KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (8/3/2018). Dalam aksi menyambut Hari Internasional tersebut, mereka menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan berbasis gender, menuntut hak dan upah layak bagi pekerja perempuan, menghentikan perkawinan anak, serta menghentikan kekerasan terhadap perempuan baik di lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan kerja.
Fakta Singkat
Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Komnas Perempuan mencatat laporan yang masuk melalui tiga sarana: Komnas Perempuan, Badan Peradilan Agama, dan lembaga layanan.
Regulasi terkait:
- Undang-Undang 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita
- Undang-Undang 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
- Undang-Undang 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Situasi pandemi Covid-19 membuat perempuan termarjinalkan karena akses ekonomi serta fasilitas sosial berkurang. Selain itu, beban rumah tangga perempuan makin tinggi dengan semakin banyaknya anggota keluarga yang harus ditanggung disertai kemampuan finansial menurun selama pandemi.
Laporan Catatan Tahunan (Catahu) yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan tahun 2022 menunjukkan bahwa Kekerasan Berbasis Gender (KBG) meningkat dari tahun ke tahun. Catahu menunjukkan gambaran dinamika yang meliputi ragam, bentuk, ranah serta hambatan-hambatan struktural, kultural maupun substansi hukum dalam penanganan KBG terhadap perempuan.
Komnas Perempuan menyebutkan definisi tindak kekerasan berbasis gender (KBG) sebagai tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan yang mengakibatkan kerugian atau penderataan fisik, mental dan seksual, pemaksaan, dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan perempuan.
Pemerintah telah berupaya melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan dengan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination for All Form of Discrimination Against Women) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 .
Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Pada 2021, Komnas Perempuan mencatat laporan yang masuk melalui tiga sarana; langsung ke Komnas Perempuan, melalui lembaga layanan dan Badilag (Badan Peradilan Agama). Ada 3.838 pengaduan melalui Komnas Perempuan, lembaga layanan 7.029 kasus dan ke Badilag 327.629 kasus, hingga total berjumlah 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG).
Jika dibandingkan dengan data tahun sebelumnya, terdapat peningkatan signifikan kekerasan berbasis gender sebesar 338.496 kasus pada 2021, dari sebelumnya sebesar 226.062 kasus pada tahun 2020. Angka laporan tersebut terbesar berasal dari laporan data Badilag, yakni 327.629 kasus naik dari angka 215.694 kasus pada tahun 2020.
Menilik angka di atas, jumlah pelaporan langsung ke Komnas Perempuan meningkat sebesar 80 persen, dari 2.134 kasus tahun 2020 menjadi 3.838 kasus tahun 2021. Sedangkan laporan ke lembaga layanan menurun 15 persen.
Artikel Terkait
Kekerasan pada perempuan masih terus berlanjut
Kekerasan Berbasis Gender cukup tinggi, bahkan dalam tren 10 tahun terakhir, KBG tahun 2021 merupakan kasus terbanyak. Data KBG berdasarkan Komnas Perempuan, Badilag, dan Lembaga Layanan menyebutkan sebanyak 4.322 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan. Setelah diverifikasi, terdapat 3.838 kasus kekerasan. Angka itu menunjukkan peningkatan jumlah kasus KBG dibanding tahun 2020 ada 2.134 laporan kasus KBG.
Kekerasan Berbasis Gender 2022
Tahun |
Jumlah kasus |
2012 | 135.170 |
2013 | 180.746 |
2014 | 185.458 |
2015 | 204.794 |
2016 | 163.116 |
2017 | 230.881 |
2018 | 280.185 |
2019 | 302.686 |
2020 | 226.062 |
2021 | 338.496 |
Sumber : Komnas Perempuan 2022
Jika melihat data tersebut, terjadi peningkatan kasus kekerasan sekitar 50 persen dibandingkan tahun 2020. Namun, rendahnya data tahun 2020 juga bisa disebabkan menurunnya jumlah instansi atau lembaga yang memberikan laporan pada saat pandemi. Sementara itu, pada tahun kedua pandemi akses laporan dalam bentuk daring mulai dikenal masyarakat, hingga ada kesadaran publik untuk memberikan laporan.
Yang menarik adalah data yang masuk melalui Badilag mengalami lonjakan yang tajam, dari 215.694 kasus pada tahun 2020 meningkat menjadi 327.629 kasus pada tahun 2021. Sistem peradilan pada masa pandemi berubah menjadi e-court yang justru mempermudah masyarakat membuat laporan.
Komnas Perempuan memilah kekerasan berbasis gender dalam tiga ranah, yaitu ranah personal, ranah publik, dan ranah negara. Dari data keseluruhan, kekerasan paling banyak terjadi di ranah personal, yaitu 335.399 kasus, kemudian di ranah publik 3.045 kasus, dan di ranah negara 52 kasus.
Laporan yang masuk langsung ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan 2021 sebanyak 16.162 orang, terbanyak yang dialami korban adalah kekerasan fisik 4.814 kasus (29,8 persen), kemudian kekerasan psikis 29,4 persen dan 28,8 persen atau 4.660 kasus kekerasan seksual, kekerasan ekonomi 11,7 persen, dan yang tidak teridentifikasi 0,3 persen.
Bila dilihat dari rentang usia korban kekerasan, korban berada dari semua rentang usia. Hanya saja yang paling memprihatinkan adalah adanya 195 kasus kekerasan pada anak usia lima tahun dan lansia di atas 60 sebanyak 47 kasus.
Bentuk Kekerasan 2021
Bentuk kekerasan | Jumlah |
Seksual | 4.660 |
Fisik | 4.814 |
Psikis | 4.754 |
Ekonomi | 1.887 |
Sumber: Komnas Perempuan 2022
Korban terbanyak berada pada rentang usia 25–40 tahun, kemudian 14–17 tahun, dan 18–24 tahun. Sedangkan dilihat dari usia pelakunya, ternyata mereka berada pada rentang usia produktif, yaitu 25–40 tahun,18–24 tahun, dan 41–60 tahun, dengan status dan jenis pekerjaan yang seharusnya melindungi dan mengayomi.
Status pekerjaan pelaku tercatat, seperti tokoh agama, PNS, guru, dosen, TNI, Polri, tenaga medis, pejabat publik, dan aparat penegak hukum. Meskipun jumlahnya hanya 9 persen, mereka punya kekuasaan terhadap para korban hingga akhirnya korban sangat takut untuk membuka diri apalagi melaporkan kejadian pada pihak berwenang.
Kekerasan Berbasis Gender
Selain itu, masih terjadi kekerasan komunal, yaitu pelanggaran hak perempuan di mata hukum, konflik sumber daya alam dan tata ruang, penggusuran, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, kebijakan diskriminatif, dan masalah pekerja migran. Pada ranah negara, Komnas Perempuan mencatat 117 pengaduan tahun 2021 yang pelakunya adalah anggota TNI, sementara itu pelaku anggota Polri dilaporkan ada 119 kasus.
Sementara itu, jika dilihat dari ranah personal, bentuk diskriminasi korban adalah dengan mengriminalisasi korban. Sedangkan, pada ranah negara, kasus kekerasan bersifat struktural dan komunal seperti pelanggaran hak perempuan berhadapan dengan hukum.
Menurut catatan Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 10 tahun (2012–2021) kekerasan berbasis gender (KBG) yang terjadi pada tahun 2021 meningkat 50 persen dibanding tahun 2020, yaitu 338.496 kasus. Bentuk kekerasan yang banyak terjadi adalah kekerasan berbasis gender siber, kekerasan para perempuan disabilitas, kekerasan dengan pelaku anggota TNI dan Polri, serta kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Kekerasan seksual berbasis gender siber (KBGS) mengalami peningkatan kasus hingga 83 persen kasus dibandingkan tahun 2020. Jika tahun 2020 terjadi KBGS sebanyak 940 kasus, kekerasan bertambah menjadi 1.721 kasus pada tahun 2021. Kasus paling banyak adalah intimidasi secara online (cyber harassment), ancaman penyebaran foto/video pribadi (malicious distribution), dan pemerasan seksual online (sextortion).
Menurut data SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), sepanjang tahun 2021 terdapat 677 laporan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di seluruh Indonesia. Rata-rata usia korban di atas 18 tahun sebanyak 373 orang, dengan Provinsi Jawa Barat memiliki korban terbanyak 114, DKI Jakarta (87), Jawa Tengah (43), Jawa Timur (42), dan Yogyakarta (22).
Kekerasan dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu Non-Consensual Intimate Images (NCII) sebanyak 508 kasus atau 75 persen dan aduan selain NCII sebesar 169 kasus atau 25 persen. Motif kasus NCII sebagian besar tidak diketahui motifnya, sebanyak 28 persen, motif relasi kuasa, kemudian motif distorsi 22,2 persen dan kasus motif masa depan 2,6 persen.
Komnas HAM juga mencatat bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual masih menjadi kelompok tertinggi mengalami kekerasan yaitu 22 kasus dan perempuan dengan disabilitas ganda sebanyak 13 kasus. Kasus ini sama terjadi di tahun 2020 artinya tidak perbaikan situasi rentan kekerasan siber bagi perempuan. Selain itu Komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2021 ada 57 aduan KBG dengan pelaku anggota TNI dan 72 aduan KBG dengan pelaku anggota Polri.
Demikian pula halnya jika melihat bentuk kekerasan yang dialami perempuan maka tidak ada perubahan dalam lima tahun terakhir. Komnas Perempuan mencatat terdapat 36 persen kekerasan psikis dan 33 persen kekerasan seksual, kemudian kekerasan fisik 18 persen dan kekerasan ekonomi 13 persen.
Sedangkan dalam dunia pendidikan, pada tahun 2021 terjadi 9 kasus dan tahun 2020 ada 17 kasus. Perguruan tinggi menempati urutan pertama sebagai tempat kejadian (35 persen), kemudian pesantren atau lembaga Pendidikan berbasis agama Islam menempati urutan kedua atau 16 persen dan sekolah SMA/SMK sebesar 15 persen.
Begitu banyaknya kasus kekerasan yang terjadi Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2021 disikapi dengan memberikan 732 surat rujukan, 74 surat keterangan melapor, 24 surat klarifikasi, 92 surat rekomendasi, 90 surat pemantauan, dan 10.25 tanggapan kasus via email.
Mekanisme Penyikapan Komnas Perempuan
Bentuk Penyikapan | 2020 | 2021 | |
1 | Surat rujukan | 1.197 | 723 |
2 | Surat keterangan melapor | 27 | 74 |
3 | Surat klarifikasi | 13 | 24 |
4 | Surat rekomendasi | 83 | 92 |
5 | Surat pemantuan | 21 | 90 |
6 | Tanggapan kasus via email | 616 | 1.025 |
7 | Keterangan Ahli di persidangan | 4 | 5 |
8 | Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) | 0 | 3 |
Total | 1.961 | 2.036 |
Sumber: Komnas Perempuan 2022
Menghadapi berbagai laporan kekerasan berbasis gender tidak mudah untuk menyikapinya apalagi membantu penyelesaian yang berpihak pada perempuan yang berposisi sebagai korban. Hal itu tampaknya masih menjadi kendala besar bagi korban, seperti kasus yang masuk ke Lembaga Layanan di tahun 2021 dari 7.924 laporan, sebanyak 85 persen tidak terinformasikan bagaimana penyelesaian kasusnya. Tidak diketahui bagaimana sikap Lembaga Layanan pada pelaporan yang masuk, hanya 12 persen yang diselesaikan secara hukum dan ada 3 persen yang diselesaikan secara non-hukum.
Pelecehan di Ruang Publik
Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melakukan Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik pada akhir 2021 yang berskala nasional, melihat pelecehan seksual di ruang publik selama pandemi. Survei yang didukung oleh Rutgers WPF Indonesia ini diikuti oleh 4.236 responden yang tersebar di 34 propinsi, responden terdiri dari perempuan 3.539 (83,5 persen) dan laki-laki 625 (14,7 persen) serta gender lain 72 (1,7 persen).
Dari 4.326 responden yang berpartisipasi dalam survei ini, sebanyak 71 persen pernah mengalami pelecehan seksual. Sedangkan sisanya, tidak pernah mengalami pelecehan seksual.
Temuan survei tersebut menyebutkan perempuan dan gender minoritas mengalami pelecehan seksual enam kali lebih beresiko daripada laki-laki. Pandemi tidak mengurangi kasus pelecehan seksual dimana empat dari lima responden perempuan mengalaminya. Sedangkan tiga 3 dari sepuluh laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual, sedangkan gender minoritas hampir semua pernah dilecehkan secara seksual.
Situasi pandemi ternyata tidak menyurutkan perbuatan pelecehan seksual, justru lokasi kejadian semakin meluas ke ruang pelayanan kesehatan terkait wabah Covid-19. Dalam fasilitas kesehatan, lokasi tes pemeriksaan Covid-19, tempat karantina pasien dan ada sebanyak 44 responden melaporkan bahwa pelaku pelecehan seksual tersebut adalah tenaga kesehatan.
Pelecehan seksual dapat terjadi dalam ruang manapun, dan paling tertinggi terjadi di ruang public seperti jalanan umum atau taman (70 persen), kawasan pemukiman (26 persen), transporasi umum dan sarananya (23 persen), kemudian di tempat belanja seperti mall, took (14 persen) dan tempat kerja (12 persen).
Sementara itu di ruang digital pelecehan seksual terbanyak terjadi di media sosial (42 persen), aplikasi chat (33 persen), aplikasi kencan daring (9 persen), ruang permainan virtual (4 persen) dan ruang diskusi virtual (2 persen). Sedangkan dilihat dari bentuk pelecehan antara lain dikuntit/cyberstalked (7 persen), dipaksa kirim video pribadi (11 persen), komentar atas tubuh (17 persen), komentar seksis (20 persen) dan dikirimkan video intima tau alat kelamin (21 persen).
Meskipun belajar dilakukan secara online, institusi Ppndidikan masih menjadi ruang tidak aman bagi perempuan, sebanyak 427 responden pernah mengalami pelecehan seksual, 57 orang pernah mengalami pelecehan di ruang virtual dan ada 134 responden mengaku bahwa pelaku pelecehan adalah guru/dosennya sendiri. Namun, mayoritas responden yang pernah menjadi korban mengaku tidak mengadukan kejadian pelecehan tersebut.
Ruang Terjadinya Pelecehan Seksual (tempat fisik)
Ruang publik | Jumlah |
Jalanan umum | 2.130 |
Kawasan pemukiman | 797 |
Transportasi umum | 693 |
Took/mall/pusat perbelanjaan | 432 |
Tempat kerja | 377 |
Sumber : KRAP 2021
Ruang Terjadinya Pelecehan Seksual (online)
Ruang publik | Jumlah |
Media sosial | 1.248 |
Aplikasi chat | 998 |
Aplikasi kencang daring | 288 |
Permainan virtual | 123 |
Ruang diskusi virtual | 49 |
Sumber : KRAP 2021
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pawai akbar yang diinisiasi Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyusuri Jalan Medan Merdeka Barat menuju ke Taman Aspirasi di depan Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (8/12/2018). Pawai ini sebagai bentuk desakan kepada DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sejak 2014, Indonesia sudah pada status darurat kekerasan seksual.
Penyebab Kekerasan Berbasis Gender Terus Terjadi
Penyelesaian kasus pada KBG perempuan banyak terkendala salah satunya subtansi hukum yang tampak dari penggunaan basis hukum dan pasalnya. Adanya hambatan dalam penerapan Undang-undang 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pertama, adanya kasus kekerasan yang terjadi pada status perkawinan yang tidak tercatat secara hukum, kedua seringkali korban mencabut aduannya/pelaporan serta kurangnya alat bukti.
Selain itu keterbatasan infrastruktur termasuk SDM, fasilitas dan anggaran dari lembaga layanan hingga tidak optimal dalam menangani kasus termasuk SDM yang kurang cakap. Contohnya belum semua lembaga layanan memiliki komputer hingga segala laporan masih manual.
Komnas HAM mencatat beberapa kemajuan kebijakan tahun 2021, antara lain :
- Terlihat adanya upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan melalui rintisan kebijakan di sektor tata kelola pemerintahan, sumber daya manusia, dan Pendidikan di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
- Adanya upaya pemenuhan hak atas administrasi kependudukan (adminduk) yang non-diskriminatif bagi seluruh WNI, kelompok transgender, kelompok disabilitas dan masyarakat adat wilayah terpencil oleh Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil).
Dari laporan kejadian kekerasan di tahun 2021 Komnas Perempuan mencatat ada empat isu yang perlu mendapat perhatian khusus baik dari pemerintah pusat maupun daerah, yaitu:
Pertama, kekerasan berbasis gender pada perempuan dengan pelaku ASN, anggota TNI, anggota Polri bahkan tenaga medis. Pelaku seharusnya menjadi pelindung dan tauladan justru menjadi pelaku kekerasan. Dalam hal ini pelaku memiliki kekuasaan berlapis baik individu maupun jabatan dan pengaruh sehingga proses peradilan tidak berpihak pada korban. Hingga akhirnya korban menjadi sangat tertekan dan memilih mutasi ke kota lain.
Kedua, kasus-kasus penyiksaan yang sangat tidak manusiawi pada perempuan atau perlakuan hukum yang kejam dan merendahkan martabat kemanusiaan, seperti penelanjangan, pemerkosaan, kekerasan verbal termasuk pelecehan seksual dan kekerasan fisik.
Ketiga, pelaksanaan Qanun Jinayat (Peraturan Daerah atau Perda Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana) yang cenderung tidak manusiawi pada perempuan yang tampak pada terjadinya serangan-serangan pada para pendamping atau Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) karena terkait dengan kerja-kerja HAM.
Keempat, konflik di Papua dan pandemi Covid-19 membuat perempuan sangat rentan. Angka kekerasan pada perempuan di Papua selama pandemi tinggi hingga KDRT kerap terjadi. Kondisi ini diperparah dengan minimnya layanan integrasi isu HIV/AIDS dan kekerasan serta perempuan disabilitas mental.
Secara umum kasus kekerasan masih terus terjadi, oleh karena itu Komnas Perempuan mengharapkan adanya perbaikan infrastruktur dan tata kelola layanan pencegahan, penanganan dan pemulihan perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual agar marwah serta harkat dan martabat perempuan dapat ditegakkan dan tetap terjaga. (Litbang Kompas)
Artikel terkait
Referensi
- Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan, 2022
- https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-perempuan-internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan
- https://komnasperempuan.go.id/kabar-perempuan-detail/peluncuran-catahu-komnas-perempuan-2022
- https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2022-bayang-bayang-stagnansi-daya-pencegahan-dan-penanganan-berbanding-peningkatan-jumlah-ragam-dan-kompleksitas-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan