Paparan Topik | Perlindungan Perempuan dan Anak

Perlindungan Perempuan di Lingkungan Akademik

Lingkungan akademik seharusnya menjadi tempat aman bagi semua pihak tanpa terkecuali. Fenomena kekerasan di lingkungan akademik menjadi perhatian publik setelah kasus bunuh diri mahasiswi kedokteran akibat perundungan dan kekerasan.

KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro menggelar aksi solidaritas dengan menyalakan lilin dan berdoa bersama di Lapangan Widya Puraya Undip, Senin (2/9/2024) malam. Dalam aksi itu, mereka menuntut agar kasus meninggalnya ARL (30), mahasiswi PPDS Anestesi Undip yang diduga menjadi korban perundungan, diusut tuntas.

Fakta Singkat

  • Data dari Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan di lingkungan akademik tetap tinggi dalam tiga tahun terakhir.
  • Relasi kuasa menjadi faktor utama dalam kasus kekerasan dan perundungan di dunia akademik.
  • Permendikbud No. 46 Tahun 2023 disahkan sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
  • Peraturan ini bertujuan untuk mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi.

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 yang bertujuan melindung sivitas akademika dari beragam kekerasan dan perundungan di kampus. Dua kasus kekerasan di lingkungan akademik yakni kasus bunuh diri mahasiswa UNDIP dan kasus kekerasan seksual oleh mantan Ketua BEM UI menunjukkan dampak serius kekerasan psikis dan seksual di lingkungan akademik. Kedua kasus ini mencerminkan perlunya penerapan tegas regulasi untuk mencegah dan menangani kekerasan di institusi pendidikan.

Dalam Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 pasal 1 ayat 3 disebutkan tindak kekerasan didefinisikan sebagai “Setiap perbuatan, tindakan, dan/atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.”

Selain itu, Permendikbud juga mengatur bentuk-bentuk kekerasan dalam pasal 6. Bentuk-bentuk kekerasan terdiri dari: kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya. Bentuk kekerasan tersebut dapat dilakukan secara fisik, verbal, non verbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi.

Perlindungan perempuan berkaitan langsung dengan SDG target ke-5 mengenai kesetaraan gender. Terlebih lagi mengenai kekerasan terhadap perempuan yang tertuang dalam target 5.2.1 dan 5.2.2 yang mengatur mengenai kekerasan terhadap perempuan.

Relevansi perlindungan perempuan juga terlihat dalam SDG target ke-16 yang berupa upaya menciptakan sistem yang adil dan mendukung keadilan. Dalam lingkungan akademik, hal ini berarti adanya mekanisme yang efektif untuk melaporkan dan menangani kekerasan berbasis gender.

Dengan menghubungkan kedua target SDG ini, perlindungan perempuan dari kekerasan di lingkungan akademik menjadi krusial. Pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender menjamin hak perempuan untuk belajar dan bekerja dengan aman.

Data Kekerasan terhadap perempuan

Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia semakin memprihatinkan dengan terus meningkatnya jumlah korban setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh KemenPPPA, jumlah perempuan korban kekerasan seksual pada tahun 2021 mencapai 21.024 perempuan, meningkat di tahun 2022 menjadi 23.498.

Sementara, pada 2023 terdapat 23.446 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Meski terdapat penurunan angka, perubahan ini masih belum signifikan dan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian serta upaya berkelanjutan dalam pencegahan dan penanganannya.

Meskipun angka kekerasan terhadap perempuan secara umum masih tinggi, kekerasan di lingkungan akademik menjadi sorotan tersendiri. Lingkungan yang seharusnya menjadi tempat pendidikan dan pembinaan justru sering kali menjadi lokasi terjadinya kekerasan, baik terhadap mahasiswa maupun tenaga pendidik.

Untuk lebih memahami dinamika ini, penting untuk melihat data mengenai tingkat pendidikan korban dan pelaku kekerasan di lingkungan akademik, yang memberikan gambaran lebih jelas tentang bagaimana kasus-kasus tersebut terjadi dan siapa saja yang terlibat.

Data dari Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan di lingkungan akademik tetap tinggi dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2021, korban terbanyak berasal dari pendidikan SMA/SMK dengan 1.858 kasus, sementara di tahun 2023 angka ini sedikit menurun menjadi 1.721 kasus. Pelaku dengan pendidikan SMA/SMK juga mengalami peningkatan tajam, dari 904 pada 2022 menjadi 1.582 di 2023.

Sementara, korban di lingkungan perguruan tinggi justru meningkat, dari 571 pada 2021 menjadi 892 pada 2023. Lonjakan signifikan pada jumlah korban pelajar/mahasiswa di 2023 yang mencapai 2.139 kasus menggambarkan adanya masalah serius yang perlu segera diatasi dalam lingkungan pendidikan tinggi.

Selaras dengan data di atas, dalam Catahu Komnas Perempuan, laporan kasus kekerasan dalam lingkungan pendidikan yang dihimpun dari berbagai lembaga swadaya masyarakat menjadi perhatian yang serius. Jumlah kasus kekerasan di lingkungan pendidikan mengalami peningkatan di tahun 2022 menjadi 355 kasus dari yang sebelumnya 213 kasus.

Pada tahun berikutnya di 2023 jumlah kasus kekerasan dalam lingkungan pendidikan menurun menjadi 198 kasus. Kondisi ini menunjukkan adanya fluktuasi dalam kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Penurunan jumlah kasus pada tahun 2023 bisa jadi merupakan hasil dari upaya peningkatan kesadaran, intervensi, dan program pencegahan yang mungkin telah dilaksanakan oleh berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah.

Penurunan ini juga perlu diteliti lebih lanjut. Perubahan angka jumlah kasus yang dilaporkan berkurang karena perubahan dalam cara pelaporan, atau apakah ada faktor lain yang memengaruhi keputusan korban untuk tidak melaporkan kekerasan.

Salah satu alasan korban untuk tidak melapor akibat dari institutional betrayal yang dilakukan lembaga pendidikan. Smith & Freyd (2014) melakukan penelitian yang menemukan bahwa lembaga-lembaga pendidikan cenderung meremehkan pelaporan kasus kekerasan seksual kepada korban yang melaporkan secara langsung.

Faktor Penyebab

Relasi kuasa sering kali menjadi pemicu kekerasan dalam lingkungan akademik. Hermawan & Rinaldi (2024) menemukan fakta bahwa dalam banyak kasus, senioritas menciptakan budaya di mana orang yang memiliki kuasa merasa berhak untuk mengintimidasi atau menyerang seseorang dengan kuasa yang lebih rendah sebagai cara untuk menunjukkan dominasi dan membangun popularitas.

Komnas Perempuan dalam Catahu  juga menyatakan kekerasan sering kali terjadi ketika pihak yang memiliki kekuasaan memanfaatkan ketimpangan relasi dengan korban. Contohnya relasi kuasa dosen terhadap mahasiswa, pendidik di pesantren terhadap santriwati, senior atau pimpinan organisasi mahasiswa terhadap juniornya, guru terhadap murid, orang dewasa terhadap anak-anak, serta otoritas agama terhadap pengikutnya.

Relasi kuasa menjadi faktor penting dalam kasus kekerasan, seperti yang terlihat pada kasus bunuh diri mahasiswa Undip dan kasus kekerasan seksual oleh mantan ketua BEM UI. Dalam kasus mahasiswa Undip, tekanan dari senioritas dan ketimpangan relasi kuasa diduga berperan dalam menciptakan lingkungan yang penuh intimidasi, mendorong korban merasa terisolasi dan putus asa.

Sementara itu, kasus kekerasan seksual oleh mantan ketua BEM UI menunjukkan bagaimana pelaku dengan posisi kekuasaan menggunakan otoritasnya untuk mengeksploitasi korban yang berada dalam posisi lebih rendah, sebagaimana disoroti oleh Komnas Perempuan.

Kebijakan di Indonesia

Dalam upaya melindungi perempuan dan menciptakan lingkungan belajar yang aman, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Peraturan ini bertujuan untuk mencegah dan menangani berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, perundungan, dan diskriminasi. Melalui regulasi ini, diharapkan setiap satuan pendidikan dapat membentuk tim penanganan khusus serta mekanisme pencegahan yang terstruktur, sehingga perlindungan terhadap peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dapat lebih efektif.

Kebijakan seperti Peraturan Menteri No 46 Tahun 2023, telah memberikan dampak nyata dalam menciptakan ruang aman di lingkungan akademik. Dengan adanya kebijakan ini, lembaga pendidikan diwajibkan untuk lebih aktif dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Pembentukan Satgas PPKS mendorong korban untuk melapor dan memperkuat upaya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan.

Selain memberikan pendampingan kepada korban, kebijakan ini juga menekankan pentingnya sosialisasi dan edukasi terkait kekerasan seksual di kampus. Institusi pendidikan kini memiliki tanggung jawab lebih besar dalam membangun budaya anti-kekerasan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kasus kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan aman bagi semua mahasiswa.

Kasus bunuh diri mahasiswa UNPAD dan kekerasan seksual yang melibatkan mantan ketua BEM UI telah mengungkap celah dalam penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kejadian-kejadian tragis ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa merasa tidak aman dan tertekan. Hal ini mendorong perlunya pembaruan kebijakan yang lebih tegas dan responsif terhadap situasi ini.

Sebagai respons terhadap situasi tersebut, Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 diimplementasikan untuk mengatasi masalah kekerasan seksual di institusi pendidikan. Kebijakan ini mengharuskan lembaga pendidikan untuk lebih aktif dalam melindungi mahasiswa serta menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan efektif bagi korban. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua mahasiswa.

Dengan adanya kasus-kasus ini, diharapkan implementasi kebijakan perlindungan perempuan menjadi lebih serius dan efektif. Lembaga pendidikan diharapkan dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah kekerasan dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi korban, sehingga menciptakan budaya akademik yang bebas dari intimidasi dan kekerasan.

Respons Publik dan Institusi

Kasus bunuh diri mahasiswa Universitas Padjadjaran dan dugaan kekerasan seksual yang melibatkan mantan ketua BEM Universitas Indonesia telah memicu respons dari berbagai elemen masyarakat serta langkah-langkah institusi terkait untuk menangani kasus-kasus tersebut dan memperkuat mekanisme perlindungan.

Masyarakat, termasuk mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan, menunjukkan keprihatinan yang mendalam atas kasus bunuh diri mahasiswa Unpad. Mereka menyerukan agar pihak universitas melakukan penyelidikan menyeluruh terkait penyebab kematian mahasiswa tersebut dan meminta agar kasus ini dilihat juga sebagai indikasi adanya masalah yang lebih besar dalam dukungan kesehatan mental di kampus.

Di sisi lain, kasus kekerasan seksual yang melibatkan mantan ketua BEM UI juga mendapatkan perhatian luas. Masyarakat mengecam tindakan tersebut dan mendesak untuk mengambil langkah tegas terhadap pelaku. Banyak suara dari kalangan mahasiswa yang menuntut agar pihak universitas berkolaborasi dengan pihak berwenang untuk memastikan keadilan bagi korban.

Institusi terkait telah mengambil langkah-langkah untuk menangani kasus bunuh diri mahasiswa UNPAD. Pertama, pihak universitas dan pemerintah melakukan penyelidikan tuntas untuk mengetahui penyebab kematian. Mereka mengumpulkan bukti-bukti yang relevan untuk memastikan penanganan yang adil.

Pihak universitas juga mengembangkan program perlindungan mahasiswa yang lebih baik. Layanan konseling dan dukungan mental ditingkatkan untuk membantu mahasiswa. Kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental kini menjadi fokus di kalangan mahasiswa.

Untuk menangani dugaan kekerasan seksual yang melibatkan mantan ketua BEM UI, Satgas PPKS UI telah mengambil beberapa langkah strategis. Proses dimulai dengan pengumpulan bukti dan informasi dari semua pihak terkait, dilanjutkan dengan analisis data dan pengambilan kesimpulan.

Setelah itu, rekomendasi akan disampaikan kepada Rektor UI untuk ditindaklanjuti. UI juga menyediakan ruang kerja khusus untuk Satgas PPKS guna mendukung pelaksanaan tugas mereka dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual.

Kedua universitas ini menunjukkan komitmen untuk memperbaiki mekanisme perlindungan bagi mahasiswa melalui pembentukan Satgas PPKS dan meningkatkan layanan konseling serta dukungan mental. Namun, tantangan tetap ada dalam memastikan bahwa tindakan yang diambil dapat mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Mahasiswa Dokter Spesialis Unpad RSHS Alami Kekerasan Fisik dan Pemerasan”, Kompas.id, 17 Agustus 2024
  • “Melibatkan Melki Sedek, Dugaan Kekerasan Seksual di UI Belum Dilaporkan ke Polisi”, Kompas.id, 2 Februari 2024
  • “Bagaimana Perkembangan Kasus ARL Setelah Undip-RSUP Dr Kariadi Akui Ada Perundungan PPDS?”, Kompas.id, 16 September 2024
  • “Undip dan RSUP Dr Kariadi Akui Ada Perundungan, Perbaikan Bakal Dilakukan”, Kompas.id, 13 September 2024
  • “BEM Undip Minta Kasus Kematian Mahasiswi PPDS Diusut Tuntas”, Kompas.id, 19 Agustus 2024
Jurnal
  • Smith, C. P., & Freyd, J. J. (2014). Institutional betrayal. American Psychologist69(6), 575. https://dynamic.uoregon.edu/jjf/articles/sf2014.pdf
  • Rinaldi, K., & Hermawan, D. (2024). The Practice of Violence Cycle in Schools. International Journal of Law, Policy, and Governance, 3(2), 78-83.
Peraturan

Artikel terkait