Paparan Topik | Transisi Energi

Mekanisme Perdagangan Karbon

Tata kelola karbon bertujuan untuk mengurangi emisi gas-gas yang merusak ekosistem bumi serta meminimalisir dampak perubahan iklim. Awal mula konsep perdagangan karbon berupa inovasi kebijakan lingkungan AS tahun 1980-1990 dan COP3 di Jepang.

KOMPAS/ERIKA KURNIA

Tampilan layar Bursa Karbon Indonesia per pukul 11.00, usai dibuka perdana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Fakta Singkat

Perdagangan Karbon:

  • Awal mula konsep perdagangan karbon: inovasi kebijakan lingkungan AS tahun 1980-1990 dan COP3 di Kyoto, Jepang.
  • Target Perjanjian Paris (COP21): Membatasi pemanasan jauh di bawah 2 derajat celcius dari tingkat pra-industri (sebelum 1850) dan berupaya lebih lanjut untuk membatasi pemanasan tidak lebih dari 1,5 derajat celcius.
  • Perkiraan kenaikan suhu di akhir abad 21 berdasarkan kondisi saat ini : 2,7 derajat celcius.
  • Tiga mekanisme nilai ekonomi karbon: perdagangan karbon, pajak karbon, kredit karbon.

Persoalan emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya, juga pemanasan global dan dampak iklimnya telah menjadi isu besar dunia pada akhir abad 20 silam. Berbagai konferensi dan perjanjian internasional diadakan untuk mencari solusi bersama menangani persoalan ini. Pertemuan terkini tentang isu iklim ini adalah Conference of the Parties ke-28 (COP28) yang diselenggarakan di Dubai pada 30 November hingga 12 Desember 2023.

Dalam pertemuan yang dihadiri hingga 150 kepala negara dan total 85 ribu peserta itu diperoleh kesepahaman bahwa progres upaya reduksi emisi gas rumah kaca terlalu lambat dan jauh dari harapan Perjanjian Paris.

Berbagai kesepakatan juga diambil, mulai dari komitmen lebih untuk transisi energi, penciptaan mekanisme dukungan finansial dan teknis untuk negara yang paling terdampak perubahan iklim, dan upaya tata kelola karbon lainnya, termasuk mekanisme perdagangan karbon.

KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO

Presiden Joko Widodo saat menekan layar sentuh menandai peluncuran Bursa Karbon Indonesia dalam acara yang digelar di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/9/2023). Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi juga menandatangani prasasti sebagai tanda peluncuran Bursa Karbon Indonesia.

Tata Kelola Karbon

Tata kelola karbon atau yang dikenal sebagai carbon governance merujuk pada kebijakan, regulasi, dan tindakan yang diambil baik oleh pemerintah, organisasi internasional, dan entitas lain untuk mengelola dan mengurangi jumlah karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca (green house gas) lain. Gas-gas tersebut diproduksi akibat aktivitas manusia (baik itu untuk pemukiman, transportasi, maupun industri) dan dilepaskan ke atmosfer bebas.

Gas-gas ini merupakan penyebab utama perubahan iklim, karena mereka menangkap panas di atmosfer Bumi dan membuatnya tidak dapat terlepas ke luar angkasa, lantas menyebabkan pemanasan global dan perubahan signifikan dalam pola cuaca, tingkat permukaan air laut, juga keseluruhan ekosistem di bumi.

Tujuan dari tata kelola karbon adalah untuk mengurangi emisi gas-gas yang merusak ekosistem bumi tersebut serta meminimalisir dampak perubahan iklim tersebut. Tata kelola karbon diwujudkan melalui upaya peralihan kepada ekonomi rendah karbon (low carbon economy).

Upaya peralihan tersebut, yang juga disebut sebagai transisi energi guna Net Zero Emission, melibatkan pergeseran dari bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas alam) ke sumber energi terbarukan (seperti angin, surya, dan hidroelektrik), meningkatkan efisiensi energi, dan mengembangkan teknologi yang dapat menangkap dan menyimpan CO2 sebelum mencapai atmosfer.

Sebagai catatan, ada istilah lain yang juga populer digunakan yakni Green Economy. United Nations Environment Program (UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan sekaligus mencegah peningkatan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim melalui aktivitas ekonomi yang rendah karbon, efisiensi sumber daya, serta bersifat sosial inklusif. Konsep Ekonomi Hijau secara resmi diadopsi oleh berbagai negara setelah UNEP meluncurkan Green Economy Initiative (GEI) pada akhir 2008.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Anak-anak mengikuti pelajaran olahraga di SDN Duren Sawit 14, Jakarta Timur, Kamis (29/9/2022). Sekolah ini menjadi salah satu dari empat sekolah negeri dengan konsep net zero carbon atau netralitas karbon di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pendidikan melakukan revitalisasi terhadap sekolah tersebut yang diyakini akan lebih ramah lingkungan. Sekolah-sekolah tersebut diharapkan menjadi contoh bangunan masa depan yang mengutamakan emisi rendah, hemat beroperasi dan sebagian energinya dipasok dari sumber energi terbarukan.

Masalah Emisi Karbon dan Pemanasan Global

Signifikansi dan urgensi pengelolaan karbon sangatlah jelas. Untuk menghindari bencana alam katastropik yang dipicu oleh pemanasan global, Perjanjian Paris yang diadopsi pada Desember 2015 selama Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 21) menargetkan untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pra-industri (periode referensi 1850-1900) dan bahkan berambisi lebih tinggi lagi untuk membatasi pemanasan hingga tidak lebih dari 1.5°C dari era pra-revolusi industri.

Namun, praktik yang berlangsung saat ini, diperkirakan akan meningkatkan suhu hingga 2.7°C pada 2100. Dengan memperhitungkan Nationally Determined Contributions (NDC) yang dibuat oleh berbagai negara, bahkan jika semua NDC tersebut tercapai, data dari Climate Action Tracker kenaikan suhu diperkirakan masih akan mencapai sekitar 2.4°C. Dengan kata lain, kita masih jauh dari mencapai target yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris, dan potensi terjadinya bencana alam ekstrem menjadi sangat nyata.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Untuk mengatasi masalah ini, tidak ada jalan lain selain mengubah cara hidup masyarakat dengan kebijakan yang lebih ketat, khususnya dalam upaya penurunan emisi karbon. Our World in Data menunjukkan bahwa 73,2 persen dari greenhouse gas emission dunia bersumber dari produksi energi (electricity, heat, dan transport). Artinya, perubahan di sektor energi akan memberikan dampak yang signifikan. Nyatanya, hingga hari ini 84 persen sumber energi kita masih berasal dari energi fosil (minyak, batu bara, natural gas). Energi terbarukan (renewables) dan energi nuklir hanya berkontribusi 16 persen.

Sebagai catatan, gas rumah kaca (GRK) atau greenhouegas emissions sebagian besar terdiri atas CO2 (rata-rata 74,4 persen). Itulah sebabnya berbagai upaya penanganan pemanasan global berfokus pada upaya penurunan CO2, selain juga kerena peningkatan C02 itu sendiri terutama disebabkan oleh ulah manusia. Bagian lain dari GRK adalah CH4 atau Methane, yakni rata-rata sebesar 17,5 persen, diikuti Nitrious Oxide (N2O) 6,2 persen, dan gas-gas lain (HFCs, CFCs, SF6) sebesar 2,1 persen. 

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Nilai Ekonomi Karbon (Carbon Pricing)

Pengenaan harga karbon atau nilai ekonomi karbon adalah istilah luas yang mencakup setiap pendekatan yang digunakan untuk menetapkan biaya terhadap emisi karbon, dengan tujuan mendorong masyarakat sebagai emitor untuk mengurangi jumlah GRK yang mereka lepaskan ke atmosfer.

Ide ini adalah untuk menginternalisasi biaya atau dampak eksternalitas dari emisi GRK (yaitu biaya yang muncul dari dampak lingkungan dan sosial yang saat ini tidak diperhitungkan di dalam harga pasar bahan bakar fosil itu sendiri) dan membuat pelepasan karbon dioksida juga GRK lainnya menjadi lebih tinggi, sesuai dengan pertimbangan biaya dampak eksternalitas tersebut.

Ada tiga jenis jalan untuk mekanisme nilai ekonomi karbon tersebut. Pertama ialah mekanisme pajak karbon atau pungutan karbon (carbon levy). Pajak ini langsung diterapkan terhadap konten karbon dari bahan bakar fosil atau emisi karbon. Pajak tersebut merupakan harga yang harus dibayar oleh pihak emiten untuk setiap ton emisi GRK yang mereka produksi dan lepaskan ke alam. Tarif pajaknya sendiri dapat bersifat tetap atau progresif.

Pendekatan ini dimaksudkan untuk membuat orang lebih enggan untuk melakukan emisi karena mesti menanggung biaya pajak tersebut. Dengan kata lain, ia membuat harga dampak dari emisi karbon menjadi kentara dan terasa oleh masyarakat sebagai emitor, akan tetapi sebenarnya tidak langsung secara pasti dapat menjamin terjadinya pengurangan jumlah emisi yang dilakukan oleh masyarakat. Tingkat harga pajak tersebut tentu menentukan seberapa berat efek yang dirasakan oleh masyarakat dan akhirnya seberapa banyak emisi yang berhasil ditekan karenanya.

Cara kedua adalah sistem cap-and-trade yang disebut sebagai perdagangan karbon (carbon trading) atau Emission Trading System (ETS). Model ini merupakan pendekatan berbasis pasar untuk di satu sisi membatasi dan mengontrol polusi, juga menyediakan insentif ekonomi untuk upaya peningkatan efisiensi energi, pengurangan emisi, dan juga transisi energi. Cara kerjanya, yakni seperti nama mekanismenya itu sendiri, adalah dengan pertama-tama ditetapkannya suatu batas (cap) atas total jumlah GRK tertentu yang dapat diemisikan oleh suatu kelompok target, misalnya sektor pembangkit listrik, fasilitas industri, transportasi, dsb. Batas ini perlahan-lahan, dalam jangka waktu tertentu, akan makin diperketat atau dibuat lebih rendah lagi agar semakin rendah pula tingkat emisi yang terjadi.

Lalu, apabila suatu unit atau suatu entitas, misalnya suatu perusahaan yang terdaftar dalam mekanisme ini berhasil mengeluarkan lebih sedikit carbon dari kuota yang ia dapatkan, ia dapat menjual surplus izin emisi tersebut kepada perusahaan lain yang memerlukan kuota untuk melepaskan lebih banyak karbon.

Perusahaan yang lebih banyak memerlukan kuota tersebut mungkin karena skala produksinya yang lebih besar dan kemampuan pengolahan emisi serta efisiensi energinya rendah sehingga membutuhkan kuota lebih banyak. Tetapi ia tidak dapat asal melakukan emisi tersebut karena larangan dan pantauan pemerintah, sehingga ia mesti membeli kuota dari perusahaan lain yang memiliki surplus kuota.

Dengan cara demikian, terciptalah suatu pasar kuota emisi karbon. Perdagangan ini menciptakan harga pasar untuk emisi karbon. Artinya, pasarlah (aktivitas jual-beli kuota atau izin emisi) yang menentukan biaya untuk mengeluarkan satu ton C02. Tidak berhenti di situ, mekanisme ini menawarkan insentif ekonomi bagi perusahaan atau institusi untuk mengurangi emisi mereka: semakin sedikit mereka mengeluarkan, semakin banyak mereka bisa menjual dalam kuota, semakin sedikit pula kebutuhan mereka untuk membeli kuota.

Dari sini dapat dibayangkan bahwa perusahaan atau suatu institusi tidak hanya akan membatasi emisinya, melainkan juga berusaha meningkatkan efisiensi energinya, meningkatkan teknologinya untuk menurunkan emisi karbon, bahkan mengupayakan transisi kepada sumber-sumber energi yang terbarukan.

Cara ketiga adalah kredit karbon atau dikenal juga sebagai kompensasi karbon (carbon offset). Ia mengandalkan aktivitas yang persis berkebalikan dari emisi karbon, yakni reduksi karbon seperti pembangkit listrik energi terbarukan, reforestasi, carbon capture dan proyek pengurangan emisi lainnya. Mekanisme berjalan demikian: perusahaan atau institusi mengkompensasi emisi karbon dioksida yang mereka hasilkan dengan berinvestasi dalam proyek-proyek yang mengurangi atau menyerap karbon dioksida dari atmosfer di tempat lain seperti baru saja dijabarkan.

Istilah ini dengan logikanya itu lantas berkaitan dengan beberapa istilah lain seperti pembayaran berbasis hasil (Result-based Payment) dan Clean Development Mechanism (CDM). Yang pertama adalah pemberian insentif finansial untuk proyek-proyek yang berhasil mengurangi emisi, di mana pembayaran dilakukan setelah hasil atau target tertentu, seperti pengurangan emisi karbon, tercapai dan diverifikasi. Contoh konkretnya adalah Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang memberikan insentif finansial bagi negara-negara berkembang yang telah berhasil mengurangi deforestasinya.

Sementara CDM adalah salah satu mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang memungkinkan negara-negara maju untuk berinvestasi dalam proyek pengurangan emisi di negara berkembang sebagai cara untuk memenuhi target pengurangan emisi mereka sendiri. Proyek-proyek dalam CDM dapat menghasilkan kredit karbon, yang dapat dijual atau digunakan oleh investor untuk mengkompensasi emisi mereka sendiri.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Sejarah Mekanisme Perdagangan Karbon

Perusahaan dan berbagai institusi bergerak dengan arus keuangan. Bila emisi karbon dan inovasi untuk transisi energi ditentukan oleh mereka, maka memberikan harga pada setiap karbon yang dikeluarkan oleh aktivitas perusahaan dan institusi tersebut akan membuat mereka berpikir ulang, juga mendorong mereka berusaha mengurangi emisi karbon bahkan beralih sepenuhnya pada energi terbarukan dan ekonomi rendah karbon.

Logika nilai ekonomi karbon ini dan model tujua. AS pada waktu itu menghadapi persoalan lingkungan yang akut karena pembangkit listriknya mengemisikan banyak sulfur dioksida (SO2). Sulfur dioksida yang dilepaskan ke udara bebas ini mencemari atmosfer dan menyebabkan terjadinya hujan asam parah yang berbahaya bagi makhluk hidup bahkan bagi infrastruktur publik. Namun nyatanya tidak ada mekanisme yang membuat perusahaan pembangkit listrik untuk mengubah pola produksi energinya, sehingga polusi terus terjadi.

Pada tahun 1990 muncullah gagasan inovasi kebijakan untuk menciptakan peraturan hukum yang mewajibkan perusahaan pembangkit listrik membayar polusi yang ia timbulkan melalui mekanisme cap-and-trade. Hasilnya, sejak kebijakan tersebut diimplementasikan, delapan tahun setelahnya tingkat terjadinya hujan asam di wilayah AS sebelah Timur menurun hingga 20 persen. 

Berangkat dari keberhasilan kebijakan AS itulah, dalam pertemuan ketiga UNFCCC (COP3) yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada 1-10 Desember 1997, UNFCCC merekomendasikan agar konsep cap-and-trade diberlakukan untuk menekan emisi karbon. Hasil dari pertemuan ini yang dikenal sebagai Protokol Kyoto. Sejak itulah, berbagai negara dan wilayah mulai menetapkan mekanisme nilai ekonomi karbon (carbon pricing) di tempat mereka masing.

KOMPAS/HAMZIRWAN

Kawasan hutan berstatus areal penggunaan lain (APL) tampak masih memiliki vegetasi pohon yang rapat di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Senin (12/4/2010). Kalimantan Barat memiliki APL luas dengan vegetasi hutan relatif bagus dan potensial dijadikan provinsi perdagangan karbon.

Penerapan ETS

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam teorinya, model cap-and-trade ini mestinya berhasil menekan emisi karbon. Akan tetapi, 20 tahun lebih sejak Protokol Kyoto, model ini belum sungguh berhasil diterapkan di berbagai negara dan nyatanya emisi karbon masih terus meningkat, alih-alih menurun. Penyebab utamanya adalah lemahnya keseriusan penerapan mekanisme ini, yakni masih tingginya batasan atas emisi karbon yang diberikan dan rendahnya harga karbon yang ditetapkan.

Ahli ekonomi bidang perubahan iklim, Joseph Stiglitz dan Nicholas Stern menjelaskan dalam model ekonominya bahwa untuk dapat menghasilkan efek yang signifikan dalam upaya reduksi emisi dan pencapaian target Perjanjian Paris pada 2030, karbon mesti dihargai sekitar 50 sampai 100 USD per ton.

Akan tetapi, harga karbon sekarang masih jauh di bawah nilai tersebut, sebagai contoh: China 8.15, Jerman 32.63, Jepang 2,17, Korea Selatan 11,24, Selandia baru 34,20, Singapura 3,77. Hanya EU dan UK yang mulai menetapkan nilai hingga 96,30 dan 88,13, namun batasan atas jumlah emisinya pun belum sesuai harapan, ditambah jumlah sektor yang sudah disertakan dalam mekanisme Emission Trade System (ETS) ini.

Ditambah lagi, denda untuk badan usaha yang melampaui batas atas emisi juga terbilang rendah. Di Uni Eropa misalnya, denda yang diberikan adalah 100 Euro untuk tiap ton kelebihan. Alhasil, banyak perusahaan dan institusi lebih memilih untuk membayar denda kelebihan emisi ketimbang memperbaiki emisi karbon pada sistem produksinya ataupun repot memikirkan perdagangan dengan perusahaan lain.

Itupun kalau situasi kelebihan emisi mereka betul-betul tercatat dan tertangkap oleh mekanisme monitoring yang ada. Ini adalah masalah lain dari model ETS, yakni rumitnya mekanisme pengukuran jumlah emisi dan monitoring kesesuaian perusahaan dan institusi pada peraturan pembatasan emisi yang ada.

Perlu dicatat pula bahwa tinggi-rendahnya harga karbon di tiap negara tidak selalu dapat dibandingkan langsung satu sama lain karena ada berbagai perbedaan lain dalam penerapan ETS, mulai dari jumlah tingginya batasan emisi, sektor yang dicakup, metode alokasi kuota yang diterapkan, pengecualian khusus, dan metode kompensasi yang berbeda.

Sementara itu, masalah lain lagi dalam penerapan ETS adalah masih sedikitnya negara yang serius mengusahakannya, sehingga timbul masalah carbon leakage, yakni kondisi di mana perusahaan multinasional memilih untuk pindah ke negara dengan aturan nilai ekonomi karbon yang lebih rileks. Negara emiten terbesar kedua dunia, AS, belum menerapkan sistem ini secara nasional, demikian pula dengan banyak negara lain. Beberapa kota memberlakukan model perdagangan karbon di wilayah munisipalnya, seperti Tokyo, Beijing, Washington, Massachusetts, dll.

Untuk mengatasi masalah ini, Uni Eropa misalnya menerapkan pajak karbon untuk produk impor yang masuk ke wilayahnya. Tingkatan pajak tersebut dibuat sehingga harga produksi barang bila diproduksi di dalam Uni Eropa dengan memperhitungkan emisi karbon yang mungkin ditimbulkan dan harga karbon tersebut, totalnya akan sama dengan bila barang tersebut diproduksi di wilayah lain yang tidak menerapkan harga karbon atau dengan harga karbon lebih rendah. Pajak karbon barang impor yang diterapkan Uni Eropa ini disebut Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).

Nyatanya, model ETS yang secara teori menjanjikan ini memerlukan keseriusan lebih dari negara-negara. Suatu harga karbon global, atau bahkan model global ETS, juga diperlukan untuk mendukung penerapan di berbagai negara, khususnya yang belum menerapkan model batasan emisi ini. Fakta bahwa pemerintah di berbagai negara tersebut mungkin dapat memperoleh tambahan anggaran dari pasar karbon ini membuat mekanisme ini mungkin cukup menarik untuk diterapkan oleh mereka, selain idealisme untuk menurunkan emisi karbon dunia sesuai prinsip pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Internet