Daerah

Kota Surakarta: ‘The Spirit of Java’, Batik, dan Budaya Kraton

Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Solo terkenal dengan slogan ‘The Spirit of Java’ yang berarti jiwanya Jawa. Kota yang dilintasi Sungai Bengawan Solo ini lekat citranya sebagai pusat budaya Jawa yang hingga kini masih bertahan, yakni Kraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Bagi wisatawan, Kota Solo terkenal pula dengan batiknya.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pasar Gede Solo – Pengemudi becak mengantarkan penumpang setelah berbelanja di Pasar Gede, Kota Solo, Jawa Tengah, Rabu (11/2/2015). Pasar Gede yang yang telah menginjak usia ke-85 sejak berdiri tahun 1930 menjadi salah satu ikon pariwisata Kota Solo.

Fakta Singkat

Hari Jadi
18 Februari 1745

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 16/1950

Luas Wilayah
44,04 km2

Jumlah Penduduk
522.364 jiwa (2020)

Kepala Daerah
Wali Kota Gibran Rakabuming Raka
Wakil Wali Kota Teguh Prakosa

Instansi terkait
Pemerintahan Kota Surakarta

Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan Kota Solo (Sala) merupakan wilayah otonom dengan status kota di Provinsi Jawa Tengah. Letaknya yang tepat di bagian tengah dari Jawa Tengah menjadikan Solo sebagai penunjang kota-kota lain seperti Semarang maupun Yogyakarta.

Setelah Keresidenan Surakarta dihapus pada tanggal 4 Juli 1950, Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Sejak berlakunya UU 16/1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta, secara resmi Kota Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom.

Kota yang memiliki luas wilayah 44,04 kilometer persegi ini secara administratif terbagi dalam  dalam lima kecamatan dan 54 kelurahan. Kota berpenduduk 522.364 jiwa ini saat ini dipimpin oleh Wali Kota Gibran Rakabuming Raka dan Wakil Wali Kota Teguh Prakosa.

Hari Jadi kota ini diperingati setiap tanggal 17 Februari. Penetapan tanggal tersebut didasarkan pada tonggak sejarah pemindahan pusat kerajaan Mataram Islam terakhir dari Kartasura ke Kraton Surakarta pada Rabu Paing 17 Muharam 1670 atau 17 Februari 1745.

Surakarta mempunyai semboyan: Mulat sarira angrasa wani (introspeksi diri, merasa berani) dan slogan pemeliharaan keindahan kota yaitu “Berseri” yang berarti bersih, sehat, rapi, dan indah.

Adapun slogan pariwisata sebagai upaya mengangkat citra Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, yaitu ‘The Spirit of Java’ yang berarti jiwanya Jawa. Slogan Solo ini adalah slogan yang diperoleh dari hasil sayembara pada 4 Oktober sampai 14 November 2005 yang diadakan oleh Pemkot Surakarta yang dimenangkan oleh Dwi Endang Setyorini, warga Giriroto, Ngemplak, Boyolali.

Kota Solo merupakan kota yang kaya budaya sehingga ditetapkan menjadi salah satu pusat kebudayaan di Jawa Tengah. Salah satu tradisi yang populer dan unik di kota ini adalah Kirab Pusaka Satu Suro. Tradisi unik tersebut biasanya diselenggarakan oleh Kraton Solo dan Puro Mangkunegaran pada malam hari menjelang tanggal 1 Suro.

Di samping itu, Kota Solo juga kerap dijuluki sebagai Kota Batik karena menjadi surganya bagi para pecinta batik. Penjual batik di Solo sangat mudah ditemukan, mulai dari pasar, mal, hingga pusat penjualan batik seperti Kampung Batik Laweyan. Batik yang dijual juga memiliki berbagai macam varian harga, motif, dan jenis. Motif andalan yang sangat popular adalah Parang Kusumo dan Truntum.

Kota ini memiliki visi: “Terwujudnya Surakarta sebagai Kota Budaya, Mandiri, Maju, dan Sejahtera” seperti disebutkan dalam Perda Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Surakarta Tahun 2016-2021.

Adapun misinya adalah pertama, waras: mewujudkan masyarakat yang sehat jasmani, dan rohani, dan sosial dalam lingkungan hidup yang sehat menuju masyarakat produktif, kreatif dan sejahtera serta membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.

Kedua, wasis: mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur, berkarakter dan berkontribusi kemajuan daya saing kota.

Ketiga, wareg yakni mewujudkan masyarakat kota yang produktif mampu memenuhi kebutuhan dasar jasmani dan rohani menuju masyarakat mandiri dan partisipatif membangun kesejahteraan kota Mapan: Mewujudkan masyarakat yang tertib, aman, damai, berkeadilan, berkarakter dan berdaya saing melalui pembangunan daerah yang akuntabel (sektoral, kewilayahan, dan kependudukan) dan tata kelola pemerintahan yang efektif, bersih, responsif dan melayani.

Keempat, papan yakni mewujudkan keseimbangan kebutuhan papan serta daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan dinamika kebutuhan pertumbuhan penduduk menuju kota berwawasan pembangunan berkelanjutan.

Sejarah Pembentukan

Kota Solo merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang menyimpan berbagai peninggalan kebudayaan dari bermacam etnik, baik pada zaman prasejarah maupun sejarah.

Penemuan Pithecanthrophus Soloensis oleh W.F. Oppennorth dan C. Ter Haar di tepian Sungai Bengawan Solo membuktikan bahwa manusia purba pernah hidup di wilayah Solo pada masa prasejarah. Sementara peninggalan di masa sejarah berupa candi, kraton, pura maupun bangunan-bangunan kuno yang masih dapat dijumpai di berbagai sudut Kota Solo.

Kehadiran dua nama, yaitu ‘Solo’ dan ‘Surakarta’, menambah keunikan tersendiri bagi eksistensi kota tua ini. ‘Solo’ diambil dari nama tempat bermukimnya pimpinan kuli pelabuhan, yaitu Ki Soroh Bau (bahasa Jawa, yang berarti kepala tukang tenaga) yang berangsur-angsur terjadi pemudahan ucapan menjadi Ki Sala, yang berada di sekitar Bandar Nusupan semasa Kadipaten dan Kerajaan Pajang (1500-1600).

Sementara ‘Surakarta’ diambil dari nama dinasti Kerajaan Mataram Jawa yang berpindah dari Kraton Kartasura pada tahun 1745. Perpindahan kraton dilakukan oleh Raja Pakubuwana II karena Kraton Kartasura sudah hancur akibat peperangan dan pemberontakan yang terkenal dengan Geger Pecinan tahun 1742. Pemberian nama kraton baru dengan membalikkan suku kata dari nama kraton lama, yaitu dari ‘Karta-Sura’ menjadi ‘Sura-Karta’, sampai sekarang sudah menjadi cerita umum masyarakat Solo.

Dikutip dari “Naskah Sumber Arsip Citra Daerah Kota Surakarta Dalam Arsip” yang diterbitkan oleh ANRI, pada masa kerajaan, Surakarta tak lebih dari sebuah desa terpencil yang tenang yang terletak kira-kira 10 km di sebelah timur Kartasura, ibu kota Kerajaan Mataram. Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran merupakan dua di antara empat pewaris dan penerus dinastik Mataram Islam.

Setelah pusat Kerajaan Mataram pindah ke Kartasura dan terjadi geger Pecinan, maka Pakubuwana II yang menjadi Raja Mataram memindahkan kratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Sebuah tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya, sehingga tahun 1745 Kerajaan dibongkar dan diarak menuju Kota Surakarta yang terletak di tepi Kali (Sungai) Bengawan  pada tanggal 17 Februari 1745. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran atau hari jadi Kota Surakarta.

Pangeran Wijil, pujangga yang hidup semasa perpindahan dari Kraton Kartasura ke Desa Sala yang terpencil, tahun 1746, menulis dalam Babad Nitik antara lain: Lestari sanadyan kari sageraking payung atau “selamat meski tinggal satu gerakan payung”.

Meski kekuasaan Raja Mataram terakhir ini, dikiaskan “satu gerakan payung” atau “sebentangan payung”, akibat negosiasi kompeni yang mulai menindas itu, Sri Susunan Pakubuwana II (1725-1749) tetap membangun Desa Sala menjadi istananya, walau ada tafsir kedaulatannya makin ciut, cuma “selebar bentangan payung” saja.

Di tempat baru itu, selama sekitar tujuh bulan, Pakubuwana II membangun kraton mengikuti contoh Kraton Kartasura. Letak kraton tetap membujur utara-selatan. Ada pintu atau Kori Kemandhungan dan Prabasuyasa, serta Bangsal Pangrawit berikut sepasang pohon beringin kurung, Dewadaru dan Jayadaru, asal Kraton Kartasura.

Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah sendiri/tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tetapi dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan.

Ada dua macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan kraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.

Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam Staatblad 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam Staatblad 1940/543.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Aktivitas para abdi dalem menyapu pelataran Keraton Kasunanan Surakarta, Minggu (28/8/2016).

Surakarta pada masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri Sunan disebut Surakarta Koo dan Mangkunegaran disebut sebagai Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan.

Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI.

Surakarta sebagai daerah Kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widodiningrat.

Pada masa perang kemerdekaan, terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik tahta hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia.

Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah “Daerah Istimewa” dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintah pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945, pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945.

Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa pada tanggal 19 Oktober 1945. Pengakuan tersebut diperkuat dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November 1945.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada Januari 1946, ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.

Pemerintah Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri, selain Presiden Soekarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir. Misalnya kelompok Jenderal Sudirman.

Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Benteng yang dipimpin Dr Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.

Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintahan Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta.

Sejak tanggal 1 Juni 1946, Kasunanan Surakarta hanya berstatus keresidenan yang menjadi bagian wilayah Provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.

Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta. Secara de facto, tanggal 16 Juni 1946, terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunan dan Mangkunegaran.

Secara yuridis, Kota Surakarta terbentuk berdasarkan penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD, yang diumumkan pada tanggal 15 Juli. Dengan berbagai pertimbangan, faktor-faktor historis sebelumnya, 16 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.

Surakarta pun menjadi Kota Besar Surakarta. Namun terjadi kekacauan akibat Clash II. Saat itu hadir Overste Slamet Riyadi dengan laskarnya dalam “Perang 4 Hari”. Slamet Riyadi berhasil membuat tentara Belanda pimpinan Kolonel Van Ohl menyerah, di Stadion Sriwedari 19 Desember 1949. Surakarta lalu menjadi Kotapraja Surakarta sejak 18 Januari 1957, lalu menjadi Kota Madya Surakarta dan terakhir Kota Surakarta.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Benteng Vastenburg di Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, dilihat dari ketinggian. Walau merupakan saksi sejarah perkembangan Kota Solo, benteng yang dibuat pada 1745 oleh Baron van Imhoff ini kondisinya memprihatinkan. Selain sudah milik perseorangan, di areal benteng tersebut rencananya akan dibangun hotel oleh pemiliknya.

Geografis

Kota Surakarta terletak antara antara 110º45’15” – 110º45’35” Bujur Timur dan 7º36’00” – 7º56’00” Lintang Selatan. Kota ini berbatasan di sebelah utara dengan Kabupaten Boyolali, sebelah timur dengan Kabupaten Karanganyar, dan sebelah selatan – barat dengan Kabupaten Sukoharjo.

Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,04 km2. Sebagian besar lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 60 persen lebih.

Wilayah Kota Solo termasuk dalam dataran rendah dengan ketinggian antara 80-120 meter dari permukaan laut. Kota Solo dikelilingi oleh Gunung Merbabu dan Merapi di bagian barat, Gunung Lawu di bagian timur dan selatan Pegunungan Sewu.

Suhu udara rata-rata di Kota Surakarta pada tahun 2020 berkisar antara 25°C sampai dengan 28,2°C. Sedangkan kelembaban udara berkisar antara 71 persen sampai dengan 88 persen. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Februari dengan jumlah hari hujan sebanyak 25 hari. Sedangkan kelembaban Udara tertinggi 88 persen jatuh pada bulan Maret.

Solo dialiri oleh empat sungai utama, yaitu Bengawan Solo, Kali Anyar, Kali Pepe, dan Kali Jenes. Sungai-sungai yang mengalir di Kota Solo tersebut mempunyai sejarah yang panjang dan kontribusi yang besar terhadap kota, sejak zaman kolonial hingga saat ini.

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Seorang warga melintas dengan perahu bambu di aliran Sungai Bengawan Solo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (9/9/2021). Diduga terjadi pencemaran akibat limbah minuman beralkohol, dengan jenis ciu, yang dibuang ke sungai tersebut. Akibatnya, PDAM Toya Wening Kota Surakarta sempat menghentikan operasional salah satu instalasi pengolahan airnya akibat kepekatan air yang meningkat.

Pemerintahan

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, tercatat Sindoeredjo sebagai Wali Kota Solo pertama yang diangkat oleh Komite Nasional Indonesia Daerah Kota Solo. Sindoeredjo hanya menjabat Wali Kota Solo selama dua bulan, sejak 19 Mei 1946 sampai 15 Juli 1946.

Selepas Wali Kota Sindoeredjo, Kota Solo dipimpin oleh Iskak Tjokroadisurjo. Ia menjabat sebagai Wali Kota Solo sejak 15 Juli 1946 hingga 14 November 1946, dan kemudian digantikan oleh Sjamsoeridjal yang dikenal sebagai politikus kenamaan pada zamannya.

Selanjutnya, Soedjatmo Soemowerdojo menjabat sebagai Wali Kota Solo periode 1946-1949. Ia menjabat sebagai Wali Kota Solo hanya satu tahun saja sejak Juni 1949 hingga 1 Mei 1950 dan diteruskan oleh Soeharjo Soerjo Pranoto (1 Mei 1950 – 1 Agustus 1955) serta K. Ng. Soebekti Poesponoto.

Wali Kota Solo berikutnya adalah Muhammad Saleh Werdisastro, Oetomo Ramelan (17 Februari 1958 hingga 23 Oktober 1965), Th. J Soemantha (23 Oktober 1965 hingga 11 Januari 1968), R. Koesnandar (1968-1975), Soemari Wongsopawiro (1975-1980), Ignatius Soekatmo Prawirohadisebroto (1980-1985), H.R. Hartomo (1985-1995), Imam Soetopo (1995-2000), dan Slamet Suryanto (2000-2005).

Kemudian Wali Kota Solo dilanjutkan oleh Joko Widodo selama dua periode yaitu pada 2005-2010 dan 2010-2012. Namun pada pertengahan periode kedua pemerintahannya, Joko Widodo harus berhenti lantaran terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta.

FX Hadi Rudyatmo yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Wali Kota mendampingi Joko Widodo selama dua periode kemudian diangkat menjadi Wali Kota setelah Joko Widodo menang dalam Pilkada DKI Jakarta.

Pada Pilkada serentak 2015, FX Hadi Rudyatmo maju lagi sebagai Wali Kota Solo. Dia didampingi oleh Achmad Purnomo sebagai calon Wakil Wali Kota. Pasangan ini diusung oleh PDI-P.

Pada 17 Desember 2015, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Surakarta menetapkan pasangan FX Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo sebagai pemenang pilkada. Pasangan ini menjabat dari 2016-2021.

Tahun ini, posisi Rudy digantikan oleh Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang memenangi Pilkada Kota Solo pada tahun 2020 dengan perolehan 225.451 suara atau 86,54 persen dari total suara sah.

Secara administratif, Kota Surakarta terdiri dari lima kecamatan, 54 kelurahan, 626 RW dengan jumlah RT sebanyak 2.784. Kelima kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjarsari

Untuk menjalankan roda pemerintahan, Pemerintah Kota Surakarta didukung oleh 5.799 orang pegawai negeri sipil (PNS), yang terdiri dari 2.626 orang PNS laki-laki, dan 3.173 orang PNS perempuan.

Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar PNS di Kota Surakarta berpendidikan sarjana (S1, S2, S3) yaitu sebesar 69,37  persen, PNS yang berpendidikan SMA sebanyak 15,3 persen, D-1,2,3 sebanyak 10,83 persen, SLTP sebanyak 2,93 persen dan berpendidikan SD 1,57 persen.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Ketua DPC PDI-P Solo FX Hadi Rudyatmo (kiri) berfoto bersama Gibran Rakabuming Raka (tengah) dan Teguh Prakosa di kantor DPD PDI-P Jawa Tengah, di Kota Semarang, Jumat (17/7/2020). Gibran-Teguh mendapat rekomendasi dari DPP PDIP untuk maju pada Pemilihan Wali Kota Solo 2020.

Politik

Peta perpolitikan di Kota Solo terlihat dari komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam penyelenggaraan tiga pemilu legislatif, PDI Perjuangan (PDI-P) selalu unggul dalam meraih suara sekaligus paling banyak menempatkan kadernya di kursi DPRD Kota Surakarta.

Di Pemilihan Legislatif 2009, komposisi anggota DPRD Kota Solo, yang berjumlah 40 orang, didominasi PDI-P, yang mempunyai 15 anggota. Disusul PAN dengan tujuh anggota, Golkar lima anggota serta PKS, Partai Demokrat (PD), dan PDS masing-masing dengan empat anggota dan satu anggota dari PPP.

Di Pileg 2014, PDI Perjuangan berhasil menaikkan perolehan kursinya di DPRD Kota Solo dengan dengan 24 kursi. Sementara itu, PKS menempatkan lima kadernya duduk di DPRD. Disusul PAN, Golkar mendapatkan empat kursi. Adapun Gerindra dan Demokrat memperoleh tiga kursi. Sedangkan Hanura memperoleh satu kursi, demikian juga dengan PPP mendapatkan satu kursi.

Di Pileg 2019, PDI-P berhasil kembali menaikkan perolehan kursi di DPRD Kota Surakarta. Partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri itu sukses memborong 30 kursi dari total 45 kursi DPRD Solo. Disusul PKS 6 kursi, PAN, Golkar dan Gerindra sama-sama memperoleh 3 kursi, serta partai pendatang baru PSI 1 kursi.

Sebanyak 30 kursi PDI-P itu terdiri atas tujuh kursi Dapil I Solo (Pasar Kliwon dan Serengan), lima kursi dari Dapil II Solo (Laweyan), lima kursi dari Dapil III Solo (Banjarsari A), lima kursi dari Dapil IV Solo (Banjarsari B), dan delapan kursi dari Dapil V Solo (Jebres).

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Mural Demokrasi – Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/10/2017). Mural tersebut membawa pesan tentang tumbuhnya proses demokrasi di tengah keberagaman sosial budaya masyarakat.

Kependudukan

Kota Solo menjadi kota terpadat di Jawa Tengah karena merupakan pusat perekonomian, wisata, dan pendidikan. Jumlah penduduknya disebut sebagai yang terbesar ketiga di antara daerah-daerah lain di Jawa bagian selatan, yakni setelah Bandung dan Malang.

Data sensus penduduk September 2020 menunjukkan, jumlah penduduk Kota Bengawan itu sebanyak 522.364 jiwa. Dari jumlah itu, penduduk laki-laki tercatat sebanyak 257.043 jiwa (49,21 persen) dan penduduk perempuan sebanyak 265.321 jiwa (50,79 persen). Kepadatan penduduk Solo sebesar 11.353 jiwa/km².

Rasio jenis kelamin Kota Surakarta sebesar 96,88 persen. Rasio jenis Kelamin 96,88 persen artinya terdapat 96 laki-laki dari 100 perempuan pada tahun 2020.

Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Banjarsari yaitu sebesar 32,31 persen, sedangkan kecamatan Serengan adalah kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil yaitu sebesar 9,15  persen.

Sementara itu berdasarkan kelompok umur, dari 522.364jiwa itu 11 persen post generasi Z (usia sekarang sampai tujuh tahun), 25 persen generasi Z (usia 8-23 tahun). Kemudian 24 persen milenial (usia 24-39 tahun), 23 persen generasi X (usia 40-55 tahun), 15 persen boomer (56-74) dan 2 persen pre-boomer (usia di atas 75 tahun).

Mayoritas penduduk Kota Solo menganut agama Islam. Menurut data BPS Kota Surakarta, penduduk yang beragama Islam sebesar 78,95 persen, disusul penduduk beragama Kristen Protestan sebesar 13,75 persen, Katolik 6,98 persen, Budha 0,22 persen, Hindu 0,06 persen dan sisanya beragama Konghucu dan aliran kepercayaan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Tradisi Grebeg Sudiro – Peserta karnaval meramaikan dengan beragam kesenian dalam tradisi Grebeg Sudiro untuk menyambut Imlek di Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu (15/2/2015). Grebeg Sudiro yang diselenggarakan tujuh hari menjelang Imlek telah menjadi bagian budaya warga Solo tanpa sekat etnis.

Indeks Pembangunan Manusia
82,21 (2020)

Angka Harapan Hidup 
77,22 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
14,87 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
10,69 tahun (2020)

Pengeluaran per Kapita 
Rp 14,76 juta (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka
7,92 persen (2020)

Tingkat Kemiskinan
9,03 persen (2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Kota Surakarta terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Di tahun 2010, indeks pembangunan manusia (IPM) tercatat 77,45 meningkat menjadi 82,21 di tahun 2020. Kota Surakarta berada peringkat ke-3 tertinggi diantara 35 kabupaten/kota se-Jateng.

Dari tiga komponen yang dihitung, komponen umur harapan hidup saat lahir (UHH) tercatat 77,22 tahun pada 2020. Untuk harapan lama sekolah (HLS) tercatat selama 14,87 tahun dan angka rata-rata lama sekolah (RLS) tercatat selama 10,69 tahun. Sedangkan, untuk komponen pengeluaran per kapita sebesar Rp 14,76 juta.

Jumlah pengangguran terbuka di Kota Surakarta  pada tahun 2020 mencapai 22.887 orang atau 7,92 persen. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan pengangguran terbuka pada tahun 2019 yang mencapai 12.003 orang (4,39 persen).

Kenaikan tingkat pengangguran di tahun 2020 erat kaitannya dengan wabah Covid-19 yang melanda seluruh negeri. Dampaknya sangat terasa bagi perekonomian daerah dan nasional.

Menurut jenis kelamin, tingkat pengangguran perempuan lebih tinggi dibanding tingkat pengangguran laki-laki. Besaran TPT masing-masing adalah 5,25 persen untuk laki-laki dan 3,33 persen untuk perempuan.

Meningkatnya jumlah pengangguran terbuka itu berdampak pula pada bertambahnya penduduk miskin di Kota Solo. Pada tahun 2019 jumlah penduduk miskin di Kota Solo mencapai 45.200 orang atau 8,7 persen dari populasi. Angka ini meningkat menjadi 47.030 orang pada tahun 2020 atau 9,03 persen dari populasi.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Geliat Pasar Klewer – Calon pembeli memilih kain batik di salah satu los di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah, Jumat (1/1/2015). Menurut sejumlah pedagang, penjualan batik meningkat hingga sekitar 50 persen saat libur panjang tahun baru. Pasar tersebut sering menjadi tujuan wisata belanja dari luar kota dan juga menjadi tempat pedagang mencari barang kulakan.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 477,46 miliar (2020)

Dana Perimbangan 
Rp 1,04 triliun (2020)

Pendapatan Lain-lain 
Rp 278,67 miliar  (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-1,74 persen (2020)

PDRB Harga Berlaku
Rp 47,64 triliun (2020)

PDRB per kapita
Rp 91,43 juta/tahun (2020)

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Solo pada 2020 tercatat senilai Rp 47,64 triliun, turun sedikit dari capaian 2019 yang senilai Rp 48 triliun.

PDRB Kota Solo ditopang oleh tiga sektor utama, yaitu konstruksi, perdagangan, serta informasi dan komunikasi. Lapangan usaha bidang konstruksi memberikan sumbangan sebesar 27,04 persen dari total PDRB Kota Solo. Sedangkan sektor perdagangan besar dan eceran (21,63 persen) dan informasi dan komunikasi (14,54 persen). Ketiga sektor tersebut menjadi penopang perekonomian Kota Solo dalam lima tahun terakhir.

Kegiatan perdagangan dilaksanakan di berbagai sarana, antara lain pasar tradisional, pasar swalayan, pusat perbelanjaan, dan mini market. Khusus untuk pasar tradisional, pada tahun 2020, Solo memiliki 44 pasar.

Adapun kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB mencapai 8,45 persen. Menurut data BPS, jumlah perusahaan industri manufaktur skala besar dan sedang Kota Solo sebanyak 89 perusahaan.

Dari sisi laju pertumbuhan ekonomi, pada 2020, pertumbuhan ekonomi Kota Solo terkontraksi 1,74 persen karena terdampak merebaknya pandemi Covid-19. Angka ini lebih baik dibandingkan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah yang terkontraksi 2,65 persen. Adapun laju pertumbuhan selama 2011-2019 berada di kisaran 5,28 persen – 6,42 persen, dengan pertumbuhan tertinggi tercatat pada 2011.

Di bidang keuangan daerah, total pendapatan Kota Solo pada 2020 menembus Rp 1,80 triliun. Dana pembangunan daerah ini masih ditopang dana perimbangan dengan kontribusi senilai Rp 1,04 triliun atau 63 persen dari total pendapatan. Artinya, Kota Solo masih digolongkan belum terlalu mandiri secara keuangan daerah. Adapun kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 477,46 miliar dan lain-lain pendapatan sebesar Rp 278,67 miliar.

KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Vastenburg Carnival 2014 yang digelar di area Benteng Vastenburg, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (7/6/2014) malam menjadi daya tarik baru wisata di Kota Solo. Tampak peserta karnaval mengenakan kostum yang dikreasi dari bahan bambu.

Kota Solo merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Provinsi Jawa Tengah yang mempertahankan nuansa budaya hingga saat ini. Kekayaan seni budaya yang beragam menjadi aset berharga dan menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara untuk berkunjung.

Warisan-warisan budaya yang ada di Solo tersebar di setiap sudut kota dari pasar tradisional sampai rumah-rumah Jawa di kampung-kampung lama, seperti Kampung Kemlayan, Kauman, dan Laweyan.

Sejumlah destinasi yang terkenal di Kota Solo antara lain Kraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka, Museum Keris Nusantara, Museum Lokananta, Museum Batik Danar Hadi, Benteng Vastenburg, Loji Gandrung, Candi Cetho, Candi Sukuh, Taman Balekambang, Taman Satwataru, Air Terjun Grojogan Sewu, dan Sepur Kluthuk Jaladara.

Solo juga dikenal sebagai ikon batik. Sejumlah sentra batik di Solo antara lain Batik Danar Hadi, Pusat Grosir Solo (PGS), Kampung Batik Kauman, Kampung Batik Laweyan, Pasar Klewer, Beteng Trade Center (BTC), dan Lumbung Batik Solo.

Selama tahun 2020, wisatawan yang berkunjung ke Kota Solo turun drastis karena adanya pandemi Covid-19. Wisatawan mancanegara tercatat sebanyak 1.406 pengunjung, turun jauh dibandingkan tahun 2019 sebesar 13.047 pengunjung. Sedangkan jumlah wisatawan nusantara hanya sebanyak 351.769 pengunjung, turun drastis dibanding tahun 2019 sebanyak 3,54 juta pengunjung.

Adapun jumlah hotel di Solo tercatat sebanyak 164 hotel, yang terdiri dari 57 hotel bintang dan 107 hotel non  bintang. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Ngatmi (51) menyelesaikan batik bermotif abstrak di tempat usaha Batik Mahkota di kawasan sentra batik Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (15/7/2020). Beragam motif batik baru terus dikembangkan di kawasan itu sebagai salah satu upaya pelestarian batik sebagai salah satu warisan budaya

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Akhirnya Diakui, Serangan Umum 4 Hari di Kota Solo”, Kompas, 06 Agustus 1993, hlm. 13
  • “Aneka Solo yang Surakarta”, Kompas, 08 Februari 1996, hlm. 01
  • “Kota Surakarta * Otonomi”, Kompas, 19 Februari 2002, hlm. 08
  • “Ekonomi Telah “Pulih” di Solo * Otonomi”, Kompas, 19 Februari 2002, hlm. 08
  • “Solo, dari Kota Tradisional Menjadi Pusat Kebudayaan dan Perdagangan”, Kompas, 17 Februari 2005, hlm. 01
  • “Solo, Magnet Baru Perekonomian Jawa Tengah *Solo Kita – Liputan Khusus”, Kompas Jawa Tengah, 17 Februari 2005, hlm. 05
  • “Solo, Kota Budaya yang Mulai Kehilangan Roh *Liputan Khusus-HUT ke-261 Kota Solo”, Kompas, 17 Februari 2006, hlm. 06
  • “Untung Masih Ada Kraton”, Kompas, 10 Februari 1996, hlm. 16
  • “Kraton di “Kota Bingung”, Kompas, 10 Februari 1996, hlm. 17
  • “Penobatan Paku Alam X: Sukacita Warga Menyambut Pemimpin Baru”, Kompas, 07 Januari 2016, hlm. 01, 15
  • “Pengembangan Wisata: Jiwa Budaya Jawa di Solo * Pesona Wisata Indonesia”, Kompas, 16 Agustus 2016, hlm. 30
  • “Tirtonadi Solo, Upaya Menyambung Sejarah”, Kompas, 23 Juli 2017, hlm. 09
Buku dan Jurnal
Aturan Pendukung
  • UU 16/1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta
  • UU 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
  • UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah
  • Perda Kota Surakarta Nomor 6 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2021–2026

Editor
Topan Yuniarto