Paparan Topik

Merunut Upaya Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, remaja merupakan individu yang sedang mengalami masa peralihan berangsur-angsur mencapai kematangan secara fisik dan perubahan jiwa dari anak-anak menjadi dewasa. Remaja juga mulai tumbuh dari ketergantungan orang tua menjadi mandiri.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Konseling sebaya membantu remaja atau mahasiswa ketika menghadapi persoalan berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan persiapan pernikahan. (22/6/2012).

Fakta Singkat

  • Menurut PBB, remaja berusia antara 10–22 tahun sesuai dengan perkembangan biologis mereka.
  • Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 273,88 juta jiwa per 31 Desember 2021.
  • Indonesia mendapat bonus demografi remaja muda sebagai kelompok usia terbanyak.
  • Kesadaran pentingnya hak reproduksi sebagai hak asasi manusia di mulai tahun 1994 pada Pertemuan International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo.

Pemahaman remaja tentang perubahan hormonal serta pertumbuhan fisik tubuhnya seringkali tidak dibarengi oleh pengetahuan yang tepat. Apalagi mereka juga berada pada lingkungan yang cukup labil dari segi perilaku dan pergaulan. Remaja mengalami perubahan fisik, hormonal, dan emosi. Masa remaja dimulai pada usia 10–13 tahun dan berakhir pada usia 18–22 tahun.

Sikap, perilaku, dan keputusan remaja di fase ini dapat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, sangat penting bagi remaja untuk memahami perubahan yang terjadi dalam diri mereka sekaligus mempersiapkan  kematangan emosi mereka.

Di sisi lain, informasi mengalir deras di hadapan remaja seperti media sosial dengan mudah diakses seperti konten pornografi ataupun persoalan seksualitas yang belum tentu tepat bagi mereka.

Pengaruh informasi global ini berkecenderungan membuat anak-anak meniru perilaku tersebut, seperti merokok, minuman alkohol, penyalahgunaan obat terlarang, dan seks bebas. Hal itu dapat menjerumuskan remaja pada perilaku buruk yang akhirnya membahayakan kesehatan reproduksi, bahkan kesehatan mental mereka.

Sementara itu, secara mental dan emosional, remaja sedang berada pada fase labil peralihan anak-anak ke dewasa. Mereka sedang berada pada pencarian eksistensi diri dan pengakuan dari lingkungannya, khususnya peer group atau pertemanan paling dekat.

Seorang remaja akan meniru kesukaan dan perilaku temannya agar ia dapat diterima oleh lingkungan tersebut. Hal ini menjadi bumerang yang berbahaya bagi remaja, jika mereka masuk dalam lingkaran pertemanan yang buruk. Karenanya, pendidikan seksual sekaligus kesehatan reproduksi sangat penting bagi remaja, hal perlu dilakukan untuk mencegah remaja meniru perilaku yang tidak sehat tersebut.

Remaja masih sangat tergantung pada peer group nya, sehingga seluruh informasi biasanya dia dapatkan dari temannya, apalagi persoalan sensitif seperti seksualitas. Mereka berada pada usia yang memiliki keingintahuan besar seputar seks, sedangkan informasi yang akurat terkait pendidikan seks masih terbatas.

Hal itu belum masuk dalam kurikulum nasional dan masyarakat Indonesia. Orang tua juga masih sangat tabu membicarakan soal seks di rumah. Kenyataan yang demikian justru mendorong remaja mencari tahu sendiri baik dari teman maupun video porno, tidak jarang terkadang remaja menontonnya bersama-sama.

Menurut temuan PKBI Yogyakarta, pada tahun 2019, terdapat 74 kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja berusia di bawah 18 tahun. Tahun 2018 di Yogyakarta, terjadi 240 kasus pernikahan dini dengan alasan kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 2016, masih di Yogyakarta, terjadi 340 kasus dispensasi nikah karena hamil di luar nikah dan 720 kasus remaja yang melakukan persalinan (melahirkan).

Menurut BKKBN, pada tahun 2018 satu dari sembilan perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun dan setengah juta bayi lahir dari ibu yang berusia antara 15–19 tahun. Ironisnya, kurang dari separuh pasangan usia muda tersebut yang menggunakan alat kontrasepsi untuk mengatur dan merencanakan kehamilan.

Padahal, tantangan kehidupan saat ini transisi ekonomi menuju Industri 4.0 yang mengubah pola dan perilaku keluarga. Remaja saat ini adalah generasi milenial yang akrab dengan teknologi, lahir dan tumbuh dari teknologi digital. Itu sebabnya, remaja harus dibekali sesuai dengan zamannya karena mereka mencari informasi dan perlindungan akan hak mereka, tetapi juga rentan akan hoaks.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 273,88 juta jiwa per 31 Desember 2021. Terdapat 24,03 juta jiwa yang berusia 5–9 tahun dan yang paling banyak adalah usia 10–14 tahun, yakni 24,13 juta jiwa, penduduk usia 15–19 tahun 21,56 juta jiwa, serta penduduk berusia 20–24 tahun sebesar 22,98 juta jiwa. Jika mengikuti PBB, remaja berusia antara 10–22 tahun sesuai dengan perkembangan biologis mereka. Hal tersebut menunjukkan Indonesia dipenuhi oleh bonus demografi remaja muda sebagai kelompok usia terbanyak.

Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja

Pada tahun 1994, Pertemuan International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo membicarakan tentang hak reproduksi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Hasil kesepakatan Kairo ini merekomendasikan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif melalui pelayanan yang terpadu dan diberikan pada tingkat pelayanan kesehatan dasar.

Setelah konferensi Kairo kemudian ditegaskan kembali pada pertemuan tingkat tinggi tahun 2008 yang kemudian dimasukkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan harus diwujudkan selambat-lambatnya tahun 2015.

Di Indonesia sejak tahun 1994/1995, program kesehatan reproduksi remaja sudah  ada dalam lingkup puskesmas dengan menyediakan materi konseling kesehatan remaja dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Sayangnya, pemanfaatannya oleh remaja masih sangat minim, karena pelayanannya belum ramah pada remaja.

Upaya penyebaran informasinya difokuskan pada kegiatan usaha sekolah (UKS) dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petugas kesehatan di sekolah, baik dalam bentuk program UKS, guru BP, atau kader sekolah, seperti Palang Merah Remaja (PMR) dan Saka Bhakti Husada (SBH).

Tahun 1996–1998 dibentuk Pokja nasional Kesehatan Reproduksi Remaja dengan sektor utama pendidikan. Dengan demikian, diharapkan institusi sekolah mampu menggerakan semua pihak untuk mendukung program pelayanan Kesehatan reproduksi remaja. Namun, sayangnya hasil kerja pokja ini tidak terlihat.

Kemudian, dikembangkanlah program pelayanan kesehatan remaja di puskesmas dengan kemitraan semua stake holder, yaitu BKKBN, Depdiknas, Depag dan Depsos, serta Kementrian Kesehatan pada tahun 1998. Sayangnya, program ini juga tidak berjalan dengan optimal sehingga akses remaja untuk mendapat pelayanan kesehatan reproduksi juga sangat rendah.

Pada tahun 2000, dibentuk Youth Friendly Health Service (YFHS) sebagai pintu masuk pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (KKR). Pada tahun yang sama, dibentuk tim KKR di setiap tingkatan wilayah tingkat puskesmas dan baru disosialisasikan di 10 provinsi.

Setahun kemudian, Kementrian Kesehatan memperkenalkan kebijakan baru, yaitu Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), yang di dalamnya terdapat Kesehatan Reproduksi Remaja.

Tahun 2001 Kementrian Kesehatan mengembangkan progam pelayanan kesehatan reproduksi esensial dengan mengembangkan konsep terpadu di pelayanan dasar (puskesmas ). Ada empat hal mendasar dalam program Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), yaitu kesehatan ibu dan bayi baru lahir, Keluarga Berencana, kesehatan reproduksi remaja, dan pencegahan serta penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) termasuk di dalamnya HIV/AIDS.

Pada tahun 2002, pemerintah ingin memantapkan program KRR dengan memperkenalkan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), dengan pendekatan baru, yaitu puskesmas memiliki keleluasaan inovasi untuk meningkatkan akses remaja.

Agar lebih mudah mendekati remaja, akhirnya dibuatlah beragam kegiatan remaja melalui UKS, Karang Taruna, dan Anak Jalanan. Dengan demikian, puskesmas memiliki akses mendekati remaja untuk peningkatan kualitas pelayanan bagi remaja.

Kegiatan yang dilakuan bagi remaja tidak hanya kesehatan reproduksi, namun juga termasuk ketrampilan hidup sehat. Dalam hal ini, selain kampanye, bentuk kegiatannya juga konseling remaja yang tentu saja sangat pribadi dan rahasia. Program berjalan dengan membangun jaringan pihak swasta, LSM, dan kalangan profesional, dengan melibatkan kelompok remaja.

Hingga tahun 2003 sudah 10 puskesmas di Jawa Barat yang menjalankan program tersebut dan akan dijalankan pula di provinsi lain. Berdasarkan keputusan Depkes Tahun 2005, PKRE ini harus dilaksanakan di setiap puskesmas. Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Penyebabnya, karena puskesmas yang memiliki pelayanan itu hanya terbatas pada puskesmas yang menjadi binaan UNFPA dan Kemenkes.

Memberikan pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja juga memiliki berbagai hambatan, yaitu undang-undang, pandangan sosial budaya, dan kecakapan tenaga kesehatan di puskesmas.

Tenaga Kesehatan

Puskesmas sebagai ujung tombak kegiatan ini ternyata masih memiliki kendala pada pemahaman tentang kesehatan reproduksi remaja. Kegiatan ini dilakukan dengan jalan melakukan penyuluhan di sekolah-sekolah melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), tetapi masih sangat terbatas.

Hanya sedikit puskesmas yang telah melakukan screening dan konseling untuk remaja terkait kesehatan reproduksi. Hal itu disebabkan, antara lain, karena karena seringkali puskesmas mengirim orang yang sama untuk setiap pelatihan bagi tenaga puskesmas. Selain itu, tidak adanya transfer ilmu hasil pelatihan tersebut di puskesmas asal. Ini mengakibatkan kurangnya penyebaran pengetahuan hasil pelatihan.

Selain itu, dokter dan tenaga kesehatan masih memiliki pemahaman yang rendah tentang kesehatan reproduksi remaja. Masih ada pemahaman bahwa hanya orang yang sudah menikah yang membutuhkan informasi kesehatan reproduksi. Bahkan, dokter dan tenaga kesehatan seringkali meresa enggan untuk menyampaikan informasi terkait kesehatan seksual pada remaja. Paramedis ini tidak mau mengkampanyekan kondom pada remaja karena bagi mereka remaja tidak membutuhkan kondom.

Hal itu tentu saja tidak sejalan realitas yang terjadi, karena meskipun jumlahnya sedikit, remaja yang terlibat seks di luar pernikahan tetap membutuhkan pelayanan dan informasi yang tepat.  

Undang-Undang dan Kebijakan

Dalam Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Kependudukan, disebutkan bahwa pelayanan keluarga berencana, termasuk pemberian kontrasepsi hanya diperuntukkan bagi pasangan subur. Undang-undang ini sering kali menjadi alasan petugas medis tidak mau mengampanyekan dan memberikan kondom pada remaja yang belum menikah. Padahal pada kenyataannya, ada remaja yang sudah terkena penyakit menular seksual.

Selain itu, belum ada undang-undang yang dapat dijadikan rujukan bagi petugas kesehatan untuk menyediakan layanan kesehatan reproduksi yang kompehensif bagi remaja. Meskipun sudah banyak kebijakan yang dibuat pemerintah, belum ada peraturan pelaksanaan yang jelas tentang penyediaan layanan kesehatan reproduksi bagi remaja. Contohnya tentang bagaimana memberikan pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja yang belum menikah, tetapi sudah aktif secara seksual.

Pelayanan PKPR masih sarat dengan nuansa moral dan nilai normatif masyarakat, sehingga tidak ada ruang bagi remaja yang telah aktif secara seksual. Sedangkan faktanya, ada sebagian remaja yang telah aktif secara seksual sehingga mereka justru tidak terdeteksi dan tidak ketahuan. Dalam kurikulum sekolah, belum ada secara resmi pendidikan seks, sementara orang tua biasanya enggan dan menghindari pembicaraan tentang seksualitas remaja.

Hal-hal tersebut membuat pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang komprehensif masih bergantung pada organisasi non-pemerintah, seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) atau organisasi internasional Planned Parenthood Federation (IPPF).

Sosial dan Budaya

Masih adanya pandangan dari pemuka agama dan pejabat negara yang beranggapan bahwa informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja hanya akan membuat remaja terjebak pada kehidupan seks pranikah. Hal itu mengakibatkan paramedis enggan memberikan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi pada remaja, karena khawatir dipojokkan oleh masyarakat.

Selain itu, masyarakat masih beranggapan bahwa seks adalah urusan personal yang tidak perlu dibicarakan dengan terbuka, sehingga persoalan seksualitas remaja dikembalikan pada keluarga masing-masing.

Masalah lain terdapat pada sebagian besar orang tua di Indonesia yang masih enggan untuk membicarakan seputar seks pada anaknya. Orang tua masih menganggap tabu membicarakan tentang seks apalagi pada orang yang belum menikah, bahkan pemahaman orang tua terkadang masih sangat minim. Anak-anak seringkali mendapat informasi tersebut dari sekolah bahkan teman-temannya.

Selain kendala yang menghambat kerja petugas kesehatan di puskesmas untuk memenuhi hak reproduksi remaja, pemahaman masyarakat juga menyeret anak-anak menikah di usia dini. Selain itu, kemiskinan membuat anak harus bekerja mencari nafkah untuk keluarga hingga rentan terjebak dalam perdagangan orang dan pemaksaan aktifitas seksual ataupun kawin paksa.

Berkaitan dengan kesehatan reproduksi, remaja juga harus mencari tahu informasi dari sumber yang tepat agar tidak sesat dalam tindakan. Remaja juga sudah seharusnya menjauh dari perilaku yang membawa risiko pada gangguan kesehatan reproduksi mereka dan menghindari hubungan seksual agar tidak tertular penyakit kelamin dan tidak terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, juga harus menjauh dan menolak pada zat adiktif seperti narkoba dan minuman keras, termasuk alkohol.

Sebagai individu yang telah berkembang fungsi reproduksinya, remaja memiliki hak-hak reproduksi yang seharusnya diberikan pada mereka, yaitu:

  • Hak mendapatkan informasi dan pendidikan terkait kesehatan reproduksi mereka.
  • Hak atas kebebasan berpikir; yaitu kebebasan menentukan hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya.
  • Hak mendapatkan informasi dan pendidikan tentang kesehatan reproduksi sesuai usia dan pemahaman mereka agar terhindar dari informasi yang negatif.
  • Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini terkait kesehatan reproduksi.
  • Hak kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi. Tidak ada diskriminasi atas dasar jenis kelamin, gender, suku, agama, termasuk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi.
  • Hak pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
  • Hak hidup, yaitu hak untuk bebas dari resiko kematian karena infeksi menular seksual, HIV/AIDS, dan kematian akibat hamil di usia dini.
  • Hak atas kemerdekaan dan keamanan, remaja memiliki hak tidak boleh dipaksa oleh siapapun dalam menjalani kehidupan seksual dan reproduksi (misalnya kawin paksa dan kekerasan seksual).
  • Hak atas kerahasiaan pribadi, yaitu hak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi dengan tetap menjaga kerahasiaan pribadi.
  • Hak bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk bebas dari isu perdagangan orang.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Konsultasi mengenai kesehatan reproduksi di salah satu klinik di Jakarta (16/3/2012). Edukasi yang cukup mengenai pentingnya menjaga kesehatan reproduksi menjadi bekal yang penting bagi remaja dalam pergaulan sehari hari.

Pencegahan Kekerasan Seksual

Dunia terus berubah dan nilai-nilai konservatif dalam masyarakat juga telah bergeser termasuk segala hal yang terkait dengan seksualitas. Informasi apapun mudah didapat dari internet dan media sosial termasuk kesehatan reproduksi. Remaja sulit memilah yang baik dan buruk dengan tertutupnya pembicaraan terkait seks dari keluarga ataupun lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan.

Di satu sisi, remaja sudah memiliki dorongan biologis hubungan seksual, di sisi lain kematangan dan kedewasaan berpikir belum mampu bertanggung jawab pada diri sendiri. Terkadang remaja terjebak dalam lingkungan yang tidak sehat bagi kematangan jiwa dan kesehatan reproduksi mereka.

Berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja yang disusun oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2018, diketahui dua dari tiga anak perempuan pernah mengalami kekerasan fisik, dan satu dari sebelas anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Bahkan, satu dari 17 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual, dan menariknya adalah 47–73 persen pelaku adalah teman mereka sendiri.

Penelitian yang dilakukan tahun 2018 ini, menilai saat ini remaja bukan hanya menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga sebagai pelaku kekerasan. Hal itu terjadi karena mereka tidak memahami persoalan terkait kesehatan reproduksi dan nilai-nilai seksualitas.

Remaja seringkali tidak memahami bentuk-bentuk pelecehan seksual mulai dari siulan, main mata, hingga gerakan isyarat yang bersifat seksual. Ketidakpahaman ini membuat korban enggan melaporkan atau menceritakan masalah itu, dan pelaku justru merasa mendapat kebebasan melakukan hal yang lebih buruk lagi.

Lebih memilukan adalah kekerasan seksual yang terjadi di Cilincing, Jakarta Utara pada September 2022. Seorang gadis berusia 13 tahun diperkosa secara bergilir oleh empat laki-laki remaja berusia antara 11–13 tahun. Korban sedang melewati jalan pintas hutan kota sejauh sejauh satu kilometer. Peristiwa itu membuat korban depresi dan mengalami gangguan kejiwaan.

Remaja saat ini tidak memiliki sensitifitas terhadap perilaku seksual yang mengancam dan korban tidak tahu bagaimana cara menolak, tetapi pelaku justru merasa mendapat kesempatan. Banyak remaja putri mengalami kehamilan tidak diinginkan.

Dalam hal ini, pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif sangat dibutuhkan, misalnya memahami alat reproduksi dan fungsinya, otoritas tubuh, permasalahan remaja, kecakapan hidup, kekerasan seksual, serta ketahanan keluarga. Remaja juga perlu mengenali dirinya sendiri secara biologis, seksual, sosial, dan normatif termasuk ancaman penyakit yang ada di sekitar mereka.

Dengan demikian, risiko hamil muda dapat dihindari dan mencegah aborsi bagi remaja yang terlanjur hamil. Mengingat di Indonesia terjadi 2 hingga 2,5 juta aborsi setiap tahunnya, termasuk akibat kehamilan usia dini.

Apalagi Provinsi DKI Jakarta mengalami bonus demografi remaja, maka dari itu penting untuk memberikan Pendidikan Kesehatan reproduksi yang komprehensif bagi remajanya. Hal itu berguna untuk mencegah terjadi kekerasan seksual dan tentunya  mencegah remaja menjadi pelaku kekerasan.

Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, remaja harus diajari bahwa diam bukan berarti mengiyakan, dan remaja harus berani berkata tidak ketika menerima paksaan. Selain itu, remaja harus diajari agar tidak menjadikan hal berbau seksual sebagai bahan gurauan. Bagi remaja, juga tidak boleh melakuan victim blaming, yaitu menyalahkan korban kekerasan, dan korban harus menceritakan kasus kekerasan seksual tersebut untuk mencari bantuan.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Lomba Poster Remaja Kegiatan Gebyar 1001 Poster di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Minggu (24/11/2013), diikuti ratusan remaja dari seluruh penjuru Tanah Air. Lomba poster bertema kesehatan reproduksi remaja itu diselenggarakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Tantangan Dunia Digital

Pertumbuhan individu remaja dipengaruhi oleh sistem di sekitarnya termasuk sistem keluarga dan lingkungan sosial. Dalam hal ini, pertumbuhan teknologi menggeser kehidupan sosial menjadi kehidupan digital, di satu sisi internet mempermudah akses informasi termasuk terkait hak kesehatan seksualitas dan reproduksi.

Di sisi lain, kejahatan era digital menjadi masalah tersendiri bagi remaja. Kecanggihan dunia digital telah menginspirasi berbagai komunitas dan lembaga membuat konten kreatif terkait hak kesehatan seksualitas dan reproduksi remaja.

Konten kreatif ini berhasil mengangkat hal tabu untuk diketahui remaja dan berhasil membicarakan hal yang sensitif seperti HIV/AIDS. Bahkan, berbagi pengalaman terkait kesehatan reproduksi lewat kelas daring dengan beragam topik seperti pubertas, psikologi remaja, kehamilan remaja, relasi sehat, dan concent.

Remaja juga mendapat pengalaman dalam menghadapi persoalan mereka di saat kemampuan pengambilan keputusan belum matang. Komunikasi dapat dilakukan dua arah dengan beragam cara lewat zoom atau live instagram juga google talks. Teknologi digital jika digunakan dengan bijak sangat bermanfaat bagi remaja, khususnya pendidikan yang bermanfaat bagi mereka untuk mengenali diri mereka sendiri. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Pendidikan Reproduksi Cegah Kekerasan Seksual”, Kompas, Senin 7 Desember 2020, hlm D
  • “Pernikahan Terencana”, Kompas, Selasa 5 Mei 2020, hlm 08
  • “Kesehatan Reproduksi, Pisau Bermata Dua Dunia Digital”, Kompas, Rabu 13 Januari 2021, hlm F
  • “Jalan Pintas Berujung Pemerkosaan”, Kompas, Selasa, 20 September 2022, hlm 12