Tokoh

Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid

KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur merupakan Presiden ke-4 Republik Indonesia. Gus Dur menggantikan Presiden BJ Habibie setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Masa pemerintahannya tidak lama, Gus Dur menjabat sebagai Presiden dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Tokoh muslim Indonesia ini meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di RSCM Jakarta, dan dimakamkan di Jombang, Jawa Timur.

PRI

Fakta Singkat

Nama Lengkap
KH. Abdurrahman Wahid

Lahir
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940

Jabatan
Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999 — 23 Juli 2001)

Memiliki nama asli Abdurrahman Ad-Dhakhil, Gus Dur sapaan akrabnya, lahir di Denanyar, Jombang, pada 4 Agustus 1940. Gus Dur adalah putra sulung dari KH Wahid Hasyim, dan cucu dari KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Pada usia 23 tahun Gus Dur dikirim untuk belajar di Kairo, Mesir, dan Irak. Di Baghdad, Irak, Gus Dur mengambil kuliah di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab, Universitas Baghdad hingga tahun 1970.

Sekembalinya dari Timur Tengah, Gus Dur bergabung dengan LP3ES di Jakarta. Di lembaga penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial ini Gus Dur menjadi penulis dan kolumnis, serta banyak bergaul dengan kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Tahun 1974 Gus Dur menjadi pengajar di Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Ia juga pernah menjadi Dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, Universitas Hasyim Asy’ari.

Kiprahnya di Nahdlatul Ulama (NU) dimulai tahun 1984 dengan menjabat Ketua Umum Tanfidziah atau Ketua Umum PBNU selama tiga periode, yaitu dari hasil Muktamar ke-27 (1984), Muktamar ke-28 (1989) dan Muktamar ke-29 (1994) hingga tahun 2000.

Tahun 1999 Gus Dur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI menggantikan BJ Habibie. Gus Dur tidak lama menduduki kursi orang nomor satu di Indonesia ini. Ia resmi berhenti dari jabatan Presiden RI dalam Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001 setelah mandatnya dicabut oleh MPR, dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden.

Gus Dur meninggal dunia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pada 30 Desember 2009, dan dimakamkan di Pemakaman Maqbarah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pada 31 Desember 2009.

Anak Kiai

Abdurrahman Wahid lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940 dengan nama asli Abdurrahman Ad-Dhakhil. Ad Dhakhil adalah tokoh pahlawan dari dinasti Umayyah yang secara harafiah berarti “Sang Penakluk”. Gus Dur, demikian nama panggilannya adalah putra sulung dari enam bersaudara. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, aktif dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, dan kakeknya adalah KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama. Sedangkan, ibunya, Hj. Sholehah adalah puteri pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, KH Bisri Sansuri.

Ada perbedaan mengenai tanggal lahir Gus Dur. Ada yang menuliskan tanggal 7 September 1940, namun ada pula yang merayakan hari ulang tahun Gus Dur pada 4 Agustus. Mengenai perbedaan tanggal lahir ini Gus Dur pernah membeberkan dalam wawancara di Harian Kompas, 8 Agustus 1990. Ibunda Gus Dur ternyata tidak tahu persis kapan sang anak lahir. “itu sebabnya saya tidak heran kalau orang-orang pada bingung kapan tepatnya saya lahir. Karenanya terserah oranglah,” tuturnya, lalu menyebut tanggal 4-8-1941 sebagai waktu kelahirannya.

Bulan delapan ternyata belum tentu Agustus, sebab ia mengaku lahir pada bulan Sya’ban. Tahun kelahirannya pun tidak sama dengan kenyataan, sebab untuk keperluan sekolah Gus Dur mengubah usianya lebih tua setahun.Tidak pastinya tanggal lahir Gus Dur karena buku doa berisi tanggal lahir dirinya dan saudara lainnya hilang pada zaman perang. Ayahnya ikut perang sehingga buku itu tercecer entah ke mana

Sejak kanak-kanak, Gus Dur sudah gemar membaca. Saat berusia 5 tahun Gus Dur sudah bisa membaca Al-Qur’an. Ia pertama kali belajar mengaji dengan sang kakek, KH Hasyim Asy’ari. Selepas sekolah dasar, Gus Dur dikirim orangtuanya bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Gowongan, Yogyakarta. Pada saat yang sama, ia juga belajar mengaji di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Lulus dari SMEP, Gus Dur melanjutkan ke Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah selama dua tahun. Kemudian tahun 1959 hingga 1963 Gus Dur belajar di Pondok Pesantren Tambakberas di Jombang, asuhan kakek dari ibunya, KH Bisri Syamsuri. Ketika itu, Gus Dur diminta mengajar santri-santriwati yang lebih muda, termasuk Sinta Nuriyah, yang kemudian menjadi istrinya.

Tahun 1964 bertepatan 23 tahun usianya, Gus Dur dikirim belajar ke Al-Azhar Universtiy, Kairo, Mesir. Gus Dur belajar ilmu-ilmu agama di Ma’had al-Dirasat al-Islamiyyah yang berada di lingkungan al-Azhar Islamic University.

Merasa tidak puas dengan teknik pengajaran dan pembelajaran di al-Azhar University, Gus Dur menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk American University Library, Dar al-Kutub dan Perpustakaan Universitas Kairo, bahkan beruntung karena terbukanya peluang untuk bergabung dengan kelompok diskusi dan kegiatan tukar pikiran yang umumnya diikuti oleh para intelektual Mesir.

Di Kairo, Gus Dur aktif berkegiatan, termasuk di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) untuk Timur Tengah sebagai Sekretaris Umum periode 1964–1970. Di Kairo Gus Dur tinggal dari tahun 1964 hingga 1966, kemudian pindah ke Baghdad, Irak, dan mengambil kuliah di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab, Universitas Baghdad dari tahun 1966 hingga 1970.

Tahun 1971, Gus Dur ke Eropa untuk meneruskan pendidikan ke program pascasarjana di bidang perbandingan agama. Mula-mula ia tinggal di Belanda untuk mewujudkan harapanya di Universitas Leiden. Namun, ia kecewa karena kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui di universitas-universitas di Eropa. Ia harus mengulang ke Strata satu (S1). Gus Dur kemudian pergi ke Jerman dan Perancis, sebelum akhirnya memutuskan kembali ke Indonesia pada Mei 1971.

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah pada 11 Juli 1968. Mereka dikaruniai empat putri, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Karier

Sekembalinya di Jakarta, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), yaitu organisasi yang terdiri dari para kaum intelektual Muslim progresif dan sosial demokrat. Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagai penulis dan kolumnis.

LP3ES mendirikan majalah Prisma dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama, dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Kemudian Gus Dur memberikan materi mengani perhimpunan, pengembangan pesantren dalam masyarkaat (P3M) yang dimotori oleh LP3ES.

Gus Dur meneruskan kariernya sebagai jurnalis. Ia banyak menulis untuk Majalah Tempo dan Harian Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas intelektualnya, Gus Dur mendapat banyak undnagan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga ia harus pulang pergi Jakarta dan Jombang.

Tahun 1974 Gus Dur mendapat pekerjaan sebagai pengajar di Pesantren Tambakberas, Jombang. Setahun kemudian, ia juga mendapat pekerjaan menjadi Guru Kitab Al-Hikam. Tahun 1977, Gus Dur bergabung di Universitas Hasyim Asy’ari sebagai Dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam dengan mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam, misiologi, dan pedagogi. Ia juga mendirikan Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta pada 1976.

Gus Dur mulai berkiprah di Nahdlatul Ulama (NU) pada 1984 dengan menjabat Ketua Umum Tanfidziah atau Ketua Umum PBNU selama tiga periode, yaitu dari hasil Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1989), dan Muktamar ke-29 di Cipasung, Jawa Barat (1994).

Tahun 1991, Gus Dur menolak bergabung ke dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin BJ Habibie. Gus Dur menolak karena mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Presiden Soeharto tetap kuat. Pada tahun yang sama, Gus Dur membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.

Pada 1998 Gus Dur turut membidani terbentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikan di Ciganjur, Jakarta. Ia juga bersama Amien Rais, Sultan Hamengku Buwono X, dan Megawati Soekarnoputri mengadakan dialog nasional di Ciganjur, Jakarta Selatan yang menghasilkan delapan butir kesepakatan, di antaranya mengenai penghapusan Dwifungsi ABRI, dan pengusuran harta kekayaan Soeharto.

Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian dilepasnya, ketika Gus Dur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI menggantikan BJ Habibie pada 20 Oktober 1999. Ia berduet dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 1999–2004. Namun, belum usai menjalani masa jabatan presiden, Gus Dur harus berhenti dari jabatan Presiden RI di hadapan Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Gus Dur dilengserkan oleh MPR dan kursi presiden digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

Saat menjadi Presiden RI, Gus Dur dikenal sebagai pemimpin yang cukup kontroversial karena beberapa kebijakannya. Salah satu kebijakan yang menuai kontroversi adalah pencabutan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tertuang dalam Tap MPR Nomor 25 Tahun 1966. Pemerintahannya dianggap cukup kontroversial, namun membawa nilai persatuan di dalam kemajemukan suku dan dan agama.

Gus Dur dikenal sebagai presiden yang humanis dan juga humoris. Ia adalah tokoh muslim yang menjunjung tinggi persatuan nasional dan kebhinekaan di tanah air. Tokoh demokrasi, kiai, cendekiawan, bapak bangsa dan politisi ini meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam usia 69 tahun.

Gus Dur meninggal dunia karena komplikasi penyakit stroke, diabetes, gangguan ginjal, serta penyumbatan arteri darah. Gus Dur dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pemakaman Maqbarah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, pada 31 Desember 2009.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Mantan presiden RI yang juga mantan ketua PBNU, Gus Dur menghadiri pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional IV Jam’iyyatul Qurra’wal Huffazh antar pondok pesantren se-Indonesia yang digelar di Pendapa Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (24/11/2004). Acara tersebut merupakan kegiatan menyambut Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) Ke-31.

Daftar penghargaan

  • Doktor Honoris Causa Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
  • Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, New York (2000)
  • Doktor Honoris Causa Bidang Perdamaian dari Soka University, Jepang (2002)
  • Global Tolerance Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement (2003)
  • Bapak Tionghoa dari beberapa tokoh Tionghoa Semarang (2004)
  • Suardi Tasrif Award sebagai Pejuang Kebebasan Pers (2006)
  • Penghargaan dari Dewan Adat Papua (2006)
  • Penghargaan dari Simon Wieshenthal Center, New York, Amerika Serikat (2009)
  • Mebal Valor di Los Angeles, Amerika Serikat (2009)
  • Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat (2009)

Penghargaan

Gus Dur banyak berjasa bagi kemanusiaan. Kiprahnya itu mendapat perhatian dari dalam dan luar negeri. Ia banyak memperoleh penghargaan dari pemerintah RI, pemerintah negara lain, serta lembaga pemerintah dan swasta, baik dari dalam dan luar negeri, meliputi bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Tahun 1998, Gus Dur menerima Bintang Mahaputra Utama. Bintang Jasa Kelas 1, Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintah Mesir. Gus Dur juga menerima penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina pada 1993.

Gus Dur juga menerima penghargaan doktor kehormatan dari berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, antara lain, gelar Doktor Honoris Cuasa, dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000), Doktor HC Bidang Hukum dari Universitas Thammasat Anant Anantakul, Thailand (2000), Doktor HC Bidang Perdamaian dari Soka University, Jepang (2002).

Penghargaan Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations, New York (2003), World Peace prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003), Presiden World Headwuarters on Non-Violence Peace Movement (2003).

Suardi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen (2006), penghargaan dari Dewan Adat Papua (2006), Simon Wiethemtal Center, Amerika Serikat (2008). Mebal Valor, Amerika Serikat (2008), Penghargaan dan kehormatan dari Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat.

Kompas/JB Suratno

.Presiden KH Abdurrahman Wahid memberi selamat kepada Mahfud MD usai pelantikannya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang baru menggantikan Marsillam Simanjuntak, yang diangkat sebagai Jaksa Agung baru, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/7/2001)

PRI

“Setiap umat beragama memiliki hak yang sama dengan warga negara lain. Setelah sekian lama diingkari, alhamdulillah sekarang hak-hak dasar itu sudah diakui. Saya ucapkan selamat merayakan Imlek,” tegas Presiden Abdurrahman Wahid (Kompas, 19 Februari 2000).

 

Guru bangsa

Bagi Indonesia, Gus Dur adalah guru bangsa. Ia bukan hanya tokoh multikulturalisme, tetapi juga pendorong demokrasi di Indonesia. Gus Dur dikenal sebagai tokoh intelektual dan  pemikir Islam terkemuka dan sebagai salah satu tokoh utama yang mempromosikan pemikiran Islam progresif. Ia juga dipandang sebagai pemimpin yang berkomitmen untuk mempromosikan perdamaian dan keadilan, serta menghormati perbedaan.

Ia memperkenalkan tradisi dialog antar-agama dan antar-budaya, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia, dan tidak pernah berhenti mempromosikan nilai-nilai demokrasi. Jauh sebelum reformasi digaungkan, Gus Dur telah lebih dahulu memikirkan bagaimana mendorong demokratisasi di Indonesia. Cucu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama itu bahkan menjadi perekat hubungan antarumat beragama. Gus Dur telah memikirkan bagaimana cara merekonstruksi bangsa.

Saat menjabat Presiden ke-4 RI (1999–2001), buah pikiran itu diterjemahkan Gus Dur dengan menyatukan perbedaan agama, suku, dan bangsa di bawah bingkai demokrasi. Ia berhasil meyakinkan bangsa bahwa demokrasi bisa dikembangkan bersama-sama dalam masyarakat yang majemuk.

Kepemimpinannya sebagai Presiden RI berjalan selama masa krisis yang penuh gejolak dan intrik. Meski demikian, ia berhasil meletakkan dasar-dasar negara untuk penegakan hukum, reformasi militer, dan pembangunan ekonomi kerakyatan, serta membina kerjasama antaragama untuk mendukung demokrasi dan penegakan hukum.

Gus Dur juga digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat Kristen dan Katolik serta etnis Tionghoa. Tidak hanya Indonesia, dunia pun mengakuinya. Namun, sikap Gus Dur yang memberi teladan perihal pluralisme tersebut tidak serta merta disepakati oleh semua pihak.

Perjuangan Gus Dur membuka keran kesetaraan untuk kaun minoritas, khususnya kelompok Tionghoa, menjadi tonggak sejarah kebangsaan Indonesia. Tidak hanya etnis Tionghoa, Gus Dur juga membela kelompok-kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif, baik dari sisi struktur negara, ideologi politik, maupun norma sosial.

Tokoh yang sederhana dan memasyarakat ini, pemikirannya, baik melalui sikap, ucapan, maupun dalam bentuk tulisan telah menginspirasi banyak orang untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangannya.

RAT

Referensi

Arsip Kompas
  • “Lebih Jauh dengan KH Abdurrahman Wahid”. Kompas, 3 Desemer 1989.
  • “Nama dan Peristiwa: Hari kelahiran Gus Dur”. Kompas, 8 Agustus 1990.
  • “Lebih Jauh dengan: KH Abdurrahman Wahid”. Kompas, 27 November 1994.
  • “Dari Ciganjur ke Istanan Negara”. Kompas, 21 Oktober 1999.
  • “Gus Dur, Agama, dan Negara”. Kompas, 25 Oktober 1999.
  • “Gus Dur, Tokoh Tahun 1999. Idola Saya Mas Kirno…” Kompas, 1 Januari 2000.
  • “Selamat Jalan Gus…” Kompas, 31 Desember 2009.
  • “Guru Bangsa Itu Telah Pergi”. Kompas, 31 Desember 2009.
  • “‘In Memoriam’ Gus Dur: Dia adalah Jendela kepada Dunia”. Kompas, 31 Desember 2009.
Buku
  • Muhammad Rifai. Gus Dur Kh Abdurrahman Wahid: Biografi Singkat 1940 – 2009. Yogyakarta: Garasi House of Book. 2013.
  • Hamid. Jejak Sang Guru Bangsa. Yogyakarta: Galang Pustaka. 2014.
  • Anom Whani Wicaksana. Gus Dur. Jejak Bijak Sang Guru Bangsa. Yogyakarta: Mitra Media Nusantara. 2018.
  • Maswan, MM Aida Farichatul Laila. Gus Dur Manusia Multidimensional. Yogyakarta: Deepublish. 2020.

Biodata

Nama

KH Abdurrahman Wahid

Lahir

Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940

Jabatan

Presiden Republik Indonesia ke-4 (1999–2001)

Pendidikan

  • SD di Jakarta (1953)
  • SMEP di Jakarta dan Yogyakarta (1957)
  • Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang (1959)
  • Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang (1963)
  • Department of Higher Islamic and Arabic Studies, Universtias Al Azhar, Kairo, Mesir (tidak tamat) (1966)
  • Fakultas Sastra, Universitas Baghdad, Irak (1970)

Karier

Pekerjaan:

  • Guru Madrasah Mu’allimat, Jombang (1959–1963)
  • Dosen Universitas Hasyim Ayhari, Jombang (1972–1974)
  • Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asyhari, Jombang (1972–1974)
  • Sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974–1979)
  • Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta (sejak 1976)
  • Anggota MPR RI dari Utusan Golongan (1987–1992, 1999–2004)

Pemerintahan

  • Presiden ke-4 RI (20 Oktober 1999 — 23 Juli 2001)

Organisasi

  • Wakil Khatib Syuriah NU (1980)
  • Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hasil Muktamar ke-27 di Situbondo (1984-1989)
  • Ketua Umum PBNU hasil Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1989-1994)
  • Ketua Umum PBNU hasil Muktamar ke-29 di Cipasung, Jawa Barat (1994-1999)
  • Pendiri Forum Demokrasi (1991)
  • Pendiri dan Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (2000-2005)
  • Ketua Umum Dewan Syuro PKB hasil Muktamar II, Semarang (2005-2010)

Penghargaan

  • Bintang Tanda Jasa Kelas 1, Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintah Mesir.
  • Penggerak Islam Indonesia dari Majalah Editor (1990)
  • Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina (1990)
  • Islamic Missionary Award from the Governnment of Egypt, Mesir (1991)
  • Pin penghargaan Bina Ekatama, PKBI (1991)
  • Man of the Year 1994 dari majalah berita Independen (REM) (1994)
  • Bintang Mahaputera Utama (1998)
  • Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, Belanda (1998)
  • Doktor Honoris Causa Universitas jawaharlal Nehru, India (2000)
  • Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, New York (2000)
  • Doktor Honoris Causa Bidang Perdamaian dari Soka University, Jepang (2002)
  • Global Tolerance Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement (2003)
  • Bapak Tionghoa dari beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok (2004)
  • Suardi Tasrif Award dari Alianji Jurnalis Independen (AJI) sebagai Pejuang Kebebasan Pers (2006)
  • Penghargaan dari Dewan Adat Papua (2006)
  • Penghargaan dari Simon Wieshenthal Center (yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM dan toleransi antarumat beragama), New York, Amerika Serikat (2009)
  • Mebal Valor di Los Angeles, Amerika Serikat (2009) penghargaan diberikan karena Gus Dur dinilai punya keberanian membela kaus minoritas. Salah satunya membela umat Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang terpasung selama era Orde Baru.
  • Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat menggunakan nama Abdurrahman Wahid sebagai salah satu jurusan studi agama dengan nama Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study (2009)
  • Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Award Doktor Honoris Causa (2010)

Karya

Publikasi

Makalah/Karya Tulis

Keluarga

Istri

Sinta Nuriyah

Anak

  • Alissa Qotrunnada Munawaroh
  • Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenni Wahid
  • Annita Hayatunnufus
  • Inayah Wulandari

Sumber
Litbang Kompas