KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Potret warga Desa Keseneng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah pada Sabtu (25/2/2023). Menurut Kepala Desa Keseneng Mugiharto, warga desanya akrab dengan pernikahan di usia muda. Sebagian warga bahkan menikah saat remaja. Adapun pemerintah menyerukan untuk menghentikan perkawinan anak.
Fakta Singkat
- Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 11 Oktober sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia.
- Resolusi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global tentang tantangan yang dihadapi anak perempuan, termasuk kekerasan, pernikahan dini, dan akses pendidikan yang terbatas.
- Hari Anak Perempuan Sedunia berakar dari Konferensi PBB tentang Perempuan yang diadakan di Beijing pada tahun 1995.
- Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Beijing yang menyerukan pengakuan dan perlindungan hak-hak anak perempuan serta upaya untuk mengatasi diskriminasi terhadap mereka.
- Tema Hari Anak Perempuan Sedunia selalu berbeda-beda setiap tahunnya. Tema-tema ini bertujuan untuk mendorong tindakan nyata dalam meningkatkan kesejahteraan anak perempuan.
Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 66/170, sebelumnya telah menetapkan tanggal 19 Desember 2011 sebagai momen untuk mengakui hak-hak anak perempuan dan tantangan unik yang mereka hadapi di seluruh dunia.
Dalam perkembangannya, untuk pertama kali “Hari Anak Perempuan Sedunia” dirayakan secara resmi pada 11 Oktober 2012. Peringatan ini menjadi ajang untuk mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan anak perempuan melalui berbagai kegiatan, seperti seminar, kampanye media sosial, dan diskusi publik.
Berbagai isu mengenai anak perempuan dibahas pada Hari Anak Perempuan Sedunia. Isu seperti pendidikan, pernikahan anak, dan kekerasan berbasis gender terus disoroti sebagai hambatan yang perlu diatasi agar anak perempuan dapat mencapai potensi mereka sepenuhnya.
Setiap tahun, tema khusus diangkat untuk mendorong keterlibatan global. Pada 2024, tema yang diangkat adalah “Girls’ Vision for the Future” yang menekankan pentingnya mendengarkan aspirasi anak perempuan dalam menciptakan masa depan yang lebih baik.
Tema ini dipilih untuk menyoroti pentingnya suara dan aspirasi anak perempuan dalam membentuk dunia yang lebih adil dan inklusif. Anak perempuan di seluruh dunia telah menunjukkan keberanian dan ketangguhan dalam mengatasi tantangan, mulai dari ketidaksetaraan pendidikan hingga kekerasan berbasis gender.
Selain itu, tema ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk memberikan lebih banyak kesempatan bagi anak perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dengan menyediakan akses yang lebih baik ke pendidikan, kesehatan, dan lingkungan yang mendukung, anak perempuan dapat menjadi pemimpin masa depan yang mampu menciptakan perubahan nyata.
Hari Anak Perempuan Sedunia penting untuk meningkatkan kesadaran akan tantangan yang dihadapi anak perempuan, termasuk akses terbatas pada pendidikan, kekerasan berbasis gender, dan pernikahan anak. Dengan menyoroti isu-isu ini, hari tersebut bertujuan mendorong komunitas global untuk mengambil tindakan nyata dalam memperbaiki kondisi anak perempuan di seluruh dunia.
Artikel Terkait
Isu Penting
Salah satu isu penting yang diangkat dalam peringatan ini adalah ketimpangan akses pendidikan untuk anak perempuan. Ketimpangan akses terhadap pendidikan untuk anak perempuan telah menunjukkan perkembangan positif di berbagai negara berpenghasilan rendah selama beberapa dekade terakhir, terutama dalam pendaftaran sekolah dasar. Meskipun begitu, kesenjangan gender tetap terlihat, khususnya pada tingkat pendidikan menengah dan lebih tinggi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Psaki, McCarthy, & Mensch (2018) menyatakan bahwa di beberapa negara, meskipun tingkat pendaftaran sekolah dasar bagi anak perempuan meningkat, angka putus sekolah masih tinggi karena kendala sosial seperti pernikahan dini dan kehamilan, yang lebih banyak memengaruhi anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.
Banyak negara mengalami perkembangan dalam hal kesetaraan gender pada tingkat pendidikan dasar, tetapi variasi yang besar antarnegara dan antardaerah dalam negara-negara berpenghasilan rendah menunjukkan bahwa masalah ini belum sepenuhnya teratasi. Berdasarkan data dari UNICEF, di negara-negara Sub-Sahara Afrika, kesenjangan dalam pendaftaran dan penyelesaian sekolah dasar bagi anak perempuan menurun secara signifikan sejak 1960-an, namun masih ada tantangan dalam mencapai kesetaraan penuh di tingkat pendidikan menengah
Laporan dari UNICEF juga menunjukkan sekitar 119 juta anak perempuan di seluruh dunia tidak bersekolah, dengan 34 juta di antaranya tidak bersekolah di tingkat dasar. Faktor seperti kemiskinan, norma sosial yang membatasi, pernikahan dini, serta tanggung jawab rumah tangga membuat anak perempuan lebih rentan terhalang dari kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Untuk melihat kondisi di Indonesia dapat merujuk pada Angka Partisipasi Kasar (APK) yang menunjukkan persentase jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu, terlepas dari usia sebenarnya, dibandingkan dengan total populasi pada kelompok usia resmi untuk jenjang tersebut. APK dapat digunakan untuk mengukur akses terhadap pendidikan dan seberapa besar cakupan anak-anak yang bersekolah dibandingkan dengan populasi usia sekolah.
Berdasarkan data yang dihimpun dari BPS, APK di jenjang SD/sederajat untuk anak perempuan dengan anak laki-laki memiliki selisih yang sangat kecil. Pada tahun 2020, APK laki-laki adalah 106,33, sementara perempuan 106,32. Pada 2023, meski ada penurunan, APK laki-laki tetap sedikit lebih tinggi dengan 105,84 dibandingkan 105,39 untuk perempuan. Ini menunjukkan akses pendidikan dasar yang hampir merata antara keduanya.
Di jenjang SMP/sederajat, APK untuk anak perempuan lebih rendah daripada anak laki-laki. Pada tahun 2020, APK laki-laki adalah 92,46 sementara perempuan 91,62. Pada 2023, APK anak perempuan mencapai 92,43 sedikit lebih rendah dibandingkan laki-laki yang mencapai 92,59. Perbedaannya cenderung konstan, dengan perbedaan hanya sekitar 0,1-0,5 poin.
Pada jenjang sekolah menengah atas, anak perempuan mulai memiliki APK yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Pada tahun 2020, APK laki-laki adalah 84,15 sedangkan perempuan 84,92. Selisih ini semakin besar pada 2023, dengan APK laki-laki sebesar 83,49 dan perempuan meningkat hingga 89,31.
Data mengenai Angka Partisipasi Kasar di Indonesia menunjukkan perkembangan positif terkait akses pendidikan bagi anak perempuan, terutama di jenjang sekolah dasar (SD), di mana APK anak perempuan hampir setara dengan anak laki-laki. Hal ini mencerminkan bahwa ketimpangan gender dalam akses pendidikan dasar sudah mulai teratasi.
Namun, kesenjangan gender masih terlihat pada jenjang SMP, meskipun selisih APK antara anak laki-laki dan perempuan relatif kecil. Pada jenjang pendidikan menengah (SMA), anak perempuan justru menunjukkan APK yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki, menandakan bahwa lebih banyak anak perempuan yang melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Secara keseluruhan, data ini mencerminkan perbaikan signifikan dalam kesetaraan pendidikan antara anak perempuan dan laki-laki, terutama pada tingkat yang lebih tinggi, meski tantangan masih ada pada tingkat SMP.
Isu pernikahan anak juga masih menjadi salah satu masalah serius di berbagai negara, termasuk Indonesia. Data UNICEF menunjukkan bahwa sekitar 12 juta anak perempuan setiap tahunnya menikah sebelum usia 18 tahun. Pernikahan anak tidak hanya melanggar hak-hak dasar mereka, tetapi juga meningkatkan risiko kekerasan, eksploitasi, serta menghambat akses pendidikan dan kesehatan yang layak.
Menurut UNICEF pernikahan anak berkontribusi pada siklus kemiskinan antar generasi. Anak perempuan yang menikah dini cenderung putus sekolah, sulit memperoleh pekerjaan yang layak, dan terjebak dalam ketergantungan ekonomi pada pasangannya. Hal ini juga berdampak pada kesehatan mereka, seperti risiko kehamilan remaja yang lebih tinggi, yang berpotensi meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
Laporan UNICEF mencatat bahwa meskipun terdapat kemajuan dalam penurunan angka pernikahan anak secara global, langkah-langkah yang lebih tegas diperlukan untuk benar-benar mengakhirinya. Target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk menghapus pernikahan anak pada 2030 masih jauh dari jangkauan jika upaya pencegahan tidak ditingkatkan secara signifikan.
Pernikahan anak di Indonesia juga dalam kondisi memprihatinkan, dengan banyak perempuan muda terpaksa menikah sebelum mencapai usia dewasa. Menurut data BPS, proporsi perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 15 tahun menunjukkan angka yang relatif stabil, dengan 0,50 persen pada tahun 2020, meningkat menjadi 0,58 persen pada tahun 2021, dan kembali turun menjadi 0,50 persen pada tahun 2023.
Di sisi lain, proporsi perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun mengalami penurunan signifikan dari 10,35 persen pada tahun 2020 menjadi 9,23 persen pada tahun 2021. Angka ini terus menurun menjadi 8,06 persen pada tahun 2022 dan mencapai 6,92 persen pada tahun 2023.
Artikel dari Kompas mencatat bahwa berbagai faktor, seperti pendidikan yang tidak memadai, kemiskinan, dan budaya yang mendukung pernikahan dini, masih menjadi penghalang utama dalam upaya menghapus pernikahan anak.
Selain itu, diperlukan adanya kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas untuk mengatasi masalah ini. Upaya edukasi mengenai bahaya pernikahan dini dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan menjadi kunci dalam mengubah pola pikir masyarakat. Dengan memberikan akses pendidikan yang lebih baik dan mendorong kesetaraan gender, diharapkan angka pernikahan anak dapat terus menurun, memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Isu lain yang perlu dibahas dalam hari anak perempuan sedunia adalah isu kekerasan seksual, fisik, dan psikis terhadap anak perempuan. Menurut World Bank, kekerasan terhadap anak perempuan meliputi tindakan fisik seperti pemukulan, kekerasan psikis berupa ancaman dan intimidasi, serta kekerasan seksual yang mencakup pelecehan hingga eksploitasi. Kekerasan ini tidak hanya menyebabkan luka fisik, tetapi juga trauma mental yang berdampak jangka panjang pada perkembangan anak.
Secara global, anak perempuan sering menjadi korban kekerasan di lingkungan yang seharusnya aman, seperti di rumah dan sekolah. Laporan dari World Bank juga menyebutkan bahwa kekerasan berbasis gender terhadap anak perempuan kerap terjadi karena ketidaksetaraan gender yang masih kuat di masyarakat, di mana anak perempuan dianggap lebih rentan dan kurang berdaya untuk melawan. Selain itu, stigma sosial sering kali membuat korban enggan melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami.
Dampak dari kekerasan terhadap anak perempuan sangat luas, termasuk masalah kesehatan fisik dan mental yang serius. Anak-anak yang mengalami kekerasan cenderung memiliki masalah dalam perkembangan sosial, emosional, dan pendidikan mereka. Untuk mengatasi isu ini memerlukan pendekatan holistik yang mencakup pencegahan, perlindungan, serta dukungan psikologis bagi korban untuk memulihkan diri dari trauma.
Di Indonesia sendiri, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan tren peningkatan jumlah korban kekerasan terhadap anak perempuan dari tahun 2020 hingga 2023. Pada tahun 2020, tercatat 9.606 korban, yang mayoritas mengalami kekerasan seksual dengan 6.748 kasus.
Angka ini terus meningkat pada tahun 2021 menjadi 11.177 korban, dengan kekerasan seksual tetap dominan, mencapai 7.645 kasus. Pada tahun 2022, jumlah korban bertambah menjadi 12.857, dengan kekerasan seksual meningkat menjadi 8.552 kasus, dan kekerasan psikis juga meningkat menjadi 2.825 kasus.
Tren peningkatan berlanjut pada tahun 2023 dengan total 12.995 korban. Kekerasan seksual masih merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, yaitu 8.917 kasus, sementara kekerasan psikis sedikit menurun menjadi 2.810 kasus dan kekerasan fisik stabil di sekitar 1.796 kasus.
Data ini menggarisbawahi bahwa meskipun berbagai upaya perlindungan telah dilakukan, kekerasan seksual terhadap anak perempuan tetap menjadi ancaman signifikan yang terus meningkat setiap tahunnya, memerlukan perhatian lebih serius dari pemerintah dan masyarakat.
Upaya Global
Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi internasional dalam mendukung hak-hak anak perempuan sangat penting melalui instrumen hukum internasional. Konvensi Hak-Hak Anak (CRC), yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1989, memberikan landasan hukum untuk perlindungan hak-hak anak, termasuk anak perempuan, dalam pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB memantau implementasi konvensi hak-hak anak dan bekerja sama dengan negara-negara untuk memastikan bahwa instrumen diaplikasikan dengan baik. Fokus utama mereka adalah memastikan akses yang setara bagi anak perempuan terhadap pendidikan dan kesehatan serta perlindungan dari eksploitasi.
Organisasi internasional seperti UNICEF mengadvokasi kebijakan global dan bekerja sama dengan pemerintah untuk memperkuat sistem perlindungan anak. Program-program ini mendorong kesetaraan gender dan memberikan akses yang sama bagi anak perempuan untuk mengembangkan potensi mereka secara maksimal.
Upaya untuk meningkatkan kepada isu-isu yang berhubungan dengan anak perempuan juga dapat dilakukan dengan membentuk berbagai inisiasi maupun program. Hal ini dapat membantu untuk meningkatkan perhatian dan pengetahuan masyarakat luas tentang masalah yang dihadapi oleh anak perempuan di seluruh dunia.
Inisiatif global seperti kampanye “Girls Not Brides” berfokus pada penghapusan pernikahan anak dan mendukung hak-hak anak perempuan. Kampanye ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk mengedukasi tentang dampak negatif pernikahan anak, yang menghalangi akses mereka terhadap pendidikan dan peluang lainnya.
Program pendidikan untuk anak perempuan juga memainkan peran penting dalam meningkatkan kesetaraan gender. Organisasi seperti Room to Read berkomitmen untuk menyediakan akses pendidikan berkualitas bagi anak perempuan di negara berkembang. Melalui program-program ini, mereka tidak hanya meningkatkan keterampilan literasi, tetapi juga membantu anak perempuan meraih cita-cita dan mengubah kehidupan mereka.
Dukungan struktural dari inisiatif ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif bagi anak perempuan. Dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan menentang praktik merugikan seperti pernikahan anak, kampanye dan program ini berkontribusi pada pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Kolaborasi antara berbagai organisasi, pemerintah, dan masyarakat sangat penting untuk mencapai tujuan ini. Melalui upaya bersama, diharapkan lebih banyak anak perempuan dapat menikmati hak-hak mereka dan mencapai potensi penuh mereka di masa depan.
Kesadaran Publik
Hari Anak Perempuan Sedunia menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak perempuan. Melalui berbagai kampanye dan kegiatan, masyarakat diajak untuk memahami tantangan yang dihadapi anak perempuan, seperti kekerasan berbasis gender, pernikahan anak, dan akses pendidikan yang terbatas. Kesadaran ini mendorong individu dan komunitas untuk lebih peduli dan terlibat dalam isu-isu yang mempengaruhi kehidupan anak perempuan.
Peringatan ini juga berkontribusi pada pengembangan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan anak perempuan. Pemerintah telah mulai mengintegrasikan isu gender dalam kebijakan pembangunan. Hal ini terlihat dari upaya untuk memasukkan perspektif gender dalam program-program pemerintah. Pengarusutamaan Gender menjadi strategi penting dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan untuk memastikan bahwa hak-hak anak perempuan terpenuhi.
Hari Anak Perempuan Sedunia berperan dalam mengubah persepsi sosial tentang peran anak perempuan. Dengan menekankan pentingnya pendidikan dan pemberdayaan, masyarakat mulai melihat anak perempuan tidak hanya sebagai individu yang harus dilindungi, tetapi juga sebagai pemimpin masa depan. Ini menciptakan harapan baru bahwa anak perempuan dapat berkontribusi secara signifikan dalam berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, dan sosial.
Peringatan ini juga mendorong anak perempuan untuk mengenali potensi diri mereka. Dengan dukungan yang tepat dari keluarga dan masyarakat, mereka dapat mengembangkan keterampilan dan kepercayaan diri yang diperlukan untuk mengejar impian mereka. Hal ini berpotensi mengubah generasi mendatang menjadi lebih mandiri dan berdaya saing di berbagai aspek kehidupan.
Dalam kesimpulannya, perayaan Hari Anak Perempuan Sedunia tidak hanya meningkatkan kesadaran publik mengenai hak-hak anak perempuan tetapi juga mendorong perubahan kebijakan yang lebih baik serta transformasi sosial yang positif. Dengan dukungan berkelanjutan dari semua pihak, masa depan anak perempuan dapat lebih cerah dan penuh peluang. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Tingginya Angka Perkawinan Usia Anak di Indonesia”, id, 8 Maret 2024
- Psaki, S. R., McCarthy, K. J., & Mensch, B. S. (2018). Measuring gender equality in education: Lessons from trends in 43 countries. Population & Development Review, 44(1). https://www.youthpower.org/sites/default/files/YouthPower/resources/Measuring persen20Gender persen20Equalityin persen20Education persen20Lessons persen20fromTrends persen20in persen2043 persen20Countries.pdf
- Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2023). Parameter kesetaraan gender dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen hukum lainnya (Permen PPPA No. 6 Tahun 2023). Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
- Instruksi Presiden Republik Indonesia. (2000). Pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional (Inpres No. 9 Tahun 2000). Jakarta: Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.
- “International Day of the Girl Child 11 October”, United Nations
- “International Day of the Girl”, UNESCO
- “Girls’ education: Gender equality in education benefits every child.”, UNICEF
- “Child marriage”, UNICEF Data, Juni 2024
- “Violence Against Women & Girls”, World Bank Group
- “Convention on the Rights of the Child”, UNICEF
- “Human Rights Instriments: Convention on the Rights of the Child”, United Nations
- “Girls’ Education”, Room to Read, 2024
- “Advocacy: Opportunities, information and guidance on how to engage in sub-national, national, regional and global advocacy to end child marriage”, Girls Not Brides
Artikel terkait