Paparan Topik | Terorisme

Relasi Internet, Media Sosial, dan Narasi Terorisme

Pada konteks modernitas dan kemajuan internet, narasi menjadi komoditas pengaruh yang substansial dan cukup kuat. Dalam perspektif kejahatan terorisme, di satu sisi, internet dan media sosial cukup efektif sebagai propaganda narasi oleh pelaku terorisme. Namun di sisi lain, narasi juga menjadi alat utama dalam perlawanan terhadap terorisme.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Delapan anggota Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI Angkatan Laut memeragakan teknik penyerbuan dengan cara menuruni tali sambil menembak, dalam simulasi penanganan teroris di Markas Denjaka, Cilandak, Jakarta, Kamis (31/10/2002).

Fakta Singkat

  • Dalam era modernitas dan kemajuan internet, penyebaran terorisme melalui platform dunia maya menjadi wujud risiko baru.
  • Dari tahun 2017 sampai dengan 2019, Kominfo telah memblokir 13.151 konten radikalisme dan terorisme dari berbagai kanal media sosial.
  • Facebook/Instagram menjadi sumber narasi terorisme terbanyak dengan mencapai 9.452 konten.
  • Sepanjang tahun 2020, BNPT telah menangani 341 konten radikal terorisme. Dari angka tersebut, temuan terbanyak diperoleh dari platform Facebook dengan 113 konten.
  • Jenis narasi yang biasa dimainkan oleh kelompok teroris adalah narasi religius/ideologis, narasi politik, narasi ekonomi, dan narasi sosial heroik.
  • Dalam konter-terorisme, terdapat dua jenis narasi: kontra-narasi dan narasi alternatif.
  • Kehadiran Duta Damai Dunia Maya di tiap provinsi menjadi upaya konkret menghadirkan narasi alternatif kontra-terorisme di dunia maya.

Lembaga Terkait

Lompatan kemajuan teknologi informasi berlangsung dalam periode yang begitu singkat. Pada satu sisi, gerak baru ini memperoleh selebrasi gempita dalam kelahiran Revolusi Industri 4.0. Namun di sisi lain, kehadirannya yang radikal disambut oleh penyesalan dan ketakutan akan tumbangnya banyak pranata sosial dan kemunculan risiko. Termasuk salah satunya peningkatan narasi ekstremisme dan terorisme.

Dalam dunia maya yang bertumbuh begitu cepat, narasi menjadi komoditas utama. Dari website, Facebook, Twitter, hingga WhatsApp menjadi wadah distributor narasi. Pada satu sisi, hal ini membuka peluang keterbukaan dan kebebasan. Sebagaimana dituliskan Erich Fromm dalam Fear of Freedom, umat manusia selalu meriah merayakan kebebasan, terutama dari aktor-aktor penekan. Sampai-sampai, mereka buta terhadap potensi bahaya yang muncul.

Menurut sosiolog Jerman, Ulrich Beck, era modernitas mendekatkan manusia pada identitas dirinya. Nilai individualitas pun meningkat. Mirisnya, pertumbuhan identifikasi diri, baik secara kultural, agama, maupun ideologi, cenderung bergerak ke dalam. Hal ini berakibat pada kian melekatnya nilai-nilai ekslusivitas dan etnosentrime identitas.

Akibatnya, antarkelompok identitas justru memandang kelompok lain sebagai perbedaan dan ancaman. Polarisasi pun kian menguat. Beck merumuskan kondisi demikian dalam konsep “masyarakat risiko” (risk society) di mana kemajuan teknologi justru melahirkan distribusi risiko yang kian luas dan bervariasi, termasuk salah satu risiko baru tersebut adalah merebaknya terorisme lewat sudut-sudut dunia maya.

Sebagaimana tertulis dalam buku Post-Truth dan (Anti) Pluralisme, absolutisme kebebasan pada dunia maya telah menciptakan keterbukaan bagi terciptanya narasi-narasi negatif. Bentuk spesifiknya adalah seperti berita bohong, penyebaran kebencian, dan indoktrinasi pengaruh. Mengutip Muhammad Hikam dalam buku Deradikalisasi, jejaring dunia maya telah memainkan peranan penting bagi perkembangan ideologi dan pengaruh kelompok terorisme ISIS.

Dengan luruhnya kemapanan pranata sosial lama, penguatan polarisasi, dan kebebasan pada dunia maya, kesempatan meningkatnya pembentukan basis terorisme kian menguat. Melalui produksi narasi, pandangan-pandangan radikal dan kebencian yang mendukung paham terorisme hilir mudik memasuki dunia maya. Secara empiris, narasi disampaikan melalui bentuk konten sebagai kendaraannya.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Personil Sat 81 Kopassus melakukan penyerbuan untuk membebaskan sandera dalam latihan penanggulangan terorisme Satuan Gultor TNI di Hotel sultan, Senayan, Jakarta, Rabu (1/8/2018). Latihan yang diikuti personil Sat-81 Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL, Sat Bravo 90 TNI AU itu untuk mewujudkan kesiapan operasional satuan Gultor TNI, terutama dalam pengamanan pelaksanaan Asian Games 2018.

Narasi Terorisme dalam Dunia Maya

Masifnya pertumbuhan narasi digital terorisme seiring dengan pertumbuhan media sosial tampak nyata di Indonesia. Hal ini tampak dari jumlah konten radikalisme terorisme yang ditangani oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia. Dalam laporan yang dirilis oleh Ditjen Aplikasi Informartika, selama periode 2017 sampai dengan 2019 Kominfo melakukan pemblokiran terhadap 13.151 konten radikalisme dan terorisme dari berbagai kanal media sosial. Dari jumlah tersebut, Facebook/Instagram menempati posisi pertama sebagai sumber terbanyak dengan mencapai 9.452 konten.

Sementara dalam laporan yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mereka telah menangani 341 konten radikal terorisme sepanjang tahun 2020. Dari angka tersebut, temuan terbanyak diperoleh dari platform Facebook dengan 113 konten. Sumber narasi radikal terorisme terbanyak kedua berasal dari Twitter, diikuti oleh websites, Instagram, dan terakhir Youtube. Menurut catatan BNPT, sejak 2014 penyebaran terorisme gencar dilakukan melalui digital.

Untuk mengatasi ini, Kominfo membentuk portal khusus bernama Aduan Konten. Tujuannya adalah agar masyarakat bisa terlibat langsung dalam membendung arus terorisme dan konten negatif lainnya dengan melaporkan ke pihak berwajib. Semenjak diluncurkan pada Agustus 2017 hingga Desember 2018, portal Aduan Konten telah memperoleh laporan konten terorisme/radikalisme sebanyak 497 kali. Dengan jumlah tersebut, jenis konten terorisme/radikalisme menempati posisi keenam terbanyak yang dilaporkan masyarakat maya.

Data tersebut menunjukkan bahwa kini para teroris memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mempermudah perekrutan anggota baru. Mengenai ini, Kasubdit Pengendalian Konten Internet, Ditjen Aptika Kementerian Kominfo, Anthonius Malau (07/05/2019) mengatakan, “Penggunaan internet oleh kelompok teror menciptakan tantangan baru dalam penanggulangan terorisme dari berbagai aspek seperti hukum, teknis, dan sosial religius”.

Anthonius Malau menggarisbawahi bahwa penanggulangan terorisme oleh Kominfo dilakukan di dunia maya sebagai akibat telah digunakannya konektivitas internet oleh kelompok teroris. Ia menyoroti perlunya strategi penaggulangan yang meliputi berbagai organisasi dan kelembagaan. Misalnya, kerja sama antarinstansi pemerintah, perusahaan penyedia media sosial, penyelenggara sistem elektronik, dan komunitas yang menggeluti bidang Teknologi Informasi.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Warga membubuhkan cap tangan saat sosialisasi dan deklarasi Masyarakat Indonesia Anti Hoax di Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Jakarta, Minggu (8/1/2017). Deklarasi yang juga dilakukan di lima kota lainnya di Indonesia itu bertujuan untuk membersihkan media sosial dari berita bohong alias Hoax.

Tren Transisi Terorisme

Dalam loka karya Growing Tolerance Through Peaceful Narratives yang diinisiasi oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan BNPT pada April 2022 lalu, Koordinator Program Marco Venier menyampaikan bahwa pada saat ini terdapat tiga tren transisi terorisme. Secara khusus di Asia Tenggara dan Indonesia, tren terorisme tersebut, antara lain, pelibatan kelompok perempuan dan anak-anak; menurunnya kapasitas destruksi aksi teror; dan penggunaan media internet sebagai komunikasi dan penyebaran terorisme.

Hal terakhir yang disebutkan menjadi fokus dari tulisan ini di mana kehadirannya menjadi katalis bagi penyebaran terorisme dan kedua tren lainnya. Media internet, seperti telah dituliskan sebelumnya, menjadi koridor bagi saluran narasi radikalisme dan terorisme. Meski begitu, dependensi terorisme pada internet tidak hanya disebabkan oleh kemajuan internet itu sendiri.

Laporan Global Terrorism Index 2022 mencatat bahwa salah satu penyebabnya adalah pandemi Covid-19. Dengan kemunculan pandemi, dituliskan bahwa peran dimensi dunia maya bagi terorisme pun meningkat masif. Kondisi sosio-kultural yang serba terbatas di seluruh dunia membuat masyarakat menghabiskan waktu lebih banyak di dunia maya.

Laporan yang dibuat oleh Institute for Economics & Peace ini menuliskan bahwa kesempatan pandemi digunakan kelompok teroris untuk menyebarkan narasi kebencian secara daring. Pandemi telah dimanfaatkan kelompok berideologi radikal dan antipemerintah untuk menggarisbawahi ketidakpercayaan pada pemerintah dan dukungan terhadap ideologi mereka.

Selain itu, media sosial telah memungkinkan kelompok teroris memiliki kesempatan yang besar dalam menjangkau berbagai kelompok dan komunitas dalam propaganda mereka. Semua narasi terorisme sekarang dapat diakses secara daring. Semua yang memiliki ponsel cerdas dan koneksi internet dapat dengan segera menjangkaunya.

Dalam laporan terorisme oleh Soufan Center pada Juni 2021, disebutkan bahwa salah satu ruang baru dalam indoktrinasi narasi terorisme adalah Telegram dan WhatsApp. Melalui grup obrolan, kelompok teroris mengindoktrinasi pria dan wanita, merawat mereka, untuk kemudian mendorong mereka pada aksi teror yang konkret.

Hal ini terwujud secara konkret pada kasus kerusuhan di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat pada Mei 2018. Dalam kasus tersebut, narapidana yang pro-ISIS melakukan kerusuhan hingga membunuh beberapa aparat kepolisian. Tindakan mereka tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk video dan foto. Selanjutnya, produk media tersebut dengan cepat dibagikan di grup-grup obrolan pro-ISIS di Telegram, dengan dilengkapi narasi rekomendasi agar para anggota grup juga mengambil tindakan serupa.

Melalui narasi tersebut, dua wanita muda berusia 18 dan 21 tahun pun terpengaruh untuk ikut terjun. Mereka sendiri merupakan anggota dari grup obrolan Telegram yang menyebut dirinya “Turn Back Crime”. Keduanya memutuskan untuk pergi membantu para perusuh sebelum akhirnya ditangkap di luar penjara ketika melakukan usaha percobaan penyerangan terhadap polisi dengan senjata gunting.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pasukan Detasemen Jala Mangkara Satuan Anti Teror TNI AL bersiap dalam Hari Ulang Tahun Marinir Ke-60 di Markas Komando Marinir di Jakarta, Selasa (15/11/2005).

Narasi Terorisme

Dalam konteks terorisme, Senior Research Analyst di Hedayah Center, Sara Zeiger, menuliskan bahwa terminologi “narasi” merujuk pada kronologi atau metode rekrutmen para ekstremis brutal. Ia menuliskan bahwa dalam bermain pada tataran narasi, kelompok teroris biasa berfokus pada penggunaan sejumlah jenis topik untuk terlebih dahulu menarik atensi dari audiensnya. Setidaknya, terdapat empat jenis narasi yang biasa digunakan dalam proses rekrutmen anggota/”pejuang” di Asia Tenggara. Hal ini Zeiger muat dalam laporannya berjudul “Melemahkan Narasi Teroris di Asia Tenggara: Sebuah Panduan Praktis” pada Agustus 2016.

Narasi Religius atau Ideologi

Narasi indoktrinasi dalam jenis ini digunakan oleh kelompok teroris untuk membenarkan tujuan akhir dari aksi-aksi ekstrem mereka melalui elemen agama atau ideologi. Nilai-nilai ke-Tuhan-an menjadi sumber legitimasi yang memperkuat basis narasi ekstemisme dan radikalisme. Di Asia Tenggara, jenis narasi ini menjadi yang paling umum digunakan.

Zeiger mencontohkan bahwa substansi umumnya adalah dengan menyudutkan kelompok eksternal yang tidak sejalan dengan ideologi atau agama kelompok teror tersebut. Kritik dan tuduhan moral disampaikan dengan dilengkapi persuasi bahwa melalui merekalah disediakan jalan moral yang sesuai.

Dari Thailand, Indonesia, hingga Malaysia banyak ditemukan platform media daring yang menyebarkan materi pengajaran agama. Narasi-narasi di dalamnya mendesak audiens untuk mengambil tindakan perlawanan. Majelis Syura Mujahidin di Thailand misalnya, mengangkat dan menerjemahkan opini religius Abdullah Azam, seorang intelektual Muslim yang berafiliasi pada kelompok teroris Al-Qaeda. Pembenaran religius atas terorisme tersebut kemudian disebarkan dalam bahasa Melayu ke khalayak dunia maya. Diseminasi pembenaran yang demikian begitu berbahaya sekaligus jitu, terutama dalam konteks masyarakat yang masih memiliki hubungan erat dengan institiusi agamanya.

Narasi Politik

Dalam narasi politik, arah dan tujuan yang ditetapkan adalah pada koridor politik. Contohnya seperti menjatuhkan pemerintahan yang sedang berjalan, merubah struktur negara, atau membentuk sistem hukum yang baru yang sesuai dengan paham kelompok terorisme terkait.

Di Asia Tenggara, narasi politik ini memiliki sejumlah keselarasan dengan narasi religius. Zeiger menuliskan bahwa keduanya pun dapat digunakan secara beriringan. Biasanya, keselarasan ini dilakukan melalui cara pemberian akses dan legitimasi politik terhadap otoritas religius dari kelompok terorisme terkait. Otoritas keagamaan beserta ideologi religiusinya dinarasikan sebagai pihak yang memiliki kewenangan sesungguhnya dalam penguasaan terhadap sebuah teritorial maupun masyarakat.

Salah satu pengguna narasi ini adalah kelompok terorisme Jamaah Islamiyah. Kelompok ini menarasikan tujuan utama mereka adalah untuk membentuk sebuah Dawla Islamiyah regional atau negara Islam. Di dalamnya akan mencakup kesatuan agama, politik, dan militer. Dalam narasinya, Jamaah Islamiyah memasukkan argumen bahwa tiap Muslim harus menjadi bagian dari sebuah kelompoknya sendiri.

Saat ini, cakupan jaringan Jamaah Islamiyah telah berkurang secara signifikan. Meski begitu, wacana pembentukan kekhalifahannya ditakutkan masih hidup dan hadir secara laten, atau terwariskan dalam kelompok-kelompok penerusnya. Salah satu kelompok teroris di Indonesia dengan afiliasi pada Jamaah Islamiyah adalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso.

Dengan aksinya di Poso, kelompok ini berupaya untuk menegakkan kekhalifahan dan implementasi syariah di Indonesia. MIT menggunakan narasi bahwa pendirian sistem politik demikian adalah kebenaran ilahiah. Untuk mendukung argumen, mereka juga menyajikan utopia kekhalifahan–-mirip seperti apa yang disampaikan oleh ISIS untuk mendulang simpatisan dari seluruh penjuru dunia. Di dalam narasi utopis tersebut, termuat gagasan seperti pemberian akses air dan listrik, penyediaan infrastruktur yang aman dan nyaman, keberlanjutan pendapatan dan bahan pokok, perlindungan, hingga pendidikan bagi “warga negara”-nya.

Narasi Sosial/Heroik

Penggunaan narasi ini memainkan peran besar dalam tataran psikologis audiensnya. Ada dua narasi besar sosial/heroik yang sesuai dan digunakan dalam jenis ini. Yang pertama adalah narasi viktimisasi. Dalam bentuk ini, narasi yang dibangun adalah menciptakan perspektif sosial-psikologis di mana seolah audiens yang dituju merupakan korban daripada sistem sosial-politik yang sedang berlangsung.

Narasi dalam bentuk demikian sangat dekat dengan paham Populisme. Dalam buku Demokrasi, Agama, Pancasila, Franz Magnis-Suseno menuliskan bahwa di dalam pengaruh psikologis semacam ini, akan termuat pembangunan persepsi penderitaan, pengarahan pada perspektif ketidakadilan, dan menunjuk sosok jahat atau antagonis yang perlu dimusuhi.

Yang kedua, adalah narasi sosial-heroisme. Di dalamnya termuat persuasi psikologis agar audiens yang ditargetkan seolah memiliki dorongan personal untuk ambil bagian dalam perlawanan terhadap kondisi ketidakadilan yang seolah muncul. Dalam narasi demikian, juga dibangun elemen tekanan maupun keinginan untuk terlibat dalam perjuangan yang lebih besar, bahkan lebih radikal.

Di Indonesia, contoh konkretnya adalah kasus Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002. Serangan yang melibatkan anggota Jamaah Islamiyah tersebut, didorong oleh motivasi pembalasan dendam dari narasi ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Muslim di Palestina (Kompas.com, 29/05/2012, “Umar Patek Mengaku Tidak Setuju Bom Bali”). Dengan kondisi tersebut, kelompok teroris seperti Muklas dan Imam Samudra berniat untuk melakukan aksi “heroik” sebagai bentuk perlawanan dan solidaritas sesama anggota kelompok yang lain.

Narasi Ekonomi

Jenis narasi terakhir adalah varian yang paling sedikit ditemukan di Asia Tenggara. Zeiger menuliskan bahwa narasi ini menggunakan wacana di mana “ekstremis brutal secara langsung atau tidak langsung mengatakan bahwa dengan bergabung dengan organisasi tersebut, kemerdekaan ekonomi akan dapat diraih”.

Zeiger mencontohkannya dengan mengambil sampel anggota asli kelompok terorisme Abu Sayaf di Filipina. Para anggotanya berasal dari kelompok masyarakat miskin. Alasan mereka bergabung adalah karena marginalisasi ekonomi yang dialami. Narasi yang dibangun adalah keanggotaan dalam kelompok terorisme Abu Sayaf dapat membawa mereka menuju pembebasan dari persoalan ekonomi. Dengan menggunakan modus operandi berupa penculikan demi uang tebusan, tampak bagaimana narasi ekonomi menjadi motif dominan dalam latar belakang kelompok terorisme ini.

Muhammad Hikam juga memaparkan hal yang sama terkait kelompok terorisme ISIS. Ajakan bergabung ke Siria dilakukan dengan iming-iming uang. Rincian iming-iming uang tersebut adalah 50 dollar AS perbulan bagi pasukan ISIS. Selain itu, apabila membawa serta keluarga akan memperoleh tambahan uang bulanan sebesar 50 dollar AS per istri dan 25 dollar AS per anak. Hikam menuliskan bahwa metode dengan iming-iming imbalan uang ini “cukup ampuh untuk merekrut beberapa calon relawan ISIS dari Indonesia”.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Polisi menyerbu Gedung Skyline, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016) setelah terjadi ledakan bom dan penembakan oleh sejumlah teroris,

Konter-Terorisme dalam Narasi

Narasi telah menjadi entitas utama dalam indoktrinasi nilai-nilai terorisme. Media sosial dan internet menjadi wahana utama perantaranya menuju audiens yang ditargetkan. Transisi terorisme yang demikian mendorong pihak-pihak berwajib hingga masyarakat untuk juga melakukan transisi metode dalam pencegahan dan perlawanan terorisme.

Dengan penggunaan narasi yang demikian, Marco Venier menyampaikan bahwa narasi pun menjadi alat yang juga kian penting dalam perlawanan terhadap terorisme. Media sosial harus dimanfaatkan sebagai wahana bagi gerakan konter-terorisme.

Dalam konteks demikian, pembawa berita dan spesialis sosial media Marvin Sulistio merumuskan bahwa dalam kegiatan konter-terorisme terdapat dua jenis narasi yang dapat diciptakan. Keduanya adalah kontra-narasi dan narasi alternatif. Topik ini sendiri disampaikan Sulistion dalam kesempatan yang sama dengan Marco Venier; loka karya Youth Peace Ambassador: Growing Tolerance Through Peaceful Narratives.

Merujuk kembali pada Sara Zeiger, konsep “kontra-narasi” secara umum dapat didefinisikan sebagai “kronologi atau kontra-argumen yang digunakan untuk mengurangi daya tarik ekstremisme brutal”. Di dalam pembentukan kontra-narasi ini, tercakup kontra-argumen dari narasi-narasi terorisme yang dibangun. Melalui pemahaman demikian, dapat dipahami bahwa kontra-narasi merupakan teknik narasi yang secara langsung mengonfrontasi wacana yang bertentangan dengannya.

Dalam penjelasannya, Marvin menegaskan bahwa terkadang konfrontasi langsung diperlukan. Tujuannya adalah untuk dengan segera meluruskan secara eksplisit kesalahan atau miskonsepsi yang disampaikan pada narasi pertama. Penggunaan kontra-narasi didasarkan pada tingkat urgensitasnya. Oleh karena itu, bentuk narasi yang demikian lebih bersifat jangka pendek karena tendensinya dalam menciptakan perdebatan.

Pada sisi lain, hadir bentuk narasi alternatif. Narasi jenis ini tidak secara langsung melakukan konfrontasi terhadap narasi terorisme. Meski begitu, bentuk ini mengambil posisi lain yang berbeda dan bergerak pada wacananya sendiri. Dengan pola demikian, sifat dari narasi alternatif adalah melakukan konfrontasi secara tidak langsung dengan memberikan wacana yang berbeda posisinya.

Dalam sifat yang demikian, narasi alternatif memang tidak akan memberikan dampak yang terasa langsung. Meski begitu, sifat dampaknya adalah jangka panjang. Dalam usaha konter-terorisme, Marvin sendiri mendorong penggunaan narasi alternatif sebagai alat utama. Ia menyoroti bahwa dengan penggunaan narasi alternatif, produsen narasi perdamaian akan dapat menghasilkan ragam variasi narasi yang mendukung. Sementara bentuk konter-narasi hanya terbatas pada menanggapi narasi sebelumnya.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Polisi berjaga dengan senjata laras panjang di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3/2021), setelah seorang terduga teroris menyerang markas kepolisian tersebut. Pelaku tewas setelah ditembak petugas. Mabes Polri memperketat penjagaan pascaserangan dari terduga teroris yang tewas usai baku tembak.

Narasi Alternatif

Urgensitas narasi alternatif ini disadari oleh BNPT dengan menggandeng para pegiat dunia maya, khususnya kalangan anak muda. Tujuan utama dari upaya BNPT ini adalah menghadang penyebarluasan paham radikalisme dan terorisme melalui internet. Melalui tujuan tersebut, BNPT kemudian membentuk Duta Damai Dunia Maya. Pembentukannya dilakukan per provinsi untuk secara efektif merangkul kondisi dan kebutuhan regional secara relevan. Hingga saat ini, Duta Damai Dunia Maya telah dibentuk di 14 provinsi Indonesia.

Duta Damai memiliki tugas utama sebagai mitra BNPT dalam upaya konter-terorisme dan konter-radikalisme melalui narasi yang disebarkan melalui dunia maya. Telah aktif sejak tahun 2016, Duta Damai Dunia Maya berkegiatan dalam koridor kegiatan yang dapat mendorong nasionalisme, perdamaian, dan kecintaan terhadap Indonesia. Dengan narasi sebagai alat utamanya, Duta Damai Dunia Maya terdiri atas kelompok IT, blogger, dan designer grafis.

Sebagai contoh, Duta Damai Dunia Maya Provinsi Banten menghadirkan narasi alternatif melalui platform Youtube, Instagram, Facebook, dan website. Di Instagram mereka, @dutadamaibanten, tampak dipenuhi oleh narasi toleransi dan perdamaian. Dalam lima postingan terakhir, akun tersebut menaikkan narasi toleransi, pemuda dalam perdamaian, dan perayaan hari nasional.

Menurut Manajer UNODC Indonesia, Collie F. Brown, kehadiran narasi damai yang demikian dapat menjadi kerangka kerja yang baik dalam membangun sudut pandang positif dan semakin terang bagi kehidupan bermasyarakat. Narasi damai demikian dapat mencegah dan melawan narasi terorisme yang cenderung keras dan penuh kekerasan. Hal tersebut disampaikan Brown pada 6 April 2022 dalam kesempatan acara yang sama dengan Mervin Sulistio.

Selain produksi narasi di media sosial, edukasi positif akan narasi itu sendiri juga menjadi bagian penting dalam pembentukan narasi alternatif. Forum Mangunwijaya 2018 menekankan pentingnya digital communication literacy dalam era Post-Truth yang melatarbelakangi peningkatan kebencian dan radikalisme di dunia maya. Forum Mangunwijaya 2018 menuliskan salah satu contoh konkretnya adalah dengan edukasi pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Dalam kurikulum pendidikannya, diberikan pemahaman terhadap mekanisme, tren, hingga algoritma dalam hilir-mudih narasi dunia maya. Contoh sederhananya adalah pembelajaran pemberian kewaspadaan terhadap click-bait atau headlines karena dapat menjebak dalam wacana palsu atau miskonsepsi. Masyarakat dunia maya memiliki kecenderungan tidak membaca artikel secara penuh dengan hanya mengacu pada headlines yang sengaja dibuat untuk memancing pada satu arah.

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Truk pengendalian massa milik aparat kepolisian menuju lokasi penggeledahan kantor yang dikelola anak-anak muda yang diduga terkait jaringan teroris di Jalan Suryodiningratan, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, DIY, Minggu (4/4/2021). Dokumen keuangan yang paling banyak disita dalam penggeledahan tersebut.

Penguatan Peran Negara

Terakhir, dalam permainan narasi dunia maya, perlu dibangun pula narasi yang menunjukkan kekuatan dan kehadiran negara secara penuh dalam lini kehidupan bermasyarakat. Samsu Rizal Panggabean dalam buku Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia menunjukkan bahwa citra negara yang dianggap lemah dan terpuruk akan meningkatkan potensi kekerasan dan pengaruh destruktif dari aktor-aktor non-negara.

Narasi tersebut dapat berupa jaminan proteksi dan keamanan akan terorisme kepada masyarakat tanpa pandang bulu. Selain itu, narasi lain yang mungkin dibangun adalah penekanan terhadap aksi-aksi kontra-terorisme dan publikasi tindakan konkret negara dalam melawan terorisme. Bentuk narasi demikian pun menjadi contoh konkret narasi alternatif kontra-terorisme. Meski demikian, Panggabean mengingatkan bahwa propaganda kontra-terorisme dan narasi yang dibangun dalam tujuan serupa juga harus dibarengi dengan tindakan konkret negara. Terutama dalam pencegahan terorisme dan perlindungan terhadap warga negaranya. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Beck, U. 2015. Masyarakat Risiko: Menuju Modernitas Baru. Bantul: Kreasi Wacana.
  • Forum Manguwijaya. 2018. Post-Truth dan (Anti) Pluralisme. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Fromm, E. 1942. The Fear of Freedom. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
  • Hikam, M. A. 2016. Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Membendung Radikalisme. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Panggabean, S. R. 2018. Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet.
  • Suseno, F. M. 2021. Demokrasi, Agama, Pancila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Youth Peace Ambassador Workshop: Growing Tolerance Through Peaceful Narratives. (2022, April 6-8). Surabaya, Jawa Timur, Indonesia: UNODC & BNPT.
Internet
  • Islami, N. (2017, Agustus 08). Kemkominfo Rilis Aduan Konten untuk Tampung Laporan Masyarakat Terkait Hoaks. Diambil kembali dari kominfo.go.id: https://kominfo.go.id/content/detail/10335/kemkominfo-rilis-aduan-konten-untuk-tampung-laporan-masyarakat-terkait-hoaks/0/sorotan_media
  • Kompas.com. (2012, Mei 29). Umar Patek Mengaku Tidak Setuju Bom Bali. Diambil kembali dari Kompas.com: https://travel.kompas.com/read/2012/05/29/02004574/index-html
  • Viska. (2019, 05 07). Kembangkan Kerja Sama Tangani Konten Radikalisme dan Terorisme. Diambil kembali dari kominfo.go.id: https://www.kominfo.go.id/content/detail/18563/kembangkan-kerja-sama-tangani-konten-radikalisme-dan-terorisme/0/berita_satker