Paparan Topik | Transisi Energi

Hari Listrik Nasional: Momentum Pengembangan Sumber Energi Baru Listrik

Hari Listrik Nasional diperingati setiap 27 Oktober di Indonesia. Peringatan ini menjadi momentum untuk melihat kembali pembangunan infrastruktur kelistrikan guna memenuhi kebutuhan energi listrik nasional dan peluang pengembangan energi listrik dari sumber energi terbarukan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Uap keluar dari cerobong instalasi panas bumi milik PT Geo Dipa Energi yang dialirkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Jumat (15/3/2019). PLTP Dieng yang telah menghasilkan 60 megawatt akan ditambah kapisitasnya sebesar 10 megawatt. Pengembangan tersebut merupakan bagian dari eksplorasi energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Fakta Singkat

Hari Listrik Nasional:
27 Oktober

Awal Peringatan: 1945

Momentum Sejarah:
Nasionalisasi perusahaan listrik di Indonesia.

Makna Peringatan:
Pengembangan energi listrik di Indonesia.

Rasio Desa Berlistrik RI 2021:
99,62 persen

Rasio Elektrifikasi RI 2021:
99,45 persen

Rata-rata Tarif Listrik RI 2021 :
Rp 1024,01 per kWh

Konsumsi Listrik per Kapita 2020:
1,09 megawatt hour per kapita

Sumber Energi Listrik RI 2021 :

  • 61,41 persen dari PLTU (Batu Bara)
  • 18,17 persen dari sumber energi terbarukan

Pada 27 Oktober 2022 merupakan peringatan Hari Listrik Nasional ke-77. Peringatan ini setiap tahunnya mengambil tema khusus yang diusung oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tema tahun 2021 adalah “Terang Negeriku Tangguh Indonesiaku”. Untuk merayakan hari tersebut, pada tanggal 27 Oktober 2021 PLN memberikan promo potongan biaya pembelian token listrik. 

Tanggal peringatan Hari Listrik Nasional ini bertepatan dengan momentum sejarah penyelenggaraan kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik dan gas setelah proklamasi kemerdekaan dari kekuasaan penjajahan Jepang pada waktu itu.

Pengalihan kendali ini pertama-tama dilakukan oleh para pemuda dan buruh listrik pada tahun 1945, yang lalu mereka serahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pengelolaan listrik dan gas lantas diatur pertama kali oleh Pemerintah Indonesia melalui Penetapan Pemerintah Nomor 1 Tanggal 27 Oktober 1945. Ketetapan ini dibuat oleh Presiden Soekarno guna membentuk Jawatan Listrik dan Gas yang bertugas mengelola penyelenggaraan listrik di Indonesia. Dalam perkembangannya, pada tahun 1972 Perusahaan Listrik Negara dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1972.

Sebelumnya pada zaman penjajahan Belanda di abad 19, pengadaan tenaga listrik di Indonesia dimulai dari perusahaan-perusahaan industri pabrik gula dan pabrik teh untuk keperluan industri mereka. Pada akhir abad 19 ada perusahaan swasta Belanda N V Nign yang memulai pengadaan tenaga listrik untuk masyarakat umum.

Selanjutnya pada abad 20 awal, yakni tahun 1927, Pemerintah Kolonial Belanda membentuk perusahaan listrik pemerintah kolonial bernama Lands Waterkracht Bedriven (LWB). Perusahaan ini mendirikan PLTA-PLTA awal di Indonesia seperti PLTA Plengan, PLTA Lamajan, PLTA Bengkok Dago, PLTA Ubrug, PLTA Kracak, PLTA Giringan, PLTA Tes, PLTA Tonsea Lama, dan PLTU Jakarta. Pembangkit listrik tersebut tersebar di beberapa pulau termasuk Jawa, Bengkulu, Sulawesi Utara. Pada masa penjajahan Jepang, perusahaan-perusahaan tersebut diambil alih oleh Jepang.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Foto udara PLTS Papagarang di pulau Papagarang, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Jumat (1/10/2021). PLTS Papagarang yang memiliki kapasitas 380 kilowatt peak (kWp) menjadi sumber listrik utama bagi warga Desa Papagarang sejak tahun 2019. Selain di pulau Papagarang, PLTS komunal serupa, yang memannfaatkan sinar matahari ini juga terdapat di pulau Messah, Pulau Seraya Besar, serta Pulau Boleng.

Infrastruktur Listrik Indonesia

Terdapat tiga indikator penting yang menunjukkan perkembangan pembangunan infrastruktur kelistrikan di Indonesia, pertama ialah rasio elektrifikasi dan rasio desa berlistrik. Angka ini menunjukkan keterjangkauan energi listrik di Indonesia untuk masyarakat. Kedua, ialah  SAIFI (System Average Interruption Frequency Index) dan SAIDI (System Average Interruption Duration Index) yang menunjukkan keandalan layanan energi listrik di Indonesia. Ketiga, adalah harga energi listrik di Indonesia yang dapat menjadi tolok ukur sejauh mana masyarakat Indonesia dapat memperoleh layanan energi tersebut.

Terkait rasio elektrifikasi, rasio ini menunjukkan angka perbandingan jumlah rumah tangga yang mendapatkan layanan langganan listrik, entah itu listrik dari PLN maupun listrik non-PLN, dibandingkan dengan jumlah rumah tangga keseluruhan di Indonesia. Yang dimaksud listrik non-PLN adalah sumber penerangan listrik yang dikelola oleh instansi atau pihak lain selain PLN seperti misalnya oleh Pemerintah Daerah, koperasi, corporate social responsibility dari suatu badan usaha, maupun layanan dari program swadaya masyarakat lainnya. 

Data dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan Pusat Statistik menunjukkan perkembangan yang amat signifikan dari tahun 2010 hingga 2020. Data tersebut memperlihatkan bahwa rasio elektrifikasi Indonesia bertumbuh pesat dari hanya 67,15 persen di tahun 2010 menjadi 99,2 persen di tahun 2020. Data rasio elektrifikasi tahun 2021 lebih memukau lagi, yakni 99,45 persen, hal ini berarti bahwa hanya tinggal 0,55 persen dari rumah tangga di Indonesia yang belum mendapatkan aliran listrik.

Grafik:

Sementara itu, dari data rasio desa berlistrik (RDB) yang diterbitkan Perusahaan Listrik Negara (PLN), tercatat bahwa pada September 2021 dari total 83.442 desa di seluruh provinsi di Indonesia, terdapat 83.125 desa yang telah menerima energi listrik. Hal ini berarti pada September 2021 RDB Indonesia telah mencapai 99,62 persen. Angka ini meningkat dari catatan tahun 2020 dengan capaian RDB sebesar 99,52 persen atau 82.569 desa. Dari total tersebut, 75.278 desa di Indonesia mendapatkan listrik yang diadakan oleh PLN, selebihnya mendapatkan listrik dari program khusus Kementerian ESDM, Pemerintah Daerah, maupun kegiatan swadaya masyarakat lainnya.

Bila melihat dari persebaran rasio elektrifikasi di berbagai provinsi di Indonesia, tampak bahwa sebenarnya terdapat kesenjangan rasio elektrifikasi di berberapa provinsi. Teradapat lima provinsi yang masih memiliki rasio elektrifikasi di bawah 96 persen, cukup tertinggal dibanding kemajuan rasio elektrifikasi provinsi-provinsi lainnya. Kelima provinsi tersebut adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (87,62 persen), Provinsi Maluku (91,83 persen), Provinsi Papua (94,42 persen), Kalimantan Tengah (94,98 persen), dan Sulawesi Tenggara (95,91 persen).

Berikut data persebaran rasio elektrifikasi di berbagai provinsi di Indonesia.

Grafik:

 

 

Selain angka elektrifikasi, indikator penting pembangunan infrastruktur kelistrikan di Indonesia adalah keberlangsungan aliran listrik tersebut bagi masyarakat atau seberapa sering dan lama terjadi pemadaman listrik di Indonesia. Frekuensi dan intensitas pemadaman ini menjadi salah satu tolok ukur kualitas infrastruktur kelistrikan di Indonesia. SAIFI (System Average Interruption Frequency Index) adalah angka rata-rata frekuensi terjadianya gangguan listrik, sementara itu SAIDI (System Average Interruption Duration Index) adalah angka rata-rata durasi terjadinya gangguan tersebut. Nilai SAIFI menunjukkan berapa jam seorang pelanggan layanan listrik mengalami gangguan kelistrikan, sementara nilai SAIDI menunjukkan berapa sering seorang pelanggan tersebut mengalami gangguan kelistrikan.

Bila melihat dari data PLN, tampak bahwa kualitas layanan listrik di Indonesia kian membaik dalam lima tahun terakhir (2017-2021). Pada tahun 2017 angka SAIDI Indonesia mencapai 19,33, artinya secara rata-rata setiap pelanggan listrik PLN mengalami pemadaman listrik selama 19,33 jam tiap tahunnya. Pada tahun itu pula nilai SAIFI Indonesia mencapai 12,65 yang berarti setiap pelanggan rata-rata mengalami pemadaman sampai 12,65 kali dalam setahun. Angka kedua indikator tersebut terus menurun hingga tahun 2021 setelah sempat naik pada tahun 2019. Di tahun 2021 angka SAIDI Indonesia berada pada 9 jam, sementara angka SAIFI Indonesia berada pada 6,7.

Grafik:

 

Bagaimana dengan persebaran SAIDI dan SAIFI di berbagai provinsi di Indonesia? Berikut daftar nilai SAIDI dan SAIFI tiap provinsi di Indonesia pada tahun 2021. Data SAIDI dan SAIFI di tiap provinsi tersebut menunjukkan bahwa tidak semua provinsi memiliki kualitas infrastruktur kelistrikan yang memadai. Secara rata-rata, SAIDI dan SAIFI di luar Jawa adalah 11,52 dan 8.63, sementara SAIDI dan SAIFI di Jawa 7,34 dan 5,41.

Grafik:

 

Untuk biaya energi listrik di Indonesia, data dari PLN menunjukkan fluktuasi harga listrik baik untuk keperluan rumah tangga, industri, bisnis/komersial, sosial, pemerintah, penerangan jalan umum. Di tahun 2013 harga listrik untuk pelanggan rumah tangga (rata-rata pada tiap jenis daya tegangan listrik) berada pada Rp 692,06 per kWh. Angka ini meningkat menjadi Rp 1024,01 di tahun 2021. Bila mencari perbandingan harga listrik di Asia Tenggara, pada tahun 2020 Indonesia merupakan negara dengan harga listrik termurah keempat dengan rata-rata harga listrik untuk semua sektor pada kisaran 0,095 dollar AS per kWh atau sekitar Rp 1.467 per kWh. Negara dengan tarif listrik termurah adalah Malaysia (Rp 848/kWh), diikuti Laos (Rp 984/kWh) dan Vietnam (Rp 1.212 per kWh).    

Grafik:

 

Kebutuhan Energi Listrik di Indonesia

Pada tahun 2021 tercatat bahwa jumlah populasi Indonesia mencapai 272.682,52 juta penduduk. Dengan jumlah penduduk sekitar 3,5 persen dari total penduduk dunia atau terbanyak keempat di dunia, Indonesia memiliki kebutuhan energi listrik yang tinggi pula. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM menunjukkan bahwa konsumsi listrik per kapita Indonesia pada tahun 2020 sebesar 1,09 megawatt per jam (Megawatt Hour/MWH) atau 1090 kilowatt per jam. Angka ini mengalami peningkatan sejak tahun 2010 yang hanya berada pada 0,7 MWH. Artinya, masyarakat Indonesia memerlukan semakin banyak energi listrik.

Grafik:

Bila melihat kebutuhan konsumsi listrik pada berbagai sektor, tampak bahwa pertumbuhan konsumsi energi listrik terjadi baik pada sektor rumah tangga, komersial, maupun industri. Bersamaan dengan meningkatnya konsumsi energi listrik tersebut, data dari PLN menunjukkan adanya tren pertumbuhan rumah tangga pelanggan listrik di Indonesia. Hal ini menunjukkan semakin tingginya kebutuhan energi listrik Indonesia dan menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk dapat memenuhi kebutuhan energi listrik ini, bukan lagi dengan sumber-sumber energi fosil melainkan dari sumber-sumber energi terbarukan.

Energi bersih dan keterjangkauannya bagi masyarakat merupakan satu dari tujuh belas tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations) untuk menjadi acuan kebijakan pembangunan setiap negara. Energi bersih dan keterjangkauannya merupakan tujuan ketujuh dari daftar tujuh belas Sustainable Development Goals tersebut. 

Grafik:

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga melintasi tiang-tiang kincir angin laboratorium Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/11/2020). Penggunaan energi bersih saat ini menjadi tuntutan bersamaan dengan menguatnya isu perubahan iklim.

Grafik:

 

 

Grafik:

 

 

Sumber Energi Listrik Indonesia

Bagaimanakah langkah untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat di Indonesia? Energi listrik dapat diperoleh dari pembangkit listrik sumber konvensional seperti batu bara, minyak, dan gas bumi. Ada pula yang berasal dari pembangkit listrik sumber energi terbarukan seperti nuklir, panas bumi, tenaga air (hydropower), tenaga surya, angin, gelombang laut, dan biomassa.

Saat ini 61,41 persen dari energi listrik di Indonesia diproduksi dari pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batu bara. Angka ini tidak hanya mencakup pembangkit listrik milik PLN. 18,19 persen lainnya dihasilkan dari gas. Sumber energi gas ini terutama dimanfaatkan untuk keperluan industri. Minyak bumi berkontribusi sebesar 2,15 persen dari total pembangkit listrik di Indonesia. Sementara itu, sumber energi terbarukan di Indonesia kini mencakup 18,17 persen dari total produksi listrik di Indonesia.  

Grafik:

 

KOMPAS/PRIYOMBODO

Bentangan panel surya di PLTS Messah, kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (2/10/2021). PLTS Messah memiliki kapasitas 530 kilowatt peak (kWp). Sumber energi baru terbarukan seperti energi surya menjadi solusi bagi pemenuhan kebutuhan listrik bagi masyarakat di pulau-pulau di kabupaten Manggarai Barat.

Bila melihat dalam perkembangnya, energi batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap baru mulai dikembangkan di Indonesia pada kisaran tahun 1985. Sebelumnya pembangkit listrik di Indonesia didominasi oleh pembangkit listrik tenaga air. Pada tahun-tahun awal tersebut, batu bara menghasilkan 5,21 TWh energi listrik, kedua terbesar setelah pembakit listrik berbahan bakar minyak. Batu bara terus berkembang menjadi sumber pembangkit listrik utama Indonesia hingga pada tahun 2021 di mana PLTU bertenaga batu bara menghasilkan hingga 189,96 TWh. Data tahun 2020 juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara eksportir batu bara terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India.

Grafik:

Bila melihat jumlah persebaran berbagai pembangkit listrik PLN di tiap provinsi di Indonesia, data tahun 2020 menunjukkan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (berbahan bakar batu bara) paling banyak berada di Provinsi Banten, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sementara provinsi dengan pembangkit listrik tenaga surya terbanyak berada di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

 

SEKRETARIAT PRESIDEN/AGUS SUPARTO

Presiden Joko Widodo memberi sambutan pada acara ada ground breaking pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik milik PT HKML Battery Indonesia di Kompleks Karawang New Industrial City, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (15/9/2021).

Grafik di bawah ini menunjukkan jumlah energi listrik yang dihasilkan dari tiap jenis pembangkit listrik pada tiap provinsi di Indonesia. Pembangkit listrik yang dimaksud bukan hanya pembangkit listrik milik PLN, melainkan seluruh pembangkit listrik yang tersedia. Warna kuning menunjukkan semakit besar energi listrik yang dihasilkan dari jenis pembangkit tertentu pada suatu provinsi.

Sebagai catatan, data yang digunakan bukanlah data kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik melainkan data daya mampu pembangkit listrik. Kapasitas terpasang adalah kapasitas suatu pembangkit sesuai dengan informasi terkait pembangkit tersebut, tetapi data ini tidak memperhitungkan apakah pembangkit tersebut masih beroperasi atua beroperasi berapa persen. Sementara daya mampu adalah kapasitas nyata suatu pembangkit dalam menghasilkan energi listrik dalam satuan Megawatt. Informasinya diperoleh dan diperbarui berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian yang tertera dalam Sertifikat Laik Operasi tiap pembangkit.

Grafik:

 

 

Transisi energi

Sebagai bagian dari upaya mendorong transisi energi dan pencapaian net-zero emission, pada 13 September 2022, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres 112/2022). Perpres baru ini mengatur beberapa hal mengenai upaya penghentian pembangkit listrik tenaga uap (batu bara) di satu sisi, sambil tetap menjamin ketersediaan energi listrik nasional. Perpres tersebut pertama-tama mengatur agar Menteri ESDM menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang ada saat ini. Prepres tersebut lalu melarang adanya pengembangan PLTU baru kecuali untuk PLTU yang telah ditetapkan dalam rencana usahanya sebelum prepres ini berlaku, juga dikecualikan PLTU yang memenuhi beberapa persyaratan khusus (integrasi industri, proyek strategis nasional, komitmen pengurangan emisi 35 persen, serta maksimal operasi hingga 2050). Hal ketiga yang diatur ialah upaya pengakhiran PLTU milik PLN maupun kerja samanya. 

Hari Listrik Nasional menjadi momentum untuk Indonesia kembali menilik upaya pembangunan infrastruktur listrik bagi masyarakat yang terjangkau, berkualitas, sekaligus bersumber dari sumber energi yang bersih atau terbarukan. (LITBANG KOMPAS)