Daerah

Kota Kendari: Dari Kota Lulo Sampai Etalasenya Sulawesi Tenggara

Kota Kendari adalah etalasenya Provinsi Sulawesi Tenggara. Terkenal dengan julukan Kota Lulo, yang diambil dari nama tarian tradisional Suku Tolaki, Kendari sudah ada sejak abad ke-19 sebagai ibu kota Kerajaan Laiwoi. Seiring berjalannya waktu, kota ini berkembang pesat dan menjadi salah satu kota besar di Sulawesi.

KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Pemandangan Teluk Kendari di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, dari ketinggian udara.

Fakta Singkat

Hari Jadi
9 Mei 1832

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 6/1995

Luas Wilayah
271,89 km2

Jumlah Penduduk
345.107 jiwa (2020)

Kepala Daerah
Wali Kota Sulkarnain Kadir
Wakil Wali Kota Siska Karina Imran

Instansi terkait
Pemerintahan Kota Kendari

Kendari merupakan kota madya (kini kota) sekaligus ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari diresmikan sebagai kota madya melalui  UU 6/1995 pada tanggal 27 September 1995. Sebelum berdiri otonom, Kendari berstatus kota administratif berdasarkan PP 19/1978.

Dahulu, wilayah Kendari menjadi daerah pusat kegiatan masyarakat Suku Tolaki. Suku ini merupakan kelompok masyarakat terbesar yang mendiami daerah Sulawesi Tenggara.

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, status Kota Kendari ditetapkan sebagai ibu kota Onder Afdeling Laiwoi. Pada 1831 seorang pelaut kebangsaan Belanda bernama Jacques Nicholas Vosmaer mendapat tugas dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melakukan observasi terhadap jalur perdagangan di pesisir timur Sulawesi.

Hari jadi Kota Kendari ditetapkan pada tanggal 9 Mei 1832. Menurut sejarah, di tanggal itu, Vosmaer membangun istana raja Suku Tolaki bernama Tebau di sekitar pelabuhan Kendari. Dengan demikian, Kendari genap berusia 190 tahun pada 2022 ini.

Secara administratif, Kota Kendari terdiri atas 11 kecamatan dan 65 kelurahan. Dengan wilayah seluas 271,89 km2, kota ini dihuni oleh 345.107 jiwa (2020). Saat ini, kota ini dipimpin oleh Wali Kota Sulkarnain Kadir dan Wakil Wali Kota Siska Karina Imran.

Seiring dengan berjalannya waktu, kota yang awalnya hanya berukuran 10 kilometer persegi ini kini mengalami perkembangan pesat dan menjadi salah satu kota besar di Sulawesi. Pemerintah daerah pun mulai menata kawasan ini. Gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan modern juga sudah mulai tampak nyata kehadirannya.

Kota Kendari mendapat julukan Kota Lulo. Lulo adalah sebuah tarian tradisional Suku Tolaki yang mendiami Kota Kendari dan menjadikannya kebudayaan paling khas dan dibanggakan. Tarian lulo dipertunjukan hanya ketika ada acara penting, misalnya pesta pernikahan, syukuran, dan acara penting lainnya.

Lulo sendiri berasal dari Bahasa Tolaki, yakni “Molulo” yang disingkat lulo. Menariknya, meski tarian lulo adalah budaya suku tolaki, tarian itu juga selalu dilakukan oleh suku lain yang mendiami Kota Kendari.

Pemerintah Kota Kendari mencanangkan visi pembangunan 20052025: “Mewujudkan Kendari Tahun 2025 sebagai Kota dalam Taman yang Bertaqwa, Maju, Demokratis, dan Sejahtera.

Adapun misinya ada enam, yakni pertama, misi lingkungan dengan mempertahankan dan meningkatkan kualitas keseimbangan dan keserasian lingkungan kota yang indah, sejuk, sehat, dan lestari.

Kedua, misi sosial kemasyarakatan dengan mendukung perbaikan moral, akhlak dan disiplin serta penciptaan suasana kehidupan masyarakat kota yang aman, rukun, damai dan harmonis serta mendorong pemberdayaan lembaga kemasyarakatan untuk semakin berperan dalam pembangunan kota.

Ketiga, misi pelayanan melalui pengembangan sistem pelayanan yang prima bagi masyarakat secara adil, cepat, transparan, terjangkau, mandiri, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Keempat, misi perekonomian dengan mendorong pertumbuhan perekonomian kota yang berbasis pada ekonomi rakyat serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan investasi di daerah dengan pola Reinventing Government.

Kelima, misi profesionalisme aparat melalui pengembangan kualitas sumber daya aparat yang profesioanl, bermoral dan berdedikasi tinggi dalam tugas dan pelayanan. Keenam, misi pemerintahan yang baik dengan menciptakan tatanan pemerintahan yang bersih, demokratis, berwibawa, dan bertanggungjawab.

Berdasarkan sistem perkotaan nasional, Kota Kendari ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Dalam RPJMN 2015–2019, Kota Kendari diarahkan sebagai kota yang berfungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan berorientasi pada kegiatan pariwisata, pengolahan hasil perkebunan, tangkapan ikan, dan perdagangan yang melayani kebutuhan pengembangan sentra-sentra produksi wilayah Sulawesi Tenggara.

Sejarah pembentukan

Dalam buku “Asal-Usul Kota-Kota di Indonesia Tempo Doeloe” yang ditulis oleh Zaenuddin HM dan tulisan “Sejarah Kota Kendari” di laman pemerintahan Kota Kendari, disebutkan bahwa sejak dahulu, Teluk Kendari telah dikenal oleh pelaut-pelaut Nusantara maupun Eropa sebagai jalur persinggahan perdagangan laut dari dan menuju Ternate atau Maluku.

Pada kartografi Portugis kuno awal abad ke-15 telah menunjukkan adanya perkampungan di Pantai Timur Celebes atau Sulawesi yang dinamakan Citta dela Baia di pesisir teluk bernama Baia du Tivora yang identik dengan Teluk Kendari. Dalam sastra lisan tua suku Tolaki, wilayah Teluk Kendari disebut dengan nama Lipu I Pambandahi, Wonua I Pambandokooha yang merupakan salah satu daerah di pesisir timur Kerajaan Konawe.

Pada tahun 1828, seorang pelaut bernama Jacques Nicholas Vosmaer mendapat tugas dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melakukan observasi terhadap jalur perdagangan di pesisir timur Sulawesi. Peta pertama Teluk Kendari di buat pada 9 Mei 1831 dan sejak 6 Februari 1835 teluk Kendari disebut sebagai Vosmaer’s Baai atau Teluk Vosmaer melalui Surat Keputusan Jenderal Van Den Bosch di Batavia.

Dalam catatan perjalanannya yang berjudul “Korte Beschrijving van het zuid oostelijk schiereiland van Celebes”, Vosmaer menuliskan tertarik akan keindahan Teluk Kendari, setelah mendapat izin dari Tebau sebagai penguasa wilayah timur Kerajaan Konawe pada tahun 1932.

Vosmaer kemudian mendirikan lodge (loji atau kantor dagang) di sisi utara Teluk Kendari. Pada 1832, Vosmaer mendirikan rumah untuk Raja Laiwoi bernama Tebau, yang sebelumnya bermukim di Lepo-Lepo. Jadi, Kota Kendari telah ada pada awal abad ke-19 dan secara resmi menjadi ibu kota Kerajaan Laiwoi pada 1832, ditandai dengan pindahnya istana Kerajaan Laiwoi di sekitar Teluk Kendari. Hal inilah yang merupakan titik tolak perkembangan Kendari menjadi kota pusat pemerintahan dan perdagangan.

Penulis Belanda (Vosmaer, 1839) dan Inggris (Heeren. 1972) menyatakan bahwa para pelayar Bugis dan Bajo telah melakukan aktivitas perdagangan di Teluk Kendari pada akhir abad ke-18 dengan ditunjukkan adanya pemukiman kedua etnis tersebut di sekitar Teluk Kendari pada awal ke-19, menyusul fungsi Kota Kendari sebagai kota pusat kerajaan Laiwoi pada tahun 1832 ketika dibangunnya istana raja di sekitar Teluk Kendari.

Pada waktu Mokole Konawe Lakidende mangkat, Tebau Sapati Ranomeeto sudah menganggap diri sebagai kerajaan sendiri lepas dari Konawe. Sejak itu pula, Tebau mengadakan hubungan dengan pihak Belanda yang kemudian pada waktu Belanda datang di wilayah Ranomeeto diadakanlah perjanjian dengan Belanda di tahun 1858 yang ditandatangani oleh Lamanggu raja Laiwoi dan di pihak Belanda yang ditandatangani oleh A.A. Devries atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pada tahun 1906, pelabuhan Kendari dikenal dengan nama “Kampung Bajo”. Ketika itu pelabuhan dibuka untuk kapal-kapal Belanda, yang kemudian mengalir pula pedagang-pedagang dari Tionghoa.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Kendari yang hanya seluas  sekitar 31,40 kilometer persegi saat itu, adalah wilayah kewedanaan sekaligus ibu kota Onder Afdeling Laiwoi.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pengunjung mengabadikan bagian depan bunker peninggalan tentara Jepang pada masa perang dunia ke-2 di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (1/5/2019). Bunker untuk pertahanan yang dilengkapi dengan mortir tersebut menghadap ke Teluk Kendari. Bangunan tersebut masuk dalam cagar budaya.

Pada masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia Kedua, Kendari difungsikan sebagai pangkalan angkatan udara dan laut Jepang untuk menghalau jalur laut dari Australia ke Hindia Belanda saat itu.

Pasukan udara Jepang yang berbasis di Kendari juga beberapa kali menyerang pangkalan militer Belanda yang tersebar di Jawa dan beberapa kepulauan lain di sekitar Jawa dan Sulawesi.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 1945, Kendari ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara melalui penerbitan UU 13/1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 1964.

Peraturan itu berisi tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan Mengubah UU No. 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara.

Sejalan dengan dinamika perkembangan sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan laut antarpulau, maka Kendari berubah dari ibu kota kecamatan kemudian berkembang menjadi ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II berdasarkan UU 29/1959.

Kemudian status Kendari berubah menjadi Kota Administratif berdasarkan PP 19/1978 yang meliputi tiga wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Kendari, Mandonga, dan Poasia dengan 24 desa. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kota Kendari, maka Kendari ditingkatkan statusnya sebagai Kotamadya Daerah Tingkat II berdasarkan UU 6/1995.

Adapun penamaan Kendari sendiri berasal dari kata “kandai”, yaitu alat dari bambu atau kayu yang dipergunakan penduduk Teluk Kendari untuk mendorong perahu. Kata “kandai” ini kemudian diabadikan menjadi kampung Kandai dan pengembangan dari kata “kandai” selanjutnya dalam berbagai literatur terakhir disebut Kendari.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Dua buah rak kayu tempat penyimpanan barang etnografi koleksi museum milik Pemprov Sultra, di Kendari, yang kosong setelah diambil oleh pencuri, seperti terlihat pada Selasa (9/1/2021). Sebanyak 668 benda koleksi museum hilang dan belum ditemukan.

Geografis

Kota Kendari terletak di jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Wilayah daratannya sebagian besar terdapat di daratan, mengelilingi Teluk Kendari dan terdapat satu Pulau Bungkutoko. Secara geografis, kota ini terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, yaitu antara 3o54’40’’ — 4o5’05’’ Lintang Selatan dan membentang dari barat ke timur di antara 122o26’33’’ — 122o39’14’’ Bujur Timur.

Wilayah seluas 271,76 km2 atau 0,71 persen dari luas daratan Provinsi Sulawesi Tenggara ini berbatasan dengan Kecamatan Soropia, Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan dan Kecamatan Sampara, Kabupaten Konawe di sebelah barat, Kecamatan Moramo dan Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan di sebelah selatan, dan Laut Banda di sebelah timur.

Adapun kecamatan terluas di Kota Kendari adalah Kecamatan Baruga (49,41 km2) sedangkan kecamatan dengan wilayah terkecil adalah Kecamatan Kadia (6,48 km2).

Tipologi tanah Kota Kendari beragam sehingga menguntungkan seperti untuk pertanian, perkebunan, konstruksi, perikanan, dan lain-lain. Terdapat 14 jenis tanah: Aluvial, Glisol, Recosol Litosol, Gleisolacic, Podsoloik, Mediteran Haplik, Gleisol Distrik, Gleiik, Aluvial Tidnik, Kembisol Distrik, Rensina, Podsolik Plintik, Gleisol Evtrik, dan Kembisol Distrik.

Sebagian besar kelurahan di Kota Kendari merupakan kelurahan yang tergolong wilayah desa bukan pesisir yang jumlahnya mencapai 35 kelurahan dengan topografi wilayah sebagian besar merupakan kelurahan yang terletak di dataran, sedangkan lainnya tergolong wilayah desa pesisir sebanyak 30 kelurahan.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Sejumlah pengunjung menikmati pemandangan kota dari Rumah Pucuk di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (10/1/2020). Selain menjadi tempat menikmati pemandangan kota, tempat ini juga menyediakan rumah baca, dan berbagai kegiatan diskusi. Sebuah upaya meningkatkan literasi di wilayah dengan indeks rendah literasi ini.

Pemerintahan

Selama berstatus kota administratif, Kota Kendari berturut-turut pernah dipimpin oleh Mansyur Pamadeng (1978–1979), Muhammad Antero Hamra (1980–1985), Anas Bunggasi (1985–1987), Kolonel Adi Mangilep (selaku Pelaksana Tugas tahun 1988–1991), Andi Kaharuddin (selaku Pelaksana Tugas tahun 1991–1992), Usman Sabara (selaku Pelaksana Tugas tahun 1993–1993), La Ode Muhammad Salihin Sabora (1993–1995), dan Kolonel A. Razid Hamzah (selaku Pelaksana Tugas tahun 1995–1995).

Kemudian, Kendari sebagai daerah otonom pernah dipimpin oleh Lasjkar Koedoes (selaku Pejabat Wali Kota tahun 1995–1996), Masyhur Masie Abunawas (1996–2001), Andi Kaharuddin (selaku Pejabat Wali Kota tahun 2001–2002), Masyhur Abunawas dan wakilnya Andi Muzakkir Mustafa (2002–2007), H. Asrun dan wakilnya H. Musadar Mappasomba periode pertama (2007-2012) dan periode kedua (2012–2017), Adriatma Dwi Putra dan  wakilnya H. Sulkarnain K (2017–2022), serta Sulkarnain K dan wakilnya Siska Karina Imran untuk periode 2017–2022.

Secara administratif, Kota Kendari terdiri dari 11 Kecamatan, 65 kelurahan, 354 RW dan 1.042 RT. Kesebelas kecamatan itu adalah  Mandonga, Baruga, Puuwatu, Kadia, Wua-Wua, Poasia, Abeli, Kambu, Kendari, Kendari Barat, dan Kecamatan Nambo sebagai kecamatan pemekaran dari Kecamatan Abeli.

Untuk mendukung jalannya pemerintahan, Kota Kendari memiliki 6.131 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terdiri dari 2.326 PNS laki-laki dan 3.805 PNS perempuan pada tahun 2020. Dari jumlah tersebut, 77,46 persen berpendidikan sarjana ke atas. Sedangkan sisanya berpendidikan SMA ke bawah.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Tim admin kantor BKPSDM Kendari membagikan gelang pengendali ke seluruh OPD di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (22/6/2020). Selain daftar presensi, data pegawai terekam dalam sistem, termasuk pergerakan baik mereka yang bekerja di kantor maupun di rumah. Khusus bagi mereka yang di rumah, saat melewati jarak 50 meter akan keluar peringatan yang juga terdata di sistem.

Politik

Peta perpolitikan di Kota Kendari berlangsung dinamis dalam tiga pemilihan umum (pemilu) legislatif. Hal itu tampak dari perolehan kursi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kendari.

Pada Pemilu Legislatif 2009, PAN berhasil menempati kursi terbanyak di DPRD Kota Kendari. Partai berlogo matahari putih itu memperoleh lima kursi. Kemudian disusul Golkar, Demokrat, PKS, Hanura yang berhasil menempatkan masing-masing lima kadernya di kursi parlemen Kota Kendari. Partai lainnya yang berhasil meraih kursi adalah PDI-P tiga kursi, PBB dua kursi serta PPP, PBR, PPDI, dan Gerindra masing-masing mendapat satu kursi.

Pada Pemilu Legislatif 2014, PAN kembali berhasil memperoleh kursi terbanyak di DPRD Kota Kendari. Dari 35 kursi yang diperebutkan, PAN  berhasil menempatkan enam kadernya. Disusul Gerindra meraih lima kursi, lalu Demokrat, Golkar, PKS, dan PDI-P masing-masing menempati empat kursi, Nasdem tiga kursi, Hanura dua kursi serta PKB, PKPI, dan PPP masing-masing satu kursi.

Terakhir, di Pemilu Legislatif 2019, peta politik di Kota Kendari bergeser. Kali ini, PKS mendominasi perolehan kursi di DPRD Kota Kendari dengan menempatkan tujuh kadernya dari total 35 anggota DPRD Kota Kendari. Urutan kedua ditempati Golkar, PAN, dan PDI-P dengan jumlah perolehan masing-masing sebanyak lima kursi, sedangkan urutan ketiga ditempati oleh Gerindra dan Nasdem dengan jumlah perolehan masing-masing sebanyak empat kursi. Adapun Demokrat meraih dua kursi serta PKB dan Perindo masing-masing satu kursi.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Anggota satuan kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Kendari memeriksa surat suara sebelum dilakukan validasi bersama anggota KPU di Kantor KPU, Jakarta, Senin (3/2/2014). Validasi dilakukan untuk memastikan bentuk surat suara, gambar, nomor, dan nama calon anggota legislatif.

Kependudukan

Kota Kendari dihuni oleh 345.107 jiwa, yang terdiri dari 226.978 laki-laki dan 224.938 perempuan pada tahun 2020. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2010–2020), laju pertumbuhan penduduk Kota Kendari tercatat sebesar 1,70 persen per tahun.

Secara umum, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Pada tahun 2020, untuk setiap 100 penduduk perempuan terdapat 102 penduduk laki-laki.

Kecamatan Kendari Barat tercatat memiliki penduduk terbanyak dengan jumlah penduduk 42.233 jiwa sementara Kecamatan Nambo memiliki jumlah penduduk terendah, yakni 11.168 jiwa.

Pada tahun 2020, penduduk usia produktif (15–64 tahun) tercatat sebanyak 68,89 persen; sedangkan penduduk usia tidak produktif, yaitu mereka yang masih muda (0–14 tahun) sebanyak 27,60 persen; dan yang sudah sangat tua (65+tahun) sebanyak 3,51 persen. Dengan demikian, rasio ketergantungan penduduk Kota Kendari tercatat sebesar 45,15 persen.

Dengan jumlah penduduk 345.107 jiwa pada tahun 2020, mayoritas penduduk Kota Kendari memeluk agama Islam. Kota Kendari dihuni oleh masyarakat dari suku Tolaki, suku Muna, suku Buton, dan suku Bugis. Sedangkan penduduk asli Kendari berasal dari suku Tolaki.

Kebudayaan yang dimiliki Kota Kendari mayoritas bersumber dari kebudayaan Suku Tolaki. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kendari memakai konsep Kalosara yang berasal dari kebudayaan Tolaki. Kalosara adalah nilai-nilai luhur kebudayaan Tolaki yang dilaksanakan pada setiap unsur kehidupan. Misalnya, dalam interaksi sosial, hukum adat, ekonomi, agama, budi pekerti, dan kesenian. Bagi masyarakat Kendari, Kalosara merupakan penyelaras dalam kehidupan, baik dalam berinteraksi dengan sesama, maupun dalam berinteraksi dengan alam dan Tuhan.

Berdasarkan status pekerjaan utama, pada tahun 2020, masyarakat Kota Kendari terbanyak bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai, yaitu sebesar 60,57 persen sedangkan mereka yang berusaha dibantu buruh tetap/dibayar memiliki persentase terendah, yaitu 3,61 persen.

Masyarakat Kendari juga terkenal sebagai perajin perak yang handal. Mereka memiliki teknik tersendiri dalam membuat kerajinan dari perak. Selain itu, masyarakat Kendari juga membuat kerajinan dari kayu, yang dikenal dengan nama Kerajinan Gembol. Kerajinan ini menggunakan bahan dasar dari berbagai jenis kayu, seperti kayu jati dan kayu cendana.

KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR

Kepala Seksi Bimbingan Edukasi Museum Negeri Sulawesi Tenggara Rustam Tombili menunjukkan diorama upacara tradisi kalosara, awal Februari 2018, di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Kalosara adalah tradisi masyarakat Tolaki untuk menjaga persaudaraan dan persatuan masyarakat.

Indeks Pembangunan Manusia
84,15 (2021)

Angka Harapan Hidup 
73,83 tahun (2021)

Harapan Lama Sekolah 
16,89 tahun (2021)

Rata-rata Lama Sekolah 
12,51 tahun (2021)

Pengeluaran per Kapita 
Rp14,35 juta (2021)

Tingkat Pengangguran Terbuka
7,08 persen (2020)

Tingkat Kemiskinan
4,34 persen (2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Kota Kendari terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Kendari pada tahun 2011 tercatat sebesar 79,43 meningkat menjadi 84,15 pada tahun 2021. IPM Kota Kendari tersebut jauh di atas kabupaten/kota lainnya di Sulawesi Tenggara.

Dari komponen pembentuknya, tercatat umur harapan hidup 73,83 tahun, harapan lama sekolah 16,89 tahun, rata-rata lama sekolah 12,51 tahun, dan pengeluaran per kapita yang disesuaikan sebesar Rp14,35 juta.

Dari total penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), lebih dari setengah penduduk Kota Kendari termasuk dalam angkatan kerja dengan persentase sebesar 64,11 persen atau sebanyak 189.534 jiwa.

Adapun tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Kota Kendari tercatat sebesar 7,08 persen atau sebanyak 13,42 ribu orang pada tahun 2020. TPT laki-laki tercatat sebesar 3,99 persen sedangkan TPT perempuan sebesar 3,09 persen.

Sementara tingkat kemiskinan di Kota Kendari tergolong lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kemiskinan Provinsi Sulawesi Tenggara. Persentase penduduk miskin mencapai 4,69 persen pada tahun 2018, turun menjadi 4,44 persen tahun 2019 dan turun kembali menjadi 4,34 persen pada 2020.

Secara absolut, penduduk miskin pada tahun 2020 tercatat 17.460 jiwa, atau meningkat dibandingkan penduduk miskin tahun 2019 yang tercatat sebanyak 17.300 jiwa. Naiknya jumlah penduduk miskin tahun 2020, tidak lepas dari pengaruh pandemi covid-19. Banyak tenaga kerja yang diberhentikan sementara akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

La Bulu (39) mengecek biji pinang yang dijemur di Sentra Agribisnis Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/10/2021). Buah pinang siap dikirim ke sejumlah daerah yang dijual dengan kisaran harga Rp 11.000-Rp 13.000 per kilogram. Pinang banyak dimanfaatkan untuk industri kecantikan, hingga farmasi.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp138,24 miliar (2020)

Dana Perimbangan 
Rp871,01 miliar (2020)

Pendapatan Lain-lain 
Rp151,93 miliar  (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-1,30 persen (2020)

PDRB Harga Berlaku
Rp22,04 triliun (2020)

PDRB per kapita
Rp54,53 juta/tahun (2020)

Ekonomi

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Kendari pada 2020 tercatat senilai Rp22,04 triliun. Bersama dengan Kabupaten Kolaka, Kota Kendari menjadi daerah dengan kontribusi terbesar terhadap perekonomian Sulawesi Tenggara. Pada 2020, Kendari menyumbang 16,9 persen terhadap PDRB Sulawesi Tenggara, berada tepat dibawah Kolaka yang menjadi penyumbang terbesar (19,58 persen)

Perekonomian Kota Kendari terutama ditopang oleh sektor konstruksi, sektor perdagangan dan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Masing-masing sektor berkontribusi sebesar 19,23 persen; 16,03 persen; dan 12,28 persen dari total PDRB 2020.

Selain ketiga sektor tersebut, sektor lain yang menopang perekonomian Kota Kendari adalah industri pengolahan 9,89 persen; transportasi dan pergudangan 8,02 persen; jasa pendidikan 7,78 persen; informasi dan komunikasi 6,65 persen; serta jasa keuangan dan asuransi 6,47 persen.

Di sektor konstruksi, dalam kurun tiga tahun terakhir (2017–2020) trennya meningkat. Nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh lapangan usaha konstruksi meningkat dari 3,50 triliun (2017) menjadi 4,36 triliun (2019). Namun pada tahun 2020, kinerja sektor ini sempat menurun menjadi 4,26 triliun akibat merebaknya pandemi Covid-19.

Di sektor industri pengolahan, perusahaan industri di Kendari didominasi oleh usaha yang berskala industri kecil dan industri rumah tangga. Hingga tahun 2020, tercatat jumlah IMK sebanyak 3.080 unit.

Di samping itu, Kota Kendari merupakan salah satu daerah yang kaya dengan sumber daya alamnya seperti nikel di Pomalaa, emas di Bombana, marmer di Moramo dan masih banyak lagi area-area hasil tambang di daerah ini yang belum semua diobservasi.

Di bidang keuangan daerah, total pendapatan Kota Kendari pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp1,16 triliun. Terbesar masih ditopang oleh dana perimbangan sebesar Rp871,01 miliar. Sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) menyumbang pendapatan sebesar Rp138,24 miliar dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp151,93 miliar.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) melepas ekspor perdana serabut kelapa ke Weifang, China, di Kendari, Sultra, Selasa (7/7/2020). Potensi sabut kelapa di wilayah ini begitu besar, namun terus terkikis ekspansi pertambangan.

Di sektor pariwisata, Kota Kendari memiliki sejumlah destinasi wisata andalan. Pada tahun 2020, terdapat 47 destinasi wisata yang didominasi oleh wisata penelitian sejarah, wisata seni budaya, dan wisata pantai.

Beberapa tempat wisata yang ada di Kota Kendari adalah Teluk Kendari, Pantai Nambo, Pantai Karang Purirano, Pantai Mayaria, Pulau Bungkutoko, Taman Hutan Raya Murhum, Hutan Nanga-nanga, dan Air Terjun Lahundape.

Salah satu oleh-oleh khas dari Kendari yang banyak diminati oleh wisatawan adalah kacang mete. Data dari Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara di Kendari, disebutkan harga kacang mete bervariasi tergantung dari tempat dimana konsumen membelinya.

Untuk harga kacang mete di tingkat petani produsen masih bertahan pada kisaran Rp135.000 per kilogram sedangkan di tingkat pedagang pengumpul mencapai Rp140.000 per kilogram. Sementara di tingkat pedagang pengecer dijual hingga Rp150.000 per kilogram yang kualitas biasa dan Rp170.000 per kilogram untuk kualitas super.

Pada tahun 2020, di sektor perhotelan terdapat 143 usaha akomodasi di Kota Kendari dengan 3.318 kamar dan 3.369 tempat tidur. Dari 143 usaha akomodasi tersebut, terdiri dari 19 hotel bintang dan 124 hotel nonbintang. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Beragam koleksi kerajinan perak dipajang di Galeri Dekranasda Kota Kendari, Kamis (2/5/2019).

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota Kendari Dibangun dalam Taman”, Kompas, 28 September 1995, hlm. 14
  • “Di Era Otonomi * Warga Kendari Harus Sabar * Teropong”, Kompas, 16 Oktober 2001, hlm. 26
  • “Jadi Kota Otonom, tetapi Lebih Payah * Teropong”, Kompas, 16 Oktober 2001, hlm. 26
  • “Kendari, Kota Sejuta Peluang * Otonomi”, Kompas, 27 Desember 2002, hlm. 08
  • “Kota Kendari * Otonomi”, Kompas, 27 Desember 2002, hlm. 08
  • “Geliat Bisnis Ruko di Kota Kendari”, Kompas, 19 Mei 2004, hlm. 31
  • “Pesona Teluk Kendari yang Belum Dipoles”, Kompas, 28 April 2006, hlm. 40
  • “Tanah Air: Kendari Werk, Perak Sulawesi yang Melegenda”, Kompas, 23 Maret 2013, hlm. 01, 15
  • “Kota Kendari: Membalik ”Kutukan” Sampah * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 09 Mei 2015, hlm. 22
  • “Strategi Pemerintahan: Menuju Kota Hijau * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 09 Mei 2015, hlm. 22
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung
  • UU 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 13/1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara Dengan Mengubah Undang-Undang No. 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara -tengah Dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 7) Menjadi Undang-Undang
  • UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah
  • UU 6/1995 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kendari
  • PP 19/1978 tentang Pembentukan Kota Administratif Kendari

Editor
Topan Yuniarto