Foto | Kuliner

Rempah Indonesia yang Mendunia

Perjalanan rempah-rempah Nusantara dari Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah hingga Eropa dan sebaliknya menjadikan "Jalur Rempah" menjadi sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya, selain tercatat sebagai ajang perebutan wilayah penghasil rempah-rempah dunia.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Berbagai jenis rempah seperti biji pala, kayu manis, asam kandis, dan lainnya, dijual di kios rempah di Pasar Bukittinggi, Sumatera Barat, 9 Juli 2013.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, rempah-rempah merupakan berbagai hasil jenis tanaman yang beraroma yang digunakan untuk memberikan bau dan rasa khusus pada makanan.

Sejarah panjang rempah-rempah dimulai sekitar 3.000 tahun Sebelum Masehi (SM), ketika penduduk Eropa pertama kali terpesona dengan aroma dan rasa yang unik dari tanaman-tanaman ini. Herodotus, sejarawan Yunani kuno, mencatat keingintahuan orang Barat akan asal-usul rempah-rempah, meskipun rahasia ini dijaga ketat oleh pedagang Arab yang menjadi perantara perdagangan.

Di zaman Romawi dan Yunani kuno, rempah-rempah dihargai setara dengan emas dan permata. Rempah seperti pala, bunga pala, cengkeh, dan lada menjadi barang mewah yang sangat dicari di Eropa dan sekitarnya.

Pedagang Arab pada masa itu menguasai tiga jalur perdagangan rempah-rempah utama. Pertama, melalui jalur laut dari Nusantara ke China, kedua melalui India, dan ketiga melalui Semenanjung Malaya menuju Arab dan Eropa.

Rempah-rempah menjadi komoditas yang sangat bernilai dan misterius, dengan asal-usul yang dijaga ketat, bahkan dikaitkan dengan cerita tentang sarang burung yang membawa kayu manis dari tempat yang tak diketahui.

Berabad-abad lamanya orang Eropa mencari asal-usul rempah-rempah. Pada abad ke-13 Marcopolo melakukan perjalanan ke Timur melalui darat hingga ke China dan kembali ke Italia melalui jalur laut dan darat. Kemudian mulai disebutlah beberapa tempat di Nusantara yang menghasilkan rempah-rempah. Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda berlomba-lomba menguasai perdagangan rempah-rempah, bahkan hingga menjajah Indonesia selama berabad-abad.

Dari data Negeri Rempah Foundation, ada sekitar 400-500 spesies rempah di dunia, 275 di antaranya ada di Asia Tenggara, dan Indonesia menjadi yang paling dominan, hingga kemudian Indonesia dijuluki sebagai Mother of Spices.

Meskipun zaman telah berubah, rempah-rempah tetap menjadi komoditas ekspor utama Indonesia, memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi global. Dari lada, pala, hingga kayu manis, Indonesia terus mengukir sejarah sebagai salah satu produsen terbesar rempah-rempah di dunia.

Namun, di balik kejayaan ini, masih terdapat tantangan. Para petani rempah-rempah di Indonesia sering kali tidak mendapatkan harga yang adil untuk hasil panen mereka, terjebak dalam jaringan tengkulak yang mendominasi pasar lokal.

Pandemi Covid-19 pada 2020-2022 lalu telah menyoroti kembali pentingnya rempah-rempah. Dalam situasi di mana obat-obatan konvensional langka dan mahal, obat-obatan herbal berbahan dasar rempah-rempah menjadi alternatif yang diminati banyak orang karena dianggap lebih aman dan terjangkau.

Dengan potensi yang belum tergarap sepenuhnya, masa depan rempah-rempah di Indonesia terlihat cerah. Upaya pemerintah setempat untuk membina dan meningkatkan kesejahteraan petani adalah langkah positif menuju pengelolaan yang berkelanjutan dan adil terhadap sumber daya alam yang berharga ini.

Berikut adalah foto-foto tentang rempah Indonesia, yang terekam dalam arsip Kompas.

KOMPAS/AMIR SODIKIN

Seorang nenek di Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, sedang mengupas kemiri, awal Agustus 2003. Tanaman kemiri di hutan kini semakin langka, namun harga di pasaran terus turun. Oleh karena itu, perlu pasar yang adil bagi mereka untuk mengangkat warga pedalaman dari ketertindasan akibat ketidakadilan pasar.

KOMPAS/AGUNG SETYAHADI

Petani mengamati tanaman vanili di kebunnya, di Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Rabu (23/3/2005). Tanaman vanili mulai dikembangkan lagi oleh petani di Kecamatan Kokap, Samigaluh, dan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, sejak tahun 2002. Penanaman vanili ini memberi secercah harapan untuk mengembalikan kejayaan “emas hijau”. Vanili sempat hilang sejak tahun 1970 karena virus busuk batang.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menunjukkan star anise, bahan utama obat antivirus flu burung, Sabtu (26/11/2005) di Jakarta. Anise menurut kamus adalah adas manis, namun dikenal sebagai pekak oleh kuliner. Indonesia mendapat izin WHO untuk memproduksi sendiri obat antivirus flu burung.

KOMPAS/NOVI KRISNAWAN

Seorang penjual rempah-rempah menata dagangan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (2/6/2008) pagi. Barang dagangan yang dijualnya, antara lain, jahe, kencur, dan temulawak.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Beberapa rempah-rempah yang menjadi bahan baku bir jawa di Restoran Bale Raos, kompleks Keraton Yogyakarta, Kamis (15/9/2011).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Bunga pala pada buah pala yang disebut warga setempat fuli (berwarna merah) membungkus biji pala yang berwarna coklat tua, di Desa Tobololo, Kecamatan Pulau Ternate, Maluku Utara, Kamis (5/7/2012). Ternate merupakan salah satu pulau gunung api di Kepulauan Maluku yang menjadi tanah asal cengkeh dan pala. Biji pala di tingkat petani saat dijual Rp 65.000 per kilogram, sementara bunga pala atau fuli Rp 115.000 per kilogram. Pada masa lalu, harga cengkeh dan pala setara dengan harga emas.

KOMPAS/ANTON WISNU NUGROHO

Emon (34) dan Fajar (8), anak dan cucu Pak Mayar, membersihkan dan mengumpulkan serai di halaman rumahnya di Desa Bojong Nangka, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Jumat (31/8/2012). Karena tak lagi punya lahan, mereka membeli serai dari desa lain untuk dijual di Pasar Minggu, Jakarta.

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN

Petani memperlihatkan lada yang dijemur di Kabupaten Kaur, Bengkulu, Kamis (4/4/2013). Lada dari Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, pernah menjadi komoditas perkebunan primadona pada masa lalu. Karena ladalah, Inggris datang dan bercokol di Bengkulu selama 140 tahun. Namun, kurang intensifnya budidaya lada oleh petani membuat tanaman lada kerap diserang penyakit dan mati.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Anak-anak membantu menjemur buah dan kulit buah pala hasil panen di Pulau Banda Besar, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Kamis (13/6/2013). Pala menjadi komoditas andalan warga Kepulauan Banda hingga menarik bangsa-bangsa Eropa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pekerja membersihkan dan mengeringkan berbagai jenis tanaman untuk bahan baku jamu, seperti jahe, kunyit, kencur, lengkuas, dan temulawak, di Desa Ngentak, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (15/8/2016). Tren pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati tanaman untuk pengobatan herbal memberikan dampak ekonomi bagi petani untuk memasok kebutuhan industri jamu, obat dan kecantikan.

KOMPAS/HARRY SUSILO

Rosita menunjukkan kapulaga yang baru saja dipanen dari hutan organik di kawasan Megamendung, Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (9/10/2016). Rosita beserta anak dan suaminya mengubah 25 hektar lahan miliknya menjadi hutan organik yang berisi beragam tumbuhan dari seluruh Indonesia. Hutan organik yang dilengkapi pendopo ini dapat dijadikan wisata alternatif untuk mempelajari beragam tumbuhan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja memetik lada di salah satu perkebunan lada Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung, Selasa (14/3/2017).

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja salah satu perkebunan lada di Bangka Tengah, Bangka Belitung, sedang menjemur lada di dalam areal perkebunan, Selasa (14/3/2017).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Biji pala yang telah kering hasil panen petani pala di Desa Lai, Kecamatan Siau Tengah, Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara, Jumat (2/6/2017).

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Kecombrang menjadi salah satu bahan makanan menu tradisional Indonesia di ajang Ubud Food Festival di Bali, Sabtu (14/4/2018). Kecombrang atau honje merupakan bahan masakan yang kini banyak digemari para pecinta makanan tradisional Indonesia.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Seorang buruh menunjukkan cengkeh kering di salah satu gudang cengkeh di Kota Manado, Sulawesi Utara, Kamis (12/9/2019). Panen raya yang berlangsung sejak Juni menyebabkan pasokan cengkeh di pasaran membeludak dan memicu harga jatuh dari Rp 100.000-Rp 120.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 74.500-Rp 75.000 per kg.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Dua pekerja mengikat kayu manis di tempat pengepul kayu manis di Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Sabtu (23/11/2019). Di tingkat pengepul di Loksado, harga kayu manis kini mencapai Rp 55.000 per kilogram.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Kemasan-kemasan wedang rempah tradisional buatan Fitnasih (39) bersama karyawannya di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (11/5/2020). Di tengah pandemi dan sepinya kunjungan wisata, usaha rakyat yang mengolah bahan rempah pun bangkit dan menghdupi warga sekitar.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petani membersihkan kunyit hasil panen mereka dengan memanfaatkan lahan tegalan di Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (4/8/2020). Pada masa awal pandemi, permintaan akan empon-empon meningkat. Komoditas itu kemudian menjadi buruan produsen jamu.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Proses pengeringan temulawak sebelum dijual kepada pengepul di Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (4/8/2020).

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Beberapa bahan bumbu untuk memasak ikan asam jing yang merupakan kuliner khas Gayo di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Jumat (24/11/2023). Masakan Gayo kaya akan rasa rempah dari bahan yang banyak tersedia seperti kecombrang, andaliman, terung belanda, daun kari, dan beberapa bahan lain.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Beragam jenis rempah dan rimpang yang telah diproses dan siap dipakai sebagai bahan baku jamu dan bumbu masak dijual di Pasar Johar, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (22/2/2024). Pemanfaatan hasil bumi sebagai bahan baku ramuan tradisional tersebut kini menjadi tren gaya hidup sehat. Sebagian warga mengolah bahan alami dari jenis rimpang dan rempah ini menjadi jamu serta obat herbal guna menjaga kesehatan.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Ekonomi: Rempah, Penentu Sejarah Dunia”. Kompas, 22 November 2006, hlm 33.
  • “Jalur Rempah: Portugis “Berutang” pada Majapahit”, Kompas, 6 Desember 2016, hlm 12.
  • “Ekspedisi Jalur Rempah: Kisah Aroma Nusantara Pemikat Dunia * Jalur Rempah Nusantara”, Kompas, 12 Juli 2017, hlm 1.
  • “Jalur Rempah: Batanghari Sembilan, Sanksi Kejayaan Rempah * Jalur Rempah Nuantara”, Kompas, 12 Juli 2017, hlm 12.
  • “Ekspedisi Jalur Rempah: Pengembangan Lada Terpasung PasangSurut Harga Dunia * Jalur Rempah Nusantara”, Kompas, 12 Juli 2017, hlm 18.
  • “Ekspedisi Jalur Rempah: Adu Kuasa Tiga Komoditas Bangka * Jalur Rempah Nusantara”, Kompas, 12 Juli 2017, hlm 25.
  • “Ekspedisi Jalur Rempah: Narasi Sejarah, Modal Potensial Banda * Jalur Rempah Nusantara”, Kompas, 26 Juli 2017, hlm 12.
  • “Jejak Lada di Belitung”, Kompas, 21 Juli 2019, hlm C.
  • “Sejarah: Rempah Tidak Selamanya soal Imperialisme”, Kompas, 29 April 2022, hlm 8.
  • “Sejarah: Mengarungi Jejak Rempah di Lautan”, Kompas, 7 Juni 2024, hlm 5.
  • “Muhibah Budaya: Indonesia-Malaysia Bersama Merajut Sejarah Jalur Rempah”, Kompas, 3 Juli 2024, hlm 8.
  • “Gedung Bersejarah: Menelisik Jalur Rempah di Museum Bahari”, Kompas, 9 Juli 2024, hlm 11.
Buku
  • Astawan, Made. 2016. Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Siregar, Ameilia Zuliyanti. 2021. Rempah, Bumbu, dan Sayuran Kering Indonesia. Malang: Intimedia.