Paparan Topik | HUT DKI Jakarta

Sejarah Monumen Nasional (Monas): Perencanaan, Pembangunan, Hingga Polemik Pengelolaan

Monumen Nasional (Monas) mulai dibangun pada 17 Agustus 1961 dan diresmikan pada 12 Juli 1975. Monas dibangun sebagai simbol kebanggaan nasional.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Rabu (24/6/2020).

Fakta Singkat

Gagasan Awal

  • 1954, Panitia Tugu Nasional, Sarwoko Martokoesoemo
  • 1955, Sayembara pertama, tak ada pemenang
  • 1959, Panitia Monumen Nasional
  • 1960, Sayembara kedua, tak ada pemenang
  • 1961, Panitia dirombak, dipilih rancangan Soedarsono

Pembangunan

  • Dimulai 17 Agustus 1961
  • Berlangsung selama 14 tahun dalam 3 tahap
  • Didukung sumbangan wajib penonton bioskop Indonesia
  • Mendapat sumbangan emas 28 kilogram dari pengusaha Aceh, Teuku Markam, untuk puncak tugu
  • Mendapat sumbangan patung Diponegoro dari Mario Pitto, mantan Konsul Kehormatan Indonesia di Italia

Peresmian

  • Mulai dibuka untuk umum: 18 Maret 1972
  • Diresmikan: 12 Juli 1975

Bagian Penting

  • Tugu: ketinggian 132 m
  • Lidah Api: emas 50 kg
  • Pelataran Puncak: luas 11×11 m, ketinggian 115 m
  • Pelataran Cawan: luas 45×45 m, ketinggian 17 m
  • Ruang Kemerdekaan: tersimpan naskah proklamasi, lambang negara, peta NKRI
  • Museum Sejarah:luas 80×80 m, 51 diorama perkembangan Indonesia
  • Relief Sejarah: Perjalanan bangsa Indonesia
  • Patung Diponegori: di utara taman

Monumen Nasional (Monas) merupakan salah satu perwujudan arah pembangunan yang digagas Presiden Soekarno. Dibangun pada era Soekarno, Monas dibuka untuk umum pada era Presiden Soeharto. Saat ini, Monas dikelola oleh Pemda DKI Jakarta.

Pada tahun 60-an, Soekarno mencanangkan dua arah pembangunan, yakni pembangunan mental dan fisik. Pembangunan mental dilakukan melalui pendidikan, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Karena dijajah selama ratusan tahun, mentalitas masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang merdeka perlu dibangun. Sedangkan, pembangunan fisik ditandai dengan kehadiran berbagai bangunan yang merepresentasikan kebesaran sebuah bangsa. Pembangunan fisik tersebut diharapkan memunculkan kebanggaan nasional (Kusno, 2009). Salah satu bangunan tersebut adalah Monumen Nasional (Monas).

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Puncak Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (23/1/2020). Saat ini sedang dilakukan proyek revitalisasi Plaza Selatan Monas. Proyek revitalisasi tersebut menuai polemik antara lain penebangan 190 pohon di sisi selatan Monas serta terkait izin yang belum diberikan Kementerian Sekretariat Negara selaku Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka yang juga mencakup kawasan Monas.

Gagasan awal

Monumen Nasional (Monas) mulai dibangun pada tahun 1961, tetapi gagasan awalnya sudah ada sejak tahun 1954.

Wali Kota Jakarta tahun 1953-1960 (setingkat gubernur saat ini), Sudiro, mengatakan dalam tulisannya di harian Kompas, Rabu, 18 Agustus 1971, bahwa ide pendirian Monas muncul dari seorang masyarakat biasa. ”Yang memiliki ide pertama kali adalah seorang warga negara RI biasa, seorang swasta, warga kota sederhana dari Jakarta bernama Sarwoko Martokoesoemo,” tulis Sudiro.

Sang penggagas, Sarwoko, mendambakan adanya simbol perjuangan bangsa di Kota Jakarta yang berbentuk tugu yang ditempatkan di tengah Lapangan Merdeka (Kompas, 18/8/1971)

Pada 17 September 1954, Panitia Tugu Nasional terbentuk di rumah dinas Wali Kota Jakarta yang terdiri atas tujuh orang dengan Sarwoko menjadi ketua dan Sudiro sebagai pembantu umum. Mendengar hal ini, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta menanggapi dengan antusias. Panitia kemudian menyelenggarakan sayembara yang dimulai pada 1955 dengan melibatkan 51 peserta dari kalangan arsitek dan seniman, seperti pelukis S. Sudjojono dan arsitek Ir. F. Silaban. Sayembara ini hanya menghasilkan pemenang kedua, yaitu karya Silaban.

Setelah panitia bekerja selama lima tahun, Soekarno menilai bahwa kerja Panitia Tugu Nasional tidak memuaskan sehingga membentuk panitia baru. Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 214 tanggal 30 Agustus 1959, dibentuk Panitia Monumen Nasional (Monas) (Kompas, 20/9/2018).

Terkait ketidakpuasan Soekarno ini, Sudiro menulis, bahwa pada mulanya panitia hanya ingin mendirikan tugu setinggi 45 meter yang di dalamnya disimpan bendera pusaka. Akan tetapi, Presiden Soekarno menginginkan lebih dari itu.

Tugu harus lebih tinggi dari 100 meter. Di dalamnya harus ada museum dengan dinding yang diukir. Selain itu, harus ada lift yang mampu membawa pengunjung ke puncak tugu. Bagian atas tugu harus terbuat dari emas murni dengan berat beberapa puluh kilogram. Sudiro menulis bahwa panitia kewalahan dan tidak mampu mengikuti ide-ide Presiden Soekarno.

Pada tahun 1960 dilakukan sayembara kedua yang diikuti oleh 222 orang. Pada sayembara kedua ini dihasilkan 136 desain yang merupakan karya perseorangan atau kelompok. Sayembara kedua juga tidak menghasilkan karya terbaik (Kompas, 18/8/1971).

Pada tahun 1961, susunan kepanitiaan kembali dirombak secara besar-besaran. Presiden Soekarno bertindak sebagai ketua panitia dan Kolonel Umar Wirahadikusuma bertindak sebagai ketua harian (Salam, 1989).

Karena tidak ada pemenang di sayembara pertama dan kedua, Soekarno akhirnya menunjuk dua arsitek terkemuka di Indonesia saat itu, Soedarsono dan F. Silaban, untuk menghasilkan rancangan. Keduanya mengerjakan rancangannya masing-masing dan yang dipilih oleh Soekarno pada tahun 1961 adalah rancangan Soedarsono (Kanumoyoso, 2016). Tepat pada 17 Agustus 1961, pembangunan Monumen Nasional dimulai, ditandai dengan pemancangan tiang pertama.

Tahapan pembangunan

Proses pembangunan Monas berlangsung selama 14 tahun yang dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai pada tahun 1961 yang dikerjakan oleh Panitia Monumen Nasional dengan Presiden Soekarno sendiri sebagai ketuanya. Pendirian dimulai dengan fondasi yang baru rampung pada Maret 1962.

Pembangunan tahap kedua dimulai pada tahun 1966 oleh Panitia Pembina Tugu Nasional yang dikepalai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tahap kedua ini fokus pada pembangunan fisik.

Pengerjaan dilanjutkan kembali pada tahun 1969 hingga 1975, tahap ketiga, dengan tambahan diorama pada museum sejarah, sebagai bagian dari Monumen Nasional.

Ketika Monas mulai dibangun pada tahun 1961, Indonesia sedang mencalonkan diri untuk tuan rumah Asian Games ke-4 tahun 1962. Bersama dengan Monas, dibangun pula Tugu Selamat Datang, Gelora Bung Karno, dan Hotel Indonesia.

Pembangunan tersebut ditujukan untuk menampilkan kebesaran bangsa Indonesia di mata dunia. Kebesaran itu salah satunya ditandai dengan pendanaan Monas yang berasal dari partisipasi masyarakat Indonesia. Pemerintah mencanangkan sumbangan wajib untuk pengusaha bioskop se-Tanah Air. Dalam kurun waktu November 1961 hingga Januari 1962 tercatat 15 bioskop di Indonesia berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp49.193.200,01. Sumbangan lain datang dari Teuku Markam, seorang pengusaha dari Aceh, yang memberikan sekitar 28 kilogram dari total 38 kilogram emas yang dipasang di puncak tugu.

Kawasan Monas baru dibuka untuk umum melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin Nomor CB 11/1/57/72 pada tanggal 18 Maret 1972. Gubernur membuka kawasan bagi rombongan/organisasi atau murid sekolah/mahasiswa ke ruang tenang dan ruang museum. Pada waktu itu pengunjung dikenai biaya masuk Rp100 (Kompas, 6/5/1972). Baru pada tahun 1973, Gubernur Ali mempersilakan pengunjung untuk naik sampai pelataran puncak Monas.

Pada 10 Juni 1974, Gubernur meresmikan taman di bagian barat Monas, disebut Taman Ria, yang dihiasi air mancur yang dapat menari dan menyanyi (Kompas, 11/6/1974). Pembangunan berakhir pada tahun 1975 dan Monumen diresmikan pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.

Total dana yang dikeluarkan untuk pembangunan Monas sejak bulan Agustus 1961 sampai 1965 sebesar 58 miliar rupiah, termasuk pengeluaran devisa 5.773.000 dollar AS. Pada periode 1966–1968, Panitia Monas telah mengeluarkan dana sebesar 59,9 juta rupiah. Untuk periode 1969–1970, dalam ketentuan anggaran Repelita, biaya pembangunan sebesar 83 juta rupiah. Adapun biaya untuk perawatan dan keperluan rutin tiap bulan pada saat itu berkisar 2–3 juta rupiah dan penerangan lampu-lampu di Jalan Silang Monas dan Kompleks bangunan Tugu sendiri mencapai 750 ribu rupiah per bulan (Kompas, 9/4/1970). Untuk rencana pembangunan tahun 1970–1971 ditambah dana sebesar 90 juta rupiah (Kompas, 27/7/1970).

KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY

Warga berkeliling Kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (13/2/2020).

Makna arsitektur dan bagian penting Monumen Nasional

Arsitektur dan dimensi Monas mengandung unsur khas Indonesia. Bagian paling utama adalah tugu yang menjulang tinggi dengan pelataran cawan yang luas mendatar di atasnya.

Tugu merepresentasikan lingga, alu, atau antan. Sedangkan, pelataran cawan merepresentasikan yoni atau lumpang berbentuk raksasa. Antan dan lumpang adalah salah satu alat rumah tangga yang khas di Indonesia. Yoni dan lingga mewakili unsur laki-laki dan perempuan. Lingga berarti phallus (alat kelamin laki-laki), sementara yoni berarti vulva (alat kelamin perempuan). Dalam masyarakat Hindu, lingga-yoni melambangkan kesuburan, suatu dualisme yang menjadikan alam semesta seimbang, yang juga dimaknai sebagai kehidupan (Aryanti, 2007).

Lapangan Merdeka dipilih sebagai lokasi bangunan Tugu Nasional karena berbagai alasan. Lapangan Merdeka berada di tengah-tengah Ibu Kota. Selain itu, lapangan tersebut memiliki luas yang ideal, dikelilingi oleh gedung-gedung penting pemerintah, serta memiliki nilai sejarah.

Di atas lapangan berbentuk trapesium dengan luas 800.000 meter persegi ini dibangun bagian penting Monas yang meliputi tugu, pelataran puncak, pelataran cawan, ruang kemerdekaan, museum sejarah, relief sejarah, dan patung Diponegoro (Supriyadi, 2004).

Tugu dan Lidah Api
Tugu Monas setinggi 132 meter (433 kaki). Di puncaknya terdapat lidah api yang terbuat dari emas seberat 38 kilogram. Pada tahun 1995, berat emas ditambah menjadi 50 kilogram. Lidah api merupakan lambang perjuangan.

Pelataran Puncak
Pelataran puncak tugu nasional berukuran 11×11 meter dan berada pada ketinggian 115 meter dari halaman Tugu Nasional. Pengunjung naik ke atas menggunakan lift. Dari pelataran berkapasitas 50 orang ini, pengunjung dapat melihat pemandangan Ibu Kota dengan teropong.

Pelataran Cawan
Pelataran Cawan berbentuk lumpang segi empat yang melingkari badan Tugu Nasional. Pelataran ini berukuran 45×45 meter, terletak pada ketinggian 17 meter dari halaman Tugu Nasional. Dari Pelataran Cawan ini, pengunjung dapat melihat area Taman Monas seluruhnya.

Ruang Kemerdekaan
Ruang Kemerdekaan disebut juga ruang tenang, ruang untuk mengheningkan cipta. Ruangan ini terletak di dalam cawan Tugu Nasional dan berbentuk seperti amphiteater tertutup. Di bagian tengahnya terletak dinding persegi empat. Di dalam ruangan ini tersimpan naskah proklamasi, lambang negara, dan peta kepulauan NKRI.

Museum Sejarah
Museum ini menghadirkan 51 diorama yang menggambarkan perkembangan Indonesia secara kronologis. Museum seluas 80×80 meter ini dikerjakan oleh tiga tim, yaitu tim sejarah, tim pelukis, dan tim boneka yang membuat patung dari adegan yang sudah digambar oleh tim pelukis (Kompas, 19/7/1965)

Relief Sejarah
Monas juga memiliki relief timbul, berada di luar tugu, yang menceritakan perjalanan bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan seperti Majapahit dan Singosari, pendirian organisasi Boedi Oetomo dan Sumpah Pemuda, revolusi dan perang kemerdekaan, hingga pembangunan pada masa Indonesia moderen.

Patung Diponegoro
Patung ini adalah pemberian Dr. Mario Pitto, seorang Italia, mantan Konsul Jendral Kehormatan Indonesia di Italia. Pemahatnya adalah Profesor Cobertaldo Patung yang menambah kesan keagungan perjuangan bangsa ini terletak di bagian utara Taman Monas (Kompas, 3/12/1978).

Wisatawan ke Monas

Sebagai penanda (landmark) Kota Jakarta, Monas menawarkan wisata sejarah sekaligus panorama Jakarta yang menjadi tempat favorit wisatawan, baik lokal maupun asing.

Pengunjung yang ingin masuk ke Tugu Monas harus membayar tiket. Sedangkan, wisatawan yang ingin menikmati kawasan Monas di luar tugu tidak dipungut biaya. Biaya masuk ke museum dan pelataran cawan perlu membayar sebesar Rp2 ribu (anak/pelajar), Rp3 ribu (mahasiswa), dan Rp5 ribu (dewasa/umum). Sedangkan biaya kunjungan hingga puncak Tugu Monas harus membayar Rp4 ribu (anak/pelajar), Rp8 ribu (mahasiswa), dan Rp15 ribu (dewasa/umum).

Tiket masuk menggunakan sistem e-ticketing dengan kartu JCard. Selain untuk masuk Tugu, kartu elektronik ini dapat juga dipakai untuk menggunakan Trans Jakarta dan berbagai fasilitas lainnya di Jakarta. Pembelian tiket berlangsung dalam 3 sesi, yaitu pagi, siang, dan malam.

Setelah membeli tiket masuk, pengunjung memasuki Tugu Monas melalui terowongan bawah tanah sepanjang 95 meter. Selanjutnya, pengunjung dapat menikmati Museum Sejarah, Ruang Kemerdekaan, hingga puncak Tugu.

Menurut BPS, Monas masuk dalam delapan besar objek wisata unggulan di DKI Jakarta dan berada di posisi kedua setelah Taman Impian Jaya Ancol dari segi jumlah kunjungan pada tahun 2018–2020. Pada kurun waktu tersebut, terdapat 14.529.784 wisatawan ke Monas.

Pada tahun 2019, jumlah pengunjung Monas naik drastis dari 1.973.804 wisatawan menjadi 12.112.946 wisatawan. Namun pada tahun 2020, pengunjung merosot menjadi 443.034 orang karena sejak pandemi di awal Maret 2020, Monas ditutup oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2021, ketika lebaran pun, pengunjung tidak dapat masuk dan hanya sampai di depan gerbang Monas.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kondisi proyek revitalisasi Plaza Selatan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, Selasa (28/1/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta sepakat untuk menunda sementara proyek revitalisasi Plaza Selatan Monas. Revitalisasi akan dilanjutkan setelah izin diberikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) selaku Ketua Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka.

Pro kontra penggunaan kawasan Monas

Mengikuti maket pembangunan yang diperlihatkan Presiden Soekarno kepada publik, hingga kini masih tersisa beberapa rancangan Monas yang belum selesai dibangun.

Berdasarkan rancangan awal, direncanakan pembangunan kelompok patung perjuangan di setiap empat pintu masuk ruang museum sejarah. Selain itu, terdapat pula patung kelompok perebutan kekuasaan dari Jepang di sisi timur. Di sisi tenggara, terdapat patung pahlawan 10 November. Di sisi barat daya terdapat patung pembentukan TNI. Sedangkan di sisi barat laut, terdapat kelompok patung kebulatan NKRI.

Rancangan tersebut juga digambarkan di buku Tugu Nasional, Laporan Pembangunan 1961-1978 (Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI, 1978), Tugu Nasional dan Soedarsono (Solichin Salam, 1969), serta pada Naskah Akademik Badan Otorita Simbol-simbol Negara yang dibuat Yuke Ardhiati pada 2014.

Selain pembangunan yang belum selesai, pada tahun 2014, pengelolaan Monas oleh Pemda DKI sempat dipermasalahkan. Sebagai simbol nasional, Monas dianggap lebih tepat dikelola oleh pemerintah pusat.

Hingga saat ini, Monas dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Serah terima dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku Ketua Panitia Pembina tugu Nasional Daoed Joesoef kepada Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo terjadi pada 26 Agustus 1978. Serah terima ini diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka yang memuat hal-hal mengenai pembinaan di bawah Panitia Pembina Tugu Nasional.

Persoalan terkini mengenai kawasan Monas terkait dengan rencana penggunaan kawasan Monas untuk balap mobil Formula E dan revitalisasi Monas.

Awalnya, rencana Pemda DKI menggunakan kawasan Monas sebagai area balapan tidak disetujui oleh Komisi Pengarah. Akan tetapi, melalui Surat Nomor surat Nomor B-3/KPPKKM/02/2020 pada 7 Februari 2020, balapan Formula E di kawasan Taman Medan Merdeka disetujui dengan syarat mematuhi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Polemik penggunaan kawasan Monas untuk balapan masih berlanjut karena beberapa pihak masih mengutarakan keberatannya.

Di sisi lain, muncul pula pro kontra terkait revitalisasi kawasan Monas. Revitalisasi kawasan Monas yang sudah dimulai oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun 2019 sempat dihentikan. Salah satu hal yang mengagetkan dalam proyek tersebut adalah pencabutan 190 batang pohon dari sisi selatan pelataran Monas. Setelah mendapatkan rekomendasi, revitalisasi kawasan Monas kembali dilanjutkan hingga selesai. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas dari Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta melakukan penyemprotan disinfektan di komplek Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (17/6/2020). Penyemprotan dilakukan jelang pembukaan kembali Monas pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi pada 20 Juni 2020. Penyemprotan serupa juga dilakukan di tempat-tempat wisata lainnya seperti Ancol dan Taman Margasatwa Ragunan. Penyemprotan difokuskan pada area publik dan fasilitas umum.

Referensi

Buku
  • Kusno, Abidin. 2009. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto. Yogyakarta: Ombak
  • Salam, Solichin. 1989. Tugu Nasional dan Soedarsono. Jakarta: Penerbit Kuningmas
Jurnal
Arsip Kompas Cetak
  • “Sarwoko Martokoesoemo, Penggagas Monas yang Terlupakan”, Kompas, 20 September 2018, hlm. 12
  • “Dari Tugu Nasional ke Monumen Nasional”, Kompas, 18 Agustus 1971, hlm. 3
  • “Penyempurnaan Monas Diharapkan Selesai Mei Mendatang”, Kompas, 8 April 1970, hlm. 1
  • “Rp 90 Juta Lagi Untuk Perluasan Monas”, Kompas, 27 Juli 1970, hlm. 1
  • “Museum Sejarah Tugu Nasional”, Kompas, 19 Juli 1965, hlm. 1
  • “Patung Diponegoro di dekat Monas, Penyumbangnya Tak Pernah Melihat Letaknya”, Kompas, 3 Desember 1978, hlm. 6
  • “Monas, Dulu dan Riwayatmu Sekarang”, Kompas, 8 Februari 1999, hlm. 17
  • “Proyek Monas yang Belum Pernah Tuntas”, Kompas, 16 Februari 2020, hlm. D
  • “Revitalisasi Monas demi Perluasan Ruang Terbuka Hijau”, Kompas, 19 Januari 2020.
  • “Monas, antara Revitalisasi dan Formula E”, Kompas, 8 Februari 2020.