Paparan Topik | Hari Anak Nasional

Hari Tanpa Televisi: Momentum Meningkatkan Kualitas Program Televisi

Hari Tanpa Televisi merupakan gerakan untuk mematikan pesawat televisi satu hari. Gerakan ini muncul atas keprihatinan masyarakat terhadap kualitas program televisi.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Kualitas sinetron yang masih di bawah standar menjadi keprihatinan masyarakat yang dituangkan dalam mural di kawasan Cisauk, Tangerang, Banten, Senin (15/3/2021). Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode II-2019 yang dirilis Komisi Penyiaran Indonesia pada 2019 menyatakan kualitas program-program siaran tersebut dalam lima terakhir masih di rendah karena memuat kekerasan, tidak memiliki kepekaan sosial, topiknya tidak relevan, dan kurang menghormati norma sosial serta kehidupan pribadi.

Fakta Singkat

  • Hari Tanpa Televisi (23 Juli 2021)
  • Gerakan hari tanpa televisi dimulai tahun 2008 untuk mengajak masyarakat mematikan televisi dalam satu hari
  • Hari tanpa televisi tidak dimaknai membenci televisi, namun meminimalkan dampak buruk dari isi program televisi
  • Komisi Penyiaran Indonesia memantau program televisi dan menerima aduan dari masyarakat terkait konten siaran televisi

Pada awal Juni 2021, warganet membincangkan salah satu sinetrom di televisi swasta yang berjudul Suara Hati Istri: Zahra. Percakapan warganet tentang isi sinetron tersebut trending di media sosial. Sinetron yang mulai tayang pada 24 Mei 2021 tersebut dinilai banyak kalangan termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bermuatan konten yang mempromosikan poligami dan menormalisasi pernikahan anak, serta mempekerjakan anak di bawah umur untuk adegan dewasa.

Sinetron ini berkisah tentang seorang gadis di bawah umur bernama Zahra yang dikawin paksa oleh orang tuanya sebagai pengganti utang-utang ayahnya. Dalam sinetron tersebut, Zahra sebagai istri ketiga mendapat perlakuan buruk seperti paksaan hubungan seksual, perlakuan kasar seperti bentakan dan teriakan.

Sosok laki-laki yang menjadi peran antagonis dengan kasar melakukan pemaksaan, kekerasan bahkan marital rape. Sinetron ini oleh warganet dianggap telah mengampanyekan perkawinan di bawah umur, menampilkan isu trafficking bahkan menampilkan sosok toxic masculinity yaitu pria jahat yang menjadi suami Zahra.

Remotivi mencatat kisah sinetron tersebut sebagai penggambaran Zahra sebagai istri yang memaafkan dan menerima semua nasibnya mendorong pemakluman terhadap praktik pernikahan anak, kawin paksa, poligami dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pesan dari kisah tersebut selalu perempuan sebagai korbanlah yang perlu berpasrah diri, terus menjadi “istri yang baik” dan berserah kepada Sang Pencipta untuk membereskan sisanya.

Pesan semacam ini nampak mulia namun sebenarnya berbahaya. Ia bisa melanggengkan spiral kekerasan yang ditampilkannya. Praktik-praktik pernikahan anak, kawin paksa, poligami, dan KDRT harus dihadapi dengan langkah legal yang tegas. Korban memerlukan konsultasi dan akses perlindungan hukum agar lingkaran kekerasan benar-benar dapat dipatahkan.

Sementara itu, cerita Zahra justru mendorong korban untuk terus mengalah. Penonton diajak untuk percaya keadaan perempuan yang dihadapkan pada kejahatan-kejahatan mengenaskan ini bakal membaik semata karena kesetiaan dan ketaatan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menilai penayangan sinetron tersebut dianggap memberikan contoh buruk pada masyarakat. KPPA mengungkapkan akan mengajukan gugatan hukum jika terbukti ada masyarakat yang meniru isi sinetron tersebut.

Kementerian PPPA menyatakan sinetron tersebut dianggap telah menampilkan perkawinan anak di bawah umur yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Penayangan sintron tersebut bertentangan dengan langkah pemerintah yang sedang berjuang melawan perkawinan pada usia anak. Kekerasan yang ditampilkan bahkan dianggap sebagai perbuatan  mempromosikan kekerasan psikis dan seksual terhadap anak yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PPPA) menyebutkan ada sekitar 36,62 persen anak perempuan menikah untuk pertama kali pada usia 15 tahun atau kurang. Kemudian, yang menikah di usia 16 tahun ada 39,92 persen dan 23,46 persen menikah di usia 17 tahun. Data ini menunjukkan tingginya tingkat pernikahan usia dini untuk perempuan di Indonesia. Dampak buruk pernikahan usia muda, bagi perempuan khususnya, adalah kehilangan kesempatan pendidikan.

Baca juga: Perlu Kolaborasi untuk Memutus Rantai Perkawinan Anak

Pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta lembaga penyiaran dan rumah-rumah produksi dapat menyesuaikan konten siaran yang dibuat agar mendukung anak-anak Indonesia tumbuh dan berkembang dengan baik, sebagai upaya menghadirkan generasi muda bangsa yang unggul dan berkualitas.

KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Seorang pedagang makanan menonton sinetron yang disiarkan di televisi, Senin (15/3/2021) di Jakarta. Sinetron jadi salah satu hiburan warga yang mudah diakses dan gratis.

Merampas hak publik

Program hiburan di sejumlah stasiun televisi memiliki kencenderungan mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi lokal, tayangan cuaca serta tayangan yang lebih mendidik. Salah satu contohnya adalah ketika salah satu stasiun televisi menyiarkan acara pernikahan pasangan selebriti yang ditayangkan dengan durasi hingga 3,5 jam untuk mengejar angka rating atau angka kepemirsaan televisi.

Data rating yang disajikan lembaga pemeringkat hanya menunjukkan kecenderungan kepemirsaan televisi di sejumlah kota besar saja, sehingga tidak mewakili profil kepemirsaan masyarakat di kota-kota lain di seluruh Indonesia. Namun, siaran langsung pernikahan selebritis tersebut menggunakan jaringan televisi di seluruh Indonesia yang jangkauan frekuensinya mencapai pelosok daerah.

Baca juga: Pengabaian Hak Anak dalam Tayangan Sinetron

Kelompok Masyarakat Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran memrotes penayangan pernikahan pasangan artis muda tersebut karena disiarkan dengan jaringan nasional hingga mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar-benar dibutuhkan dan mewakili kebutuhan masyarakat.

Hal itu bertentangan dengan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, bahwa hak privasi atas kehidupan pribadi yang tidak sepatutnya disiarkan.  Adapun kehidupan pribadi yang dimaksud antara lain, perkawinan, perceraian, perselingkuhan, konflik keluarga, konflik pribadi, keyakinan beragama, rahasia pribadi, dan hubungan asmara.

Dalam Pasal 1 Ayat 24 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) menyebutkan bahwa kehidupan pribadi tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Pasal 11 Ayat 2 juga menyebutkan, penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Seorang warga melalui tembok yang dihiasi mural tentang program televisi di Jalan Perjuangan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (6/1). Berdasarkan survei Komisi Penyiaran Indonesia periode September-Oktober 2015, sebagian besar tayangan jenis film televisi (FTV), sinetron, dan acara puspa ragam (variety show) hanya mendapat skor 2,56 hingga 2,96, jauh di bawah nilai standar minimal untuk acara, yaitu 4.

Hari Tanpa Televisi

Sinetron Suara Hati Istri hanyalah salah satu dari sekian banyak tontonan yang buruk bagi masyarakat, tetapi esensi hiburan yang tidak mendidik sudah lama membuat masyarakat resah. Pada tahun 2008 muncul gerakan sosial yang mengajak masyarakat Indonesia kritis terhadap tayangan di televisi.

Ajakan pada seluruh masyarakat Indonesia agar pada tanggal 23 Juli tidak menonton televisi selama satu hari. Gerakan ini bukanlah membenci siaran TV tetapi untuk menanggapi lebih kritis tayangan atau hiburan yang masuk ke dalam ranah privat dan mengajak pada orang tua untuk lebih merekatkan hubungan inti dalam keluarga.

Satu hari dalam satu tahun tersebut diharapkan keluarga mengisi waktu untuk membangun kebersamaan dalam keluarga. Pada Hari Tanpa Televisi, para orang tua diminta untuk lebih kreatif menciptakan permainan bagi anak-anak untuk mengisi waktu yang biasa digunakan anak-anak menonton televisi.

Dalam kasus penayangan program sinetron Suara Hati Istri, keputusan yang diambil adalah program tersebut dihentikan sementara setelah dievaluasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia dalam pertemuan antara pihak stasiun televisi dan rumah produksi pembuat sinetron.

Baca juga: Tayangan Sinetron ”Suara Hati Istri: Zahra” Dihentikan Sementara

Sinetron tersebut berpotensi melanggar Pedoman Perilaku dan Standar Program Siaran KPI 2012. KPI menyebutkan sinetron Suara Hati Istri: Zahra adalah program dengan klasifikasi R (Remaja). Di dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) pasal 21, program siaran dengan klasifikasi R ditujukan untuk remaja, yaitu khalayak yang berusia 13–17 tahun. Pada P3SPS pasal 37 ayat pertama termuat:

“Program siaran klasifikasi R mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja.”

Sementara itu, kisah Zahra sebagai anak tujuh belas tahun dipenuhi kejadian-kejadian mengerikan seputar rumah tangga. Posisi Zahra bahkan bukan lagi sebagai anak. Jika penetapan klasifikasi R pada sinetron Suara Hati Istri berangkat dari pasal 37 tersebut, KPI dengan mudah menemukan ketidakcocokan antara isi sinetron dengan situasi kejiwaan remaja. Klasifikasi R juga bertentangan dengan P3SPS pasal 37 ayat 3 yang berusaha melindungi remaja dari muatan seksualitas:

“Program siaran klasifikasi R dapat mengandung pembahasan atau penggambaran adegan yang terkait dengan seksualitas serta pergaulan antar pria-wanita sepanjang disajikan dalam konteks pendidikan fisik dan psikis remaja.”

Selain itu sinetron Suara Hati Istri juga dianggap beresiko mempengaruhi masyarakat tentang perkawinan anak, kekerasan seksual dan tindak pidana perdagangan seseorang. Dikhawatirkan sinetron ini menyuburkan perkawinan anak dan melanggar hak anak.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Beragam tayangan acara televisi di sebuah kantor swasta di Jakarta, Minggu (19/6/2016). Rating masih menjadi alat utama industri televisi untuk mendulang belanja iklan.

Pengaruh televisi

Siaran televisi tidak sepenuhnya buruk, karena televisi adalah teknologi yang membantu menyampaikan informasi bagi masyarakat umum secara massal. Dengan jangkauan siaran yang semakin canggih maka televisi memiliki dampak sangat besar dalam meyampaikan informasi. Meskipun saat ini media sosial dan seluruh instrumennya juga telah merangsek kehidupan masyarakat ke ruang paling privat hingga ke desa-desa, siaran televisi sebagai media hiburan masih sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari.

Manfaat versus Dampak Negatif

Dalam buku Media Parenting karya Tri Astuti Nur Rochimah (2013) dijelaskan dampak positif dan dampak negatif tayangan televisi.

Dampak positif:

  1. Televisi membantu mengidentifikasi karakter tokoh-tokoh yang baik ada dalam acara televisi, seperti misalnya dalam film kartun Dora The Explorer bagi anak anak.
  2. Program ilmu pengetahuan acara seperti Discovery Chanel akan menambah pengetahuan penontonnya.
  3. Televisi mampu mengasah dan meningkatkan kepintaran anak, seperti program acara cerdas cermat dan kuis.
  4. Televisi menayangkan beragam informasi aktual

Dampak negatif:

  1. Desentisiasi, atau proses penumpukan kepekaan. Saat menonton tayangan berulang ulang, semisal kekerasan hingga akhirnya tanpa sadar berpikir kekerasan adalah biasa, maka suatu ketika tanpa sadar seorang anak melakukan kekerasan. Sama halnya dengan film horor, seorang anak bisa ketakutan ketika pergi ke kamar mandi sendirian karena berpikir tentang hantu yang ia lihat di film.
  2. Perilaku kekerasan. Banyak film kartun anak yang selalu menampilkan adegan kekerasan yang mungkin tidak disadari orang tua. Film seperti Tom and Jerry yang selalu menampilkan adegan perkelahian atau film Dragon Ball dan Naruto.
  3. Perilaku malas dan kurangnya kemampuan untuk bersosialiasi. Anak-anak biasanya menghabiskan waktu antara 3–4 jam untuk duduk di depan televisi sehingga berpengaruh pada emosi hingga berkecenderungan sulit bersosialisasi dengan lingkungan. Selain itu, kebiasaan duduk di depan televisi sambil makan akan membuatnya malas bergerak bahkan menjadi obesitas.

Hal yang tidak jauh berbeda jika melihat sebuah riset hasil pengamatan yang dilakukan pada anak anak usia 3-4 tahun dalam menonton televisi. Pada anak usia dini televisi mampu membantu mengembangkan aspek perkembangan pada usia dini dan dapat memberikan dampak positif, selain juga membuat anak malas belajar dan bergerak jika sudah berada di depan televisi.

  • Anak-anak sangat mudah menyerap sesuatu yang mereka lihat di televisi, baik ucapan maupun tingkah laku dari adegan di televisi
  • Mereka meniru gaya idola mereka di televisi
  • Anak lebih mudah berkomunikasi dan bersosialisasi dengan temannya
  • Anak jadi terangsang mudah berimajinasi saat bermain dengan temannya
  • Anak anak mampu menceritakan kembali apa yang mereka nonton di televisi

Seperti halnya internet, medium televisi memiliki dua sisi dampak, yakni baik dan buruk. Jika melihat pada karakter teknologi televisi yang sangat luas jangkauannya dan mudah didapatkan, televisi menjadi alat yang kuat dan ampuh dalam memberika pencerahan.

Namun, jika konten televisi buruk, menularkan nilai-nilai yang tidak sejalan dengan tujuan pemberdayaan dan pembangunan manusia maka televisi menjadi boomerang degradasi nilai kebaikan masyarakat.

Bagi masyarakat menengah ke bawah sinetron adalah layar hiburan yang paling dekat, mudah dan gratis. Oleh karena itu, tayangan televisi khususnya sinetron mendapat tempat khusus bagi masyarakat di Indonesia hingga ke pelosok kampung.

Baca juga: Mengapa Sinetron Dicaci, tapi Tetap Ada?

Demikian kuatnya jangkauan televisi membuat KPPPA memberi peringatan keras pada stasiun televisi swasta yang menayangkan dan memiliki hak siar sinetron Zahra. Dikhawatirkan masyarakat kemudian mengikuti dan mengamini peristiwa dalam sinetron tersebut apalagi tayangan itu masuk hingga ke desa desa.

Peran orang tua menjadi kunci agar anak terlindungi dari dampak tayangan yang tidak sesuai dengan tingkat kedewasaan usia anak. Orang tua harus mengeluarkan energi ekstra dengan memberikan alternatif hiburan lain dan mendorong anak anak untuk bermain dengan teman sebayanya.

Memberikan permainan yang disukai anak seperti beragam mainan ataupun mengisi waktu dengan aktifitas edukasi yang ringan seperti menggambar atau mewarnai. Dalam hal ini motivasi dari orang tua sangat berpengaruh pada anak anak, selain itu orang tua harus membuat kesepakatan.

Hari Tanpa Televisi tidak dimaknai sebagai gerakan membenci siaran televisi, bagaimanapun banyak tayangan positif dan menghibur dari layar kaca ini, seperti sepak bola Piala Eropa 2020, Olimpiade Tokyo, Badminton BWF, berita, dan konser musik. Program acara memasak serta kuliner juga menjadi alternatif yang memberikan hiburan dan menambah wawasan bagi masyarakat. Hari Tanpa Televisi merupakan refleksi sekaligus perenungan agar tayangan televisi lebih berbobot, bermutu, mendidik, dan tidak mengejar angka rating semata namun lebih mengutamakan kualitas tayangan yang memberikan dampak baik dan positif bagi masyarakat. (LITBANG KOMPAS)

kementerian komunikasi dan informatika

Tangkapan layar dari akun Youtube Kemkominfo TV saat Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate memberikan sambutan pada peluncuran program Literasi Digital Nasional, di Jakarta, Kamis (20/5/2021).