KOMPAS/JOHNNY TG
Empat tokoh reformis nasional, (kiri ke kanan) Sultan Hamengku Buwono X, KH Abdurrahman Wahid (NU) yang akrab dipanggil Gus Dur, Megawati Soekarnoputri (PDI Perjuangan), dan Amien Rais (PAN) beserta dua orang perwakilan mahasiswa mengadakan pertemuan di kediaman Gus Dur, di Ciganjur, Jakarta Selatan, Selasa (10/11/1998).
Reformasi 1998 menjadi titik balik arah perjuangan bangsa. Peristiwa bersejarah ini meledak sebagai konsekuensi logis atas berbagai situasi dan kondisi yang terjadi pada masa kepemimpinan Orde Baru. Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya Reformasi 1998 antara lain:
Pertama, krisis ekonomi: Krisis keuangan dan ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1990-an menjadi pemicu utama. Krisis ini dipicu oleh faktor seperti keterbukaan ekonomi yang terlalu cepat, korupsi, nepotisme, dan kelemahan struktural dalam sistem keuangan.
Kedua, ketidakpuasan rakyat: Rakyat Indonesia merasa kecewa dengan praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang terjadi di bawah rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto.
Ketiga, pemikiran kritis dari mahasiswa dan masyarakat sipil: Mahasiswa, aktivis, dan kelompok masyarakat sipil semakin aktif dalam menyuarakan tuntutan reformasi politik, demokratisasi, dan perlindungan hak asasi manusia. Mereka mengorganisir demonstrasi, unjuk rasa, dan kampanye yang memperkuat gerakan reformasi.
Keempat, munculnya konflik internal di elite politik: Terdapat konflik internal di antara para elit politik, termasuk di dalam partai politik dan militer. Ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Soeharto dan persaingan untuk kekuasaan di antara para elit politik memperkuat gerakan reformasi.
Kelima, dukungan internasional: Tekanan dari pihak internasional, termasuk lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, untuk melakukan reformasi struktural juga turut mempercepat terjadinya perubahan politik di Indonesia.
Kombinasi dari faktor-faktor tersebut akhirnya memuncak pada protes massal dan kerusuhan yang memaksa Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998, mengakhiri era Orde Baru dan membuka jalan bagi reformasi politik dan ekonomi yang lebih demokratis di Indonesia.
Dari banyak tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Reformasi 1998 mereka adalah beberapa yang mengakhiri pemerintahan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
KH Abdurrahman Wahid
KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur merupakan Presiden ke-4 Republik Indonesia. Gus Dur menggantikan Presiden BJ Habibie setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Masa pemerintahannya tidak lama, Gus Dur menjabat sebagai Presiden dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Memiliki nama asli Abdurrahman Ad-Dhakhil, Gus Dur sapaan akrabnya, lahir di Denanyar, Jombang, pada 4 Agustus 1940. Gus Dur adalah putra sulung dari KH Wahid Hasyim, dan cucu dari KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Pada usia 23 tahun Gus Dur dikirim untuk belajar di Kairo, Mesir, dan Irak. Di Baghdad, Irak, Gus Dur mengambil kuliah di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab, Universitas Baghdad hingga tahun 1970.
Sekembalinya dari Timur Tengah, Gus Dur bergabung dengan LP3ES di Jakarta. Di lembaga penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial ini Gus Dur menjadi penulis dan kolumnis, serta banyak bergaul dengan kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Tahun 1974 Gus Dur menjadi pengajar di Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Ia juga pernah menjadi Dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, Universitas Hasyim Asy’ari.
Kiprahnya di Nahdlatul Ulama (NU) dimulai tahun 1984 dengan menjabat Ketua Umum Tanfidziah atau Ketua Umum PBNU selama tiga periode, yaitu dari hasil Muktamar ke-27 (1984), Muktamar ke-28 (1989) dan Muktamar ke-29 (1994) hingga tahun 2000.
Tahun 1999 Gus Dur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI menggantikan BJ Habibie. Gus Dur tidak lama menduduki kursi orang nomor satu di Indonesia ini. Ia resmi berhenti dari jabatan Presiden RI dalam Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001 setelah mandatnya dicabut oleh MPR, dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden.
Gus Dur meninggal dunia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pada 30 Desember 2009, dan dimakamkan di Pemakaman Maqbarah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pada 31 Desember 2009.
KOMPAS/JOHNNY TG
KH Abdurrahman Wahid
Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Republik Indonesia. Perempuan kelahiran Yogyakarta 23 Januari 1947 merupakan putri dari Ir. Soekarno, Presiden pertama RI. Megawati mulai terjun ke dunia politik dengan bergabung bersama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1987. Pernah menjadi Anggota DPR periode 1987–1992, karier politiknya menanjak dengan terpilih sebagai Ketua Umum PDI.
Bersamaan dengan berakhirnya masa pemerintahan Presiden Soeharto pada 1998, PDI pimpinan Megawati berganti nama menjadi PDI Perjuangan (PDI-P). Megawati menjadi Ketua Umum. Selanjutnya, PDI-P memenangkan Pemilu 1999, tetapi Megawati kalah sebagai presiden pada Sidang Umum MPR, dan menjadi Wakil Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pada 23 Juli 2001, MPR secara aklamasi memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-5 RI periode 2001–2004 setelah Gus Dur dimakzulkan dari tampuk kekuasaan Presiden RI Oleh MPR melalui Sidang Istimewa. Megawati menjadi perempuan pertama Presiden RI.
Saat pemilihan presiden 2004, Megawati kembali mencalonkan diri bersama Hasyim Muzadi. Namun, Megawati kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selanjutnya, pada Pemilu 2009 Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto. Megawati kembali kalah dari SBY yang melanjutkan masa pemerintahannya pada 2009–2014.
Pada Pemilu 2014, Megawati tidak mencalonkan diri, tetapi menunjuk kader PDI-P Joko Widodo sebagai calon presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla. Joko Widodo menjadi Presiden ke-7 RI dan Megawati tetap aktif sebagai Ketua Umum PDI-P hingga kini. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Megawati diangkat sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Megawati Soekarnoputri
Sultan Hamengku Buwono X
Sultan Hamengku Buwono X menjadi sosok penting dalam keistimewaan Yogyakarta yang mendamaikan sistem monarki dan demokrasi di Indonesia. Dia dilantik sebagai Sultan Keraton Yogyakarta sejak 1989, dan menjabat sebagai Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak tahun 1998 hingga sekarang.
Sultan Hamengku Buwono X yang dikenal dengan sapaan Ngarso Dalem, Sinuwun atau Sri Sultan merupakan penerus tampuk kekuasaan Keraton Yogyakarta yang sebelumnya dipegang oleh Sultan Hamengku Buwono IX, yang tak lain adalah ayahnya. Sultan HB X adalah Gubernur ketiga Provinsi DIY. Sebelumnya jabatan itu dipegang oleh Sultan HB IX (1950-1988) dan Paku Alam VIII (1988-1998).
Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito, nama asli Hamengku Buwono X merupakan putra tertua Sultan Hamengku Buwono IX. Sebagai putra tertua, BRM Herjuno Darpito ditunjuk oleh ayahnya sebagai Pangeran Lurah atau yang dituakan di antara semua Pangeran Keraton Yogyakarta. Selanjutnya, dia diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Mangkubumi. Gelar itu menjadi tanda bahwa KGPH Mangkubumi adalah yang disiapkan meneruskan Tahta Keraton.
Setelah ayahnya HB IX meninggal dunia, KGPH Mangkubumi dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta. Penobatan Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 7 Maret 1989 tercatat dalam sejarah sebagai kali pertama penobatan Sultan Yogyakarta tanpa persetujuan Belanda. Penobatan sebelumnya terjadi pada tahun 1940.
Dalam pidato penobatannya Hamengku Buwono X menegaskan bahwa tahta adalah untuk rakyat. “Totalitas jiwa raga yang dicurahkannya bagi Republik Indonesia, sebagai jawaban atas piagam kedudukan yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia itu, telah mendapat pengakuan masyarakat sebagai tahta untuk rakyat,” ujar Sultan (Kompas, 8/3/1989).
Hamengku Buwono X mendapat gelar resmi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Ka10, Suryaning Mataram, Senopati Ing Ngalogo, Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Tata Panotogomo.
KOMPAS/EDDY HASBY
Sri Sultan Hamengku Buwono X
Amien Rais
Amien Rais merupakan sosok intelektual aktivis yang menjadi ketua umum partai pertama. Sebagai pendiri partai ini nama Amien tidak bisa lepas dari partai ini, sejak awal di deklarasikan partai ini sampai saat ini nama Amien Rais masih dominan dan mampu memberikan warna tesendiri dalam perjalanan politik ataupun keorganisasian partai ini. Bahkan dua pemimpin partai ini setelah era Amien Rais, yakni Soetrisno Bachir (periode 2005–2010) dan M. Hatta Rajasa (periode 2010–2015) tidak lepas dari pengaruh sosok Amien Rais.
Amien Rais lebih dikenal sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1995–1998) sebelum masuk ke dalam kancah politik bersama Partai Amanat Nasional. Sosoknya yang menjadi nomer satu didalam organisasi massa Islam besar inilah yang menjadi identik sebagai sumber basis massa kekuatan PAN. Selain itu, Amien Rais dikenal sebagai seorang intelektual yang kritis terhadap rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
KOMPAS/JOHNNY TG
Amien Rais
Foto lainnnya dapat diakses melalui http://www.data.kompas.id
Artikel terkait