Paparan Topik | Perlindungan Perempuan dan Anak

Jalan Panjang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan titik awal perjuangan melawan kekerasan seksual di Indonesia. Namun, perjalanan memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual masih panjang.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para aktivis perempuan berpelukan usai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022). DPR resmi mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022. Dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI, terdapat delapan fraksi yang menyetujui RUU TPKS. Sedangkan satu fraksi, yaitu F-PKS menolak pengesahan RUU TPKS dengan alasan menunggu pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Fakta Singkat

Kronologi UU TPKS
2012
Komnas Perempuan berinisiatif mendorong legislasi perlindungan kekerasan seksual.
2014
Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disusun.
2016
Penyerahan Draf ke DPR & Pemerintah.

2019
RUU PKS batal disahkan oleh DPR periode 2014-2019.
2020
Draf RUU PKS ditarik dari Prolegnas karena pandemi.
2021
Draf RUU PKS kembali masuk prolegnas. RUU PKS diubah menjadi RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).
2022
12 April 2022 UU TPKS disahkan.

Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pasal 4, ayat 1)

  • Pelecehan seksual nonfisik
  • Pelecehan seksual fisik
  • Pemaksaan kontrasepsi
  • Pemaksaan sterilisasi
  • Pemaksaan perkawinan
  • Penyiksaan seksual
  • Eksploitasi seksual
  • Perbudakan seksual
  • Kekerasan seksual berbasis elektronik

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada 12 April 2022. Peraturan ini mengatur sembilan TPKS, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain TPKS, UU ini juga mengatur 10 tindak pidana yang diatur dalam aturan perundang-undangan lain, seperti pemerkosaan dan perbuatan cabul. Menurut Guru Besar Hukum Pidana FH UGM (18/4/2022), Secara substansi UU ini memiliki keunggulan, antara lain, merujuk pada paradigma modern, mencakup 9 jenis TPKS, memberikan kepastian restitusi terhadap korban, dan mengatur hukum acara yang komprehensif.

Kompas, 13 April 2022, halaman 1.

Hampir dua tahun setelah diundangkan, UU TPKS dinilai tidak bertaring karena masih banyak kasus yang terjadi. Dalam talkshow bertema “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan, Mengenal UU TPKS No 12/2022” yang diselenggarakan IKA FH Unpad, berkolaborasi dengan Rumah Kebangsaan dan Harian Kompas, menyebutkan alasan korban kekerasan seksual enggan melaporkan ke pihak berwajib karena takut menjalani proses berbelit-belit, dan belum tentu mendapat keadilan (7/3/2024).

Dosen Fakultas Hukum Unpad, Nella Sumika Putri, menyampaikan pengalamannya menangani kasus, hal yang paling sulit adalah meyakinkan korban untuk melaporkan kejahatan seksual ke kepolisian. Selain itu, korban tidak yakin bukti yang disampaikan akan diterima karena kejadian yang dialami sudah terlalu lama. Situasi ini diperburuk dengan sejumlah oknum kepolisian yang menginterogasi korban seperti pelaku.

Aktivis Sely Martini, Ketua Yayasan Jaringan Relawan Independen (JaRI) memaparkan, kenyataan di lapangan kadang merugikan korban. Dalam salah satu kasus, korban perkosaan tidak mendapat visum dari pihak kepolisian karena tidak ada dokter pada hari Sabtu. Korban diminta datang pada hari Senin yang tentu saja bukti perkosaan sudah hilang. Situasi ini semakin memberatkan korban karena dokter yang bisa diterima hanya dari pihak kepolisian.

Kasus-kasus yang ada saat ini menunjukkan lemahnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terhadap UU No. 12/2022 tentang TPKS. Ketika ada kasus TPKS, belum semua pihak kepolisian menerapkan TPKS dengan dalih belum ada aturan pelaksanaanya, padahal pemberlakuan UU TPKS tidak perlu menunggu aturan pelaksana.

LITBANG KOMPAS/EREN MARSYUKRILLA

Dalam rangka Hari Perempuan Internasional, IKA FH Unpad bekerjasama dengan Rumah Kebangsaan dan Harian Kompas mengadakan diskusi bertemakan “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan” di Universitas Padjadjaran, Bandung (8/3/2024). Salah satu topik utama mengupas UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Jalan Panjang

Meski disahkan pada tahun 2022, perjuangan mewujudkan UU TPKS memakan waktu hingga 10 tahun. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menginisiasi RUU TPKS sejak 2012 yang awalnya bernama RUU PKS. Pembahasan RUU TPKS tidak langsung masuk di DPR. Draf RUU TPKS disusun pada tahun 2014 dan diserahkan ke DPR & pemerintah pada tahun 2016.

Momentum untuk segera diterbitkannya undang-undang kekerasan seksual terjadi pada November 2012, bertepatan dengan Hari Anti-kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati setiap tanggal 25 November. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan bersama sejumlah organisasi mitra melakukan rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKtP) di Indonesia.

Kampanye yang dilakukan serentak oleh 111 organisasi di 51 kabupaten di 22 provinsi ini menandakan peningkatan partisipasi publik. Pada tahun 2011 organisasi yang terlibat hanya 52, artinya pada tahun 2012 partisipasi publik meningkat 100 persen.

Peningkatan ini tak lepas dari meningkatnya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri mengatakan, perempuan korban kekerasan naik 13,2 persen dari data tahun 2010, yakni dari 105.103 orang menjadi 119.107 orang tahun 2011 (7/3/2012).

Ancaman kekerasan seksual tak lantas mereda begitu saja. Berbagai kasus kekerasan seksual terus terjadi dan semakin mendapat sorotan pemberitaan. Pada tahun 2014 muncul satu kasus kejahatan seksual terhadap anak atau murid TK JIS. Kasus ini cukup menggemparkan karena terjadi di sekolah swasta internasional yang seharusnya memiliki sistem keamanan tinggi.

Warga melintas di depan mural berisi seruan untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dibuat di tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2021). Berbagai elemen masyarakat terus menyuarakan urgensi pengesahan RUU TPKS melalui bermacam media seiring terus berulangnya kemunculan kasus kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dan anak-anak. FOTO: KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO.

Kasus di JIS semakin membuka mata, ancaman kekerasan seksual tak hanya untuk perempuan saja tetapi bisa terjadi kepada siapa saja dari anak hingga pria dewasa. Setelah kasus JIS, hingga akhir tahun 2014, kasus kekerasan seksual masih banyak terjadi, bahkan, dari sisi kuantitas dan kualitas, terjadi eskalasi. Ironisnya belum ada terobosan payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.

Situasi ini mendorong Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta dan berbagai organisasi perempuan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Perkosaan, RUU Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Peradilan Keluarga, serta Amandemen UU Perkawinan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 (25/11/2014)

Secara resmi naskah akademik dan draf Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) diserahkan ke badan legislatif oleh 70 anggota DPR yang diwakili Rieke Dyah Pitaloka pada 19 Mei 2016. Meski draft telah diserahkan kepada DPR dan Pemerintah pada tahun 2016, pengesahaan masih harus melewati jalan panjang. RUU PKS tak kunjung masuk prioritas meski sejak awal didesak untuk menjadi prioritas prolegnas.

Lebih dari dua tahun di tangan panitia kerja, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih berkutat pada rapat dengar pendapat umum. Para pakar atau perwakilan organisasi yang hadir memiliki suara terbelah. Ada yang setuju RUU itu dilanjutkan, tetapi juga ada yang tidak setuju. Alasannya, RUU tersebut masih diskriminatif karena lebih fokus kepada perempuan serta menggunakan paradigma feminis yang tidak sesuai norma di Indonesia.

Kata penghapusan dalam UU PKS juga menjadi sorotan. Meski setuju pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dilanjutkan, saat menjadi undang-undang namanya harus diganti menjadi UU Kekerasan Seksual, UU Tindak Pidana Kejahatan Seksual, atau nama lain yang tidak menggunakan kata ”penghapusan”. Segala perdebatan ini pada akhirnya tak berarti. Hingga masa kerja DPR periode 2014-2019 habis, RUU PKS tak kunjung disahkan. DPR gagal memenuhi janji.

KOMPAS/PRIYOMBODO
Aktivis perempuan membentangkan poster protes saat aksi memperingati hari ibu di depan gedung DPR, Jakarta Pusat, Rabu (22/12/2021). Mereka menuntut pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS.

Pengesahan UU TPKS

Memasuki masa kerja baru, Rapat Kerja Komisi VIII DPR dan Komisi VIII DPR dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU PKS (13/11/2019). Pembahasan RUU tersebut disepakati tidak dimulai dari awal, tetapi melanjutkan proses pembahasan yang sudah dilakukan oleh Komisi VIII DPR dengan pemerintah pada tahun 2019.

Kurang dari enam bulan pemerintahan berjalan, pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Sebanyak 16 rancangan undang-undang ditarik dari Prolegnas 2020 karena pandemi termasuk RUU PKS. Komnas Perempuan menyesalkan penarikan RUU PKS karena akan menambah lama upaya pemenuhan keadilan bagi korban kekerasan seksual. RUU PKS dinilai krusial karena dari pemantauan Komnas Perempuan, sepanjang 2011-2019, tercatat ada 46.698 kasus kekerasan seksual di ranah personal atau publik terhadap perempuan.

Setelah mendapat sorotan publik, RUU PKS kembali masuk dalam prolegnas 2021. Badan Legislasi DPR kembali menyusun ulang draf RUU PKS dengan mendengarkan masukan dan pendapat ahli, serta masyarakat umum pada 12 Juli 2021. Proses legislasi RUU PKS kembali mengalami tarik ulur.

Menurut Taufik Basari, anggota Baleg DPR, permasalahan RUU PKS tak kunjung usai karena  kesalahpahaman atas RUU ini. Selama ini RUU PKS didorong dan dikampanyekan gerakan perempuan, sehingga muncul narasi-narasi yang dibangun oleh kelompok tertentu. Sejumlah pihak ada yang merasa terganggu dengan apa yang selama ini diperjuangkan oleh kelompok tersebut, seperti keadilan jender, hak-hak perempuan, melawan patriarki, dan hak asasi manusia (21/7/2021).

Setelah menerima masukan dari sekitar 100 kelompok masyarakat, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Baleg DPR segera menyelesaikan penyusunan RUU itu. Nama PKS berubah menjadi TPKS. Ketua Panja RUU TPKS Baleg DPR, Willy Aditya menegaskan, nama TPKS merupakan jalan tengah. DPR memandang fenomena gunung es kekerasan seksual harus dijawab dengan kehadiran UU TPKS (15/11/2021).

Awal tahun 2022 Presiden Joko Widodo mendorong jajarannya mempercepat pengesahan RUU TPKS yang belum juga disetujui DPR sejak 2016. Presiden menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati berkoordinasi serta berkonsultasi dengan DPR.

Anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022). DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebaga RUU Insiatif DPR dan RUU Ibu Kota Negara menjadi Undang-undang. FOTO: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pembahasan RUU TPKS mengalami kemajuan signifikan setelah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR. Keputusan mengenai persetujuan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR dilakukan dalam rapat paripurna, di Jakarta. Dari sembilan fraksi di DPR, hanya satu fraksi yang menyatakan tak setuju terhadap RUU TPKS, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (18/1/2022).

Menjelang disahkan, RUU TPKS dibahas secara maraton oleh DPR mulai dari tanggal 28 Maret 2022 hingga 4 April 2022. Panitia Kerja RUU TPKS dan pemerintah membahas satu per satu daftar inventarisasi masalah RUU TPKS yang telah disusun. Pada 6 April 2022, Badan Legislasi DPR menyetujui RUU TPKS disahkan sebagai UU. Menurut Sri Nurherwati, komisioner Komnas Perempuan 2010-2014 dan 2014-2019, meski sama-sama dibahas di tingkat Panja, pada tahun 2019 pembahasan RUU TPKS sarat manuver politik.

Momen pengesahan UU TPKS pada 12 April 2022 berlangsung haru. Sejumlah anggota DPR berdiri di tempat duduk dan bertepuk tangan saat Ketua DPR Puan Maharani mengetuk palu sidang sebagai tanda persetujuan atas UU TPKS. Para aktivis masyarakat sipil bertepuk tangan dan bersorak dari balkon. Sebagian menangis dan berpelukan saat mendengar UU TPKS disahkan.

Tanggal 12 April 2022 menjadi momen bersejarah pergerakan perempuan Tanah Air. Perjuangan menghadirkan UU TPKS telah dimulai lebih dari satu dekade sejak 2012. Pengesahan RUU TPKS merupakan terobosan karena pengaturan hukum acara yang komprehensif, serta pengakuan dan jaminan hak korban.

Indonesia akhirnya memiliki regulasi yang mengatur pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual. Namun, UU TPKS menyisakan pekerjaan rumah karena tindak pidana pemerkosaan tak diatur di UU TPKS. Selain itu, implementasi UU TPKS masih perlu pengawalan bersama. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • Perempuan Jadi Korban Kekerasan. Kompas, 11 Januari 2012, hlm. 25.
  • Naik, Kasus Kekerasan terhadap Perempuan. Kompas, 8 Maret 2012, hlm. 12.
  • Terobosan Hukum Ditunggu. Kompas, 26 November 2014, hlm. 12.
  • RUU Anti Kekerasan Seksual Tak Diprioritaskan. Kompas, 14 Februari 2015, hlm. 12.
  • Ditetapkan sebagai Inisiatif DPR. Kompas Web, 25 Mei 2016.
  • Kekerasan Seksual Pun Jadi Perbincangan di DPR. Kompas, 6 Februari 2018, hlm. 12.
  • Undang-Undang Ditunggu. Kompas, 19 November 2018, hlm. 13.
  • Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Dilanjutkan. Kompas, 14 November 2019, hlm. 8.
  • Perlindungan Perempuan: Penyusunan Regulasi Terkatung-katung. Kompas, 27 Juni 2020, hlm. 5.
  • DPR Turunkan Target Prolegnas karena Pandemi. Kompas, 1 Juli 2020, hlm. 2.
  • Basis Evaluasi Dipertanyakan. Kompas, 3 Juli 2020, hlm. 2.
  • Waktu Terbatas, Prioritaskan Pembahasan RUU Krusial. Kompas, 24 Maret 2021, hlm. 2.
  • DPR Susun Ulang Draf RUU PKS. Kompas, 13 Juli 2021, hlm. 4.
  • Tarik Ulur karena Pertarungan Ideologi. Kompas, 22 Juli 2021, hlm. 4.
  • Pengesahan RUU TPKS Dipercepat. Kompas, 5 Januari 2022, hlm. 1.
  • Tajuk Rencana: Mengawal RUU TPKS. Kompas, 6 Januari 2022, hlm. 6.
  • Sahkan RUU TPKS. Kompas, 15 Januari 2022, hlm. 5.
  • Bahas Cepat RUU TPKS. Kompas, 19 Januari 2022, hlm. 15.
  • Daftar Inventarisasi Masalah Dibahas Maraton. Kompas, 29 Maret 2022, hlm. 5.
  • Sepekan untuk RUU TPKS. Kompas, 4 April 2022, hlm. 10.
  • Tonggak Awal Stop Kekerasan Seksual. Kompas, 13 April 2022, hlm. 1.
  • Tajuk Rencana: Perlindungan dari Kekerasan Seksual. Kompas, 14 April 2022, hlm. 6.
  • Soal Pemerkosaan Masih Menyisakan Pertanyaan. Kompas, 16 April 2022, hlm. 5.
  • Dari Senayan, Mereka Perjuangkan RUU TPKS. Kompas, 9 Mei 2022, hlm. 8.
  • Teror Kekerasan Seksual Mengincar Anak di Tempat Umum. Kompas, 6 Juli 2022, hlm. D.
  • Sulitnya Menjerat Pelaku Kekerasan Seksual. Kompas, 12 Juli 2022, hlm.
Internet
  • https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/03/12/uu-tpks-hampir-2-tahun-diundangkan-peraturan-pelaksana-tak-kunjung-rampung
  • https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/17/keunggulan-undang-undang-tindak-pidana-kekerasan-seksual
  • https://komnasperempuan.go.id/kabar-perempuan-detail/ketua-dpr-ri-undang-komnas-perempuan-dan-jaringan-masyarakat-sipil-apresiasi-perjuangan-bersama-pengesahan-uu-tpks