Paparan Topik | Digitalisasi Penyiaran

ASO 2022: Sejarah dan Masa Depan Penyiaran Digital di Indonesia

Mengikuti amanat UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah kembali mematangkan rencana migrasi penyiaran digital dengan program analog switch off (ASO) 2022. Program yang sebelumnya ditargetkan selesai tahun 2018 tersebut sempat terhambat karena tarik ulur regulasi.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Alat pengubah transmisi penyiaran analog ke digital dipamerkan dalam Pameran Penyiaran dan Multimedia di Jakarta Convention Center, Jumat (7/11/2008). Pameran yang menampilkan beragam produk yang dibutuhkan oleh industri televisi ini berlangsung hingga 9 November 2008.

Fakta Singkat

Penyiaran Digital

  • Merupakan amanat UU 11/2020 Cipta Kerja
  • Diselesaikan paling lambat tahun 2022
  • Menggunakan teknologi digital broadcasting terrestrial generasi kedua (DVB-T2)

Analog Switch Off (ASO) 2022

  • Pernah dicanangkan ASO 2018, tertunda karena tarik ulur regulasi
  • Dijalankan demi efisiensi frekuensi dan keragaman konten
  • Memungkinkan pemanfaatan digital dividend
  • Pemerintah mengalokasikan bantuan STB bagi masyarakat prasejahtera

Saat ini, digitalisasi penyiaran di Indonesia sedang berjalan dengan mengalihkan format media dari bentuk analog menjadi bentuk digital. Secara sederhana, digitalisasi penyiaran dapat diartikan sebagai proses alih teknologi menuju penggunaan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan sinyal gambar, suara, dan data ke pesawat televisi. Penyiaran televisi digital terestrial menggunakan frekuensi radio VHF/UHF seperti sistem analog, tetapi dengan format konten digital.

Migrasi ke sistem penyiaran digital di Indonesia merupakan amanat dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja menambahkan pasal 60A dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran. Di dalamnya, diatur bahwa penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.

Selain itu, ditegaskan pula bahwa migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital dan penghentian siaran analog (analog switch off/ASO) diselesaikan paling lambat dua tahun sejak mulai berlakunya UU Cipta Kerja. Terbitnya UU Cipta Kerja lantas dianggap sebagai pemecah kebuntuan proses migrasi penyiaran sistem digital yang sebelumnya telah dimulai sejak tahun 2004.

Dengan digitalisasi siaran, berbagai manfaat akan diterima oleh masyarakat, penyelenggara siaran, maupun pemerintah. Pemirsa siaran televisi digital akan mendapatkan siaran yang bersih dan jernih yang gratis serta konten yang lebih beragam dari berbagai penyelenggara siaran. Di sisi lain, digitalisasi siaran memungkinkan efisiensi frekuensi yang memungkinkan lebih banyak saluran televisi disiarkan daripada sistem analog.

Penyelenggara siaran juga dapat melakukan efisiensi investasi infrastruktur pemancar karena dapat digunakan secara bersama-sama. Selain itu, pemerintah dapat memanfaatkan kelebihan pita spektrum frekuensi untuk internet broadband.

Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan, migrasi penyiaran dari sistem analog ke sistem digital akhirnya menjadi sesuatu yang tak terelakkan bagi Indonesia agar tak ketinggalan dengan negara lain. Bahkan, dalam siaran pers tanggal 6 Oktober 2020, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyatakan bahwa hampir 90 persen negara di dunia telah menghentikan siaran TV analog yang sangat boros pita frekuensi radio, energi, dan tampilan serta fitur yang kurang optimal.

DOKUMENTASI DEPKOMINFO

Cara pemerintah Jepang melakukan kampanye dan menyosialisasikan migrasi TV analog ke digital (13/4/2006) yang ditargetkan selesai pada tahun 2011.

Digitalisasi penyiaran di luar negeri

Dalam konferensi International Telecommunication Union (ITU) pada tahun 2006, telah diputuskan bahwa 119 negara ITU Region-1 akan menuntaskan analog switch off (ASO) paling lambat tahun 2015. Region-1 yang dimaksud adalah Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tengah.

Istilah ASO digunakan secara luas untuk mewadahi semua proses konversi teknologi penyiaran televisi analog ke teknologi penyiaran televisi digital. Selain ASO, konversi teknologi penyiaran ke digital ini sering pula disebut sebagai transisi televisi digital, peralihan ke siaran digital, digitalisasi televisi, migrasi digital, hingga penghentian siaran analog.

Selain memutuskan program penghentian siaran sistem analog, konferensi ITU pada tahun 2007 dan 2012 sepakat untuk menetapkan, pita spektrum frekuensi radio UHF (700 MHz) akan digunakan untuk layanan mobile broadband. Pita spektrum frekuensi tersebut sebelumnya digunakan untuk televisi terestrial.

Di tingkat ASEAN, komitmen melakukan ASO diupayakan tercapai pada tahun 2020. Digitalisasi penyiaran TV free to air di Singapura dan Malaysia sudah selesai tahun 2019. Sedangkan, Vietnam dan Thailand selesai tahun 2020.

Pada dasarnya, terdapat empat sistem modulasi teknologi yang dapat digunakan untuk digital terrestrial television (DTTV). Pertama, sistem modulasi coded orthogonal frequency division multiplexing (COFDM) yang diadopsi dalam digital video broadcasting terrestrial (DVB-T) yang digunakan di Inggris, Perancis, Swedia, dan Jerman. Kedua, sistem modulasi the trellis coded 8-level vestigial side-band (8-VSB) yang dirancang oleh Advanced Television Systems Committee (ATSC) yang digunakan di AS, Kanada, dan Argentina. Ketiga, terrestrial integrated services digital broadcasting (ISDB-T). Keempat, digital terrestrial multimedia broadcasting (DTMB) yang digunakan di Korea Selatan dan China

Dari sisi perizinan, implementasi migrasi sistem penyiaran analog ke digital melibatkan perizinan yang berbeda-beda di tiap negara. Di kawasan Eropa misalnya, terdapat dua pendekatan pemberian izin penyiaran digital, yakni terpisah maupun bersama-sama. Inggris memberlakukan izin terpisah antara izin isi (content licenses) dan izin alokasi frekuensi multiplex (frequency assignments). Sedangkan, Perancis tak memisahkan izin isi dan izin frekuensi multiplex.

DVB-T di Indonesia

Salah satu upaya digitalisasi penyiaran di Indonesia dapat dilacak pada tahun 2007. Pada saat itu, ditetapkan standar penyiaran digital terestrial untuk televisi tidak bergerak di Indonesia melalui Permenkominfo Nomor 07/P/M.Kominfo/3/2007. Aturan yang ditandatangani pada tanggal 21 Maret 2007 tersebut menetapkan standar penyiaran digital terestrial untuk televisi tidak bergerak di Indonesia, yakni digital video broadcasting terrestrial (DVB-T).

Mulanya, standar DVB-T sebagai standar penyiaran televisi digital terestrial dipilih karena sistem ini dipandang paling menguntungkan dan menawarkan beberapa kelebihan. Salah satunya, teknologi ini mampu mengatasi high level of multipath propagation yang memungkinkan dilakukan pengiriman sinyal yang sama pada frekuensi yang sama dan mampu mengatasi interferensi siaran analog. Standar DVB-T diyakini mampu memberikan solusi efisiensi bandwidth dengan teknologi multiplexing. Di dalamnya, paling tidak enam program siaran dapat “dimasukkan” sekaligus ke dalam satu kanal TV berlebar pita 8 MHz dengan kualitas cukup baik.

Analoginya, satu lahan yang tadinya dapat digunakan untuk membangun satu gedung, dengan teknologi digital mampu digunakan untuk membangun enam gedung sekaligus tanpa perlu menambah lahan yang ada. Bahkan, dengan kualitas bangunan yang lebih baik dan daya tampung jauh lebih banyak.

Selain DVB-T, akan dikembangkan pula DVB handled atau genggam (DVB-H). DVB-H dipakai sebagai siaran TV digital melalui penerima televisi portable atau handheld. Pada saat bersamaan, juga akan dikembangkan digital audio broadcast (DAB) untuk menggantikan radio analog FM sehingga banyak sekali pita spektrum frekuensi yang dapat dihemat.

Tarik ulur regulasi

Penetapan teknologi DVB-T kemudian dilanjutkan dengan uji coba lapangan penyelenggaraan siaran televisi digital yang ditetapkan melalui Permenkominfo Nomor 27/P/M.Kominfo/8/2008. Uji coba tersebut dimaksudkan untuk mengkaji setiap aspek teknis dan nonteknis, yakni kinerja perangkat dan sistem penyelenggaraan siaran televisi digital, model regulasi dan kelembagaan, serta fitur layanan televisi digital yang diharapkan masyarakat.

Pada tanggal 13 Agustus 2008, dilakukan soft launching TV Digital Indonesia di Studio TVRI Jakarta. Sedangkan, grand launching dilakukan pada tanggal 20 Mei 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-101 tahun.

Pada saat itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah membuat  roadmap mengenai digitalisasi penyiaran di Indonesia. Dengan peta jalan tersebut, direncanakan bahwa semua stasiun televisi sudah bersiaran digital dan pemerintah akan mematikan semua siaran analog di seluruh Indonesia pada tahun 2018.

Dalam buku Digitalisasi Televisi di Indonesia (2012), tercatat tiga tahapan dalam roadmap migrasi sistem penyiaran digital yang disusun pemerintah. Tahap pertama, periode 2010-2014, merupakan siaran simulcast. Pada tahap ini, akan dilakukan siaran bersama-sama (simulcast) antara sistem analog dan digital. Tahap kedua, periode 2014-2017, sejumlah siaran analog di beberapa wilayah akan dimatikan sebagian. Ketiga, setelah 2017, seluruh siaran analog akan dimatikan. Dalam roadmap tersebut, direncanakan, setelah tahun 2018 seluruh siaran televisi analog akan dimatikan (total switch off).

Walaupun sudah dibuat roadmap dan dilakukan grand launching, pedoman penyelenggaraan siaran digital belum juga tuntas. Hal tersebut disebabkan belum adanya regulasi setingkat UU yang mengaturnya. Undang-Undang 32/2002 tentang Penyiaran belum mengatur sistem penyiaran digital. Aturan yang pernah diterbitkan untuk memfasilitasi penyiaran digital merupakan aturan setingkat peraturan menteri (permen).

Selain itu, pelaksanaan siaran digital secara menyeluruh berpotensi memunculkan puluhan stasiun televisi baru yang pada gilirannya akan mengurangi “kue belanja iklan” di televisi. Oleh karena itu, disinyalir muncul keengganan dari industri penyiaran televisi untuk bermigrasi digital.

Rencana migrasi siaran digital yang diluncurkan pada tahun 2008 mendapat ujian pada tahun 2012. Pada saat itu, Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung terhadap Permenkominfo Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air).

ATVJI menyatakan bahwa terdapat pertentangan secara materiil antara Permenkominfo di atas dengan UU Penyiaran. Di antaranya, peraturan Kominfo tersebut dianggap tidak memberikan jaminan bagi lembaga penyiaran swasta yang sudah memiliki izin penyelenggaraan penyiaran untuk melakukan kegiatan penyiaran. Selain itu, kebijakan ASO dianggap bertentangan dengan UU Penyiaran.

Dalam putusannya bernomor 38P/HUM/2012, MA menyatakan bahwa Permenkominfo tersebut bertentangan dengan UU Penyiaran sehingga dianggap tidak sah dan tidak berlaku umum. Selain itu, MA memerintahkan kepada Menkominfo untuk mencabut peraturan tersebut.

Dalam perkembangannya, pada 2012 pemerintah memperbarui sistem teknologi dengan menggunakan DVB generasi kedua (DVB-T2) berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5/P/ Men.Kominfo/2/2012. DVB-T2 dipilih karena memiliki beberapa pembaruan fitur teknologi. Secara teknis, DVB- T2 menggunakan MPEG 4, sedangkan DVB-T hanya MPEG. Untuk kanal, teknologi DVB-T2 dengan satu frekuensi bisa digunakan untuk 12 kanal, sedangkan DVB-T hanya sampai 6 kanal.

Bersamaan dengan berkembangnya perangkat televisi yang bisa menerima siaran TV Digital, pada tahun 2016 LPP TVRI melakukan uji coba di berbagai kota. Hal itu diikuti dengan bergabungnya berbagai televisi swasta melalui siaran simulcast pada tahun 2019. Hingga tahun 2020, siaran digital TVRI sudah dapat diterima di 120 lokasi di seluruh Indonesia.

Dengan regulasi setingkat peraturan menteri yang kandas, rencana ASO di Indonesia dilanjutkan dengan mengusahakan revisi UU Penyiaran. Kabar baiknya, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 60A mengamanatkan migrasi penyiaran dari analog ke digital paling lambat dua tahun sejak UU tersebut diberlakukan. Pemerintah melakukan akselerasi atau percepatan migrasi penyiaran digital melalui UU Cipta Kerja yang dilaksanakan dengan meningkatkan fasilitasi dan kemudahan untuk membangun infrastruktur digital agar bisa dimanfaatkan secara adil.

ASO 2022

Dengan terbitnya UU Cipta Kerja, Indonesia menetapkan program ASO 2022. ASO dilakukan oleh masing-masing negara pada jadwal yang berbeda dengan melibatkan terutama konversi infrastruktur penyiaran televisi terestrial analog menjadi terestrial digital (DTT). Dengan digitalisasi penyiaran, diharapkan bahwa penggunaan frekuensi menjadi lebih efisien dan keragaman konten menyadi lebih berkualitas. Bahkan, akan didapatkan digital dividend yang memungkinkan pengalokasian spektrum frekuensi untuk penyelenggaraan internet kecepatan tinggi.

Beberapa upaya percepatan ASO 2022 dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan memberikan kemudahan dan fasilitas membangun infrastruktur telekomunikasi. Pertama, kewajiban bagi pelaku usaha pemilik infrastruktur pasif untuk membuka akses bagi penyelenggara telekomunikasi dengan prinsip kerja sama. Kedua, pelaku usaha yang memiliki infrastruktur aktif dapat membuka akses pemanfaatan kepada penyelenggara telekomunikasi atau penyiaran melalui kerja sama yang adil, wajar dan nondiskriminasi.

Saat ini terdapat lebih dari 700 lembaga penyiaran swasta (LPS) di Indonesia. Jumlah tersebut telah memakan frekuensi UHF analog dalam penyiaran sehingga pemerintah tak lagi membuka izin baru untuk penyelenggaraan penyiaran untuk stasiun televisi yang baru pada 2017.

Moratorium tersebut dinyatakan dalam Surat Edaran Menkominfo Nomor 1 Tahun 2017 yang ditetapkan tanggal 6 Februari 2017. Di dalamnya disebutkan bahwa moratorium dilakukan untuk mendukung penataan pita frekuensi radio untuk kepentingan efisiensi nasional. Akan tetapi, dengan migrasi ke sistem digital dalam kerangka ASO 2022, seluruh stasiun televisi yang telah mengantongi izin siaran akan dijamin mendapatkan alokasi siaran di frekuensi digital setelah ASO 2022.

Dari sisi masyarakat pengguna, penerapan ASO juga akan menguntungkan dari sisi kualitas siaran maupun keragaman konten yang mungkin didapat, serta gratis. Sebelumnya, masyarakat yang menginginkan kualitas siaran yang lebih baik harus berlangganan TV kabel atau satelit. Dengan digitalisasi penyiaran, masyarakat tak perlu mengeluarkan uang langganan untuk mendapatkan kualitas siaran yang prima. Masyarakat yang belum memiliki perangkat digital hanya perlu menyediakan dekoder atau set top box (STB) seharga Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu rupiah di pasaran.

Tantangan ASO 2022

Dalam waktu dua tahun hingga 2022, tantangan terbesar ASO 2022 adalah mendorong masyarakat untuk pindah ke siaran TV digital. Walaupun masyarakat tidak perlu membayar biaya langganan, alias gratis, siaran televisi digital mensyaratkan kepemilikan televisi digital atau dekoder penerima siaran digital (STB). Oleh karena itu, pemirsa televisi perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli STB bahkan membeli televisi digital baru. Bila tidak, televisi analog yang dimiliki tak dapat digunakan untuk menangkap siaran karena tak ada lagi lembaga penyiaran yang menyiarkan siaran analog pada 2022.

Mengingat program ASO 2022 merupakan alih teknologi yang bersifat serentak, pemerintah mengeluarkan kebijakan bantuan untuk kelancaran program ini. Bagi masyarakat prasejahtera, pemerintah akan mengalokasikan 6,6 juta dekoder atau STB. Pihak penyelenggara akan menyediakan sekitar 8 juta lebih dekoder untuk masyarakat prasejahtera. Dengan demikian, pada tahap awal tahun 2022, akan ada sekitar 15 juta dekoder yang dibagikan kepada masyarakat prasejahtera untuk menangkap siaran televisi digital. Jumlah ini perlu ditingkatkan maupun dibuat skema insentif bagi masyarakat pra sejahtera mengingat jumlah masyarakat prasejahtera di Indonesia mencapai 40 persen dari jumlah penduduk di Indonesia.

Tantangan lain adalah sosialisasi terhadap lembaga penyiaran yang berjumlah ratusan di Indonesia. Ketika seluruh lembaga penyiaran memiliki target yang sama, tujuan ASO 2022 dapat lebih mudah dicapai. Selain itu pemerintah juga perlu mempersiapkan dukungan dari sisi industri. Salah satunya dengan mendorong agar industri dalam negeri dapat memproduksi STB standar dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Selain hardware, industri dalam negeri juga perlu disiapkan untuk membuat perangkat lunak aplikasi layanan (software) yang diperlukan untuk membangun sistem penyiaran digital.

Dari sisi lain, digitalisasi penyiaran juga dapat menjadi bumerang bagi Indonesia apabila tidak dilakukan dengan hati-hati, terutama akan menjadikan masyarakat Indonesia semata pasar dan bukan produsen konten penyiaran digital. Riset PR2 Media pada tahun 2012 merekomendasikan tujuh hal yang tetap relevan diperhatikan dalam pelaksanaan program ASO 2022.

  1. Frekuensi adalah milik publik sehingga pengaturannya dan penggunaannya harus mempertimbangkan kepentingan dan hak publik.
  2. Prasyarat transfer teknologi digital di tingkat masyarakat harus dijamin dalam undang-undang.
  3. Migrasi perlu dipersiapkan dengan baik dan memberikan peluang bagi adanya berbagai alternatif dengan mempertimbangkan berbagai aspek agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar dunia di era digitalisasi televisi.
  4. Perlu ada jaminan lembaga penyiaran publik dan komunitas melalui alokasi frekuensi yang memadai dan dukungan dana agar lembaga penyiaran publik dan komunitas tidak tenggelam.
  5. Regulator terbaik adalah lembaga independen.
  6. Model bisnis penyiaran digital harus menjamin demokratisasi ekonomi dan politik. Beberapa hal perlu diatur dengan jelas dalam regulasi agar diversity of content dan ownership-nya terjaga. Regulasi yang ketat dalam bisnis siaran ini juga harus mempertimbangkan daya dukung ekonomi, kesenjangan ekonomi yang ada, dan kemungkinan penguasaan atau monopoli oleh segelintir orang.
  7. Negara-negara di Eropa layak dijadikan bahan rujukan untuk demokratisasi penyiaran. Faktanya, di negara-negara yang sudah maju, seperti Inggris, Perancis, AS, dan Kanada, digitalisasi dipersiapkan sedemikian rupa demi tetap menjamin demokratisasi penyiaran demi kepentingan publik.

Bagaimanapun, frekuensi adalah milik publik sehingga pengaturan dan penggunaannya harus mempertimbangkan kepentingan dan hak publik, termasuk hak publik untuk mendapatkan konten yang berbobot dan berkualitas dalam pada televisi digital. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku

Rianto, Puji, dkk. 2012. Digitalisasi Televisi di Indonesia. Yogyakarta: PR2 Media dan Yayasan Tifa.

Arsip Kompas
  • “Tanda Tanya Masa Depan Penyiaran Digital”, Kompas, 30 Mei 2020, halaman E.
  •  “Jebakan Draf RUU Penyiaran”, Kompas, 25 Februari 2016.
Aturan Pendukung
Makalah
  • Term of Reference (TOR) Indonesia Menuju ASO 2022 yang disusun Tim Komunikasi Publik Direktorat Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2020
  • Paparan Materi Ahmad M Ramli selaku Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kemenkominfo dalam diskusi daring Televisi Digital pada 16 Juli 2020.