Pasukan Pengibar Bendera Pusaka siap mengibarkan bendera dalam Upacara Peringatan HUT RI ke-70, di Istana Merdeka, Jakarta (17/8/2015). Upacara peringatan detik-detik Proklamasi itu dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)
Fakta Singkat
Pengibar Bendera Pusaka Pertama
adalah Abdul Latief Hendraningrat, seorang anggota pasukan PETA, pada proklamasi kemerdekaan RI.
Paskibraka digagas oleh Husein Mutahar
pada persiapan HUT kemerdekaan RI ke-1 tahun 1946 di Gedung Agung, Yogyakarta.
Formasi kelompok Pengibar 17-8-45
baru digunakan pada tahun 1967 dengan nama Pasukan Pengerek Bendera Pusaka. Nama Pasukan Pengibar Bendera Pusaka baru digunakan tahu 1973, atas usul Idik Sulaeman.
Bendera Pusaka
tidak lagi dikibarkan pada upacara peringatan detik-detik proklamasi mulai tahun 1969.
Seleksi anggota Paskibraka
dimulai dari tingkat kabupaten/kotamadya, provinsi, hingga tingkat nasional.
Tradisi Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Hari Ulang Tahun Republik Indonesia selalu dilakukan setiap tahunnya di Istana Merdeka dengan khidmat. Puncak acaranya adalah pengibaran bendera pusaka Merah Putih oleh Kelompok Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau Paskibraka. Jika menilik sejarah pembentukan Paskibraka maka berkaitan erat dengan sejarah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
Bendera Merah Putih yang pada akhir tahun 1944 dijahit sendiri oleh Istri Soekarno, Fatmawati, dikibarkan setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia dibacakan Soekarno. Abdul Latief Hendraningrat, seorang anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) bersama Soehoed, pemuda dari Barisan Pelopor ditunjuk sebagai pengibar bendera pusaka.
Dalam buku yang ditulis Nidjo Sandjojo berjudul Abdul Latief Hendraningrat: sang pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945, dijelaskan bahwa pada awalnya S.K. Trimurti diminta untuk menaikkan bendera, namun dirinya menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Maka, Abdul Latief yang merupakan Chundanco (komandan kompi) PETA ditunjuk sebagai penggantinya.
Pascaproklamasi kondisi keamanan di Jakarta semakin mengkhawatirkan dan muncul banyak pergolakan akibat keinginan Belanda yang membonceng tentara sekutu untuk menguasai kembali Indonesia. Kondisi Jakarta sudah dianggap tidak kondusif lagi untuk menjalakan pemerintahan. Dalam berita harian Kompas yang berjudul “Ibu Kota RI Terpaksa Hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta” (9/1/1983), diceritakan bahwa selain warga, tentara sekutu juga meneror sejumlah pejabat negara. Teror itu, antara lain, berupa penembakan pada mobil yang ditumpangi Perdana Menteri Sutan Syahrir, Menteri Penerangan M Amir Syarifuddin, dan sopir pribadi Presiden Soekarno.
Karena hal itu, pada tanggal 3 Januari 1946 ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Presiden dan wakil presiden meninggalkan Jakarta menggunakan kereta api menuju Yogyakarta. Bendera Pusaka turut dibawa oleh Presiden Soekarno, dimasukkan dalam kopor pribadinya.
Sejak Yogyakarta resmi sebagai Ibu Kota Negara, kegiatan kenegaraan juga dilakukan di kota itu. Salah satu acara kenegaraan yang dilakukan di Istana Yogyakarta adalah Upacara Peringatan Ke-1 Proklamasi. Dalam buku Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka ditulis oleh Bondan Winarno, dijelaskan bahwa menjelang hari peringatan, Presiden Soekarno menugaskan ajudan presiden Mayor (L) Hussein Mutahar untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan upacara, termasuk pengibaran bendera pusaka. Hussein yang merupakan tokoh kepanduan kemudian menggagas agar pelaksanaan pengibaran dilakukan oleh para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa. Namun, karena kondisi tidak memungkinkan, Husein hanya memilih 5 orang yang bermukim di Yogyakarta, terdiri dari 3 putra dan 2 putri. Lima orang tersebut melambangkan simbol Pancasila. Selama empat tahun (1946–1949), upacara peringatan Kemerdekaan RI dilakukan di halaman Gedung Agung Yogyakarta dengan menampilkan para pemuda dari daerah-daerah di Indonesia.
Presiden Soeharto selaku inspektur upacara peringatan detik-detik Proklamasi RI ke-51 yang berlangsung di halaman depan Istana Merdeka Jakarta (17/8/1996), menyerahkan Bendera Pusaka Merah Putih kepada anggota Paskibraka, Mandy A. Tutriarima dari Maluku. Sedangkan Devy Lestari (kanan) dari Kalimantan Selatan. (KOMPAS/ JB SURATNO)
Infografik Terkait
Penyelamatan Bendera Pusaka
Pada 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer ke-2 di Yogyakarta. Serangan militer yang dilakukan pada 19 Desember 1948 ini akhirnya menjatuhkan Kota Yogyakarta ke tangan Belanda. Presiden Soekarno yang mengetahui bahwa dirinya akan ditawan, kemudian memanggil Hussein Mutahar untuk diberikan tugas terberat, yaitu mengamankan bendera pusaka agar tidak sampai jatuh ke tangan Belanda. Hal ini seperti yang tertulis dalam buku Bung Karno: penyambung lidah rakjat Indonesia karangan Cindy Adams.
Dalam keadaan genting, Mutahar berpikir cepat untuk menemukan cara mengamankan bendera pusaka tersebut, yaitu membuka jahitan bendera untuk memisahkan warna merah dan putih. Mutahar kemudian meletakkan masing-masing carik kain pada bagian dasar dua tas yang diisi dengan pakaian pribadinya. Kedua kain bendera itu pun aman, kendati Mutahar sempat ditahan dan ditawan di Semarang.
Beberapa saat kemudian Mutahar berhasil kabur dari Semarang menuju Jakarta. Singkat cerita, di Jakarta dirinya menerima pesan rahasia dari Presiden Soekarno yang sedang di tahan di Muntok, Bangka. Isi pesan tersebut, yaitu agar Hussein memberikan bendera pusaka tersebut kepada presiden. Caranya dengan dititipkan kepada Soedjono sebagai perantaranya. Oleh Soedjono, kemudian kain bendera pusaka dijahit kembali seperti kondisi awal sebelum akhirnya diserahkan kepada Presiden Soekarno. Sebagai penghargaan atas jasa Hussein Mutahar menyelamatkan bendera pusaka, pada tahun 1961, dirinya dianugerahkan Bintang Maha Putera.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekano, Wakil Presiden, Mohammad Hatta, beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia yang diasingkan tiba di Yogyakarta. Bulan Agustus 1949 pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI keempat Bendera Pusaka kembali dikibarkan di Istana Gedung Agung.
Setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia tanggal 27 Desember 1949, Ibu kota dikembalikan ke Jakarta. Presiden Soekarno pun ikut membawa Bendera Pusaka ke Jakarta.
Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus tahun 1971 di Istana Merdeka (KOMPAS/PAT HENDRANTO)
Artikel Terkait
Formasi 17-8-45
Setelah pemerintah RI kembali ke Jakarta, pelaksanaan upacara peringatan kemerdekaan selalu dilakukan di halaman Istana Merdeka. Pada tahun 1967, Hussein Mutahar, dipanggil oleh Presiden Soeharto. Hussein yang kala itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diberi tugas untuk menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Dia kemudian mengembangkan tiga kelompok formasi, yaitu Kelompok 17 (sebagai pemandu), Kelompok 8 (sebagai pembawa bendera), dan Kelompok 45 (sebagai pengawal). Ketiganya merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI.
Pada awalnya kelompok 17 dan kelompok 8 direkrut dari anggota pramuka. Sedangkan kelompok 45 diisi dari Pasukan Pengawal Presiden (sekarang Paspampres). Setahun kemudian pada upacara bendera tahun 1968 barulah anggotanya didatangkan dari sejumlah provinsi di Indonesia. Nama yang digunakan bagi tim pengibar ini adalah Pasukan Pengerek Bendera Pusaka.
Pada tahun 1973, Idik Sulaeman, tokoh yang aktif dalam kepanduan dan juga menjadi pembina pasukan pengibar bendera mengusulkan sebuah nama baru, yaitu Pasukan Pengibar Bendera Pusaka disingkat Paskibraka.
Tata Cara Upacara
Tata cara yang disusun oleh Hussein Mutahar hingga kini masih digunakan sebagai tata upacara baku. Pemberangkatan pasukan di mulai dari sisi samping kanan Istana Merdeka yang lalu bergerak dalam satu formasi I menuju formasi II di lapangan depan podium presiden. Dari situ pembawa baki bendera bergerak menaiki tangga podium presiden untuk mengambil duplikat bendera Pusaka. Setelah Presiden menyerahkan duplikat bendera pusaka, pembawa baki kembali mundur ke barisan. Gerakan selanjutnya secara serentak ketiga kelompok bergerak menuju tiang bendera. Namun, hanya Kelompok 17 dan Kelompok 8 yang berjalan menuju lapangan hijau, sementara kelompok 45 berbaris di lapangan aspal menghadap tiang.
Seragam
Seragam yang digunakan pasukan pengibar bendera pusaka pada awalnya mengenakan seragam putih-putih. Penggunaan warna putih selain berkesan keanggunan dan kegagahan, juga melambangkan kesucian tugas yang dijalankan mereka. Kelompok 45 yang dipilih dari berbagai kesatuan militer dan polisi mengenakan seragam warna merah pada baju dan putih pada celana serta setangan leher putih di balik bajunya. Model seragam militer ini juga mengakibatkan perubahan potongan seragam anggota Paskibraka. Semula, hingga tahun 1982, anggota Paskibraka putra mengenakan baju putih lengan panjang dengan dua saku tutup di dada. Baju pun dimasukkan ke celana. Tetapi pada tahun 1983, model seragam ini diubah menjadi model safari dengan empat saku tutup yang dikenakan di luar celana.
Infografik Terkait
Peserta Pelatihan Nasional Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskribaka) melakukan penghormatan saat mengikuti upacara pembukaan pelatihan tersebut di Wisma Menpora, Jakarta (25/7/2007). Pelatihan itu diikuti oleh 66 siswa SMA atau sederajat dari 33 provinsi di Indonesia. (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)
Seleksi Anggota
Mulai tahun 1969, anggota Paskibraka diseleksi dari siswa SLTA se-Indonesia. Seleksi anggota Paskibraka dimulai dari tingkat kabupaten/ kotamadya, provinsi, hingga tingkat nasional. Mereka yang lolos seleksi menjadi anggota Paskibraka nasional terdiri dari 68 putra-putri dari 34 provinsi di Indonesia. Tiap provinsi hanya diwakili oleh sepasang remaja. Bagi yang tidak lulus tingkat nasional, mereka bertugas di tingkat kabupatan/ kotamadya dan tingkat provinsi. Dasar pembagian ke dalam tiga tingkatan ini sesuai dengan amanat Presiden Soeharto ketika meminta memperbanyak duplikat bendera pusaka dan reproduksi Naskah Proklamasi untuk dibagikan kepada gubernur atau kepala daerah tingkat I dan juga ke kepala daerah tingkat II di seluruh Indonesia pada tanggal 5 Agustus 1969.
Kriteria untuk lolos penilaian sebagai anggota Paskibraka sendiri di antaranya memiliki prestasi akademik yang baik, memiliki kriteria fisik yang menjadi syarat minimun, memahami baris-berbaris, memiliki kondisi tubuh yang sehat dan bugar, aktif berorganisasi, serta mempunyai jiwa kesenian. Kriteria yang terkhir ini perlu karena setelah bertugas mengibarkan bendera, beberapa kali anggota Paskibraka juga diutus sebagai duta budaya.
Setelah lolos seleksi di tingkat nasional setiap anggota akan memperoleh pelatihan selama beberapa minggu di Jakarta. Masa ini disebut dengan istilah pemusatan pendidikan dan pelatihan. Tidak hanya fokus pada pelatihan baris berbaris saja, mereka juga memperoleh bekal pemantapan mental dan keimanan. Tim pelatih di bawah koordinasi satuan militer. Anggota calon pasukan pengibar bendera pusaka (Capaska) biasanya akan dikarantina selama masa penggemblengan beberapa hari menjelang pengibaran.
Anggota Capaska yang telah dibekali tersebut, baru sah menjadi anggota Paskibraka setelah mereka dikukuhkan oleh Kepala Negara ditingkat nasional, Gubernur di tingkat provinsi, dan bupati/wali kota di tingkat kabupaten/ kotamadya. Pengukuhan biasanya dilakukan satu atau dua hari menjelang pengibaran.
Infografik Terkait
Perwakilan anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), I Dewa Agung Ayu Alamanda Diastari, mencium bendera dalam upacara pengukuhan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta (15/8/2019). (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)
Purna Paskibraka Indonesia (PPI)
Setelah anggota Paskibraka selesai bertugas mengibarkan bendera, mereka secara otomatis menjadi Purna Paskibraka. Pada tahun 1975, sejumlah alumni Paskibraka tingkat nasional berkeinginan untuk mendirikan organisasi yang mewadahi para alumni. Para pembina di pusat pun menyambut baik keinginan para alumni tersebut. Dibentuklah Reka Purna Paskibraka (RPP), yang berarti persahabatan pada alumni Paskibraka. RPP pun diubah lagi menjadi Purna Eka Paskibraka (PEP), yang berarti wadah berhimpun dan pengabdian para alumni Paskibraka. Sejumlah alumni paskibraka di tingkat provinsi pun ikut membentuk wadah serupa seperti di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Ketiganya kala itu masih berada di bawah koordinasi bidang binmud kanwil Depdikbud dan belum membentuk forum komunikasi di tingkat pusat. Barulah pada tahun 1980, Direkorat Pembinaan Generasi Muda (PGM) berinisiatif mendayagunakan potensi alumni ke dalam berbagai program, di antaranya, program pertukaran pemuda Indonesia dengan Kanada dan Jepang. Organisasi itu bernama Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI). Selain Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, seluruh Purna Paskibraka digabungkan ke dalam PCMI sampai dengan tahun 1985.
Kemudian pada tanggal 10 Juli 1985, sesuai dengan SK Dirjen Diklusepora No.Kep.091/E/O/1985 alumni Paskibraka dan pertukaran pemuda dipisahkan. Selanjutnya Purna Paskibraka Indonesia (PPI) adalah organisasi binaan yang bersifat regional dan provinsial, yang berarti organisasi PPI ada di tiap provinsi.
Pada tanggal 21 Desember 1989 saat Musyawarah Nasional (Munas) I di Cipayung PPI dideklarasikan sebagai organisasi sosial kemasyarakatan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Winarno, Bondan. (2002). Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka. TSA Komunika: Jakarta.
- Sandjojo, Nidjo. (2011). Abdul Latief Hendraningrat: Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945. Pusataka Sinar Harapan: Jakarta.
- Yamin, Muhammad. (2016). 6000 tahun Sang Merah Putih. Balai Pustaka: Jakarta.
- “Sang Saka Pusaka Tak Dikibarkan”. Kompas, 12 Agustus 1986. hal. 3.
- “Bukan Bendera Baru yang Dikibarkan pada Upacara Proklamasi”. Kompas, 16 Agustus 1975. Hal. 1
- “Upacara Kenegaraan HUT ke-55 kemerdekaan RI”. Kompas, 17 Agustus 2000. Hal. 2.
- “Pasukan Pengibar Bendera Pusaka: Setelah Saat yang Menegangkan Usai….” Kompas, 19 Agustus 2015. hal. 5.
- “Detik-detik Proklamasi di Tengah Covid-19”. Kompas, 10 Agustus 2020. Hal. 1.