Paparan Topik | Transisi Energi

Seluk Beluk Perdagangan Karbon di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Perdagangan karbon merupakan salah satu solusi dan terobosan penting untuk mengatasi persoalan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim.

 

KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO

Presiden Joko Widodo saat menekan layar sentuh menandai peluncuran Bursa Karbon Indonesia dalam acara yang digelar di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/9/2023). Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi juga menandatangani prasasti sebagai tanda peluncuran Bursa Karbon Indonesia.

Fakta Singkat

Perdagangan Karbon:

  • Indonesia adalah negara emiten karbon terbesar keenam dunia.
  • Dua sumber utama emisi karbon Indonesia: deforestasi dan ketergantungan pada batu bara untuk sumber energi.
  • Enhanced NDC 2022 Indonesia: penurunan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 31,89 persen (tanpa bantuan) dan 43,2 persen (dengan bantuan internasional).
  • Mekanisme Nilai Ekonomi Karbon Indonesia: Perdagangan karbon (Cap-and-trade atau ETS dan Carbon offset), Result-based payment, pajak karbon, dan mekanisme lainnya.
  • Perdagangan karbon dapat dilakukan secara langsung antar-perusahaan atau melalui IDX Carbon Trade.
  • Potensi pasar kredit karbon Indonesia (dari hutan): Rp 8.000 triliun.
  • Pelaku dalam Bursa Karbon Indonesia: badan usaha, bukan perseorangan.

Mekanisme perdagangan karbon atau yang dikenal juga sebagai Emission Trade System (ETS) merupakan salah satu solusi kebijakan yang banyak diperbincangkan dan dipercaya dapat menjadi terobosan penting untuk mengatasi persoalan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim. Indonesia termasuk salah satu negara yang tengah mengembangkan model ini.

Pada 23 Agustus 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon). Terbitnya peraturan ini menjadi perkembangan baru dalam implementasi ETS di Indonesia.

Model ini adalah salah satu bentuk upaya penurunan emisi karbon Indonesia yang dimaksudkan untuk memberi insentif bagi perusahaan dan insitusi untuk meningkatkan efisiensi energinya, menurunkan emisi karbonnya, bahkan beralih sepenuhnya pada energi terbarukan. Selang 1 bulan setelahnya, pada 26 September 2023 bursa karbon Indonesia, yakni IDX Carbon Exchange diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

Emisi Karbon

Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan terbesar keenam belas di dunia, Indonesia adalah salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Sebagian besar karena deforestasi dan ketergantungan pada batu bara untuk energi.

Terkait deforestasi, data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa pada tahun 2001, Indonesia memiliki 93,8 juta hektare hutan primer. Luas tersebut sama dengan 50 persen atau setengah dari luas wilayah Indonesia.

Akan tetapi hingga tahun 2022, Indonesia kehilangan 230 ribu hektare hutan primer. Hal ini setara dengan emisi CO₂ sebesar 177 juta ton. Data dari World Bank dan Trading Economics menunjukkan bahwa pada 2021, luasan hutan Indonesia menjadi 48,36 persen.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Terkait kebutuhan energi, berdasarkan data Our World in Data, tiap orang di Indonesia pada tahun 2022 tercatat mengkonsumsi 9855 kWh per orang. Nilai ini memang terbilang lebih rendah daripada konsumsi energi per kapita masyarakat di banyak negara lain, khususnya negara-negara maju.

Akan tetapi, konsumsi energi Indonesia tersebut 89,8 persen-nya masih bersumber dari energi fosil, khususnya batu bara. Suplai energi dari sumber energi terbarukan masih amat minim. Pengembangan infrastruktur sumber energi terbarukan masih terhambat oleh banyak hal, khususnya biaya awal yang tinggi, masalah akuisisi lahan, serta kurangnya kemauan untuk upaya transisi energi Indonesia.

Dalam situasi tersebut, data tahun 2022 menunjukkan bahwa tiap orang di Indonesia mengemisikan 2.28 ton karbon per orangnya. Sebagai keseluruhan, pada tahun 2022, Indonesia mengeluarkan 729 juta ton CO2, menjadikannya emiten terbesar keenam di dunia, meskipun emisi karbon per kapitanya hanya setengah dari rata-rata global pada tahun tersebut.

Sebagai catatan, beberapa negara penghasil minyak terbesar di Timur Tengah, termasuk Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi termasuk dalam daftar negara dengan emisi karbon dioksida (CO₂) per kapita terbesar di dunia. Secara singkat dan sederhana, Climate Action Tracker mengklasifikasikan perkembangan tata kelola karbon Indonesia dalam kelompok “sangat tidak mencukupi (highly insufficient)”.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Kebijakan di Indonesia

Meskipun situasinya demikian, ada beberapa kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk memperbaiki tata kelola karbon di Indonesia. Indonesia hadir dalam pertemuan COP21 di Paris, Prancis tahun 2015 dan menandatangani Perjanjian Paris dalam pertemuan PBB di New York, AS tahun 2016.

Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 yang meratifikasi Perjanjian Paris tersebut dan pada bulan November 2016 mengeluarkan kebijakan First Nationally Determined Contribution yang diserahkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dari sana kemudian muncul dokumen-dokumen lanjutan, seperti NDC Roadmaps pada tahun 2019 dan 2020, Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), dan Updated NDC pada Juli 2021.

Sebagai catatan, Nationally Determined Contributions (NDC) adalah komitmen yang dibuat secara mandiri oleh negara-negara peserta Perjanjian Paris tentang upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Setiap negara yang menandatangani Perjanjian Paris diharuskan untuk menyiapkan, mengumumkan, dan memperbarui NDC mereka secara berkala, biasanya setiap lima tahun. Dengan NDC ini, target global yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris bersama-sama diusahakan oleh setiap negara, yaitu untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri dan berusaha membatasi peningkatan suhu hingga 1,5 derajat Celsius.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Perjanjian Paris menuntut seluruh negara menurunkan emisi hingga 43 persen untuk dapat mencapai target pembatasan pemanasan global tersebut. Jadi NDC merupakan mekanisme utama dari Perjanjian Paris untuk memastikan bahwa setiap negara berkontribusi sesuai dengan kapasitas dan keadaan nasionalnya masing-masing guna tercapainya tujuan tersebut.

Dalam NDC-nya, Indonesia berkomitmen bahwa pada 2030 akan mencapai pengurangan emisi gas rumah kacanya sebesar 29 persen dengan menggunakan sumber dayanya sendiri dan hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa (business as usual).

Indonesia dalam hal ini memiliki potensi besar dalam pengurangan emisi, terutama melalui pelestarian hutan, rehabilitasi lahan gambut, pengelolaan energi yang efisien, dan pengembangan energi terbarukan.

Untuk menunjang pencapaian NDC yang telah ditentukan itu, satu tahun berikutnya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang mulai menunjukkan niat pemerintah untuk menerapkan sistem perdagangan emisi karbon dan izin limbah yang rencananya diterapkan paling lambat tahun 2024.

Kemudian sebagai kelanjutannya, baru pada 29 Oktober 2021 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Dokumen hukum ini yang menjadi dasar pelaksanaan carbon pricing atau nilai ekonomi karbon di Indonesia.

Dalam pertemuan COP26 di Glasgow (di Skotlandia, Inggris Raya) tahun 2021, Indonesia menegaskan kembali komitmennya terhadap penanganan perubahan iklim. Beberapa fokus proyek yang tengah dikerjakan Indonesia, termasuk rehabilitasi hutan mangrove, pengembangan industri mobil listrik, pembangunan infrastruktur energi baru dan terbarukan. Selanjutnya, pembangkit listrik tenaga surya, kawasan industri hijau Kalimantan Utara, juga kerja sama pengembangan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), yakni dengan perusahaan asal Inggris, ExxonMobil.

Sebagai catatan, COP26 merujuk pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26, artinya lima tahun setelah COP21 yang melahirkan Perjanjian Paris.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Enhanced NDC pada September 2022. NDC yang diperbaharui ini menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 31,89 persen (unconditional atau tanpa bantuan internasional) dan 43,2 persen (conditional atau dengan bantuan internasional).

Target conditional ini lantas sesuai dengan permintaan Perjanjian Paris. Target tersebut berarti bahwa Indonesia akan mengurangi emisi GRK hingga 915 juta ton CO2 ekuivalen (MtCO2eq) dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa, sehingga menghasilkan emisi sebesar 1.953 MtCO2eq pada tahun 2030.

Dengan dukungan internasional, pengurangan bisa mencapai 1.240 MtCO2eq, sehingga emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 1.632 MtCO2eq. Sektor energi dan kehutanan merupakan fokus dalam usaha pencapaian target ini. Di sektor energi, Indonesia mengharapkan pengurangan emisi sebesar 358 MtCO2eq (12,5 persen, tidak bersyarat) dan 446 MtCO2eq (15,5 persen, bersyarat). Untuk kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, targetnya adalah pengurangan emisi sebesar 500 MtCO2eq (17,4 persen, tidak bersyarat) dan 729 MtCO2eq (25,4 persen, bersyarat).

Secara khusus dalam komitmen itu Indonesia berniat memulihkan 2 juta hektare lahan gambut dan merehabilitasi 12 juta hektare lahan yang terdegradasi pada tahun 2030.

Terkait carbon pricing, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

Peraturan ini merupakan langkah konkret untuk mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Permenlhk 21/2022 ini yang menerangkan mekanisme perdagangan karbon di Indonesia, yang akan dijelaskan lebih detail di bawah.

Bidang energi merupakan sektor yang paling awal memulai perdagangan karbon ini. Setelah beberapa proyek uji coba pada tahun 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.

Peraturan Menteri ESDM ini mengatur percobaan pelaksanaan perdagangan karbon di sektor energi, khususnya oleh PT PLN. Di dalamnya diatur bahwa fase pertama implementasi perdagangan karbon dimulai pada tahun 2023, dengan fokus pada pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang terhubung ke jaringan listrik PT PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.

Terdapat sekitar 99 unit PLTU batubara yang tercatat dalam fase ini. Mekanisme ini akan terus berjalan hingga 2030, sebelum mekanisme baru ditetapkan. Secara detail, di dalamnya diatur tentang batas atas emisi karbon, mekanisme monitoringnya, dan juga perdagangannya. Selain PT PLN, Permen ESDM 16/2022 juga mengatur tentang keikutsertaan badan usaha pembangkit listrik lain dalam mekanisme ini.

Di level koordinasi antar-kementerian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang membawahi Kementerian KLHK dan Kementerian ESDM, juga kementerian bidang lainnya, mengatur koordinasi pelaksanaan perdagangan karbon ini.

Kemenko Marves menerbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nomor 5 Tahun 2022 tentang Struktur dan Tata Kerja Komite Pengarah Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Dokumen ini yang mengatur koordinasi antar-kementerian untuk pelaksanaan nilai ekonomi karbon.

Untuk mengatur jalannya perdagangan karbon di bursa karbon nasional, Pemerintah lalu menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Dalam dokumen ini, disebutkan bahwa bursa karbon adalah sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan karbon di dalam dan/atau luar negeri.

Di bursa inilah kuota dan kredit karbon diperjualbelikan, selain perdagangan yang sifatnya langsung antar-perusahaan atau instansi. Sebagai peraturan turunan yang menetapkan mekanisme bursa karbon, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.

Kemudian secara resmi pada 26 September 2023 pemerintah meresmikan Bursa Karbon Indonesia. Pada tahapan awal ini, peserta bursa karbon ini adalah berbagai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM 16/2022. Ada total 99 PLTU batu bara PLN yang turut serta. Hal ini berarti 86 persen PLTU batu bara Indonesia masuk dalam bursa karbon tersebut.

Melanjutkan upaya percobaan di sektor energi, Kementerian KLHK melanjutkan dengan mekanisme perdangangan karbon di sektor kehutanan. Untuk hal ini, Kementerian KLHK menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.

Dokumen ini yang menjadi dasar peraturan bagi perdagangan karbon di sektor kehutanan tersebut. Selain itu, peraturan ini juga membahas berbagai kegiatan dalam sektor kehutanan yang bisa dilakukan untuk aksi mitigasi perubahan iklim. Langkah mitigasi diantaranya pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan, pembangunan hutan tanaman.

Selain itu juga dilakukan upaya pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan, restorasi gambut, perbaikan tata air gambut. Langkah lainnya yakni: rehabilitasi mangrove, aforestasi, pembangunan persemaian permanen, dan konservasi keanekaragaman hayati.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Penyelenggaraan NEK Nasional

Dalam Pasal 47 Ayat 1 Perpres 98/2021 diatur bahwa penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing di Indonesia dilakukan melalui empat kategori mekanisme. Kategori tersebut antara lain: perdagangan karbon (carbon trade), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pungutan atas karbon (pajak karbon atau carbon levy), dan mekanisme lainnya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditetapkan oleh menteri terkait.

Semua mekanisme ini dicatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, termasuk juga berbagai aksi dan sumber daya untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim lainnya.

Terkait mekanisme pertama, yakni perdagangan karbon, ada dua model yang termasuk dalam kategori ini, yakni cap-and-trade dan “carbon offset“. Keduanya dapat dilakukan oleh perusahaan dalam negeri maupun luar negeri. Keduanya juga dapat dilakukan di dalam suatu sektor maupun lintas sektor.

Ada lima sektor yang ditetapkan sesuai dengan NDC Nasional, yakni energi, kehutanan dan penggunaan lahan, pertanian, limbah, serta industri dan proses produksi. Perlu diperhatikan di sini bahwa di Indonesia istilah perdangangan karbon lantas tidak hanya meliputi Emission Trade System yang disebut juga cap-and-trade, melainkan juga mencakup carbon offset.

Cap-and-trade dilakukan oleh perusahaan atau instansi yang memiliki batas atas emisi (cap) yang ditentukan oleh pemerintah. Cap itu disebut Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) di Indonesia. Bagi perusahaan atau pelaku usaha, cap itu disebut Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha (PTBAE-PU).

Sementara itu, carbon offset adalah kegiatan dilakukan oleh perusahaan atau instansi yang tidak memiliki batas atas emisi dan melalakukan aktivitas dan proyek penurunan emisi. Penurunan emisi ini menjadi suatu kredit karbon yang dapat dibeli oleh perusahaan lain sebagai bentuk kompensasi dari emisi karbonnya yang dilakukan di tempat lain.

Model ini dalam Perpres 98/2021 disebut juga Pengimbangan Emisi GRK. Kredit karbon tersebut diperoleh dalam bentuk Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (SPE-GRK) yang tercatat di dalam SRN PPI.

Dalam Pasal 5 Ayat 2 Peraturan Menteri KLHK disebutkan bahwa perdagangan emisi dan offset emisi GRK dilakukan melalui dua cara. Cara pertama adalah perdagangan di Bursa Karbon Indonesia atau IDX Carbon Trading.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Cara kedua adalah melalui perdagangan langsung antar-perusahaan atau instansi terkait. Otoritas Jasa Keuangan dalam hal ini yang berperan mengawasi perdagangan di Bursa Karbon Indonesia, termasuk mengelola izin usaha perusahaan atau instansi yang terlibat dalam bursa efek ini. Setiap peserta jual-beli karbon itu juga tercatat dalam SRN PPI. Sebagai catatan, pelaku dalam bursa karbon Indonesia adalah badan usaha, bukan perseorangan seperti pada Bursa Efek Indonesia.

Jadi yang diperjualbelikan dalam IDX Carbon Trading adalah kuota karbon (PTBAE-PU) dari sektor yang mendapat batasan emisi dan kredit karbon (SPE-GRK). PTBAE-PU hanya dapat dijual dan dibeli oleh sektor wajib yang memiliki batas maksimum emisi. Sementara kredit dapat berasal dari berbagai proyek, misalnya restorasi gambut dan proyek energi terbarukan. Semua peserta dapat membeli kredit untuk mengkompensasi emisinya.

Dalam peresmian bursa karbon itu, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa potensi nilai perdagangan karbon dapat mencapai Rp 3.000 triliun. Potensi ini hanya dihitung dari carbon offset yang 60 persennya dihasilkan dari perusahaan yang mengelola alam seperti hutan. Ia juga menjelaskan bahwa hasil perdagangan karbon akan diinvestasikan kembali dalam menjaga lingkungan, khususnya mengurangi emisi karbon.

Terkait potensi perdagangan karbon ini, data dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menunjukkan angka lebih besar lagi. Dengan hutan hujan tropis terbesar ketiga dunia, yang luasnya mencapai 125,9 juta hektare, Indonesia dapat menyerap emisi karbon hingga 25,18 miliar ton setara CO2.

Tidak hanya itu, luas area hutan mangrove Indonesia sebesar 3,31 juta hektare juga diperkirakan mampu menyerap emisi karbon biru sekitar 33 miliar ton setara CO2. Ditambah lagi, lahan gambut Indonesia yang memiliki luas terbesar di dunia, 7,5 juta hektare, diperkirakan akan mampu menyerap emisi karbon hingga 55 miliar ton.

Oleh karena itu, total emisi karbon yang mampu diserap sekitar 113,18 Gigaton. Jika kredit karbon dari penyerapan karbon ini dijual dengan harga 5 USD di pasar karbon, potensi pendapatan Indonesia mencapai 565,9 miliar USD atau hingga Rp 8.000 triliun. Potensi hutan tropis sebesar Rp 1.780 triliun, hutan mangrove Rp 2.333 triliun, dan lahan gambut Rp 3.888 triliun.

Dalam kaitannya dengan target penurunan emisi dalam NDC, pemerintah memperkirakan bahwa untuk mencapai target NDC Nasional, Indonesia perlu mengurangi emisi karbon pada tahun 2030 (dibanding baseline business-as-usual) hingga 915 juta ton karbon CO2 ekuivalen.

Bila harga karbon Indonesia rata-rata 5 dolar AS per ton (nilai yang senyatanya sangat rendah dibanding ideal 80-100 USD per ton), total potensi nilai perdagangan karbon yang harus dikurangi senilai 4,6 miliar dolar AS atau Rp 70,9 triliun.

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menilai untuk mengurangi emisi hingga sejumlah 915 juta ton CO2 ekuivalen itu, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 3.977 triliun.

Hal lain yang juga merupakan mekanisme nilai ekonomi karbon di Indonesia adalah pembayaran berbasis kinerja (result-based payment). Ia merupakan suatu bentuk insentif yang diperoleh oleh suatu perusahaan atau instansi karena pencapaiannya dalam pengurangan emisi GRK.

Salah satu bentuk mekanisme ini adalah model Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). REDD+ ini adalah sebuah program pemberian insentif keuangan kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, serta untuk meningkatkan cadangan karbon hutan melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Singkatnya, memberikan uang kepada negara berkembang supaya menjaga hutannya.

Program yang didukung oleh UNFCCC ini pertama kali dicetuskan dalam pertemuan PBB di Bali tahun 2007 dan lima tahun setelahnya Indonesia meluncurkan program REDD+. Pada tahun 2017, Indonesia lalu memasuki masa pembayaran result-based payment-nya.

Pada 12 Juli 2021 pemerintah Indonesia mendapatkan pembayaran dari Global Carbon Fund hingga 103,8 juta dolar AS. Diperkirakan dalam kurun waktu 2014 – 2016 (disesuaikan dari awal tahap persiapan/pilot phase), Indonesia sudah berhasil menurunkan emisi karbon dari pencegahan deforestasi sebesar 20,4 juta ton setara CO2 atau 6,75 juta ton per tahun.

KOMPAS/ERIKA KURNIA

Tampilan layar Bursa Karbon Indonesia per pukul 11.00, usai dibuka perdana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Pada tahun 2020 Indonesia juga mendapatkan dana dari Norwegia sebesar 56 Miliar USD (setara 812 miliar rupiah). Pada tahun 2022, Provinsi Kalimantan Timur mendapatkan dana 20,9 milar USD. Ada pula komitmen dari BioCarbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF) sebesar 70 miliar dan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) sebesar 110 miliar. Terakhir adalah dana dari Norwegia di Desember 2023 sebesar 100 miliar USD.

Sebagai catatan, proyek besar carbon offset dan REDD+ di Indonesia adalah Proyek Katingan. Proyek Katingan merupakan inisiatif pelestarian dan restorasi hutan gambut yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia.

Inisiatif ini juga menciptakan skema insentif keuangan melalui penjualan kredit karbon di pasar karbon internasional. Dengan mengukur jumlah karbon yang berhasil disimpan atau emisi yang dihindari melalui kegiatan konservasi dan restorasi, proyek ini dapat menghasilkan sertifikat kredit karbon yang kemudian dapat dijual kepada perusahaan atau individu yang ingin mengkompensasi emisi karbon mereka.

Di tengah kontribusinya, proyek ini banyak mendapat kritik karena isu sengketa lahannya dan kemungkinan isu greenwashing di mana perusahaan-perusahaan emitor membeli sertifikat kredit karbon sebagai bentuk “tebus dosa”.

Sebenarnya sebelum peresmian IDX Carbon Trade, Indonesia sendiri sudah memiliki beberapa aktivitas perdagangan karbon sukarela atau Voluntary Carbon Market (VCM). Contohnya adalah proyek Sumatera Merang Peatland.

Proyek ini berhasil menjual 3 juta karbon kredit kepada perusahaan-perusahaan besar dan darinya dibentuklah suatu media jual-beli kredit karbon bernama Indonesia Climate Exchange (ICX) yang memfasilitasi perdangangan karbon sukarela antar-perusahaan swasta atau institusi. Akan tetapi, untuk memenuhi target NDC, model perdangangan karbon sukarela ini memang tidak cukup.

Mekanisme perdangangan karbon Indonesia masih sangat terbatas, masih hanya mencakup sektor tertentu saja. Berbagai upaya masih perlu dilanjutkan untuk mengembangkannya. Mekanisme perhitungan, pemantauan, serta evaluasi yang adil, akuntabel, dan transparan juga masih perlu terus dikembangkan.

Ada beberapa kritik terhadap peraturan perundangan yang sudah ada. Kritik yang ada berkaitan dengan belum adanya harmonisasi registrasi, lamanya persetujuan perdagangan internasional oleh Kementerian KLHK, susahnya penggunaan metodologi penghitungan yang diakui.

Lembaga pengamat lingkungan Forest Digest menyebutkan bahwa peraturan yang ada masih sangat birokratis dan tidak efisien. Sebuah entitas bisnis untuk dapat masuk perdagangan karbon memerlukan waktu hampir empat tahun, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Aturan
Internet
Jurnal