Paparan Topik | Perlindungan Perempuan dan Anak

Urgensi Pemberantasan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan

Beragam kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan masih terus berulang. Situasi ini menjadi alarm keras bagi pendidikan nasional.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Terdakwa kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS), Agun Iskandar dikawal ketat saat tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjalani sidang perdana, Selasa (26/8/2014). Agun adalah satu dari lima terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap MAK (6), murid Taman Kanak-kanak JIS.

Fakta Singkat

Kekerasan seksual

  • Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang.
  • Penyebabnya ketimpangan relasi kuasa atau gender, yang berakibat penderitaan psikis atau fisik.
  • Dampaknya mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal.
  • Kemendikbudristek (2023), diperkirakan bahwa 34,5 persen peserta didik pada sekolah dasar dan menengah beresiko mengalami kekerasan seksual di sekolah.
  • FSGI, pelaku kekerasan seksual didominasi guru (31,8 persen).
  • Kelompok Kerja PPKS Kemendikbudristek (2022), ada 49 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang yang melibatkan dosen PTN ataupun PTS hingga mahasiswa.
  • Survei Mendikbudristek (2019), kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen) setelah jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen).
  • Survei KemenPPPA dengan Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Uhamka (2023), sebanyak 184 PTN membentuk satgas PPKS, kurang lebih ada 1.321 orang yang menjadi satuan tugas PPKS di PTN dan 1.273 orang di PTS.

Beragam kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan masih terus berulang, membentuk lingkaran setan yang tidak berujung. Situasi ini harus menjadi alarm keras bagi pendidikan nasional.

Beberapa minggu lalu, publik dibuat prihatin menyusul kembali terungkapnya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Seorang dosen luar biasa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Syarif Maulana, diduga melakukan kekerasan seksual. Dugaan aksi kekerasan seksual ini diketahui setelah viral di media sosial X.

Pada Jumat (10/05), melalui akun X dan instagram-nya, pelaku pun telah mengeluarkan pernyataan tertulis yang isinya adalah pengakuan bersalah karena telah mengirimkan pesan lewat WhatsApp, pesan pribadi di X atau Instagram kepada sejumlah orang untuk bertemu, ajakan untuk berelasi, dan dalam kasus tertentu berujung pada pengiriman pesan mesum, tidak sopan, dan tidak senonoh, hingga ajakan untuk berhubungan seksual yang menyebabkan perasaan tidak nyaman dan bahkan trauma pada korban. Pelaku juga mengaku tindakan serupa pernah dilakukannya saat pertemuan tatap muka dengan sejumlah orang yang dikenal.

Terkait hal tersebut, dalam keterangan resminya di akun instagram, Satgas PPKS Unpar menyebut kekerasan seksual yang diduga dilakukan pelaku berlangsung dalam konteks komunitas kelas filsafat daring (kelas isolasi) yang didirikan olehnya. Berdasarkan laporan yang masuk pula, pelaku juga melakukan kekerasan seksual di berbagai kelas yang diampunya.

Beberapa bulan sebelumnya. Di Jakarta, Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, dilaporkan melecehkan dua pegawainya (Kompas, 26/2/2024).

Pengacara kedua korban, Amanda Manthovani, menuturkan bahwa kedua korban berstatus pegawai honorer dan karyawan. Dari pengakuan para korban, kejadian itu berlangsung pada Januari dan Februari 2023.

Modus yang dipakai terduga pelaku adalah meminta korban untuk datang ke ruangannya untuk membicarakan pekerjaan. Korban pertama yang berusia masih 25 tahun, syok berat ketika beberapa bagian tubuhnya digerayangi terduga pelaku tanpa persetujuannya.

Selang sebulan, giliran korban kedua yang mengalami. Waktu itu, menurut Amanda, korban dipanggil untuk ke ruangan rektor untuk membahas soal pekerjaan. Korban lantas duduk di kursi yang berhadapan dengan terduga pelaku. Namun, terduga pelaku tiba-tiba menghampiri dan mencium pipi korban.

Akibat pelecehan seksual itu, kedua korban mengalami trauma berat. Korban pertama memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Secara psikis, korban pertama jadi menutup diri dan takut bersosialisasi dengan orang yang baru dikenal. Adapun korban kedua mengalami perubahan perilaku, yakni sering bertengkar dengan sang suami.

Di Yogyakarta, sebanyak 15 murid kelas VI sebuah sekolah dasar swasta diduga menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Pihak sekolah dan korban pun melaporkan terduga pelaku ke polisi, yakni seorang tenaga pengajar lepas di sekolah itu (Kompas, 8/1/2024).

Pelaporan dilakukan kepala sekolah beserta penasihat hukum yang mewakili empat korban ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Yogyakarta, Senin (8/1/2024) pagi. Kepala sekolah sekaligus merupakan salah satu orang tua korban.

Penasihat hukum korban, Elna Febi Astuti, mengatakan bahwa kasus ini bermula dari aduan anak-anak kelas VI perihal perbuatan seorang guru yang berstatus tenaga pengajar tidak tetap di sekolah itu kepada mereka. Guru laki-laki berinisial NB (22) itu, pengajar mata pelajaran Kreator Konten.

Elna mengatakan bahwa terduga pelaku melakukan sejumlah perbuatan cabul dan tidak patut terhadap anak-anak. Perbuatan itu, antara lain, memegang organ vital, mengajak menonton film dewasa, sampai mengajari anak-anak memesan layanan seks melalui aplikasi. Hal tersebut dilakukan di ruang kelas dan juga di tempat lain di dalam lingkungan sekolah.

Tiga kasus di atas, yang terjadi secara berdekatan, menjadi bukti buruknya wajah pendidikan nasional. Sosok yang seharusnya berperan sebagai pembimbing dan membantu anak didiknya mengembangkan potensinya justru menjadi pelaku. Situasi ini merupakan ironi dalam upaya mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045.

KOMPAS/AGUIDO ADRI

Kepala Kepolisian Resor Metro Depok Komisaris Besar Aziz Andriansyah menunjukan barang bukti yang dipakai pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawa umur, Senin (15/6/2020).

Definisi Kekerasan Seksual

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan seksual adalah setiap tindakan seksual, upaya untuk melakukan tindakan seksual, atau tindakan lain yang ditujukan terhadap seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan, yang dilakukan oleh siapa pun tanpa memandang hubungannya dengan korban, dalam situasi apa pun.

Secara lebih rinci, mengacu Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.

Disebutkan juga, kekerasan seksual merupakan tindakan secara verbal, non-fisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Bentuknya meliputi ujaran yang melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh/identitas jender korban; memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, atau siulan yang bernuansa seksual pada korban, serta menatap korban dengan nuansa seksual.

Tak hanya itu, kekerasan seksual termasuk mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, atau video bernuansa seksual kepada korban meski sudah dilarang korban; serta mengambil, merekam, mengedarkan foto, rekaman audio atau visual korban bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO

Kampanye Cegah Kekerasan Seksual di Stasiun dan Kereta Api digelar di Stasiun Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (29/6/2022).

Kekerasan seksual juga berupa mengunggah foto tubuh atau informasi pribadi korban bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, serta menyebarkan informasi terkait tubuh atau pribadi korban bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.

Tindakan lain yang masuk kategori kekerasan seksual ialah mengintip atau sengaja melihat korban yang beraktivitas secara pribadi pada ruang bersifat pribadi; membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan kegiatan seksual yang tak disetujui korban; dan memberi hukuman atau sanksi bernuansa seksual.

Kekerasan seksual juga termasuk menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban; memaksa korban untuk melakukan kegiatan seksual; serta mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan bernuansa kekerasan seksual.

Wabah Global Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan

Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan bukanlah masalah baru, sudah berlangsung sejak lama, dan mewabah secara global. Permasalahan ini pun telah diangkat dalam berbagai film, salah satunya adalah film dokumenter yang berjudul The Hunting Ground (2015) karya Kirby Dick. Film tersebut mengisahkan kasus kekerasan seksual di berbagai kampus di Amerika Serikat, terutama menimpa mahasiswa baru, khususnya perempuan. Film ini juga menyoroti sikap pihak kampus yang sering mengabaikan dan tidak menanggapi laporan para korban.

Berdasarkan survei Asosiasi Universitas Amerika (AAU) tahun 2019 terhadap lebih dari 180.000 mahasiswa di 33 institusi di Amerika Serikat, sebanyak 13 persen responden mengatakan bahwa mereka telah menjadi korban kontak seksual non-konsensual melalui kekerasan fisik, kekerasan, atau ketidakmampuan memberikan persetujuan sejak pendaftaran. Dari seluruh korban yang mengalami kekerasan seksual, hanya sekitar 20 persen yang melapor.

Di Inggris, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh kelompok kampanye Revolt Sexual Assault dan situs web The Student Room pada tahun 2018 terhadap 4.500 mahasiswa dari 153 institusi berbeda menunjukkan bahwa sebanyak 62 persen pernah mengalami kekerasan seksual, namun hanya 6 persen dari mereka yang melaporkannya. Berdasarkan gender, 70 persen korban adalah perempuan.

Dalam penelitian tersebut, bentuk kekerasan seksual yang paling sering dialami adalah meraba-raba dan menyentuh secara seksual. Lokasi yang paling umum di kampus di mana mahasiswa mengalami kekerasan seksual adalah asrama (28 persen), acara sosial (24 persen) dan ruang sosial universitas seperti bar, ruang makan, dan toko (23 persen).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Aktivis perempuan membentanngkan poster protes saat aksi memperingati hari ibu di depan gedung DPR, Jakarta Pusat, Rabu (22/12/2021). Mereka menuntut pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS.

Kasus kekerasan seksual juga banyak terjadi di sekolah menengah dan dasar. Berdasarkan survei yang dilakukan National Education Union dan UK Feminista, sebanyak 6 persen siswa laki-laki dan 37 persen siswa perempuan di Inggris pernah mengalami kekerasan seksual saat berada di sekolah, di mana sebagian besar kasus melibatkan siswa laki-laki.

Survei tersebut, yang dilakukan terhadap 1.500 siswa dan 1.600 guru, juga mengungkapkan bahwa karena masalahnya sangat umum, banyak siswa pada umumnya tidak melaporkannya. Hanya 14 persen dari mereka yang mengalami pelecehan seksual menceritakannya kepada guru.

Kekerasan seksual juga tidak hanya terjadi pada murid atau mahasiswa. Menurut laporan survei National Tertiary Education Union yang dirilis pada 12 Oktober, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan juga dialami oleh para staf, guru, maupun dosen.

Dari 2000 orang lebih staf universitas-universitas di Australia yang berpartisipasi dalam survei tersebut, satu dari tiga responden (29 persen) pernah mengalami pelecehan seksual di tempat mereka bekerja. Pelakunya sebagian besar adalah rekan kerja (41 persen), diikuti oleh manajer (34 persen) dan mahasiswa (29 persen).

Perempuan melaporkan tingkat kekerasan seksual yang lebih tinggi di tempat kerja. Namun, hanya 13 persen dari mereka yang mengalami pelecehan mengajukan pengaduan resmi, dan 46 persen di antaranya tidak menyampaikan pengaduan sama sekali.

Angka Kasus Indonesia

Di Indonesia sendiri, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan juga masih marak terjadi. Mengacu Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA), dari hasil survei lingkungan belajar dalam asesmen nasional yang dilakukan Kemendikbudristek (2023), diperkirakan bahwa 34,5 persen peserta didik pada sekolah dasar dan menengah beresiko mengalami kekerasan seksual di sekolah.

Data tersebut diperkuat dengan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang mencatat ada 202 anak yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah di bawah Kemendikbudristek dan Kementerian Agama sepanjang Januari hingga Mei 2023. Apabila jumlah itu dirata-rata, maka terjadi satu kasus kekerasan seksual setiap pekan.

Kasus-kasus tersebut sebagian besar (50 persen) terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek, sedangkan yang terjadi di bawah Kementerian Agama sekitar 36,36 persen.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Menurut data FSGI, pelaku kekerasan seksual didominasi guru (31,8 persen), disusul kemudian pemilik atau pemimpin pondok pesantren (18,2 persen), dan kepala sekolah (13,63 persen). Pelaku lainnya adalah guru ngaji informal (13,63 persen), pengasuh asrama atau pondok (4,5 persen), kepala madrasah (4,5 persen), penjaga sekolah (4,5 persen), dan lainnya (9 persen).

Adapun modusnya, FSGI mencatat ada 13 modus yang digunakan pelaku dalam melaksanakan aksinya. Di antaranya, dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku ponpes; evaluasi pembelajaran; hingga diiming-imingi uang jajan oleh pelaku. 

Sementara di perguruan tinggi, pada tahun 2022, ada 49 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dilaporkan pada Kelompok Kerja PPKS Kemendikbudristek. Kekerasan seksual tersebut melibatkan dosen PTN ataupun PTS hingga mahasiswa (Kompas, 15/3/2023).

Sebelumnya, berdasarkan temuan survei Mendikbudristek pada tahun 2019, kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen) setelah jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen).

Namun, perlu diperhatikan bahwa angka-angka tersebut masih terbatas pada kasus-kasus yang dilaporkan. Dalam realitas di lapangan, banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang tidak terungkap, menjadi fenomena gunung es, dan menyebabkan siklus kekerasan yang berkelanjutan.

Situasi tersebut terjadi karena di setiap kekerasan, terutama kekerasan seksual, selalu ada struktur dan kultur yang melanggengkannya. Merujuk buku Panduan Pelaporan, Penanganan, dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus FISIPOL UGM, kekerasan struktural bekerja di level sistemik, berkaitan dengan bagaimana akses dan privilese didistribusikan. Distribusi akses dan privilese yang tidak merata menghasilkan ketimpangan relasi kuasa, di mana kelompok yang lebih lemah rentan menjadi sasaran kekerasan.

Sementara itu, kekerasan kultural bekerja di level simbolik, di mana kehadirannya memberi legitimasi bagi kekerasan langsung dan struktural. Kekerasan kultural bekerja dengan membuat sesuatu yang sebenarnya mencerminkan kekerasan langsung dan struktural terasa normal, bahkan benar.

 

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Di level struktural, kekerasan seksual selalu berkaitan dengan adanya ketimpangan relasi gender, yang menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, laki-laki sering dianggap dan ditempatkan sebagai superior dan perempuan sebagai inferior. Penempatan ini kerap meminggirkan perempuan dan melegitimasi kekerasan terhadap mereka. Hal ini pun terinternalisasi dan telah mengakar dalam struktur kelembagaan pendidikan.

Selain itu, adapula ketimpangan relasi kuasa. Dalam konteks institusi pendidikan, sebagai figur otoritatif di lingkungan sekolah atau perguruan tinggi, dosen dan guru memiliki pengaruh yang besar terhadap siswa atau mahasiswa. Kuasa dan otoritas yang dimiliki oleh para pendidik ini seringkali disalahgunakan sebagai alat untuk melakukan kekerasan seksual. Ketimpangan yang kuat inilah yang kemudian juga membuat banyak korban pelecehan seksual memilih untuk tidak melaporkan apa yang telah mereka alami.

Ada juga masalah struktural yang melibatkan kurangnya mekanisme perlindungan dan penegakan hukum yang efektif di dalam lembaga pendidikan. Bahkan, ketika kasus kekerasan seksual terungkap, seringkali penanganannya tidak memadai atau bahkan diabaikan sama sekali. Ini dapat disebabkan oleh keengganan untuk mengekspos kasus yang merusak reputasi institusi, atau kurangnya kesadaran akan pentingnya memperlakukan kasus-kasus ini dengan serius.

KOMPAS/RIZA FATHONI 

PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menggelar kampanye pencegahan pelecehan seksual yang kerap terjadi di kereta Commuter Line. Kampanye sebagai bentuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret ini diselenggarakan di Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (12/3/2019). Kampanye yang menggandeng Komnas Perempuan dan komunitas perempuan ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran para pengguna KRL untuk peduli dengan pelecehan seksual yang kerap terjadi.

Survei Ditjen Diktiristek 2020 menemukan bahwa 77 persen dosen mengaku bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63 persen dosen tidak pernah melaporkan kasus yang mereka ketahui pada pihak kampus. Artinya, dari sisi dosen pun masih enggan melaporkan kejadian yang mereka ketahui di lingkungan kerjanya di kampus yang melibatkan rekan dosen sebagai sesama pengajar (Kompas, 30/11/2021).

Di level kultural, kekerasan seksual seringkali ditopang dan dibenarkan oleh kultur victim-blaming dan objektifikasi, pemahaman hitam-putih mengenai gender dan seksualitas, norma yang misoginis dan bias heteroseksualitas, maupun berbagai prasangka bias gender yang jamak beredar di masyarakat. Selain itu, pelecehan seksual juga dipandang sebagai aib yang tidak pantas untuk diumbar. Hal ini seringkali menghambat upaya-upaya pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual.

Berdampak Seumur Hidup

Kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pendidikan adalah ancaman serius. Bagi korban, dampak dari kekerasan seksual akan menjadi beban seumur hidup. Dampak tersebut dapat berupa dampak psikologis, fisik, dan sosial.

Secara psikologis, berbagai penelitian menyebutkan bahwa kekerasan seksual menyebabkan hilangnya harga diri dan perasaan tidak berdaya dan tidak berharga para korban. Mereka dapat mengalami efek psikologis yang signifikan, seperti depresi, trauma, ketakutan, frustasi, mimpi buruk, dan masalah psikis lainnya.

Bagi korban anak, psikolog klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Indria Laksmi Gamayanti, mengatakan bahwa kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai adverse childhood experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan yang tinggi ketika tumbuh dewasa (Kompas, 13/4/2024).

Selain itu, akan muncul rasa bersalah, malu, dan tidak berdaya. Gangguan mental ini akan menghambat anak untuk beraktivitas sehari-hari, seperti bersekolah, bermain bersama teman, dan anak menjadi pemurung atau depresif.

Berbagai kasus juga menunjukkan beragam gejala yang berbeda. Beberapa anak menjadi pribadi yang pendiam, murung, tercekat, cenderung nakal, sering menangis, bahkan ada yang terlihat baik-baik saja hingga sering disalahartikan sebagai proses penyembuhan trauma yang cepat.

Selain menyebabkan trauma psikologis, tindak kekerasan seksual juga dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan dan cedera fisik pada korbannya. Menurut Jane Willens, spesialis trauma di Pusat Perawatan Pemerkosaan UCLA, dampak trauma seksual bersifat neurobiologis, artinya trauma dapat mempengaruhi otak dan sistem saraf. Trauma tersebut dapat memicu beragam gejala pada fisik, antara lain, sakit kepala kronis, nyeri tubuh, kelelahan, pusing dan mual, kesulitan seksual, tekanan darah tinggi, serta masalah kesehatan kronis lainnya.

Selain itu, kekerasan seksual juga bisa menjadi salah satu faktor penularan penyakit seksual menular, seperti klamidiasis, herpes, sifilis, dan HIV, terutama korban pemerkosaan.

Dampak sosial juga tidak kalah penting untuk diperhatikan akibat dari kekerasan seksual. Tak sedikit kasus korban yang justru dikucilkan dalam kehidupan sosial dan menerima stigma negatif. Terutama, ini sering terjadi pada korban kekerasan seksual yang mengalami penyebaran tanpa izin, pengambilan, perekaman, atau penyebaran foto, audio, atau video yang bernuansa seksual tanpa persetujuan mereka.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Solidaritas untuk Korban Kejahatan Seksual. Para simpatisan menulis pernyataan dukungan pada bentangan kain pada Malam Solidaritas untuk Anak Korban Kejahatan Seksual di Gedung Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta, Rabu (9/1/2013). Acara ini digelar sebagai dukungan moral kepada korban dan keluarga korban kejahatan terhadap anak.

Upaya Pencegahan dan Penanganan

Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. 

Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip, yaitu diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.  Karena itulah, memastikan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual adalah hal wajib setiap lingkungan pendidikan.

Mengacu beberapa pedoman terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang diterbitkan sejumlah lembaga, antara lain, Komnas Perempuan, Fisipol UGM, dan STH Jentera, ada sejumlah langkah yang harus diperhatikan dalam upaya menanggulangi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Pertama, upaya-upaya penghapusan dan penanganan kekerasan seksual harus selalu berperspektif korban atau penyintas. Proses penanganan kasus kekerasan seksual harus memperhatikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak serta kebutuhan penyintas. Penyintas juga berhak diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan yang konstruktif secara mandiri, tanpa ada tekanan maupun paksaan dalam bentuk apapun. Hal ini diperlukan agar korban mampu menyuarakan masalahnya.

Kedua, proses pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus adil gender. Pendekatan adil gender menekankan kesetaraan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan. Hal ini fundamental karena kekerasan seksual sering kali berakar pada ketidaksetaraan gender, seperti budaya patriarki yang meminggirkan perempuan dan melegitimasi kekerasan terhadap mereka.

Ketiga, bersifat universal, tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, identitas gender, orientasi seksual, usia, suku, ras, agama, pendidikan, golongan, kelas, dan/atau disabilitas. Selain itu, juga perlu memahami bahwa kelompok marginal lebih rentan mendapatkan kekerasan karena stigma yang berada di masyarakat.

Kelima, kolaboratif. Penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan harus dilakukan bersama-sama. Memastikan berbagai regulasi yang ada dijalankan bersama-sama, termasuk dukungan program, anggaran, sumber daya manusia, dan layanan.

Terakhir, konsisten. Untuk memutus lingkaran setan kekerasan seksual, penting untuk menjaga konsistensi dalam pencegahan dan penanganannya. Konsistensi ini mencakup komitmen yang berkelanjutan dalam menegakkan hukum, memberikan dukungan yang terus-menerus kepada korban, dan memperkuat upaya pemberdayaan untuk memungkinkan penyintas memulihkan diri dan mendapatkan keadilan.

Termasuk pendidikan yang terus-menerus tentang kesadaran akan kekerasan seksual, pembangunan budaya yang menolak segala bentuk kekerasan, dan penguatan kapasitas staf, tenaga pendidik, pelajar, mahasiswa untuk mengidentifikasi, melaporkan, dan menanggapi tindakan kekerasan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI 

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait (kanan) berbicara kepada dua tersangka yang dihadirkan dalam pengungkapan kasus kejahatan perdagangan orang dan perlindungan anak dengan korban tiga anak dibawah umur di Markas Polres Metro Jakarta Selatan, Rabu (29/1/2020). Kejahatan kekerasan dan perdagangan anak tersebut dilakukan di Apartemen Kalibata City Jakarta Selatan. Para korban ditawarkan untuk melayani transaksi seksual melalui aplikasi Michat. Polisi menahan enam tersangka dalam kasus tersebut.

Berbagai Kemajuan

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kemajuan telah dicapai dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Dari aspek regulasi, misalnya, pada tahun 2022 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang menjadi langkah monumental dalam memperkuat regulasi terkait kekerasan seksual. UU ini mendefinisikan jenis-jenis kekerasan seksual secara lebih komprehensif, memperluas cakupan korban dan pelaku, serta mengatur mekanisme pencegahan dan penanganan yang lebih sistematis.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai komitmen untuk memberikan perlindungan terhadap sivitas akademika. Salah satu amanat permendikbudristek ini adalah pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Amanat pembentukan satgas untuk perguruan tinggi negeri sifatnya wajib.

Berdasarkan data hasil kajian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dengan Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Uhamka tahun 2023, sudah semua PTN yang sebanyak 184 membentuk satgas PPKS ini. Dan, dari data Kemendikbudristek yang diambil pada September 2023, kurang lebih ada 1.321 orang yang menjadi satuan tugas PPKS di PTN dan 1.273 orang di PTS (Kompas, 8/3/2024).

Di luar kampus, beberapa lembaga dan komunitas juga telah banyak membentuk layanan pengaduan dan pendampingan korban kekerasan seksual, seperti Komnas Perempuan, LBH APIK, dan Koalisi Perempuan Indonesia, yang menyediakan layanan konseling, pendampingan hukum, dan pemulihan trauma bagi korban.

Dari aspek edukasi, berbagai kampanye edukasi hingga ruang diskusi tentang pencegahan kekerasan seksual terus dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas. Kampanye ini menyasar berbagai kelompok masyarakat, seperti pelajar, mahasiswa, perempuan, dan masyarakat umum.

Meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai, ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki. Salah satunya terkait implementasi UU TPKS yang masih lemah dan banyak kendala. Setelah genap dua tahun memiliki UU TPKS, masih belum semua peraturan pelaksanaan UU TPKS diundangkan (Kompas, 4/5/2024).

Akibatnya, koordinasi antara berbagai lembaga dan instansi terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih belum terjalin dengan baik terkait implementasi UU TPKS. Sebab, belum ada panduan mekanisme kerja untuk sistem peradilan TPKS.

Padahal, pasal 91 UU TPKS mengamanatkan semua peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut harus ditetapkan paling lambat dua tahun terhitung sejak UU TPKS diundangkan pada 9 Mei 2022.

Di samping itu, pemahaman substansi UU TPKS, perspektif jender, disabilitas dan inklusi sosial, serta kesiapan aparat penegak hukum (APH), pemerintah daerah, dan unit pelayanan terpadu (UPT) masih amat rendah. Hal ini menyebabkan dalam praktiknya di lapangan masih ada yang belum menggunakan UU TPKS karena tidak mengetahuinya.

Tantangan lain penerapan UU TPKS termasuk terbatasnya sarana, prasarana, dan biaya operasional. Komnas Perempuan mencatat bahwa hanya 30 persen kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki rumah aman bagi korban kekerasan seksual (Kompas, 11/5/2023).

Kualitas sumber daya manusia dan pelayanan daerah untuk menangani kasus TPKS pun belum sepenuhnya memadai. KPAI mencatat penanganan beberapa kasus TPKS di daerah akhirnya diambil alih organisasi masyarakat sipil.

Oleh karena itu, kehadiran semua aturan pelaksana dari UU TPKS tidak bisa ditunda-tunda lagi agar daftar korban yang menanti keadilan tak semakin panjang. Integrasi data kasus kekerasan seksual juga perlu dilakukan sehingga diharapkan penanganan kasus akan lebih komprehensif mengingat berbagai kasus kekerasan seksual biasanya sangat komplikatif.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Jerat Pidana Kekerasan Seksual

Dalam UU TPKS, kekeraan seksual adalah tindak pidana. Dalam beleid tersebut, terdapat 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual dan hukum pidananya, meliputi:

  1. Pelecehan seksual non-fisik

Pelecehan seksual non-fisik adalah perbuatan seksual secara non-fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara dan denda maksimal Rp 10 juta.

  1. Pelecehan seksual fisik

Dalam UU TPKS, kekerasan seksual secara fisik terdiri dari tiga bentuk. Pertama, perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Menurut Pasal 6a UU TPKS, orang yang melakukan perbuatan ini dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp 50 juta.

Kemudian, perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Orang yang melakukan perbuatan ini berpotensi dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp 30 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 6b UU TPKS.

Terakhir, penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau orang lain. Menurut Pasal 6c UU TPKS, perbuatan ini dapat dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp 300 juta.

  1. Pemaksaan Kontrasepsi

Merujuk Pasal 8 UU TPKS, setiap orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi hingga menyebabkan orang tersebut kehilangan fungsi reproduksinya sementara waktu dapat dikenai pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp 50 juta.

  1. Pemaksaan strerilisasi

Seseorang yang memaksa orang lain sterilisasi juga bisa dinyatakan melakukan tindak pidana kekerasan seksual. Menurut Pasal 9 UU TPKS, pelaku pemaksaan sterilisasi terancam pidana penjara maksimal 9 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

  1. Pemaksaan Perkawinan

Pasal (10) UU TPKS menyebutkan bahwa pelaku perkawinan paksa bisa dipidana penjara paling lama 9 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta.

Perkawinan paksa yang dimaksud termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.

  1. Penyiksaan Seksual

Pasal 11 UU TPKS mendefinisikan penyiksaan seksual sebagai pejabat atau orang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan pejabat melakukan kekerasan seksual terhadap orang dengan tujuan: intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga; persekusi atau memberikan hukuman terhadap perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya; dan/atau mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/atau seksual dalam segala bentuknya.

Pelaku penyiksaan seksual dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.

  1. Eksploitasi Seksual

Mengacu Pasal 12 UU TPKS, pelaku eksploitasi seksual ialah setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain.

Pelaku eksploitasi seksual dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

  1. Perbudakan Seksual

Pelaku perbudakan seksual ialah setiap orang yang secara melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual.

Merujuk pasal 13 UU TPKS, pelaku perbudakan seksual diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

  1. Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik

Terdapat tiga jenis kekerasan seksual berbasis elektronik yang diatur UU TPKS, yakni melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; membagikan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual.

Menurut Pasal 14 UU TPKS, pelaku kekerasan seksual ini dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

Sementara, apabila tindak kekerasan seksual berbasis elektronik itu dilakukan untuk melakukan pemerasan atau pengancaman dan memaksa atau menyesatkan dan/atau memperdaya, pelaku dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300 juta.

Adapun alat bukti yang dibutuhkan untuk membuktikan tindak pidana TPKS, antara lain, alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana; alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana; keterangan saksi; dan surat (surat keterangan psikolog/psikiater/dokter, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, hasil pemeriksaan rekening bank).

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Aturan
  • Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Buku
  • Wijaya, Andika dan Wida Peace Ananta. 2016. Darurat Kejahatan Seksual. Jakarta: Sinar Grafika.
Arsip Kompas
  • “Korban Kekerasan Seksual Rentan Mengalami Infeksi Menular Berkepanjangan,” Kompas, 10 Januari 2020.
  • “Mengungkap Kekerasan Seksual di Kampus,” Kompas, 26 Maret 2021.
  • “Melawan Kekerasan Seksual di Kampus,” Kompas, 9 November 2021.
  • “Puncak Gunung Es Kekerasan Seksual di Kampus,” Kompas, 30 November 2021.
  • “Kekerasan Seksual di Kampus Sudah Darurat, Butuh Penanganan Satu Atap,” Kompas, 13 Maret 2023.
  • “Alarm Kekerasan Seksual di Sekolah,” Kompas, 13 April 2023.
  • “Implementasi UU TPKS Terkendala Peraturan Pelaksana,” Kompas, 11 Mei 2023.
  • “Perguruan Tinggi Berinovasi Atasi Kekerasan Seksual,” Kompas, 5 September 2023.
  • “Sebanyak 15 Murid SD di Yogyakarta Diduga Jadi Korban Kekerasan Seksual,” Kompas, 8 Januari 2024.
  • “Relasi Kuasa Jadi Pemicu Pelecehan Seksual di Kampus,” Kompas, 26 Februari 2024.
  • “Guru Wajib Pahami Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Sekolah,” Kompas, 26 Februari 2024.
  • “Apa Kabar Satgas PPKS,” Kompas, 8 Maret 2024.
  • “Belum Semua Aturan Pelaksanaan UU TPKS Diundangkan, Komitmen Presiden Dinantikan,” Kompas, 4 Mei 2024.
Internet