KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Seorang pengendara sepeda melintas di depan gapura bergambar simbol Keluarga Berencana (KB) di Jalan Bantul, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (18/7/2006). Perubahan politik dan program pembangunan sosial, telah mengakibatkan penurunan perhatian bahkan penghapusan sejumlah program yang berkaitan dengan KB. Padahal program KB pernah berhasil meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Fakta Singkat
- Program Keluarga Berencana dirintis sejak tahun 1957
- Pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1968 tentang pembentukan tim Keluarga Berencana
- Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dibentuk berdasarkan Keppres No. 8 Tahun 1970
- Data BPS jika menunjukkan tren penurunan angka melahirkan sejak tahun 1960 hingga tahun 2020.
- Pada tahun 1960 angka kelahiran 5,55. Artinya, setiap perempuan yang menikah melahirkan 5–6 kali.
- Pada 2020 angka kelahiran 2,19 atau setiap perempuan melahirkan antara 2–3 kali.
Program Keluarga Berencana (KB) sudah mulai dirintis di Indonesia sejak tahun 1957, tetapi masih seputar kesehatan. Menurut Our World in Data 2021, Indonesia adalah negara keempat di dunia dengan estimasi jumlah penduduk terbanyak, yaitu 273 juta. Lima besar negara dengan penduduk terbanyak, yakni Cina, India, Amerika Serikat, Indonesia, dan Pakistan.
Dilihat dari angka fertilitas, Indonesia berada di angka 2,6 di atas negara ASEAN lainnya sebesar 2,4. Namun, jika melihat sejarah angka kelahiran, Program KB Indonesia dianggap berhasil.
Jika dibandingkan tahun 1960 angka kelahiran sebesar 5,67, artinya rata-rata satu perempuan melahirkan 5–6 anak sepanjang masa suburnya. Data terbaru tahun 2020, angka kelahiran sebesar 2,19, artinya rata-rata setiap perempuan melahirkan 2–3 kali.
Indonesia dianggap sebagai negara yang sukses menjalankan program Keluarga Berencana, karena memiliki program inovatif. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendapat penghargaan Asian Institute of Management (AIM) di Manila, Filipina tahun 2022.
Menurut Kementerian Kesehatan, penggunaan kontrasepsi ditujukan untuk mengendalikan pertambahan jumlah penduduk, membatasi angka kelahiran, dan mengatur jarak kelahiran. Selain itu, diharapkan tercipta keluarga yang sehat sejahtera dan mampu mengurangi angka kematian ibu dan bayi karena jarak kelahiran yang terlalu dekat.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Penyuluh KB Kader Institusi Masyarakat Perkotaan se-Surabaya berparade di Jalan Darmo, Surabaya, Minggu (17/11/2013). Dengan atribut, poster dan yel-yel mereka mengajak masyarakat untuk menekan angka jumlah pertumbuhan penduduk dengan berpartisipasi aktif dalam program KB.
Artikel Terkait
Sejarah Program Keluarga Berencana
Keluarga Berencana awalnya adalah sebuah organisasi Perkumpulan Keluarga Berencana yang dibentuk tanggal 23 Desember 1957 di gedung Ikatan Dokter Indonesia. Nama itu kemudian berkembang menjadi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) atau Indonesia Planned Parenthood Federation (IPPF).
Tujuan pembentukan PKBI adalah memperjuangkan terwujudnya keluarga sejahtera melalui tiga jenis pelayanan, yaitu: mengatur atau menjarangkan kehamilan, mengobati kemandulan, dan memberi nasehat perkawinan. Hal itu dapat dilaksanakan dengan jalan menjaga mutu kontrasepsi, menjamin penyaluran serta harga yang layak. Selain itu, menjalin kerja sama dengan stake holder di Indonesia dan luar negeri.
Setelah simposium pertama di Bandung pada Januari 1967 dan Kongres Nasional I PKBI di Jakarta pada 25 Januari 1967, pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian pada masalah kependudukan. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel pada 22–26 Februari 1967 dengan mengundang tokoh-tokoh agama untuk membicarakan program penjarangan kehamilan.
Pada Juni 1967 DPRGR Komisi F (Kesejahteraan) bersama Menteri Kesehatan dan Sosial membahas pentingnya mengatasi kepadatan penduduk di Indonesia, karena pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengejar pertambahan penduduk. Selain perencanaan keluarga, transmigrasi dan industrialisasi juga penting untuk mengimbangi kepadatan penduduk di Indonesia.
Dalam Sidang DPRGR pada 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menyampaikan pidato tentang usaha pembatasan kelahiran dengan konsepsi keluarga berencana yang dapat dibenarkan secara moral dan agama. Kemudian, Menteri Kesejahteraan Rayat (Menkesra) saat itu membentuk Panitia Ad Hoc yang bertugas mempelajari kemungkinan Program KB sebagai Program Nasional.
Hal itu ditindaklanjuti dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1968 pada 7 September, yang isinya memberikan kewenangan pada Menkesra, yaitu membimbing, mengkoordinir, serta mengawasi asprasi di masyarakat terkait keluarga berencana. Selain itu Menkesra juga harus mengusahakan terbentuknya lembaga terkait keluarga berencana yang terdiri dari unsur masyarakat dan unsur pemerintah.
Pada 12 Desember 1967 Indonesia menghadiri deklarasi yang menyerukan keluarga berencana universal di PBB. Deklarasi tentang pertumbuhan penduduk serta memuliakan dan menyejahterakan umat manusia. Pertumbuhan penduduk dunia yang sangat cepat akan merintangi upaya meningkatkan taraf hidup, seperti pendidikan, tempat tinggal, kesehatan, dan kesejahteraan. Dalam deklarasi tersebut, ditetapkan bahwa informasi, pengetahuan, dan pelayanan keluarga berencana adalah hak asasi manusia.
Pada 11 Oktober 1968 Menkesra kemudian mengeluarkan Surat Keputusan No. 35/KPTS/Kesra/X/1968 tentang Pembentukan Tim untuk mempersiapkan program keluarga berencana. Pada 17 Oktober 1968, dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana (LKBN) melalui Surat Keputusan No. 36/KPTS/X/1968, status LKBN adalah lembaga semi-pemerintah.
Setelah itu, pemerintah membentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasarkan Keppres No. 8 Tahun 1970 dengan ketua BKKBN pertama dr. Suwardjo Suryaningrat. Untuk menyempurnakan organisasi dan tata kerja BKKBN presiden mengeluarkan Keppres No. 33 Tahun 1972 yang menempatkan BKKBN sebagai lembaga pemerintah nondepartemen yang berkedudukan langsung di bawah presiden.
Pada masa itu, Presiden Soeharto merancang arah dan program pembangunan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada Pelita I, mulai dikembangkan metode Pendekatan Klinis, yaitu mengenalkan progam keluarga berencana dari sisi kesehatan, karena saat itu masih ada penolakan pada gagasan keluarga berencana.
Berikutnya pada Pelita II program berjalan dengan Pendekatan Integratif (Beyond Family Planing) yang memadukan berbagai sektor pembangunan lainnya dengan membangun pilot project Pendidikan Kependudukan tahun 1973–1975.
Pada Pelita III, Program KB beranjak menjadi Pendekatan Partisipatif, mendorong organisasi masyarakat dan pemuka masyarakat untuk ikut membina dan mempertahankan peserta KB yang sudah ada, serta mencari peserta KB baru. Pada periode ini pula, dikembangkan strategi pendekatan yang baru, yaitu Panca Karya dan Catur Bhava Utama untuk mempertajam segmentasi untuk mempercepat penurunan fertilitas. Maka dari itu, dilakukanlah kampanye yang disebut dengan “Safari KB Senyum Terpadu”.
Pada masa Kabinet Pembangunan IV, Kepala BKKBN Haryono Suyono menggunakan strategi pembagian wilayah untuk mengimbangi laju kecepatan program. Selain itu, mengubah pendekatan koordinator aktif menjadi koordinator ganda sebagai dinamisator dan fasilitator. Pada periode ini, mulai dijalankan program KB Mandiri sejak 28 Januari 1987 yang populer dengan kampanye Lingkaran Biru dengan memajang logo pelayanan Lingkaran Biru KB.
Ketika Pelita V, Haryono Suyono kemudian meluncurkan strategi baru dengan kampanye Lingkaran Emas (Limas) yang menawarkan lebih banyak jenis kontrasepsi hingga 16 jenis. Kampanye Limas juga dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM petugas serta pelayanan KB.
Setelah GBHN 1993, dalam GBHN 1999 program Keluarga Berencana Nasional dijabarkan lebih lanjut dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang kemudian ditetapkan dalam UU No. 25 Tahun 2000. Ketika pemerintah mulai menjalankan desentralisasi, urusan keluarga berencana diserahkan pada kota/kabupaten selambat-lambatnya Desember 2003, hal itu mengacu pada UU No. 22/1999 yang diubah menjadi UU No. 32/2004.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Seorang anak menunggu orangtuanya yang mengikuti program Keluarga Berencana (KB) dengan memasang alat kontrasepsi gratis di kampung nelayan, Tambaklorok, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (11/10/2009). Selain mengendalikan pertumbuhan penduduk, program KB berperan mengurangi kemiskinan.
Arah Program Keluarga Berencana
Pada 1992 pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 sub sektor Keluarga Sejahtera dan Kependudukan.
Gerakan KB nasional mengupayakan peningkatan dan peran serta masyarakat untuk mewujudkan keluarga kecil yang sejahtera melalui beberapa hal, yaitu: pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Selain untuk merencanakan dan mencegah kehamilan, program Keluarga Berencana Nasional juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, menekan angka kematian bayi dan ibu melahirkan.
Keluarga sejahtera juga menjadi satu poin penting dalam KB, tujuan lain progam KB, yaitu mencegah pernikahan dini, mencanangkan keluarga kecil, kemudian menekan jumlah penduduk, dan meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menggunakan kontrasepsi.
Jika Program KB terlaksana dengan baik di masyarakat tentunya dapat membawa manfaat baik bagi keluarga kecil maupun masyarakat luas. Untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga tentu saja pasangan suami istri harus memiliki perencanaan jumlah anak, satu hal yang pasti dapat dilakukan jika mengikuti KB.
Manfaat lain dari progam KB ialah mencegah kehamilan yang tidak diinginkan sehingga tidak mengganggu kesehatan reproduksi perempuan. Perencanaan dan penjarangan kehamilan mampu mengurangi resiko kematian ibu dan bayi, sehingga kesehatan mental pasangan suami istri dapat terawat.
Selain meningkatkan kebahagiaan pasangan, perencanaan kehamilan juga bermanfaat bagi anak yang dilahirkan, karena meningkatkan kualitas pengasuhan bayi dan balita. Pola asuh yang maksimal dapat memberi manfaat pada balita, yaitu pertumbuhan dan kesehatan anak terjaga dengan baik karena perhatian, pemeliharaan dan nutrisi yang cukup.
Untuk mendukung Program KB, pemerintah telah menyediakan berbagai alat kontrasepsi yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan personal akseptor KB, karena kondisi fisik setiap orang berbeda.
Masyarakat memiliki banyak pilihan jenis alat kontrasepsi yang sesuai dengan kondisi hidupnya dan tentu saja tubuhnya, apalagi kondisi tubuh perempuan sangat berbeda satu dengan lainnya.
Namun, pakar medis sangat menyarankan penggunakan alat kontrasepsi yang bersifat MKJP atau Metode Kontrasepsi Jangka Panjang seperti implan dan IUD atau dikenal dengan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim) atau yang dikenal dengan sebutan spiral.
Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), pada tahun 2017 diketahui tren penggunakan alat kotrasepsi paling besar adalah KB Suntik (32 persen), kemudian pil (14 persen), dan implan (3 persen).
Pada tahun 2021, Kemenkes mencatat prevalensi Pasangan Usia Subur (PUS) yang menjadi peserta KB sebanyak 57,41 persen, angka ini menurun dari tahun sebelumnya 67,6 persen. Dari jumlah peserta KB tahun 2021, sebanyak 59,9 persen menggunakan alat kontrasepsi suntik, 15,7 persen menggunakan pil, dan 10 persen saja yang menggunakan implan.
Hanya 8 persen yang menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) atau spiral, yang melakukan prosedur operasi wanita sebanyak 4,2 persen, hanya 0,2 persen yang menggunakan operasi pria. Kondom merupakan alat kontrasepsi yang murah dan tanpa resiko, tetapi hanya 1,8 persen dari PUS yang mau menggunakan kondom.
Pada tahun 2021, tercatat Kalimantan Selatan adalah provinsi dengan peserta KB terbanyak, yaitu 67,9 persen PUS di propinsi tersebut. Disusul oleh Bangka 67,5 persen dan Belitung 65,5 persen.
Jika merujuk pada data BPS, tahun 2022 tercatat ada 55,36 persen pasangan usia subur (PUS) yang sedang menggunakan program KB ataupun cara tradisional. Kepesertaan KB di perkotaan, yaitu 59,06 persen masih lebih besar daripada pedesaan yang mencapai 52,14 persen.
Dalam catatan BPS, alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah suntik, sebanyak 18,18 persen menggunakan pil, dan 9,49 persen menggunakan implan. Jika dilihat dari wilayah, Kalimantan Selatan tercatat paling tinggi ikut program KB, yaitu 67,92 persen dan Lampung sebesar 66,06 persen.
Persentase wanita berusia 15–45 tahun yang menikah dan menggunakan Alkon
Tahun |
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
2022 |
Persen |
61,98 |
61,75 |
59,98 |
59,39 |
58,70 |
58,73 |
57,86 |
56,04 |
55,06 |
55,36 |
Sumber: BPS
Jika merujuk pada data BPS, dalam sepuluh tahun terakhir, pengguna alat kontrasepsi (Alkon) terus menurun, jika di tahun 2013 masih ada 61,98 persen wanita usia 15–45 tahun yang menikah sedang menggunakan alat kontrasepsi. Namun, pada tahun berikutnya persentasenya menurun menjadi 61,75 persen dan berikutnya pun terus menurun.
Namun demikian, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencatat bahwa di Indonesia sejak tahun 1973 peserta KB terus meningkat. Data dari PBB menyatakan pada tahun 1973 hanya 9,7 persen, maka pada tahun 2013 ada 62 persen yang menjadi peserta KB.
Menurut perkiraan PBB, prevalensi yang mengikuti KB akan meningkat setiap tahunnya, maka diperkirakan pada tahun 2022 ada sekitar 62,2 persen dan diharapkan akan menjadi 64,4 persen pada tahun 2030. Menurut PBB, metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah sterilisasi, pil, spiral atau IUD, suntik, susuk, kondom, dan amenore laktasi.
Data BPS jika menunjukkan tren penurunan angka melahirkan sejak tahun 1960 hingga tahun 2020. Pada tahun 1960 angka kelahiran 5,55, artinya setiap perempuan yang menikah melahirkan 5–6 kali. Sedangkan tahun 2020 angka kelahiran 2,19 atau setiap perempuan melahirkan antara 2–3 kali.
Sumber: BPS
Pelayanan KB
Keluarga Berencana merupakan program nasional dalam pelayanan promotif dan preventif mulai dari konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi. Itu sebabnya BKKBN menyediakan alat kontrsepsi bagai Pasangan Usia Subur yang menjadi peserta JKN. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 7 Tahun 2013 tentang JKN, disebutkan:
- Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan Rujukan lanjutan
- Fasilitas Kesehatan tingkat pertama: Puskesmas atau yang setara, praktek dokter, praktek dokter gigi, klinik pratama atau yang setara, Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara.
- Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan: klinik utama atau yang setara, rumah sakit atau rumah sakit khusus.
- Semua Fasilitas Kesehatan wajib memberikan pelayanan KB dan harus segera diregistrasi oleh BKKBN/SKPD-Kab/Kota untuk pendistribusian alat kontrasepsi.
Pelayanan KB gratis dapat dilakukan di Puskesmas ataupun klinik yang bekerja sama dengan BKKBN. Sedangkan pelayanan KB yang ditanggung BPJS Kesehatan adalah: KB Tubektomi dan Vasektomi, IUD/Spiral, Suntik, biaya konsultasi, dan pemasangan serta lepas. Seluruh Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, maka Faskes tersebut wajib memberikan pelayanan KB.
Tempat pelayanan KB juga sangat mudah tersebar di seluruh Indonesia karena telah tersedia di Puskesmas, Rumah Sakit/Faskes, Pelayanan KB Bergerak atau mobil kesehatan keliling, PMB dan IMP. Selain itu, pelayanan KB juga dapat dilakukan oleh swasta dengan biaya cukup murah, yaitu di Klinik Bidan Delima. Bidan Delima adalah klinik bidan yang sudah mengikuti standar pelayanan kebidanan sesuai dengan ketentuan Kepmenkes No. 900/VII/2002 dan standar WHO.
Berdasarkan Laporan Tahunan PKBI 2020, pelayanan kesehatan reproduksi di masa pandemi menurun karena masyarakat takut datang dan mengakses layanan klinik. Layanan Sexual Reproductive Health (SRH) dan kontrasepsi seperti Pil KB,IUD, Kondom dan kontrasepsi lainnya menurun hingga 83 persen. Sama halnya dengan layanan layanan SRH non-kontrasepsi seperti Ginekologi, Obstetrik, Fertilitas, Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV & AIDS, kekerasan berbasis gender dan konseling prikologi menurun 70 persen. Termasuk layanan medis non-SRH menurun 52 persen.
Pandemi mengakibatkan ketersediaan alat kontrasepsi termasuk pil KB lebih sulit di berbagai daerah. Menurut data BKKBN tahun 2021, peserta KB mengalami kesulitan untuk mendapat alat kontraseptif di 34 propinsi di Indonesia, hal itu kemungkinan dapat meningkatkan resiko kehamilan 15 persen. Selain itu, layanan keluarga berencana bagi masyarakat miskin makin rentan terabaikan. Demikian pula dengan pelayanan bagi kelompok ODHA dan program pencegahan HIV dan AIDS di Indonesia menurun 50 persen. (LITBANG KOMPAS)
- Kontrasepsi alami
Metode ini dilakukan dengan menghitung masa subur wanita secara manual melalui perhitungan siklus menstruasi. Cara ini dapat dilakukan dengan memeriksa suhu tubuh, perubahan pada cairan vagina, serta menghitung menggunakan kalender kesuburan.
- Pil KB
Pil KB merupakan salah satu kontrasepsi yang banyak digunakan. Pil ini mengandung hormon estrogen dan progesteron yang berfungsi mencegah terjadinya ovulasi. Terdapat dua jenis pil KB, yaitu pil KB kombinasi dan pil yang hanya mengandung progesteron.
- Kondom pria
Alat kontrasepsi ini digunakan pada alat kelamin pria untuk mencegah sperma masuk ke dalam vagina saat sedang berhubungan intim. Selain mencegah kehamilan, penggunaan kondom pria bermanfaat untuk mencegah penularan penyakit infeksi menular seksual (IMS). Namun, alat kontrasepsi ini hanya bersifat sekali pakai.
- Kondom Wanita
Wanita juga bisa menggunakan kondom khusus, yaitu berupa plastik yang dipasang menyelubungi vagina. Di bagian ujungnya terdapat cincin plastik yang berperan untuk menyesuaikan posisi alat kelamin pria saat berhubungan intim.
- Suntik
Terdapat dua jenis KB suntik, suntik yang memiliki jangka waktu tiga bulan dan suntik yang hanya bisa bertahan selama satu bulan. Metode ini dinilai lebih efektif dibandingkan dengan mengonsumsi pil KB.
- IUD
IUD (intrauterine device) memiliki bentuk seperti huruf T. Alat KB ini dipasang pada rahim untuk menghalangi sperma dari proses pembuahan. IUD umumnya memiliki dua bentuk utama, yaitu IUD yang dibuat dari tembaga, misalnya ParaGard, yang memiliki ketahanan hingga 10 tahun. Jenis lainnya, yaitu IUD yang memiliki kandungan hormon, seperti Mirena yang harus diperbarui setiap lima tahun.
- Implan
Alat kontrasepsi jenis ini memiliki bentuk dan seukuran batang korek api dan dimasukkan ke bagian bawah kulit, biasanya pada lengan bagian atas. KB implan akan mengeluarkan hormon progestin secara perlahan dan dapat mencegah kehamilan hingga tiga tahun. Namun KB ini memiliki efek samping, yaitu menstruasi tidak teratur, pembengkakan dan memar pada area kulit yang dipasang, dan tidak efektif mencegah penularan IMS.
Referensi
- “Keluarga Berencana dijadikan Program Nasional”. Kompas, 25 Februari 1967, hlm 3
- “Masalah Family Planning dibawa ke DPRGR”. Kompas, 24 Juni 1967, hlm 1
- “Keluarga Berencana Universal”. Kompas, 13 Desember 1967, hlm 3
- Laman BKKBN, Sejarah BKKBN
- Laman BKKBN, Pelayanan Keluarga Berencana
- Laman BKKBN, 44 juta bayi dilahirkan di Indonesia dalam setahun
- Kemenko PMK, Program KB dan Kesehatan Reproduksi
- USAID, Commitment to Family Planning in Indonesia
- Laman Data Indonesia.id, Peserta KB di Indonesia