Paparan Topik | Perkotaan

Ruang Kota: Sejarah, Bentuk, dan Peradaban yang Tumbuh

Kelahiran sebuah kota mencakup latar belakang waktu, transisi, migrasi manusia, dan pergantian era pemerintahan. Sesuai nilai historis dan peradabannya yang terus tumbuh, kota menghadirkan karakter, harapan, dan keunikan tersendiri.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto aerial lalu lintas lengang di jalan tol dalam kota dan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (10/4/2020).

Fakta Singkat

  • Menurut KBBI, ciri utama kota adalah:
  1. kehadiran fasilitas modern
  2. ruang yang terbatas
  3. kepadatan tinggi
  • Kelahiran kota dimulai dari nenek moyang manusia yang mulai membangun tradisi hidup menetap 10.000 tahun yang lalu.
  • Pada awalnya, kelahiran kota selaras dengan perkembangan jejak agrikultur manusia
  • Dalam revolusi pertanian, manusia mulai menghasilkan pemukiman-pemukiman permanen.
  • Akibat revolusi industri, kota melepaskan nuansa agrikultur dan mulai menjadi pusat industri berbasis mesin.
  • Kelahiran kota di Indonesia terbagi dalam empat periodisasi:
    • kota kuno
    • kota tradisional
    • kota kolonial
    • kota modern
  • Siap periodisasi menghasilkan karakter kota dan warisannya sendiri bagi kota-kota masa kini.
  • Perkembangan pesat kota di Indonesia meningkat pada 1970-an seiring masifnya urbanisasi.
  • Menurut data BPS penduduk kota di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 100 juta jiwa.

Artikel terkait

Keberadaan dan eksistensi pergerakan ekonomi suatu kota sangat erat kaitannya dengan penduduk yang berdomisili di kota tersebit. Sebagai contoh, situasi suatu kota yang ditinggalkan penduduknya pada fenomena mudik lebaran. Jalan-jalan di kawasan Jakarta, misalnya, tampak relatif jauh lebih lengang dibandingkan hari-hari biasa. Kondisi ini disebabkan sebagian besar masyarakat Ibu Kota yang mudik ke kampung halaman. Lebih dari 60 persen masyarakat Jakarta melakukan mudik.

Sementara itu di Kota Surabaya pada beberapa hari setelah lebaran, misalnya, kondisi lalu lintas terpantau masih lancar. Sedikit berbeda dengan karakter mudik masyarakat Jabodetabek, pemudik dari Surabaya biasa hanya melakukan mudik lokal. Meski begitu, ruas-ruas jalannya masih terpantau sepi akibat momen libur cuti bersama sekaligus lebaran.

Sepinya kedua kota bisnis terbesar di Indonesia semasa lebaran tersebut sama-sama diakibatkan oleh tingginya tingkat pemudik yang pulang ke kampung halaman. Kondisi demikian sekaligus menunjukkan bahwa pendatang menjadi kelompok dominan sebagai penduduk di kota-kota besar ini. Realita demikian disebabkan oleh mobilitas penduduk dalam wujud urbanisasi yang mendorong terisinya ruang kota oleh masyarakat dari berbagai daerah.

Gumilar R. Somantri dalam artikel “Kajian Sosiologis Fenomena Mudik” menuliskan bahwa arus pendatang mengisi kota-kota besar di Indonesia telah terjadi setidaknya sejak tahun 1970-an. Sejak masa tersebut, kota telah menjadi magnet menarik bagi kepastian ekonomi dan perubahan nasib bagi masyarakat Indonesia. Sejak masa tersebut, ruang kota telah memancarkan nilai sebagai ruang kesempatan yang menjanjikan. Ruang kota telah menjadi ruang yang memancarkan harapan perubahan ekonomi dan nasib.

Simak video: Sejarah Jakarta, Kota yang Banjir sejak Lahir

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lalu lintas padar di tol dalam kota dan jalan protokol Gatot Subroto di Jakarta Selatan, Senin (8/6/2020) pukul 17.45 WIB. Hasil pemantauan Kepolisian Daerah Metro Jaya, kepadatan lalu lintas meningkat di sejumlah titik di Jalan Tol Dalam Kota bertepatan dengan dimulainya pelonggaran pembatasan sejumlah sektor, termasuk perkantoran. Kepastian untuk tanggal 12 hingga seterusnya menunggu hasil evaluasi bersama Dinas Perhubungan DKI.

Apa itu ruang kota?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kota didefinisikan sebagai “Daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat”. Selain itu, dalam definisi keduanya kota adalah “daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian.”

Melalui definisi tersebut, setidaknya dapat diperoleh tiga ciri dari kota dalam konteks kebahasaan Indonesia. Pertama, kota memiliki penduduk dengan kepadatan yang tinggi. Kepadatan dalam konteks ini tidak hanya mengacu pada kuantitas penduduknya. Di dalamnya juga terkandung makna kapasitas ruang spasial yang terbatas dalam menampung penduduk.

Kedua, ciri kota adalah fasilitasnya yang sesuai dengan kemajuan zaman atau modern. Sedangkan yang ketiga merujuk pada mata pencaharian atau lapangan kerja penduduk kota. Tidak seperti di desa, pekerjaan penduduk kota lebih beragam di luar sektor pertanian.

Meski begitu, ciri demikian tidak sepenuhnya benar bagi Sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto. Dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar, Soekanto menyebutkan bahwa mendefinisikan tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi sebagai perwujudan masyarakat kota adalah hal yang “kurang benar”. Menurutnya, terdapat banyak pula contoh ruang spasial dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi tetapi tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat perkotaan.

Sebagai gantinya, Soekanto memasukkan kategori “keperluan hidup” sebagai ciri utama masyarakat di ruang kota dan pembedanya dengan ekosistem desa. Dalam merumuskan ciri ini, ia membandingkannya dengan masyarakat di desa. Keperluan hidup dalam kacamata masyarakat desa dipandang sebagai keperluan utama. Masyarakat di desa memandang baju dan celana semata dalam fungsi sebagai pakaian. Begitu juga makanan dipandang sebagai kebutuhan untuk konsumsi dan rumah untuk berlindung. Pemenuhan keperluan dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan hidup.

Sementara itu ruang kota memiliki karakter masyarakatnya sendiri. Masyarakat kota memandang keperluan hidup tidak semata dalam konteks pemenuhan kebutuhan. Lebih daripada itu, mereka memiliki standar dan nilai tersendiri. Dicontohkan Soekanto, kebutuhan seperti makanan harus memiliki tampak mewah, apalagi bila dihidangkan untuk tamu. Tujuannya adalah untuk mencapai kesan sosial yang baik. Begitu juga untuk baju yang dikenakan di mana tidak semata dipandang sebagai fungsi pakaian. Baju menjadi simbol kedudukan sosial penggunanya.

Pada akhirnya, pemahaman Soekanto menunjukkan bahwa kota merupakan ruang dengan nuansa politik citra diri dan budaya konsumerisme yang lekat. Standar dan tuntutan hidup dibangun oleh sistem sosial-masyarakatnya yang konsumeristik. Dalam lingkup kota, masyarakat memandang usaha pemenuhan keperluan hidup sebagai kebutuhan sosial.

Edward L. Ullman dan Chauncy D. Harris, dua akademisi urban geografis dari Amerika Serikat, mendefinisikan kota sebagai ruang spasial yang ditujukan bagi pusat pemukiman dan pemanfaatan bumi oleh manusia. Kehadiran kota menjadi perwujudan dari keunggulan manusia dalam mengekploitasi bumi. Hal ini tampak dari pertumbuhannya yang masif, cepat, dan luas.

Namun dalam pendefinisian tersebut, Ullman dan Harris juga menyoroti bahwa pada titik inilah terdapat paradoks kota, yakni masifnya eksploitasi itu sendiri melahirkan lingkungan miskin kota bagi para penduduknya. Yang perlu diperhatikan, menurut keduanya, adalah bagaimana membangun kota-kota baru di masa mendatang untuk menciptakan ruang yang berkeadilan, konsentrasi pemikiman yang sehat, dan paling penting untuk setidaknya meminimalisir kerugian dari kehadiran kota itu sendiri.

Galeri Foto: Sisa Sejarah Kota di Puing Kota Lama Kendari

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sejumlah pengendara sepeda motor melewati Jalan Tol Jakarta-Tangerang arah Tomang, Jakarta Barat, Selasa (25/2/2020). Banjir yang terjadi di sejumlah wilayah di Jakarta menyebabkan lalu lintas terganggu dan memperparah kemacetan di sejumlah jalan.

Sejarah Ruang Kota dunia

Kehadiran ruang kota dan karakternya dalam konteks historis tidak terlepas dari evolusi perubahan manusia. Kehadiran kota tidak semata merupakan hasil dari paradigma arsitektur peradaban maupun determinasi dimensi ekonomi masyarakat. Pertama sekali sebelum memasuki masa kelahiran kota, kajian historis harus terlebih dahulu ditarik pada periode perubahan gaya hidup umat manusia.

Pada 10.000 tahun silam, para nenek-moyang manusia mengalami apa yang disebut sebagai Revolusi Pertanian. Istilah ini digunakan oleh sejarawan Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia sebagai konsep domestikasi hewan dan tumbuhan. Sebelum revolusi ini terjadi, manusia merupakan mahluk nomaden. Mereka melakukan usaha bertahan hidup dan mencari makanan dengan cara mengumpulkan tumbuhan dan berburu hewan liar (food-gathering). Harari mencatat cara demikian dilakukan nenek moyang manusia selama setidaknya 2,5 juta tahun.

Semua mulai berubah dalam periode 10.000 tahun silam, ketika manusia telah menyebar ke penjuru Timur Tengah, Eropa, Asia, hingga Amerika dan Australia. Manusia mulai mengenal dan mengembangkan kemampuan untuk “memanipulasi segelintir spesies hewan dan tumbuhan”. Mereka mulai membudidayakan ternak dan tumbuhan gandum. Dengan tradisi ini, manusia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menetap di lahan yang digarapnya dengan tugas-tugas baru: mengairi ladang, mencabuti tumbuhan liar, hingga memberi makan dan menjaga ternak. Bersamaan dengan tugas-tugas baru tersebut, manusia meninggalkan tradisi nomadennya, tinggal menetap, dan menjadi petani.

Kehidupan penetapnya mendorong manusia untuk membangun rumah yang tetap. Kehidupan kolektif mereka, yang tadinya hidup dan berpindah secara berkelompok, mulai tergantikan oleh pemukiman permanen. Kemunculan desa perani, sebagai wujud ruang manusia yang telah hidup menetap, ditemukan setidaknya sejak 12.500 SM sampai 9.500 SM di Timur Tengah.

Revolusi pertanian telah memberikan kepastian terhadap ketersediaan pangan dan gizi dalam kehidupan manusia. Di sisi lain, kehadiran pemukiman permanen dan kehidupan menetap melancarkan kelahiran manusia-manusia baru. Keduanya menjadi pendorong bagi ledakan populasi manusia sekaligus perluasan pemukiman-pemukiman awal.

Selaras dengan Harari, Robert R. Dunn dalam artikel “The History and Future of The Wild Life in Cities” juga menyoroti kelahiran pemukiman, secara khusus kota, selaras dengan perkembangan ilmu dan kemampuan agrikultur manusia. Agrikultur dipandang sebagai puncak revolusi umat manusia dalam “mengatasi” alam. Walaupun penjabaran secara historisnya jauh lebih kompleks dan membutuhkan elaborasi yang panjang, Dunn menuliskan hubungan kelahiran kota dengan pertanian dalam kalimat singkat “humans invented agriculture, then they invented cities”. Dalam konteks periode tersebut, pemukiman dan akhirnya urbanisasi mengikuti alur pertumbuhan pertanian. Masa awal peradaban kota juga disertai dengan pertumbuhan ketidaksetaraan sosial, kemunculan penyakit-penyakit baru, dan permasalahan sosial lainnya.

Purnawan Basundoro dalam artikel ilmiah “Dari Kampung Desa ke Kampung Kota” menuliskan bahwa kelahiran desa-desa menjadi bagian penting dalam asal-usul kota, sebab tiap kehadiran kota berawal dari desa dan tidak ada satupun kota yang lahir dengan tiba-tiba. Menggunakan perspektif evolusionis, Basundoro menekankan bahwa kelahiran kota terjadi secara berangsur-angsur dengan berangkat dari dari wilayah pedesaan.

Ia mengutip Lewis Mumford, salah satu pemikir dalam perspektif evolusionis, yang merumuskan bahwa terbentuknya kota melalui setidaknya enam tahap perkembangan. Mulai dari tahap eopolis (kota yang baru berdiri) hingga nekropolis (kota yang telah menjadi bangkai alias telah runtuh). Dalam tahapan-tahapan tersebut, kelahiran kota bersamaan dengan proses perubahan pada tatanan ekologi, secara khusus dari ekologi pedesaan ke perkotaan.

Kembali merujuk pada Dunn, kota-kota besar pertama muncul paling lambat 5.000 tahun yang lalu. Kota kuno Uruk misalnya, yang terletak di Sumeria (kini Irak), diperkirakan telah dipadati oleh setidaknya 50.000 penduduk pada tahun 2030 SM merupakan jumlah yang sangat besar dalam konteks masa tersebut. Kemunculan kota kuno Uruk kemudian juga diikuti oleh kemunculan kota-kota klasik lainnya, seperti Kota Roma kuno di Eropa, Kota Baghdad di Timur Tengah, hingga Kota Manchu di Asia.

Dalam pemahaman pada konteks periode tersebut, definisi kota lebih mengacu pada ekosistem kompleks dengan kehadiran jumlah penduduk yang masif. Di dalam kompleksitas tersebut, mulai tercipta tunas-tunas dari aturan pemerintah dan permasalahan sosial masa kini. Kota pada masa tersebut mulai mewujudkan karakteristiknya sebagai ruang bagi bertemunya beragam jenis manusia dari berbagai daerah. Karakteristik utamanya adalah adalah tingkat kepadatan yang tinggi.

Dunn menekankan pentingnya memahami dan mempelajari wujud kota kuno seperti Uruk. Studi terhadapnya relevan karena kota-kota ini menjadi akar dari perwujudan banyak kota modern masa kini. Ia mengambil contoh Kota Roma modern yang berdiri terbentang di atas Kota Roma kuno. Kota-kota kuno telah memberikan akar bagi budaya, perilaku manusia, karakter geografis, hingga komposisi kependudukan bagi kota modern.

Kelahiran identitas industri berbasis non-pertanian pada identitas ruang kota sendiri mulai tercipta pada awal abad ke-18. Dalam periode tahun 1760 sampai dengan 1840, terjadi Revolusi Industri pertama. Perubahan esensial ini terjadi dengan peralihan ekonomi agraris dan kerajinan tangan menuju basis industri manufaktur mesin. Pertama kali terjadi di Inggris, dan segera meluas ke berbagai kontinen di seluruh dunia.

Bertolak pada Peter F. Speed dalam buku Social Problems of the Industrial Revolution, kemunculan peralihan menuju industri berbasis mesin di Inggris telah menciptakan perubahan radikal perihal kependudukan di negara tersebut. Revolusi ini mengubah karakter kota menjadi industrial.

Kembali seperti yang terjadi semasa revolusi pertanian, jumlah penduduk meningkat pesat. Dalam rentang waktu 1801 dan 1841, populasi penduduk di Inggris bahkan meningkat 60 persen. Identitas industrial kota menjadi magnet bagi para penduduk pinggiran. Peter F. Speed menyoroti pertumbuhan kota besar mencapai 140 persen. Ukuran Kota Manchester bahkan meningkat hingga enam kali lebih besar. Urbanisasi besar-besaran terjadi. Dalam periode singkat kurang dari satu abad, setengah penduduk desa di Inggris dan Wales telah menjadi penduduk kota. Inggris menjadi negara pertama di dunia yang menghadirkan karakter kota industrial. Bersamaan dengan fenomena masif ini, konsep “masyarakat urban” lahir.

Selaras pula dengan pertumbuhan kota kuno pasca revolusi pertanian, kehadiran kota-kota industrial ini memproduksi masalah-masalahnya sendiri. Bahkan, dengan jarak yang hanya selang beberapa abad, permasalahan-permasalahan tersebut tetap eksis pada masyarakat kota saat ini. Menurut Peter F Speed, sejumlah masalah tersebut merupakan warisan dari kemunculan Revolusi Industri.

Baca juga: Sejarah Kota dalam Lirik Lagu

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara uji beban LRT Jabodebek di Jembatan Lengkung Bentang Panjang Kuningan (Long Span Kuningan), Jakarta Selatan, Kamis (24/2/2022). LRT Jabodebek ditargetkan dapat beroperasi pada 17 Agustus mendatang. Uji coba kereta ada tak hanya terparkir di lintas pelayanan I, kini sudah ada juga di lintas pelayanan II dan III. Jadwal operasi LRT Jabodebek direncanakan setiap hari mulai 5.45 WIB hingga 23.00 WIB. KAI akan mengoperasikan 27 LRT Jabodebek dengan 560 perjalanan yang bisa melayani 114.000 penumpang tiap hari. Terhitung sampai dengan 28 Januari 2022 progres LRT Jabodebek mencapai 89,06 persen.

Sejarah Ruang Kota di Indonesia

Sementara perkembangan kota dalam konteks dunia secara umum telah berlangsung begitu lama dan meliputi perubahan radikal global, ruang kota di Indonesia pun memiliki catatan historisnya sendiri. Selaras dengan periodisasi  kelahiran ruang kota pada konteks global, Ilham Daeng Makkelo dalam artikel ilmiah “Sejarah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Historiografis dan Tematis” juga merumuskan pembagian zaman kota dalam konteks Indonesia. Ia membaginya ke dalam empat zaman: Kota Prasejarah, Kota Tradisional, Kota Kolonial, dan Kota Modern.

a. Kota Prasejarah

Makkelo mendefinisikan Kota Prasejarah sebagai perwujudan dari kota-kota besar awal dunia. Dalam contohnya, ia memasukkan kota Mesopotamia, Baghdad, Yunani, Romawi, Mohenjo Daro, hingga Harappa. Kedua nama terakhir bahkan menjadi contoh kota dengan tatanan luar biasa menakjubkan pada masanya.

Dalam konteks di Indonesia, Makkelo menyoroti bahwa juga telah terdapat bentuk-bentuk pemukiman awal yang dapat dikategorikan sebagai kota prasejarah Indonesia atau kota kuno. Salah satunya adalah Kota Demak di Jawa Tengah. Pada akhir abad ke-15, kota tersebut telah memiliki sistem konektivitas yang baik. Hal ini tampak dari elemen-elemen kota seperti pintu gerbang pabean, jaringan jalan, dan alun-alun. Selain itu, ruang kotanya juga dilengkapi oleh taman kerajaan, benteng, dan pemukiman.

Selain Demak, hadir juga Kota Kuno Cirebon, Kota Banten Lama, dan Kota Gresik yang masing-masingnya memiliki kemiripan struktur kota. Makkelo mengutip penelitian Irfan Mahmud yang menyatakan bahwa di luar Pulau Jawa pun telah hadir bentuk-bentuk perkotaan awal. Salah satunya adalah Kota Prasejarah Palopo yang juga telah memiliki elemen-elemen pendukung atas berdirinya sebuah komunitas masyarakat.

b. Kota Tradisional

Jenis kota dalam periodisasi demikian banyak mewariskan wujud-wujud kota masa kini. Kehadiran kota-kota ini menjadi pengejawantahan dari tradisi Nusantara murni sebelum masuknya kolonialisme dan imperialisme asing. Kehadiran kota-kota ini biasanya berperan sebagai pusat bagi operasional dan kekuasaan kerajaan pada masa lalu.

Oleh karena lekatnya nilai-nilai Nusantara, kebanyakan kota pada periodisasi ini dibangun dengan nuansa magis-religius berdasarkan kepercayaan setempat. Selain itu, tata letaknya telah menunjukkan pola sosio-kultural dan susunan hierarkis. Tampak dari pola pembangunan pemukimannya, terdapat bangunan-bangunan eksklusif yang difungsikan sebagai istana atau keraton. Selain itu, dibangun juga rumah para bangsawan hingga abdi dalem. Tatanan kota menjadi ruang dalam menyatakan dan melanggengkan status sosial penghuninya. Jarak yang kian dekat dengan istana menjadi penyiratnya.

Kehadiran kraton lengkap dengan benteng dan tembok-tembok yang melingkarinya juga menjadi karakter tersendiri dalam kota tradisional. Hal ini tampak secara khusus pada kota-kota kerajaan di Jawa Tengah, terutama Yogyakarta dan Surakarta. Istana atau keraton memproduksi nilai sebagai pusat daripada pembangunan infrastruktur kota. Selain itu, istana juga difungsikan sebagai perwujudan birokrasi tradisional.

Berakhirnya unsur tradisionalisme pada masa ini dimulai dari masuknya pengaruh Islam. Modernitas dan nilai-nilai eksternal mulai memasuki wujud pembangunan kota-kota tradisional. Puncaknya transisi sendiri terjadi dengan masuknya bangsa Barat ke Nusantara. Belanda sebagai bangsa kolonial terlama datang pertama kali pada tahun 1595 dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Pelayaran selanjutnya dari Belanda terjadi pada tahun 1598 dengan dipimpin Jacob van Neck. Tingginya keuntungan yang dibawa oleh tiap pelayaran ke Nusantara menjadi pendorong bagi gelombang masif pelayaran selanjutnya.

c. Kota Kolonial

Pada periodisasi ini, tata letak dan infrastruktur kota mendapatkan pengaruh kuat dari pihak kolonial. Pada intinya, kota menjadi pusat penguatan peran dan hegemoni pemerintah kolonial terhadap bangsa Indonesia dalam berbagai dimensi. Salah satu perubahan dalam nuansa penajajahan ini adalah penggunaan istilah “karesidenan” sebagai konsep administratif pembagian daerah di Indonesia. Pada abad ke-19 wilayah-wilayah kota mendapatkan pengaruh dan penguasaan langsung oleh kekuasaan administratif kolonial.

Pembentukan kota-kota di Indonesia pada masa kini sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah kota kolonial dalam masa pemerintahan penjajah. Pengaruh yang diberikan secara khusus terletak pada pembagian batas administratif daerah-daerah. Meski begitu, distribusi otonomi daerah pasca-kemerdekaan puluhan tahun ini telah memberikan penyesuaian terhadap dimensi pembagian batas administratif yang dilakukan dengan didasarkan pada karakter kepentingan pemerintah Indonesia.

Wujud karakter penting lainnya daripada masa ini adalah kehadiran barak, perkantoran, rumah ibadah, dan gedung-gedung perkumpulan massa yang disebut sebagai Gedung Societeit. Contoh dari gedung ini adalah Gedung Harmoni di Kota Batavia (sekarang di daerah Jakarta Pusat) dan gedung pertemuan di Taman Budaya Yogyakarta. Selain itu, arsitektur benteng juga begitu lekat dengan nuansa Eropa.

Dalam periodisasi ini, kota melahirkan daya tarik yang berbeda dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Rizka Cahyaning Arifin Putri dalam artikel “Konsep The New Urban History dalam Studi Kasus Perubahan Monumen KNIP ke Monumen Sarinah di Kota Malang” menuliskan terjadi pergeseran peran sosial dan perjuangan yang masif dari ruang desa ke ruang kota. Pada era penjajahan ini, perlawanan terhadap penjajahan berangsur-angsur terpusat di kota. Transisi demikian terjadi sebagai konsekuensi atas berkembangnya masyarakat terpelajar di Indonesia. Selain itu, Putri mengutip Kuntowijoyo yang menjelaskan bahwa kehadiran budaya Barat yang dianggap modern di dalam ruang kota juga memberikan daya tarik tersendiri.

Galeri Foto: Merangkum Sejarah Semarang di Museum Kota Lama

d. Kota Modern

Meskipun masih dinaungi nuansa kolonialisme, Makkelo juga memasukkan periodisasi perkotaan modern bersinggungan dengan konteks waktu kota kolonial. Hal ini tak lepas oleh sebab kolonialisme itu sendiri yang berperan dalam menghadirkan modernitas.

Pada tahun 1938, Kota Makassar telah dipenuhi oleh simbol-simbol modern pada masanya. Kota ini berkembang menjadi kota kosmopolitan dengan kedatangan berbagai berbagai orang dari penjuru daerah, secara khusus Asia dan Eropa. Selain itu, pembangunan-pembangunan tenaga listrik, pipa saluran air, dan fasilitas-fasilitas lainnya menjadi pendukung besar lainnya bagi penciptaan Makassar menjadi kota modern dan kosmopolitan.

Kota Medan bahkan telah mengalami modernisasi lebih dahulu. Pada tahun 1870, pendirian bangunan-bangunan di ruang kota telah memperkokoh modernitas di Medan. Keberhasilan aktivitas ekonomi yang berangkat dari sektor perkebunan mulai bergeser pada sektor-sektor jasa. Infrastruktur rumah sakit, sekolah, hotel, bank, bahkan perusahaan asuransi bermunculan.

Makkelo merumuskan bahwa salah satu ciri khas utama dari ruang kota modern adalah hadirnya pembangunan dan pembagian pemukiman yang didasarkan pada kelas sosial – sebagaimana merupakan warisan pola dari kota tradisional. Dalam konteks perkotaan modern, terlihat bagaimana ruang-ruang strategis kota kian diisi oleh para penghuni baru dan menyingkirkan penghuni lama. Kehadiran arsitektur juga menjadi simbol dalam melanggengkan pergeseran dan perbedaan kelas. Meski begitu, berbeda dengan konteks kota tradisional, pembagian penduduk berdasarkan kelas sosial di perkotaan modern dilengkapi dengan mobilitas sosial yang lebih fleksibel.

Hal lain yang mengemuka dalam pembahasan tentang kota modern adalah tema urbanisasi. Berbagai dinamika dan problematika urbanisasi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari ide-ide kemodernan pada sebuah kota. Kemajuan sebuah kota akan selalu seiring dengan pesatnya perkembangan penduduk perkotaan. Pembahasan tentang sejarah kota pada aspek modern tidak semata-mata pada hal-hal yang dianggap baru dan pembangunan fisik modernisasinya, tetapi juga pada permasalahan sosial dari modernisasi itu sendiri. Persoalan sosial itu seperti kemiskinan, kriminalitas, prostitusi, aborsi, dan tuntutan-tuntutan pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Baca juga: Sejarah Ibu Kota Negara: Simbol Representasi Bangsa yang Cenderung Elitis

KOMPAS/RIZA FATHONI

Lansekap pesisir Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (29/8/2019). Balikpapan menjadi kota dengan fasilitas lengkap yang terdekat dengan calon ibukota negara.

Kota Indonesia Masa Kini

Pada dasarnya, sebagaimana dituliskan dalam artikel “Kampung-Kota dan Permukiman Kumuh di Kota Bandung Tahun 1965-1985”, mayoritas besar dari kota-kota yang ada pada hari ini bertolak dari bentuknya sebagai desa agraris. Desa-desa ini kemudian mengalami aglomerasi, baik menjadi kian padat maupun kian luas. Poin penting yang membedakan wujud pemukiman kota ini dengan bentuk lamanya sebagai desa adalah hubungan erat dengan kekuasaan, distribusi dan aliran modal, dan urbanisasi

Kehadiran ruang kota di Indonesia nyatanya memiliki fungsi yang sangat penting. Ruang kota memberikan nilai lebih daripada semata sebagai ruang kontestasi kekuasaan maupun akumulasi kapital. Melalui kota, tersedia ruang untuk konsentrasi keberlangsungan aktivitas-aktivitas ekonomi. Dalam aktivitas tersebut, tersedia beragam sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat modern. Mulai dari bank, pusat perbelanjaan, hingga pengadilan.

Kembali merujuk pada Soerjono Soekanto, karakter kota juga telah menghadirkan pembagian kerja yang tegas dan bervariasi. Aneka ragam manusia dengan aneka ragam latar belakang dan kebutuhan, menghadirkan variasi perkerjaan yang juga beraneka ragam. Masing-masing individu memperoleh porsi kerjanya sendiri. Menurut Soekanto, hal demikian telah memberikan kesempatan kerja yang lebih besar dibandingkan di desa.

Kelebihan dan dampak positif kota yang demikian menjadi daya tarik yang besar bagi masyarakat Indonesia, secara khusus masyarakat desa. Dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, mereka berharap untuk dapat melakukan mobilitas sosial dan meningkatkan taraf hidup yang lama. Masyarakat pinggiran pun berbondong-bondong meninggalkan desanya untuk melakukan urbanisasi ke kota-kota metropolitan.

Semenjak Indonesia menganut program pembangunan nasional sebagai objektif utama, pertumbuhan penduduk di perkotaan kian meningkat. Hal ini terjadi terutama sejak era tahun 1970-an. Mardiansjah dan Rahayu dalam “Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota-Kota di Indonesia” menuliskan bahwa penduduk perkotaan di Indonesia meningkat hingga lebih dari lima kali lipat dalam empat puluh tahun terakhir pada abad ke-20. Jumlah penduduk kota pada masa tersebut mencapai 85,2 juta jiwa atau 41,9 persen dari seluruh total penduduk Indonesia. Kini, penduduk kota di seluruh Indonesia telah mencapai angka 100 juta jiwa.

Di Jakarta sendiri, sepinya kota semasa mudik menjadi perwujudan konkret dari banyaknya pendatang yang memilih untuk mengadu nasib di Ibu Kota. Sensus Penduduk tahun 2010 mencatatkan bahwa suku bangsa Betawi, sebagai penduduk asli Kota Jakarta dan sekitarnya, tak lagi menjadi suku bangsa dengan jumlah terbanyak. Mereka menempati posisi kedua dengan jumlah 2,7 juta jiwa. Di peringkat pertama adalah suku Jawa dengan jumlah hampir mencapai 3,5 juta jiwa. Sementara itu, suku bangsa terbanyak setelah Betawi adalah Sunda, Tionghoa, dan Batak secara berurutan.

Meski begitu, pada akhirnya, daya tarik ruang kota memproduksi permasalahannya sendiri, baik itu permasalahan yang telah tampak sebagai warisan dari periodisasi kota masa lampau, maupun terbentuk secara aktual dalam konteks perkotaan kontemporer. Mengacu kembali pada Harari dan Speed, masalah penyebaran penyakit telah menjadi permasalahan bahkan semenjak Revolusi Pertanian. Cepatnya penyebaran virus Covid-19 pada awal tahun 2020 menjadi salah satu contoh konkret pada konteks aktualitas zaman. Masalah-masalah semacam kemiskinan, pemukiman kumuh, dan pengangguran pun juga tak kunjung terselesaikan pasca-Revolusi Industri.

Untuk itu, diperlukan penyelesaian masalah secara struktural dan holistik. Kajian historis kelahiran kota adalah penting sebagai titik awal menuju perbaikan ruang kota. Sayangnya, sebagaimana dituliskan Putri, pembahasan terkait sejarah kota masih begitu langka terutama di kalangan akademisi. Fokus kajian pada historisitas desa membuat kaburnya perhatian lebih pada sejarah kota. Padahal, perkembangan kota kian penting dan membutuhkan kajian yang lebih mendalam. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Jurnal
  • Basundoro, P. 2010. “Dari Kampung Desa ke Kampung Kota: Perubahan Ekologi Kota Surabaya dalam Perspektif Permukiman pada Masa Kolonial”. Jurnal Jantra: Sejarah dan Budaya Vol. V No. 10, 845-861.
  • Dunn, R. R. 2020. “The History and Future of The Wild Life in Cities”.Current Biology Magazine Vol. 30, Issue 12.
  • Harari, Y. N. 2017. Homo Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: PT Gramedia.
  • Kausan, B. Y., et. al. 2019. “Kampung-Kota dan Permukiman Kumuh di Kota Bandung Tahun 1965-1985”. Journal of Indonesian History Vol. 8 No. 1, 53-61.
  • Mardiansjah, F. H., & P. Rahayu. 2019. “Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota-Kota Di Indonesia: Suatu Perbandingan Antarkawasan Makro Indonesia”. Jurnal Pengembangan Kota Volume 7 No. 1 , 91-110.
  • Soekanto, S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Somantri, G. R. 2007. Kajian Sosiologis Fenomena Mudik. Jakarta: Universitas Indonesia.
  • Speed, P. F. 1975. Social Problems of the Industrial Revolution. Oxford: A. Wheaton & Company Limited, A Division of Pergamon Press.
Internet

Ancely, N. (2022, Mei 4). Ditinggal Warga Mudik, Sejumlah Jalan di Jakarta Lengang. Diambil kembali dari kompas.tv: https://www.kompas.tv/article/285818/ditinggal-warga-mudik-sejumlah-jalan-di-jakarta-lengang

Naufaldy, R. (2020, Juni 19). Cinta bersemi di ibu kota: satu dari tiga pernikahan di Jakarta adalah pasangan beda suku. Diambil kembali dari theconversation.com: https://theconversation.com/cinta-bersemi-di-ibu-kota-satu-dari-tiga-pernikahan-di-jakarta-adalah-pasangan-beda-suku-140846

Reditya, T. H. (2021, Oktober 8). Revolusi Industri: Sejarah, Faktor, dan Perkembangannya. Diambil kembali dari internasional.kompas.com: https://internasional.kompas.com/read/2021/10/08/144239870/revolusi-industri-sejarah-faktor-dan-perkembangannya