Daerah

Provinsi Sulawesi Tengah

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan provinsi terbesar di Pulau Sulawesi. Daerah ini terkenal akan keberadaan teluk-teluk indah dan pulau yang cantik. Wilayah ini juga kaya akan sumber daya alam, mulai dari pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, hingga perkebunan.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Pekerja menyelesaikan pembuatan tugu gerhana matahari total di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (6/3/2016). Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut peristiwa gerhana matahari total, Rabu 9 Maret  2016.

Fakta Singkat

Ibu Kota
Palu

Hari Jadi
13 April 1964

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 13/1964

Luas Wilayah
61.841,29 km2

Jumlah Penduduk
3.054.020 jiwa (2019)

Pasangan Kepala Daerah
Gubernur Longki Djanggola

Wakil Gubernur Rusli Baco Dg Palabbi

Provinsi Sulawesi Tengah untuk pertama kalinya dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964. Sebelumnya, Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah keresidenan di bawah pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah.

Peringatan hari ulang tahun provinsi yang memiliki moto “Nosarara Nosabatutu” (bersama kita satu) ini ditetapkan pada tanggal 13 April 1964. Penetapan itu didasarkan pada tanggal diangkatnya Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah untuk pertama kali. Tahun 2020, provinsi ini memperingati hari jadinya ke-56.

Provinsi Sulawesi Tengah atau disingkat Sulteng memiliki luas 61.841,29 kilometer persegi atau setara 3,2 persen dari luas Indonesia. Populasi penduduknya mencapai 3,05 juta jiwa pada 2019.

Secara administratif, provinsi dengan ibu kota Palu ini terdiri atas 12 kabupaten, 1 kota, 175 kecamatan, dan 2.020 desa/kelurahan.

Sejarah Pembentukan

Sulawesi Tengah termasuk salah satu provinsi yang kaya akan situs prasejarah megalitikum seperti disebut dalam laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan tulisan Iksam berjudul Potensi Peninggalan Arkeologi Sulawesi Tengah untuk Pengembangan informasi di Museum.

Dalam tulisan itu, disebutkan penelitian peninggalan arkeologi prasejarah di Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh para peneliti bangsa Eropa sejak akhir abad 19, yang dimulai oleh Adriani dan AC Kruyt dalam tulisannya “Van Poso naar Parigi een Lindoe” pada tahun 1898. Kemudian pada tahun 1938 Kruyt menerbitkan tulisannya “De West Toradjas in Midden Celebes”.

Dalam tulisan tersebut, Kruyt menyebutkan beberapa tinggalan arkelogis di Kulawi seperti kalamba di Gimpu, batu dulang di Mapahi, dan peti kubur kayu di Danau Lindu. Walter Kaudern, seorang peneliti berkebangsaan Swedia pada tahun 1938 menerbitkan tulisannya “Megalithic Finds in Central Celebes” dan sebuah tulisan tentang etnografi “Structure and Settlements in Central Celebes

Situs-situs megalitik di Sulawesi Tengah terkonsentrasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang meliputi Lembah Napu, Lembah Besoa, Lembah Bada, Danau Lindu, Kulawi, dan Gimpu yang mencakup dua kabupaten, yaitu Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan kawasan perlindungan benda cagar budaya dan perlindungan serta konservasi keanekaragaman hayati yang endemik.

Jenis temuan megalitik di Taman Nasional Lore Lindu, yaitu Kalamba, Arca Menhir, Menhir, Batu Dakon, Batu Dulang, Lumpang Batu, Batu Kerakal, Altar, Dolmen, Tetralit, Temu Gelang, Tiang Batu, Tumulus, Punden Berundak, Tempayan Kubur, Batu Gores, Palung Batu, Peti Kubur Kayu, dan Jalan Batu.

Merunut buku Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah memiliki banyak kerajaan dan kerajaan-kerajaan kecil di setiap wilayahnya. Kerajaan Banawa tercatat sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Tengah. Kerajaan ini didirikan oleh Sawerigading dengan putranya yang bernama La Galigo. Pada masa pemerintahan Sawerigading inilah dibentuk dewan-dewan adat yang disebut sebagai Pitunggota dan Patanggota.

Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Sedangkan, Patanggota merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.

Pada abad ke-16, berdiri Kerajaan Banggai atas pengaruh Kerajaan Ternate. Kerajaan Banggai terbagi atas empat distrik, yakni Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean dengan rajanya masing-masing.

Dengan pembagian tersebut, Banggai merupakan kerajaan yang menerapkan sistem demokrasi. Pemimpin kerajaan dipilih bukan berdasarkan garis keturunan melainkan dari golongan bangsawan atau siapa saja yang dianggap mampu untuk memimpin suatu kerajaan.

Kerajaan Palu juga merupakan kerajaan besar yang pernah berdiri di Sulawesi Tengah. Ketika baru berdiri, Kerajaan Palu masih menggunakan sistem pemerintahan monarki. Ibu kota Kerajaan Palu pertama bernama Pandapa (1796–1888), kemudian ibu kota kedua bernama Panggovia (1888–1960).

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Tampak peninggalan megalitik berupa kalamba di Situs Megalitik Pokekea, Desa Hangira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Minggu (17/9/2017). Benda purbakala tersebut diperkirakan telah ada sejak 2.500 tahun sebelum Masehi.

Pada abad ke-17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonialis Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, Kongsi Dagang Hindia Belanda atau VOC membangun benteng di Parigi dan Lambunu.

Pada abad ke-18, Belanda meningkatkan tekanannya kepada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC.

Permulaan abad ke-20, Belanda sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah setelah ada ikatan perjanjian dengan nama lang contract dan korte verklaring. Kerajaan yang membangkang ditumpas oleh Belanda denga menggunakan kekerasan senjata.

Selama berkuasa, Belanda menjadikan beberapa wilayah di Sulawesi Tengah sebagai afdeeling (wilayah administratif). Afdeeling tersebut dipecah lagi menjadi Onderafdeeling (wilayah administratif yang lebih kecil).

Misalnya Afdeeling Donggala dengan ibukota Donggala dan Onderafdeeling Poso, Tolitoli, Palu dan Buol. Kemudian Afdeeling Poso dengan ibu kota Poso dan Onderafdeeling Poso, Parigi, Kolonadale, dan Banggai.

Belanda juga berusaha untuk memecah hubungan kekeluargaan kerajaan untuk menghindari kekuasaan dari satu keluarga kerajaan. Belandalah yang memutuskan siapa yang diangkat menjadi raja, dan orang yang dipilih adalah orang yang dirasa dapat dipengaruhi atau diperalat Belanda.

Pada permulaan abad ke-20 pula, mulai muncul pergerakan-pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa.

Organisasi yang pertama mendirikan cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat Islam (SI) yang didirikan di Buol Tolitoli tahun 1916. Organisasi lainnya yang berkembang di wilayah ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928.

Perlawanan rakyat mencapai puncaknya pada tanggal 25 Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin oleh ID Awuy menangkap para tokoh kolonial seperti Controleur Tolitoli De Hoof, Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial itu, praktis kekuasaan Belanda telah diakhiri.

Pada tanggal 1 Februari 1942, bendera Merah Putih dikibarkan untuk pertama kalinya di Tolitoli. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datang dan melakukan gempuran.

Jepang mendarat di wilayah Sulawesi Tengah, tepatnya di Luwuk, pada tanggal 15 Mei 1942. Dalam waktu singkat, Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Pada era Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara. Seluruh kegiatan rakyat hanya ditujukan untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada awal kemerdekaan, Sulawesi tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, pascakemerdekaan adalah saatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Rongrongan terus datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah-belah di mana Indonesia dijadikan negara serikat. Namun akhirnya, bangsa Indonesia dapat melewati rongrongan itu dan pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun 1960. Pada tahun tersebut, Sulawesi dibagi dua menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribu kota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah yang beribu kota di Manado. Pada tanggal 23 September 1964, Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dimekarkan menjadi Provinsi Sulawesi Utara yang beribu kota di Manado dan Provinsi Sulawesi Tengah yang beribu kota di Palu.

Geografis

Provinsi Sulawesi Tengah terletak di antara 2°22′ Lintang Utara dan 3°48′ Lintang Selatan, serta 119°22′ dan 124°22′ Bujur Timur. Wilayah ini termasuk dilintasi garis khatulistiwa. Garis ini membentang di wilayah Kabupaten Parigi Mountong.

Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah bagian utara berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Provinsi Gorontalo, bagian timur berbatasan dengan Provinsi Maluku, bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara, dan bagian barat berbatasan dengan Selat Makassar.

Provinsi ini memiliki luas 61.841,29 kilometer persegi atau setara 3,2 persen luas Indonesia. Kabupaten terluas di provinsi ini adalah Morowali Utara seluas 10.004,28 km persegi. Sedangkan kabupaten terkecil adalah Kota Palu dengan luas 395,06 kilometer persegi.

Iklim di Provinsi Sulawesi Tengah termasuk tropis yang dipengaruhi oleh angin muson. Akan tetapi berbeda dengan Jawa dan Bali serta sebagian pulau Sumatera, musim hujan di Sulawesi Tengah antara bulan April dan September sedangkan musim kemarau antara Oktober hingga Maret.

Provinsi Sulawesi Tengah terdiri dari wilayah pegunungan dan perbukitan yang mencakup sebagian besar wilayah provinsi, serta dataran rendah yang umumnya tersebar di sepanjang pantai dan sekitarnya.

Sulawesi Tengah memiliki banyak pulau. Menurut data BPS, jumlahnya mencapai 1.632 pulau. Beberapa pulau yang terkenal karena keindahannya, yaitu Kepulauan Togean, Pulau Kadidiri, Pulau Pasoso, dan Pulau Lutungan.

Wilayah ini memiliki dua danau, yaitu Danau Poso dan Lindu, beberapa sungai yang cukup besar dan pegunungan yaitu Gunung Sojol, Bulu Tumpu, Hohoban, Balantak Tompotika, Witim-pondo, Mungku, Mapipi, Nokilalaki, dan Loli.

Wilayah Sulawesi Tengah termasuk daerah rawan bencana alam terutama gempa bumi. Wilayah ini dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Pasir putih dan laut dangkal tampak di ujung timur Pulau Malenge, Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Togean, Sulteng, seperti terlihat pada Rabu (8/8/2018). Destinasi wisata itu bagian dari Taman Nasional Kepulauan Togean yang menjadi salah satu destinasi unggulan Sulteng.

Pemerintahan

Sejak berdiri sendiri pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi Tengah telah dipimpin oleh 10 gubernur dan 3 penjabat gubernur. Gubernur pertama Sulawesi Tengah adalah Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning. Dia resmi menjabat Gubernur Sulawesi Tengah sejak tanggal 13 April 1964 setelah serah terima dari Gubernur Sulawesi Utara-Tengah FJ Tumbelaka.

Selanjutnya, Sulawesi Tengah dipimpin oleh Gubernur Mohammad Jasin (13 April 1968 – April 1973), Albertus Maruli Tambunan (1973 – 1978), Moenafri (1978 – 1979), Eddy Djadjang Djajaatmadja (1979 – 1980), Penjabat Gubernur Eddy Sabara (1980 – 1981), Ghalib Lasahido (1981–1986), Abdul Aziz Lamadjido (1986–1996).

Kemudian diteruskan oleh Gubernur Bandjela Paliudju (1996–2001), Aminuddin Ponulele (2001–2006), Penjabat Gubernur Gumyadi (20 Februari 2006 – 24 Maret 2006), Bandjela Paliudju (2006–2011), Penjabat Gubernur Tanribali Lamo (24 Maret 2011 – 16 Juni 2011). Gubernur Longki Djanggola menjabat dua periode 2011–2016 dan 2016–2021.

Secara administratif, Provinsi Sulawesi Tengah membawahi 12 kabupaten dan 1 kota yang terdiri dari 175 kecamatan dan 2.020 desa yang di dalamnya termasuk kelurahan dan Unit Pemukiman Transmigrasi. Jumlah tersebut tidak berubah dalam dua tahun terakhir.

Kabupaten dan kota tersebut, meliputi, Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Banggai, Kabupaten Morowali, Kabupaten Poso, Kabupaten Donggala, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Buol, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Tojo Una-una, Kabupaten Sigi, Kabupaten Banggai Laut, Kabupaten Morowali Utara, dan Kota Palu.

Jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerintah daerah Sulawesi Tengah pada semester I 2019 adalah 12.323 orang. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan Desember 2018 yakni sebanyak 12.462 orang.

Dari sisi politik, Sulawesi Tengah terlihat cukup demokratis. Hasil pemilihan anggota DPRD menunjukkan tidak satupun partai politik yang mendominasi DPRD tingkat I. Golkar dan Nasdem merupakan partai dengan anggota terbanyak, yaitu sebanyak 7 anggota dari 45 kursi yang tersedia. Disusul oleh Gerindra dan PDI-P masing-masing 6 kursi. Selanjutnya Demokrat, PKB, dan PKS memperoleh 4 kursi. Hanura, Perindo, dan PAN memperoleh 2 kursi, serta PPP dengan 1 kursi.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memberi ucapan selamat kepada Longki Djanggola (kiri) dan H Soedarto (kedua kiri) usai dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah di Istana Negara, Jakarta, Kamis (16/6/2016). Dalam sambutannya, Presiden meminta agar mereka setia pada janji kampanye, mengentaskan kemiskinan, serta menciptakan lapangan kerja bagi warga Sulawesi Tengah.

Politik

Dalam sejarahnya, konstelasi politik di Sulteng tidak dapat dipisahkan dari Partai Golkar, kecuali pada Pemilu pertama 1955. Partai ini mendominasi perolehan suara sejak 1971 hingga awal masa reformasi. Namun, dominasi Golkar di Sulawesi Tengah mulai tertandingi oleh partai-partai lainnya. Bahkan dalam Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, Golkar tidak lagi meraih suara terbanyak.

Pada Pemilu 1955, partai-partai bercorak agama sangat mendominasi wilayah Sulawesi Tengah dengan mengambil 89 persen suara. Rinciannya, Masyumi meraih 39,52 persen ketika itu, diikuti Partai Syarikat Islam Indonesia yang meraih 31,92 persen, dan Partai Kristen Indonesia mendapat 16,33 persen.

Sebaliknya Partai Nasional Indonesia (PNI), partai bercorak nasional, yang di berbagai kawasan berjaya, di sini hanya mendapat 7,65 persen. Partai Komunis Indonesia (PKI) bahkan tak meraih satu persen suara pun. Peta politik Pemilu 1955 tersebut tidak lagi tercermin pada era Orde Baru sampai kebebasan Pemilu 1999.

Memasuki era Orde Baru, kejayaan partai-partai politik, terutama partai Islam yang pernah dirintis pada pemilu sebelumnya langsung terpuruk. Di sisi lain, Golkar mendominasi perolehan suara selama 7 kali pemilu di Sulawesi Tengah, sejak tahun 1971.

Pada Pemilu 1971, Golkar meraih suara 76,84 persen, kemudian 79,3 persen suara pada Pemilu 1977, 81 persen suara pada Pemilu 1982, 83 persen suara pada Pemilu 1987, 81 persen suara pada Pemilu 1992, dan 84,89 persen suara pada Pemilu 1997.

Sementara itu, kiprah partai-partai politik, terutama partai Islam, terpuruk selama masa Orde Baru. Masyumi yang ditakdirkan berumur pendek ternyata tidak mampu mewariskan kebesarannya kepada penerusnya. PSII tercatat hanya meraih 48.186 (10,6 persen) suara, Parmusi 42.053 (9,2 persen), NU 18.596 (4 persen), dan Perti hanya 231 suara.

Kecilnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut menandai runtuhnya kejayaan politik Islam. Bahkan pascafusi partai tahun 1973, langkah partai politik, khususnya partai Islam, menjadi semakin kecil lantaran keberadaan mereka dihilangkan dari percaturan politik nasional.

Pada Pemilu 1977 PPP hanya memperoleh 102.552 (19,3 persen) suara dari 531.782 pemilih. Turunnya perolehan suara PPP ini ternyata berlangsung terus hingga Pemilu 1997. Secara berturut-turut, PPP meraih 16 persen suara pada Pemilu 1982, 12 persen suara pada Pemilu 1987, 11 persen pada Pemilu 1992, dan 10,39 persen suara pada Pemilu 1997.

Sejak partai-partai nasionalis, Kristen, dan sosialis itu difusikan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), perolehan suaranya pun terpuruk. Pemilu 1977 menjadi saksi terpuruknya suara PDI hingga 1,4 persen. Selama empat kali pemilu berikutnya partai berlambang kepala banteng ini hanya mampu mencatat rekor tertinggi perolehan suaranya hingga 8,3 persen dari 930.556 warga Sulawesi Tengah yang menjadi pemilih pada Pemilu 1992. Pada Pemilu 1997, PDI hanya meraih 4,72 persen suara.

Dalam pengumpulan kursi DPR Golkar dan PPP secara konsisten mampu mempertahankan jumlah kursi masing-masing. PPP dari Pemilu 1971 hingga 1997 tercatat hanya mengumpulkan satu kursi, sementara Golkar mengumpulkan sebanyak tiga hingga empat kursi.

KOMPAS/RAYMOND TORUAN

Ada banyak cara berkampanye. Salah satunya adalah bertemu dan berbicara langsung dengan warga masyarakat. Prof. Dr. Emil Salim mencoba melakukannya di Pasar Inpres Manonda, Palu, menyadap aspirasi pedagang kecil dari Suku Kaila di sana.

Memasuki era Reformasi, peta persaingan politik di Sulteng masih diwarnai oleh dominasi Golkar dalam pengumpulan suara. Pada pemilu 1999, Golkar meraih suara terbanyak meskipun perolehan suaranya menurun dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.

Dalam pemilu tersebut, Golkar meraih suara sebesar 54,56 persen dari 1.073.931 suara yang sah. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang sedang mendulang simpati rakyat Indonesia saat itu meraih 14,36 persen suara, disusul PPP dengan jumlah suara sebesar 10,72 persen suara. Partai-partai lainnya meraih suara di bawah 3 persen, seperti PAN, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Kristen Nasional Indonesia, PBB, dan PKB.

Dominasi ketiga partai politik Golkar, PDI-P dan PPP  terlihat lagi pada Pemilu 2004 ini. Dari 1.119.319 suara yang masuk, Golkar mampu mengantongi 38,59 persen, PPP meraup 7,0 persen, dan PDI-P hanya mampu mengumpulkan 6,92 persen.

Pada Pemilu 2009, Golkar tetap menempati urutan pertama meskipun perolehan suaranya turun jauh menjadi 18 persen. Kemudian disusul oleh Demokrat dengan suara 17 persen, PKS dengan 9 persen suara, Hanura dan PDI-P masing-masing memperoleh suara 6 persen, PAN memperoleh suara 5 persen, PDS dan Gerindra masing-masing memperoleh suara 4 persen, PPP memperoleh suara 3 persen, sedangkan PKB dan PBB memperoleh suara 2 persen.

Pada Pemilu 2014, Gerindra memenangkan panggung politik Sulawesi Tengah dengan perolehan 182.217 suara (12,78 persen). Disusul oleh Demokrat dengan 174.006 suara (12,21 persen), Nasdem memperoleh 171.289 suara (12,02 persen), dan PDI-P memperoleh 143.106 suara (10,04 persen).

Adapun partai-partai lainnya yang memperoleh suara di bawah 10 persen, yakni partai Hanura (8,67 persen), PAN (6,81 persen), PKS (5,89 persen), PKB (5,04 persen), PPP (3,65 persen), PBB (1,83 persen), PKPI (1,75 persen).

Lima tahun kemudian, pada Pemilu 2019, giliran Nasdem yang berhasil merebut panggung politik di Sulawesi Tengah. Nasdem meraih 271.513 suara (17,5 persen). Gerindra berada di posisi kedua dengan perolehan 206.117 suara (13,2 persen). Disusul Golkar memperoleh 194.712 suara (12,5 persen). Sementara partai-partai lainnya memperoleh suara di bawah 10 persen.

Kependudukan

Populasi penduduk Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2019 mencapai 3,05 juta jiwa, terbanyak kedua di Pulau Sulawesi setelah Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 8,82 juta jiwa.

Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok etnis, yaitu etnis Kaili di Kabupaten Donggala, Kota Palu dan sebagian Kabupaten Paringi Moutong. Etnis Kulawi berdiam di Kabupaten Donggala, etnis Lore di Kabupaten Poso, etnis Pamona di Kabupaten Poso, etnis Mori di Kabupaten Morowali.

Etnis Bungku berdiam di Kabupaten Morowali, etnis Saluan atau Loinang di Kabupaten Banggai, etnis Balantak di Kabupaten Banggai, etnis Taa di Kabupaten Banggai, etnis Bare’e di Kabupaten Touna, etnis Banggai di Banggai Kepulauan. Selanjutnya, etnis Buol mendiami kabupaten Buol, etnis Tolitoli di Kabupaten Tolitoli, etnis Tomini di Kabupaten Parigi Moutong, etnis Dampal di Dampal, Kabupaten Tolitoli, etnis Dondo di Dondo, Kabupaten Tolitoli, etnis Pendau di Kabupaten Tolitoli, dan Etnis Dampelas berdiam di Kabupaten Donggala.

Selain 15 kelompok etnis tersebut, ada beberapa suku kecil yang hidup di daerah pengunungan, seperti suku Da’a di Kabupaten Donggala, suku Wana di Kabupaten Morowali, serta suku Seasea dan suku Daya di Kabupaten Buol dan Kabupaten Tolitoli.

Selain penduduk asli, daerah ini dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Suku pendatang yang mendiami wilayah Sulteng adalah Mandar, Bugis, Makasar, Toraja serta etnis lannya di Indonesia sejak awal abad ke-19 dan sudah membaur dengan masyarakat asli.

Provinsi ini juga kaya akan bahasa daerah. Hasil pemetaan Barbara F Grimes menunjukkan dari aspek etnologi, terdapat 30 bahasa utama dengan 67 macam dialek yang digunakan oleh 928.200 orang sebagai bahasa ibu di Sulawesi Tengah.

Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar memeluk agama Islam. Tercatat 72,36 persen penduduknya memeluk agama Islam, 24,51 persen memeluk agama Kristen, dan 3,13 persen memeluk agama Hindu serta Budha.

Mata pencaharian sebagian besar penduduk Sulteng didominasi oleh pertanian. Angkanya mencapai 41,36 persen dari 1,44 juta penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja. Disusul bekerja di sektor perdagangan besar 14,61 persen, dan administrasi 8,36 persen.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Warga Kelurahan Lasoani, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah, menerima percikan air dari seorang tetua adat dalam upacara pompaura posunu rumpu, Kamis (16/10/2014). Ritual ini dilakukan oleh masyarakat Kaili, suku dominan di Sulteng, untuk membersihkan kampung dari kesialan, bencana, dan penyakit.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
69,50 (2019)

Umur Harapan Hidup 
66,32 tahun (laki-laki); 69,75 tahun (perempuan) (2019)

Harapan Lama Sekolah 
12,95 tahun (laki-laki); 13,50 tahun (perempuan) (2019)

Rata-rata Lama Sekolah 
8,75 tahun (2019)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
3,77 persen (Agustus 2020)

Tingkat Kemiskinan
12,62 persen (Maret 2020)

Rasio Gini
0,326 (Maret 2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Sulawesi Tengah terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2010, IPM Sulteng masih 63,29 kemudian meningkat menjadi 69,50 pada tahun 2019. IPM Sulteng tersebut masuk kategori sedang.

Peningkatan IPM tersebut didukung oleh peningkatan komponen pendukungnya. Umur harapan hidup Sulteng meningkat dari 64,17 tahun untuk laki-laki dan 68,07 tahun untuk perempuan pada tahun 2010,  menjadi 66,32 tahun untuk laki-laki dan 69,75 tahun untuk perempuan pada tahun 2019.

Di bidang pendidikan, harapan lama sekolah (HLS) meningkat dari 10,99 tahun untuk laki-laki dan 11,37 tahun untuk perempuan pada tahun 2010, menjadi 12,95 tahun untuk laki-laki dan 13,50 tahun untuk perempuan pada tahun 2019. Adapun rata-rata lama sekolah (RLS) meningkat dari 7,65 tahun pada tahun 2010 menjadi  8,75 tahun pada tahun 2019.

Pengeluaran per kapita per tahun meningkat dari Rp 7,98 juta pada tahun 2010 menjadi Rp 9,48 juta pada tahun 2018.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi Tengah pada Agustus 2020 tercatat sebesar 3,77 persen, lebih tinggi 0,66 persen dibanding TPT Agustus 2019. Jika dilihat dari tempat tinggalnya, TPT di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan TPT di perdesaan. Pada Agustus 2020, TPT di perkotaan sebesar 6,33 persen, sedangkan TPT di perdesaan sebesar 2,66 persen. Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan TPT di perkotaan sebesar 1,60 persen, begitu juga dengan TPT di perdesaan yang meningkat 0,25 persen.

Jumlah penduduk miskin di Sulteng lima tahun terakhir relatif stagnan. Badan Pusat Statistik Sulteng mencatat pada September 2015 jumlah penduduk miskin 408.340 jiwa atau sekitar 14,07 persen dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut hanya berkurang sedikit menjadi 404.030 jiwa pada September 2019 (13,18 persen) dan menjadi 398.730 jiwa (12,92 persen) pada Maret 2020. Meski ada tren menurun, angka kemiskinan Sulteng lebih tinggi dari rata-rata nasional yang pada September 2019 tercatat 9,22 persen atau Maret 2020 sebanyak 9,41 persen.

Tak kurang dari 80 persen warga miskin bermukim di desa. Jumlah penduduk miskin terbanyak berada di Kabupaten Parigi Moutong  dengan  81.360 jiwa dan Donggala 55.830 jiwa. Secara keseluruhan, penduduk miskin di Sulteng masih lebih banyak daripada warga Kota Palu, yang berjumlah 391.380 jiwa.

Pada Maret 2020, tingkat ketimpangan atau gini ratio Sulawesi Tengah adalah sebesar 0,326. Angka ini mengalami penurunan sebesar 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,327.

KOMPAS/AHMAD ARIF

Suwandi (27) dan Faisal (36), petugas dari Puskesmas Dombu Soi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, tengah melayani pengobatan keliling untuk masyarakat suku Da’a yang tinggal di rumah-rumah pohon, akhir Agustus 2016. Medan berat menjadi kendala bagi tenaga medis yang sebagian besar masih honorer ini.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 1,02 triliun (2019)

Dana Perimbangan 
Rp 3,09 triliun (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
7,15 persen (2019)

PDRB per kapita
Rp 54,70 juta/tahun (2019)

Inflasi
2,30 persen (2019)

Nilai Ekspor
702,66 juta dolar AS (September 2020)

Nilai Impor
300,23 juta dolar AS (September 2020)

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Sulawesi Tengah mencapai Rp 166,40 triliun pada tahun 2019. PDRB ini mengalami kenaikan sebesar Rp 16,37 triliun dibandingkan dengan tahun 2018 yang mencapai Rp 150,03 triliun.

Struktur perekonomian Provinsi Sulawesi Tengah menurut lapangan usaha tahun 2019 masih didominasi oleh empat lapangan usaha utama, yaitu pertanian, kehutanan dan perikanan, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, serta konstruksi.

Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 25,96 persen dari PDRB Sulawesi Tengah. Namun, kontribusi sektor ini terus menurun sejak tahun 2015 yakni 31,28 persen menjadi 25,96 persen pada tahun 2019.

Hasil produksi pertanian berupa padi, palawija, jagung, kedele, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, ubi kayu, talas, ganyong, gembili, dan tanaman serelia lainnya sorgum/cantel, jawawut, jelai, dan gandum.

Penyumbang PDRB terbesar kedua adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 15,13 persen. Potensi pertambangan di daerah ini antara lain tambang nikel di Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Tojo Una-Una. Jenis tambang lainnya adalah minyak dan gas, batubara, galena, dan biji besi.

Adapun industri pengolahan menyumbangkan 13,01 persen bagi PDRB dan sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 8,91 persen.

Nilai PDRB per kapita Sulawesi Tengah atas dasar harga berlaku sejak tahun 2015 hingga 2019 terus meningkat. Nilai PDRB per kapita mencapai Rp 37,38 juta pada tahun 2015, meningkat menjadi Rp 54,70 juta pada tahun 2015.

Laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah sepanjang periode 2010–2019 selalu berada di atas laju ekonomi nasional. Laju ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 2015 yakni sebesar 15,52 persen, yang membawa Sulawesi Tengah menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di Indonesia setelah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Nilai ekspor Sulawesi Tengah pada September 2020 tercatat sebesar 702,66 juta dolar AS. Komoditas ekspor utama, antara lain, besi, baja, mineral, dan bahan kimia organik. Adapun negara tujuan ekspor utama, antara lain, China, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Malaysia, India, dan Vietnam.

Nilai impor Sulawesi Tengah pada September 2020 sebesar 300,23 juta dolar AS. Komoditas impor utama, antara lain, besi, baja, mesin-mesin/pesawat mekanik, mineral, dan mesin/peralatan listrik.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI

Pengunjung menikmati pijaran cahaya keemasan matahari senja di Pantai Kaluku, Desa Limboro, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, seperti terlihat pada Minggu (10/7/2016). Pantai tersebut mulai diserbu penikmat wisata bahari.

Di sektor pariwisata, Sulawesi Tengah sangat kaya alam dan kebudayaan. Sulteng juga memiliki beberapa destinasi wisata yang sangat indah, di antaranya Kepulauan Togean. Karena keindahan alam bawah lautnya, Togean memiliki julukan “The Coral of Triangle” dan sebagai Cagar Biorsfer Dunia yang ditetapkan oleh Unesco pada Juni 2019.

Sulteng juga memiliki Pulo Dua yang potensi bawah lautnya tak kalah menarik. Pulo Dua juga bisa dikembangkan sebagai wisata sejarah, karena dulu di sana merupakan lokasi perang tentara Jepang zaman perang Pasifik, Pulau Sambori yang dijuluki “Raja Ampatnya Sulawesi”.

Destinasi lainnya adalah Danau Poso sebagai danau terbesar ketiga di Indonesia dan Taman Nasional Lore Lindu yang menjadi habitat hewan endemik Sulawesi serta menjadi situs batu megalitikum yang berusia ribuan tahun.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Dari Bentuk Karesidenan ke Propinsi”, Kompas, 16 Februari 2000, hal. 20
  • “Prediksi Pemilu di Sulawesi Tengah; Bernostalgia ke Golkar”, Kompas, 28 Februari 2004, hal. 01
  • “Peta Politik Pemilihan Umum Provinsi Sulawes Tengah *Pemilihan Umum 2004”, Kompas, 28 Februari 2004, hal. 32
  • “Peta Politik: Sulawesi Tengah – Pilihan di Antara Dua Ramuan Politik”, Kompas, 21 Februari 2009, hal. 08
  • “Hasil Pemilu : Sulawesi Tengah * Benteng Beringin Mulai Terkikis”, Kompas, 09 Juni 2009, hal. 08
  • “Konsolidasi Demokrasi Sulawesi Tengah (3): Coba-coba, Ideologi, Pragmatisme”, Kompas, 03 Maret 2011, hal. 05
  • Berkah Nikel dan Konflik *Indonesia Satu”, Kompas, 27 Februari 2014, hal. 08
  • “Menunggu Arah Banteng di Sulawesi Tengah”, Kompas, 17 Juli 2020, hal. F
Buku dan Jurnal
Internet
Aturan Pendukung
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 47 Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah
  • Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara Dengan Mengubah Undang-Undang No. 47 Prp Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara -tengah Dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 7) Menjadi Undang-Undang

Penulis
Antonius Purwanto

Kontributor
Theresia Bella Callista

Editor
Ignatius Kristanto