus didekati melalui mekanisme penegakan hukum. Melalui pendekatan ini, Pemerintah membentuk Densus 88 sebagai satuan khusus di dalam organisasi Polri yang menjadi instansi penumpasan aksi teror.

Rumusan UU No.15 Tahun 2003 yang menjadi payung hukum bagi pemberantasan aksi terorisme itu oleh sejumlah kalangan dinilai masih jauh dari sempurna. Di satu sisi, rumusan pasal dalam undang-undang tersebut dipandang belum mengatur secara komprehensif, khususnya terkait dengan strategi pencegahan maupun penanggulangan terorisme. Di sisi lain, terdapat sejumlah rumusan yang masih kurang selaras dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Untuk menyelaraskan hal itu, pemerintah menyiapkan payung hukum baru dengan mengajukan revisi UU No.15 Tahun 2003. Banyak subtansi pengaturan yang dimuat dalam RUU baru di bidang penindakan terorisme ini. Tidak hanya bicara pemberantasan, UU ini juga bicara aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan, dan pengawasan.

Revisi itu diajukan agar aparat keamanan dapat mengambil tindakan lebih awal kepada mereka yang akan melakukan aksi teror sehingga aksi teror dapat dicegah tanpa mengabaikan aspek hak asasi manusia. Pada Januari 2016, Pemerintah mengajukan RUU Tindak Pidana Terorisme atau biasa disebut RUU Antiterorisme kepada DPR RI.

Melalui revisi itu, Pemerintah menekankan pendekatan lunak (soft approach) dalam menangani aksi terorisme di Indonesia. Detasemen Khusus 88 Antiteror, Kepolisian Negara RI tidak lagi mengutamakan upaya penegakan hukum, tetapi juga pendekatan lunak, terutama deradikalisasi dan rehabilitasi.

Pemerintah juga memasukkan payung hukum keterlibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme dalam revisi tersebut. Keterlibatan TNI diatur dalam Pasal 43 dalam RUU Antiterorisme usulan Pemerintah. Pasal 43I UU antiterorisme menyebutkan: 1) tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme adalah merupakan bagian dari operasi militer selain perang; 2) dalam mengatasi aksi terorisme dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI; 3) ketentuan mengenai pelaksanaannya diatur dengan peraturan presiden.

Setelah melalui perdebatan sekitar dua tahun, revisi itu akhirnya disetujui DPR dalam rapat paripurna DPR pada 25 Mei 2018. Dengan UU yang baru itu, kepolisian dan TNI bisa melakukan segala langkah yang dibutuhkan untuk mencegah teroris beraksi, dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Revisi UU terorisme itu memberikan kewenangan terhadap aparat penegak hukum untuk menangkap terduga teroris yang terindikasi akan melakukan serangan, berbeda dengan aturan hukum sebelumnya yang tidak bisa menangkap terduga teroris sampai setelah ada kejadian teror.

Selanjutnya pemerintah mengundangkan revisi RUU baru itu dalam bentuk Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Kasus Terorisme Bom Terbesar pada Masa Reformasi:

  • Bom Gereja serentak di malam Natal 2000. Ledakan bom terjadi di gereja-gereja di 13 kota di Indonesia pada malam Natal dari Medan, Pekanbaru, Jakarta, Mojokerto, Mataram, dan lain-lain. Serangan secara serentak ini menyebabkan 16 orang meninggal dan 96 terluka.
  • Bom Bali I, Tiga bom meledak di Bali pada 12 Oktober 2002. Ledakan ini menewaskan 202 orang yang sebagian warga negara asing dan ratusan orang luka. Ledakan terjadi di depan Diskotek Sari Club dan Diskotek Paddy’s, Jalan Legian, Kuta, dan di depan Konsulat Amerika Serikat di wilayah Renon, Denpasar.
  • Bom JW Marriot, Bom meledak di Hotel JW Marriot di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 5 Agustus 2003. Ledakan tersebut menewaskan 14 orang dan membuat 156 orang luka-luka.
  • Bom Bali II, Bom kembali meledak di Bali pada 1 Oktober 2005. Tiga ledakan bom terjadi di R.AJA’s Bar and Restaurant, Kuta, serta Menega Cafe dan Nyoman Cafe, Jimbaran. Dalam aksi teror ini, 23 orang tewas termasuk pelaku dan ratusan luka-luka.
  • Bom JW Marriot dan Ritz Carlton, Ledakan bom terjadi di dua hotel berbintang lima, yakni JW Marriot dan Ritz Carlton, di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009. Sembilan orang tewas, enam di antaranya warga negara asing, dan 53 orang luka-luka. Dua di antara yang tewas merupakan pelaku bom bunuh diri.
  • Bom di depan gedung Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari 2016. Dalam aksi teror tersebut, delapan orang tewas dan 26 orang lainnya luka-luka.

Sumber: Litbang Kompas

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petugas Inafis berada di lokasi kejadian bom meledak di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuna, Surabaya, Minggu (13/5/2018). Teroris meledakkan bom di tiga gereja di Surabaya.

Peran BNPT

Melihat fenomena organisasi terorisme yang makin sistematik, Pemerintah kemudian mendirikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pendirian lembaga ini berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Pendirian BNPT ini menandai dimulainya babak baru dalam metode penanggulangan terorisme yang mengedepankan metode soft approach.  Metode soft approach mengedepankan tindakan yang terintegrasi dan komprehensif dalam menangani masalah radikalisme, mulai dari akarnya. Metode ini memakai cara-cara persuasif, dialog, mengajak keterlibatan masyarakat dalam menangkal faham radikalisme.

Berdasarkan Perpres itu, BNPT memiliki tugas, antara lain, merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Kemudian mengoordinasikan antar-penegak hukum dalam penanggulangan Terorisme, serta merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kerja sama internasional.

Tugas lainnya, yakni menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme, menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme, serta melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.

Dalam upaya penanggulangan terorisme, BNPT menekankan upaya yang integratif dan komprehensif, mengedepankan pendekatan persuasif dengan berbagai program yang menyentuh akar persoalan, yakni ideologi, sosial, ekonomi dan ketidakadilan. BNPT juga menjadi garda terdepan yang mengkoordinasikan seluruh potensi daya dari berbagai elemen bangsa dalam penanggulangan terorisme.

Dalam perkembangannya, kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam upaya penanggulangan terorisme pun diperkuat yang tertuang dalam Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme). Revisi itu menambah ketentuan mengenai kelembagaan dengan memasukkan tugas, fungsi dan kewenangan Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT).

Sebelum diatur dalam UU Antiterorisme, dasar pembentukan BNPT hanya melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. Sejak berlaku revisi UU tersebut, BNPT diatur tersendiri dalam UU itu, yakni di Bab VIIIB pasal 43E hingga pasal 43H dengan menambah ketentuan mengenai kelembagaan dengan memasukkan tugas, fungsi dan kewenangan BNPT.

Dalam pasal 43E ayat 1 disebutkan bahwa BNPT berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 43 ayat 2, BNPT juga menjadi pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah langkah penanganan krisis. Termasuk, pengerahan sumber daya dalam menangani terorisme.

Tak hanya terkait kelembagaan, BNPT juga memiliki fungsi menetapkan dan mengoordinasikan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme, serta melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi yang menjadi titik poin dalam UU Terorisme yang baru tersebut.

Dalam Revisi UU itu, BNPT menjadi garda terdepan upaya penanganan terorisme, mulai dari tahap pencegahan, penindakan, hingga pasca-aksi terorisme. BNPT bertugas mengoordinasikan antarpenegak hukum dalam penanggulangan terorisme. BNPT juga mengoordinasikan program pemulihan korban serta mengoordinasikan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kerja sama internasional. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Modul Pengetahuan Dasar Ancaman dan Perkembangan Terorisme di Indonesia, BNPT, 2021
  • Modul Pengetahuan Dasar Kelembagaan Badan Nasional Penangulangan Terorisme, BNPT, 2021
  • Modul Pengetahuan Dasar Kebijakan dan Peraturan Perundangan Tentang Penangulangan Terorisme, BNPT, 2021