Paparan Topik | Perlindungan Perempuan dan Anak

Perlindungan Perempuan dan Ancaman Kekerasan Seksual

Perlindungan terhadap perempuan kembali menjadi topik perbincangan publik. Sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terungkap setelah sejumlah korban berani melapor. Selama ini banyak kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan menjadi kasus yang terpendam.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Beragam sepatu diletakan di depan gerbang Gedung DPR, Senayan, Jakarta, dalam aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Rabu (25/11/2020). Aksi tersebut merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Komnas Perempuan mendesak legislatif untuk menjadikan RUU PKS yang menjadi payung hukum bagi korban Kekerasan Seksual agar masuk dalam Prolegnas 2021.

Fakta Singkat

  • Konvensi CEDAW tahun 1979 atau ICEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) adalah sebuah Kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan .
  • Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW dengan UU No. 7 Tahun 1984
  • Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual  kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tentang pencegahan, penanganan dan perlindungan hak korban kekerasan seksual sejak 2014 hingga sekarang belum selesai.

Bagi seorang penyintas kekerasan seksual apalagi hingga mengalami perkosaan maka dalam hidupnya akan dibayangi trauma kejiwaan yang sangat dalam.

Definisi kekerasan seksual atau sexual abuse dalam kamus Collins adalah perbuatan memaksa yang berkaitan dengan seksual pada anak atau seseorang hingga menimbulkan penderitaan (fisik dan jiwa).

Menurut Rancangan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Dalam draf RUU PKS, kekerasan seksual  ada  sembilan jenis yaitu pelecehan seksual,  pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Sedangkan dalam draf RUU TPKS bentuk kekerasan hanya empat: pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual dan eksploitasi seksual.

Melihat tren angka Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) Komnas Perempuan 2015-2019 jelas kekerasan pada perempuan terus meningkat, walaupun tampak turun di tahun 2020. Pada tahun 2020 laporan tahunan dari mitra Komnas Perempuan yang masuk hanya 16 persen dari 757 formulir yang dikirimkan oleh Komnas Perempuan.

Hal ini berdampak pada menurunnya angka kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP), sehingga jumlah kasus menurun 20 persen dari tahun sebelumnya.

Penurunan kasus ini karena di masa pandemi korban tidak berani melapor karena dekat dengan pelaku selama pandemi (PSBB), kemudian korban cenderung hanya bicara pada keluarga atau diam. Kemudian ada soal literasi teknologi dan model layanan yang belum siap dengan perubahan situasi selama pandemi, misalnya pengadilan membatasi layanan dan membatasi proses persidangan.

Dalam membicarakan kekerasan maka ruang atau ranah tempat kejadian penting untuk dibicarakan karena akan lebih mudah melacak pelaku. Komnas Perempuan membagi ranah yaitu:

  • Ranah personal/privat, artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, dan kakek) atau kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.
  • Ranah publik/komunitas jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, temanguru, tetangga, teman kerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
  • Ranah negara, artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Termasuk didalamnya di rnah neara ketika terjadi periatiwa kekerasan, apaat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan ata justru membiarkan kekerasan itu berlanjut.

Data Kekerasan terhadap perempuan

Dari laporan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2021 disebutkan pada tahun 2020  terdapat 8.234 kasus kekerasan, kekerasan seksual sebanyak 962 kasus di ranah publik dan 1.983 di ruang pribadi atau keluarga. Ranah personal atau disebut dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)  paling menonjol atau paling besar yaitu 79 persen (6.480) di dalamnya ada Kekerasan Terhadap Istri menempati peringkat pertama (50 persen), disusul dengan kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20 persen) kemudian ada kekerasan terhadap anak perempuan 954 (15 persen) kasus.

Yang perlu dikritisi adalah data perkawinan anak di masa pendemi yang meningkat tiga kali lipat. Tahun 2019 hanya 23.126 ternyata naik tajam tahun 2020 yaitu 64.211, tampaknya persoalan ekonomi mendesak orangtua menikahkan anaknya di usia muda.

Sedangkan di tahun 2018 kekerasan seksual di ruang privat atau ruang keluarga terjadi inses sebanyak 1.071 kasus dengan perkosaan sebanyak 818 kasus, pencabulan 321 kasus, tetapi  hanya 10 persen yang dilaporkan ke polisi dan hanya 11 persen yang dibawa ke proses pengadilan.

Pelaku kekerasan seksual kasus inses adalah kasus kekerasan yang sangat berat, korban mengalami ketidakberdayaan karena harus berhadapan dengan ayah atau keluarga sendiri. Umumnya kasus inses ini berlangsung lama karena enggan membuka aib keluarga yang dapat mengakibatkan konflik atau perpecahan perkawinan.  Sehingga kasus inses menjadikan korban mengalami kerentanan berlapis, apalagi seringkali korbannya adalah penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan untuk mengkomunikasikan yang terjadi padanya.

Dampak Kekerasan Seksual

Setiap orang yang mengalami kekerasan seksual akan mengalami trauma pasca kejadian,  yang dikenal dengan Post Trauma Syndrom Disorder, antara lain seperti :

  • Melukai diri sendiri sebagai bentuk melepaskan “tekanan emosional”
  • Infeksi menular seksual
  • Penyalahgunaan obat obatan terlarang
  • Disosiasi; adalah mekanisme pertahanan diri dengan cara memisahkan memori dari keadaan diri yang sekarang. Perilaku ini memicu gangguan kepribadian pada diri penyintas
  • Serang panik: yaitu munculnya ketakutan dan kecemasan yang intens terjadi dalam situasi ketika tidak ada bahaya langsung.
  • Gangguan makan: kekerasan seksual dapat berpengaruh pada penyintas dalam banya cara termasuk persepsi tubuh dan perasaan kontrol diri saat makan
  • Gangguan tidur: kesulitan tidur, tidur pada waktu yang tidak biasa lebih lama atau lebih singkat dari biasanya. Bahkan, penyintas dapat dihantui oleh mimpi mimpi buruk karena kecemasan pasca kejadian
  • Bunuh diri: meskipun pikiran bunuh diri tidak permanen tetapi hal itu sangat menggangu fokus pada kehidupan penyintas
  • Anxiety Disorder, gangguan kecemasan yang tidak terkontrol hingga berujung pada ketakutan tanpa sebab, misalnya cemas ada situasi sosial, sering panik dan rasa takut yang tidak wajar.

Selain gangguan kesehatan mental atau mental issue, korban kekerasan seksual juga akan terganggu kehidupan sosialnya, terkadang mereka dikucilkan  oleh masyarakat bahkan kehilangan kesempatan untuk berkembang. Bagi seorang penyintas kekerasan seksual apalagi hingga perkosaan maka hidup baginya tidak sama lagi karena trauma kejiwaan yang sangat dalam. Dampak lanjutan dari trauma yang besar itu membuat penyintas memiliki kepribadian yang rapuh dan labil hingga pada akhirnya mengganggu kehidupan selanjutnya seperti pendidikan, karir bahkan relasi personal dengan pasangan.

Kendala, Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual

Angka kasus kekerasan domestik termasuk kekerasan seksual yang terlihat lebih rendah dari yang lain lebih disebabkan keluarga enggan melaporkan karena situasi pandemi Covid-19 selain karena kesulitan mengakses layanan. Apalagi kasus kekerasan seksual mengandung stigma yang berat bagi keluarga, karena terkadang masyarakat tidak berpihak pada korban dan menyalahkan korban atau bahkan tidak mau menerima kenyataan telah terjadi kekerasan seksual ada di lingkungan mereka.

Dalam catatan Komnas HAM, korban kekerasan seksual  membutuhkan beberapa yang sangat mendasar yaitu pendampingan hukum, psikolog, bantuan psikis, tenaga medis dan polisi perempuan, serta rumah aman.

  • Masih minim fasilitas ruang khusus periksa dan rumah aman karena korban kekerasan seksual membutuhkan privasi dan penyelamatan diri.
  • Masih kurang psikolog dan tenaga medis serta polisi perempuan, karena korban kekerasan seksual sangat membutuhkan tenaga yang memahami perempuan korban kekerasan serta dapat membuat nyaman.

Untuk mengantisipasi dan menangani kasus kekerasan pada perempuan di dunia PBB  menyetujui Konvensi mengenai Penghapusan  Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Against Women) pada 18 Desember 1979.  Indonesia menandatangani Konvensi tersebut pada 29 Juli 1980.

Demi menunjukan keseriusannya menghadapi kekerasan  Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) tersebut dengan  membuat Undang-undang No 7 Tahun 1984 pada  tanggal 24 Juli 1984, yaitu Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Indonesia telah terikat  dengan Konvensi CEDAW tersebut maka Indonesia akan berpartisipasi aktif  dalam mencegah dan menangani masalah kekerasan pada perempuan.

Keberadaan UU No 7. Tahun 1984 itu tidak mampu untuk mencegah ataupun melakukan tindakan hukum pada pelaku kekerasan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan telah lama tetapi perempuan korban kekerasan belum cukup kuat hingga tuntutan untuk melindungi kekerasan khususnya kekerasan seksual. Komnas Perempuan menginisiasi embrio Rancangan Undang-undang untuk mencegah dan menangani  khusus kekerasan seksual yang makin menggejala tahun 2010.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pawai akbar yang diinisiasi Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyusuri Jalan Medan Merdeka Barat menuju ke Taman Aspirasi di depan Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (8/12/2018). Pawai ini sebagai bentuk desakan kepada DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sejak 2014, Indonesia sudah pada status darurat kekerasan seksual.

Rancangan undang undang yang sangat ditunggu dan diharapkan akan mendorong  penyelesaian kasus kekerasan seksual dan mencegah tindakan kekerasan seksual sudah lama terbentuk yaitu Draft RUU PKS (Pencegahan Kekerasan Seksual) sejak 2014. RUU ini mencakup tentang jenis kekerasan seksual, pencegahan, pemenuhan hak korban dan pemulihan korban hingga mengatur penanganan selama proses hukum.

Draft RUU PKS adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual dan menindak pelaku.

Bagian yang menjadi kontroversial bagi kelompok yang menolak RUU TPKS yaitu : Kekerasan Seksual  meliputi peristiwa Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik dan situasi khusus lainnya.

Parpol yang menolak RUU TPKS menuduh RUU ini melegalkan seks bebas karena berpegang pada sexual consent. Sexual consent menempatkan laki laki dan perempuan dalam hubungan setara, saling menghormati, tidak dalam keadaan tertekan atau takut.  Namun, Kelompok yang menolak RUU PKS di parlemen justru berkeyakinan bahwa perempuan tidak boleh menolak ajakan suami berhubungan seks kapanpun suami memintanya. Oleh karena itu bagi kelompok yang kontra RUU PKS menolak konteks kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal dan rumah tangga.

Selama ini sudah ada undang-undang yang digunakan untuk  kekerasan pada perempuan yaitu Undang-­Undang No 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan

  Kekerasan terhadap perempuan Kekerasan seksual berdasar lingkungan kejadian
Tahun Ranah pribadi (keluarga) Ranah publik
2020 299.911 1.983 962
2019 431.471 2.807 2.091
2018 406.178 2.988 2.521
2017 348.446 2.979 3.528

Sumber : Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2018-2021

Negara menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertangungjawab terhadap anak dan negara mengawasi perlindungan anak.

Harapan dan optimisme muncul  dengan hadirnya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi adalah upaya pemerintah untuk menjamin hak warga negara mendapatkan pendidikan tinggi yang aman dan nyaman.

Permendikbud ini menjadi perangkat bagi perguruan tinggi untuk merespon dengan cepat dan tepat kasus kekerasan seksual,  karena perguruan tinggi wajib membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dipimpin oleh pimpinan perguruan tinggi. Satuan Tugas ini terdiri dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dan anggotanya berjumlah gasal minimal lima orang.

Selain itu Satuan Tugas harus menerima kasus kekerasan seksual dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam prosedur yaitu penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, pemulihan, dan tindakan untuk mencegah terulang kembali. Dan jika tidak terbukti terjadi kekerasan seksual Satuan Tugas bertugas memulihkan nama baik Terlapor.

Kekerasan Terhadap Perempuan 2015 – 2019

Tahun Jumlah
2019 431.471
2018 406.178
2017 348.446
2016 259.150
2015 321.752

Sumber : Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, diolah Litbang Kompas/UMI.

Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual maka pimpinan perguruan tinggi wajib untuk melakukan pemantauan dan evaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dilaksanakan oleh Satuan Tugas, kemudian hasilnya  dilaporkan pada Menteri. Jika perguruan tinggi tidak bersedia membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual maka bisa saja akreditasi Kampus tersebut turun.

Optimisme akan pencegahan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual juga datang dari Kementrian Agama yang telah menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). SK Kemenag ini diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk pencegahan dan penanganan  kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di bawah koordinasi  kementrian agama.

Namun demikian, RUU PKS yang kemudian menjadi RUU TPKS ini telah melewati waktu yang panjang sejak tahun 2014 tetapi tarik ulur kepentingan dalam parlemen menyebabkan hingga saat ini masih dalam proses merampungkan draft di Badan Legislasi DPR. (Panja Finalisasi Draf RUU TPKS, Kompas, 16/11/2021)

Dalam laporan berkala ke-8 Indonesia dan list of issues (LOI) tentang implementasi komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan sepanjang 2012-2018 menghasilkan rekomendasi dari Komite CEDAW yaitu agar Indonesia segera mengadopsi dan mengesahkan sejumlah RUU dan perubahan UU terkait yang direkomendasikan sejak 10  tahun lalu untuk melindungi perempuan dari diskriminasi. RUU itu meliputi antara lain RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Revisi UU Perkawinan dan RUU KUHP.

Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan seperti puncak gunung es yang sangat dingin dan sulit terpecahkan akar masalahnya, bahkan korban menjadi “silent victim” karena tidak adanya perlindungan hukum yang memadai. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Masa Pandemi, Kompas, 24 Mei 2021

Panja Finalisasi Draf RUU TPKS, Kompas, Selasa, 16 Nov 2021

Aturan
  • Undang-undang No 7 Tahun 1984 tanggal 24 Juli 1984; Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
  • Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa mengeluarkan Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) 1980
  • Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
  • Undang-­Undang No 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak,