KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Presiden Joko Widodo didampingi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartato (kanan) dan Ketua Panitia Musyawarah Nasional X Partai Golkar Melchias Markus Mekeng (kiri) membuka Munas X Partai Golkar di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Fakta Singkat
Partai Golongan Karya
- Sekber Golkar
(20 Oktober 1964 – 1971) - Golongan Karya
(1971 – 1999) - Partai Golkar
(1999-saat ini)
Didirikan
20 Oktober 1964
Pendiri:
Soeharto dan Suhardiman
Asas:
Pancasila
Pemilu 2019:
Perolehan suara
17.229.789 suara sah
Persentase:
12,31 persen suara sah
Perolehan kursi:
85 kursi di DPR
Ketua Umum:
Airlangga Hartarto
(Periode 2019-2024)
Laman internet:
Partai Golkar
Partai Golkar pada era Orde Baru sangat melekat posisinya dengan penguasa. Sudah hampir 60 tahun partai ini menjadi partai politik yang relatif sukses bertahan sejak partai ini berdiri. Stigma dimasyarakat sebagai partai warisan Orde Baru ini menjadi beban bagi Partai Golkar. Pasca Reformasi 1998, Akbar Tandjung selaku Ketua Umum Partai Golkar mendeklarasikan Paradigma Baru Partai Golkar pada tahun 1999 yang berusaha menggunakan jati diri baru sebagai parpol yang lepas dari Order Baru.
Langkah awal melepaskan beban sejarah tersebut berhasil dengan mempertahankan eksistensinya yaitu berada diperingkat kedua pada Pemilu 1999. Walaupun pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat dilakukan pembekuannya lewat Maklumat Presiden Republik Indonesia 23 Juli 2001 yang membekukan MPR, DPR, dan Partai Golkar, namun partai ini justru lolos dari pembekuan tersebut. Bahkan pada Pemilu 2004 Golkar menjadi pemenang.
Partai Golkar sebelumnya cenderung identik dengan para figur berlatar militer saat era Orde Baru. Namun, peran kekuasaan sipil di dalam partai mulai menguat sejak terpilihnya Akbar Tandjung secara demokratis pada Munas Golkar 1999 yang saat itu mengalahkan Edi Sudrajat yang berlatar belakang militer. Hal ini menjadi awal kebangkitan politisi sipil dalam Partai Golkar. Kepemimpinan partai ini pada periode sebelumnya dipegang Harmoko juga dari kalangan sipil. Namun kepemimpinan Harmoko masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Presiden Soeharto.
Partai Golkar mengakar kuat hingga sampai saat ini mulai dari tingkatan bawah hingga tingkatan politik elite. Partai ini memilki karakter politik yang pragmatis dan terdapat fenomena kekuatan modal dalam perjalanannya. Terdapat dua sosok pengusaha nasional dalam kepemimpinan Partai Golkar, yaitu Jusuf Kalla pada periode 2004-2009 serta Aburizal Bakrie pada periode 2009-2014 yang makin menguatkan parpol dengan pasokan modal yang kuat. Pada saat Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar 2009, terjadi persaingan pemilihan calon ketua umum antara Aburizal Bakrie dengan Surya Paloh yang juga pengusaha nasional. Kemudian nama Hutomo Mandala Putra muncul yakni putra bungsu mantan Presiden Soeharto, namun kalah dalam persaingan tersebut.
Sampai saat ini Partai Golkar merupakan salah satu kekuatan politik yang berpengaruh di Indonesia. selama dekade terakhir, Golkar menguasai posisi-posisi penting di dalam pemerintah pusat dan daerah serta didalam lembaga legislatif. Hal ini merupakan buah hasil dari sejarah panjang eksistensi Golkar sejak tahun 1960-an.
Perbandingan Partai Golkar saat ini dengan dengan Golkar di era Order Baru, terdapat pada pergeseran kekuatan penopang di dalamnya. Pada era Orde Baru, partai ini banyak ditopang oleh pemerintah dengan sejumlah pilar, seperti militer dan birokrasi. Sementara, pada era pasca reformasi Partai Golkar lebih menggunakan kekuatan modal yang terpusat pada sosok ketua umumnya sebagai penopang.
Sejarah Partai Golkar
Partai Golkar memiliki fenomena yang menarik jika dilihat pada sejarah awal berdirinya partai ini. Partai ini lahir dan berdiri dari kekuatan-kekuatan pemangku kepentingan yang berasal dari sejumlah organisasi masyarakat.
Sejarah panjang berdirinya partai ini tidak lepas dari peran militer, terutama Angkatan Darat (AD) dalam kehidupan politik indonesia pasca kemerdekaan. Leo Suryadinata (dalam Partai Politik 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016 halaman 114) menjelaskan bahwa keterlibatan militer dalam politik secara resmi muncul saat Presiden Soekarno mendirikan Dewan Nasional pada 6 Mei 1957. Tujuan pendirian Dewan Nasional tersebut untuk mengambil alih peran parpol yang saat itu dianggal gagal melaksanakan tugas yang diembankan oleh rakyat.
Dewan ini terdiri dari golongan-golongan fungsional dimasyarakat dan pejabat militer yang dipandang perlu. Golongan tersebut adalah buruh, petani, intelektual, seniman, perempuan, kelompok-kelompok agama, pengusaha nasional, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Namun, saat itu peran militer tidak menonjol di lembaga ini. Saat itu kekuasaan masih dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan anggota sipil lainnya. Militer memiliki kesempatam untuk meningkatkan perannya saat kampanye membebaskan Irian Barat mulai gencar dilaksanakan.
Saat itu Golkar memang direncanakan sebagai sebuah alternatif gagasan untuk menjembatani sebuah kepentingan di tengah terpolarisasinya politik dan ideologi. David Reeve (dalam: Partai Politik 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016, halaman 114) menjelaskan soal kelahiran Golkar yang tidak lepas dari upaya “perlawanan” terhadap partai-partai. Reeve menyebutkan Soekarno sebagai sosok yang sejalan dalam upaya tersebut. Eksistensi Partai Golkar saat awal berdiri semakin melambung sebagai sebuah kekuatan politik penyeimbang partai. Saat itu Soekarno mendorong menggantikan partai-partai dengan Golkar yang saat itu disebut golongan fungsional. Namun, sejak 1959 gagasan Golkar digunakan Angkatan Darat (AD) dan para sekutunya sebagai senjata anti-Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada periode tahun 1960-an, Jenderal Nasution dan Jenderal Ahmad Yani melihat kekuatan haluan kiri terutama PKI makin berkembang pesat. Angkatan Darat kemudian membentuk organisasi yang berafiliasi dengan PKI hampir di setiap sektor seperti Badan Kerjasama (BKS) antarmiliter dan masyarakat sipil, BKS Pemuda-Militer, BKS Ulama-Militer, dan juga organisasi sepertil Sentral Organisasi Karyawan Sosialisasi Indonesia (SOKSI) untuk menghadapi Sentral Organiasai Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan PKI, Koperasi Simpan Tabungan Gotong Royong (Kosgoro), serta Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Hal ini dilakukan AD untuk membendung pengaruh politik haluan kiri, khususnya mengimbangi kekuatan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI. BKS tersebut adalah cikal bakal awal didirikannya Front Nasional untuk pembebasan Irian Barat. Seluruh organisasi inilah awal lahirnya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Pada 20 Oktober 1964 didirikan Sekber Golkar oleh Soeharto dan Suhardiman sebagai respon dari diterbitkannya Peraturan Presiden No. 193 Tahun 1964 yang menginstruksikan seluruh organisasi di dalam tubuh Front Nasional bergabung dengan parpol atau membentuk organisasi sendiri. Saat itu Jenderal Nasution menyatakan bahwa pembentukan Sekber Golkar tersebut direncanakan untuk memperkuat barisan anti-komunis. Sebanyak 53 serikat buruh dan organisasi pegawai negeri sipil bentukan militer, 10 organisasi intelektual salah satunya seperti Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, lima organisasi perempuan, empat asosiasi media, dua organisasi petani dan nelayan, kemudian dari pihak militer turut serta dalam menandatangani pembentukan Sekber Golkar.
Kolonel Djoehartono selaku Ketua Front Nasional menjabat sebagai Komite Eksekutif Sekber Golkar bersama empat wakil ketua yakni Imam Pratigno (Nahdlatul Ulama), J.K Tumakaka (PNI), Jendral Djamin Ginting (AD), dan S.Sokowati (Hankam). Walaupun sudah terbentuk dan terstruktur, kegiatan Sekber Golkar belum efektif sehingga kekuatan anti-komunis dijalankan terutama oleh Soksi, Kosgoro dan MKGR.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/1965) dan pembantaian serta penghancuran organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI menjadikan peta politik nasional berubah. Saat itu militer memenangi pertarungan politik paling berdarah dalam sejarah modern indonesia dan menjadikan Sekber Golkar menguat. Pada 5 September 1966, Jenderal Soeharto selaku Menteri Pertahanan memberikan instruksi kepada empat Kepala Staf Angkatan untuk memberi semua fasilitas kepada Sekber Golkar agar dapat berkembang di level regional hingga nasional. Leo Suryadinata (dalam Partai Politik 1999-2019, Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016 halaman 115) menjelaskan bawah pada periode tersebut Sekber Golkar mulai berfungsi sebagai mesin elektoral untuk menjamin posisi dominan militer didalam politik.
Selanjutnya, Daniel Dhakidae (dalam Partai Politik 1999-2019, Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016: 116) menjelaskan bahwa Golkar terlihat sebagai Partai Neo-Fasis Orde Baru. Pengertian partai fasis adalah partai yang diorganisasikan ketat untuk menjadi mesin secara semimiliter yang harus menaklukan negara dan masyarakat. Dhakidae melihat bagaimana sosok Golkar dan militer tidak ubahnya sebagai “kembar siam”. Golkar merupakan ABRI dalam wajah sipil, dan sebaliknya ABRI adalah Golkar dalam wajah militer dan bisa dikatakan bahwa semua organisasi semimiliter yang dibentuk di kalangan militer adalah Golkar.
Dalam tubuh Golkar saat itu tidak luput dari pertarungan politik internal. Pasca peristiwa G30S/1965 terjadi, para perwira militer dan pimpinan sipil yang dekat dengan Soekarno disingkirkan dan digantikan oleh mereka yang pro-Jenderal Soeharto. Kemudian pada 7 November 1967, hasil dari Musyawarah Kerja Nasional Kedua Sekber Golkar telah terpilih pengurus baru yakni Mayjen Sokowati menjadi Ketua baru dengan enam Wakil Ketua yang berasal dari militer dan sipil. Kepengurusan baru tersebut diminta untuk merampingkan puluhan organisasi yang bergabung di dalam Sekber Golkar. Namun, hal ini tidak dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat karena tiap organisasi memiliki kepentingan serta tujuan sendiri sehingga menolak untuk digabungkan dengan alasan khawatir kehilangan basis kekuasaan. Organisasi tersebut seperti SOKSI, MKGR, dan Kosgoro.
Pada 9 Oktober 1969, organisasi-organisasi tersebut berhasil dirampingkan. Sekber Golkar setelah perampingan terdiri dari tujuh Kelompok Induk Organisasi (Kino) yakni Kino Kosgoro, Kino SOKSI, Kino MKGR, Kino Ormas Hankam, Kino Karya Profesi, Kino Gabungan Karya, serta Kino Karya Pembangunan. SOKSI, MKGR, dan Kosgoro tetap eksis mempertahankan identitas lembaganya dan menunjukan bahwa keberadaannya mereka cukup berpengaruh di dalam Sekber Golkar. Sekber Golkar kemudian di pimpin oleh Mayjen Sokowati, Kolonel Supardjo sebagai Sekretaris Jenderal, serta tujuh ketua Kino sebagai anggota yang enam diantaranya dari militer dan satu Kino dari Karya Pembangunan dari kalangan sipil.
Pada dasarnya bentukan Golkar baru ini adalah persiapan untuk menghadapi Pemilu 1971, dari penyederhanaan organisasi tersebut mempermudah pengorganisasian lembaga besar tersebut. Sekber Golkar memiliki perwakilan hingga tingkat desa. Pada persiapan Pemilu, Presiden Soeharto membentuk Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu) dan Jenderal Murtopo ditunjuk sebagai ketua yang merupakan Asisten Khusus Soeharto. Anggota Bapilu terdiri dari personil intelijen militer (Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani), mantan aktivis mahasiswa (Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, Rachman Tolleng, Cosmas Batubara, David Napitupulu), intelektual (Murdopo, Sumiskum, Daoed Joesoef), serta pengusaha seperti Njoo Han Siang.
Kelompok Ali Murtopo ternyata memiliki pengaruh kuat terhadap Sekber Golkar. Bapilu bersifat pararel dengan Sekber Golkar dalam arti memiliki pengurus di tingkt provinsi, kabupaten, hingga desa. Terpadat pula lembaga lainnya yang melancarkan kemenangan Golkar pada Pemilu 1971, yakni Korps Karyawan Kementerian Dalam Negeri (Kokarmendagri) serta Komando Militer Lokal. Sekber Golkar mulai mengorganisir Korps Karyawan di tiap lembaga pemerintahan saat menjelang Pemilu 1971.
Kokarmendagri saat itu dpimpin oleh Jenderal Amir Mahmud selaku Menteri Dalam Negeri. Kemudian pada tahun 1969 diterbitkan Peraturan Menteri Nomor 12 yang didalamnya berisi instruksi melarang pegawai pemerintah bergabung dengan parpol. Lalu pada tahun 1970 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.6/1970 didalamnya menyatakan bahwa pegawai pemerintah harus memiliki monoloyalitas, tidak boleh memiliki kaitan apapun dengan parpol. Pada saat Pemilu 1971 mereka juga diminta untuk mencoblos Sekber Golkar. Pada Pemilu 1971 Sekber Golkar akhirnya berhasil mmemenangkan suara sebesar 62,8 persen dengan mendapatkan 227 kursi. Pesaingnya NU mendapatkan suara 18 persen yakni 58 kursi dan PNI memperoleh 6,93 persen yakni hanya 20 kursi.
Berdasarkan ketentuan dan ketetapan MPRS, pada 17 Juli 1971 Musyarawah Sekber Golkar mengubah dirinya menjadi Golkar. Secara resmi dikukuhkan pada Munas Golkar 4-5 September 1973 di Surabaya. Kepengurusan baru Golkar tediri dari Dewan Pembinan dengan tugas memberi konsultasi dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) sebagai pelaksana harian. Kemudian yang menempati Dewan Pembina adalah para ketua Kino beserta beberapa perwira tinggi militer, teknokrat, serta intelektual pro Orde Baru, lalu DPP sebagian besar dipilih dari anggota Bapilu.
Leo Suryadinata (dalam: Partai Politik 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016) menjelaskan bahwa struktur baru ini menunjukkan kelompok Soeharto dan militer mendominasi Golkar terutama di dalam DPP yang memiliki kekuasaan paling besar. Organisasi massa yang diwujudkan dalam Kino-Kino telah dikurangi atau bahkan dihilangkan legitimasinya di dalam kepengurusan.
Setelah Reformasi
Pasca Reformasi terjadi perubahan politik nasional, Golkar mendapat stigma oleh masyarakat sebagai warisan Orde Baru. Orde Baru yang dianggap sebagai sumber krisis multi dimensional yang menimpa rakyat Indonesia. Akbar Tandjung (dalam Partai Politik 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016 halaman 117) menjelaskan bahwa beberapa kalangan di masyarakat memperkirakan Golkar akan bubar tak lama setelah pergantian rezim terjadi dan berlangsungnya Pemilu demokratis. Kemudian beberapa kelompok menuntut agar Golkar dibubarkan karena dianggap turut melanggengkan rezim Orde Baru.
Di dalam tubuh Golkar muncul desakan dari sebagian kalangan agar melakukan reformasi dan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Munaslub kemudian diselenggarakan pada 9-11 Juli 1998 di Jakarta. Perebutan kursi ketua umum Golkar untuk menggantikan Harmoko saat itu menjadi ajang pertarungan politik paling keras sejak awal berdirinya Golkar. Hal ini merupakan awal terjadinya konflik internal yang akhirnya melahirkan fragmentasi politik.
Pada Munas 1998 terjadi pertarungan kuat antara kubu Edi Sudrajat dengan kubu Akbar Tandjung yang merupakan representasi politisi sipil dari Golkar. Kemudian Akbar Tandjung memenangkan posisi Ketua Umum Partai Golkar. Hal ini menjadikan langkah awal demiliterisasi dengan tidak terlibatnya tokoh militer didalam tubuh Golkar.
Adanya pertentangan pasca Munaslub membuat Edi Sudrajat beserta beberapa tokoh Golkar yang tergabung didalam Kosgoro mendirikan partai baru dengan nama Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) dan dideklarasi pada 15 Januari 1999. Organisasi MKGR yang ikut keluar bersamaan saat Edi Sudrajat, mendirikan Partai partai baru dibawah pimpinan Mien Sugandhi. Beberapa pucuk pimpinan organisasi massa Pemuda Pancasila juga mendirikan partai baru dengan nama Partai Patriot Pancasila dan diketuai oleh Yapto S. Soerjosoemarno.
Pada akhir tahun 1998 Golkar mendeklarasikan diri sebagai partai politik yang mengusung “semangat reformasi” yang berintikan keadilan, demokratis, serta transparansi. Babak baru Golkar dengan paradigma baru dianggap penting untuk menghadapi tekanan pembubaran dan persiapan Pemilu 1999. Terdapat beberapa pokok paradigma baru yang coba diwujudkan oleh Golkar, pertama Golkar berusaha menerapkan mekanisme demokratis yang tumbuh dari bawah (bottom up) pada pemilihan ketua umum melalui pemungutan suara secara langsung. Kedua, menghapus sebutan “Orde Baru” dalam pembukaan AD/ART sebagai manisfestasi memutus hubungan dengan kekuasaan lama yang terpusat pada seseorang. Ketiga, menghapus Lembaga Dewan Pembina, Dewan Pertimbangan, serta Dewan Penasehat yang telah mengakibatkan ketidakmandirian organisasi. Keempat, menghapus mekanisme kepemimpinan tiga jalur yang dikenal sebagai ABG (ABRI, Birokrasi, Golkar). Kelima, berusaha memulihkan kredibilitas organisasi dengan menindak anggota yang terindikasi melakukan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Strategi ini sedikit banyak mampu meredam adanya serangan terhadap partai ini. Pada Pemilu 1999, Golkar menempati urutan posisi kedua dengan perolehan suara 22,5 persen yakni setara dengan 35,7 juta suara dengan 120 kursi di parlemen serta Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung menjadi ketua DPR. Posisi Golkar yang strategis dalam politik nasional membuat partai ini mampu memenangkan dukungan suara kepada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Pemilihan Presiden tahun 1999.
Kepemimpinan dan Organisasi
Kepemimpinan Partai Golkar sejak awal hingga runtuhnya kekuasaan Orde Baru berdiri tidak lepas dari kalangan militer dan sipil. Pasca reformasi figur militer tergantikan oleh sipil dan kemudian figur pengusaha menjadi salah satu potret baru dalam kepemimpinan partai ini. Kepemimpinan Golkar dari awal hingga berkembang di era reformasi mengalami tiga fase, yakni fase militer, fase, politisi serta pengusaha.
Awal berdirinya Golkar lebih bertumpu pada kekuasaan saat itu dengan kepemimpinan militer yang diwujudkan dalam kursi ketua umumnya. Leo Suryadinata (Partai Politik 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016 halaman 119) mengatakan dominasi militer di kursi ketua umum tidak lepas dari akar historis Golkar yang dibentuk sebagai reaksi atas partai-parti politik di era Orde baru yang dimata pemegang kekuasaan dilihat sebagai sumber kekacauan politik dan kebangkrutan ekonomi negara. Para penguasa era Orde Baru mengklaim bahwa Golkar dikembangkan dalam rangka meluruskan penyimpangan seperti itu.
Golkar saat itu sangat kental dengan kepemimpinan militer, berikut adalah nama ketua umum yang pernah menjabat dari kalangan militer, yaitu Brigjen TNI (Purn.) Djuhartono (1964-1967), Mayjen TNI Suprapto Sukowati (1967-1972), Mayjen TNI Amir Murtono (1972-1983), Letjen (Purn.) Sudharmono (1983-1988), serta Letjen (Purn.) Wahono (1988-1993). Para pimpinan tersebut tidak lepas dari kekuassaan Presiden Soeharto saat itu. Soeharto selaku Ketua Dewan Pembinan Golkar mampu menancapkan pengaruh politiknya di didalam tubuh Golkar. Hampir tidak ada dinamika politik berarti dalam perjalanan suksesnya kepemimpinan Golkar pada periode militer.
Pada periode politisi, kepemimpinan Golkar dari kalangan sipil yang merupakan elite politik yang sebelumnya juga pernah menjadi kader Golkar. Pada periode ini kepemimpinan ketua umum dijabat oleh Harmoko (1993-1998) yang merupakan seorang wartawan sekaligus mantan Ketua PWI. Sebelumnya, pada Pemerintahan Orde Baru Harmoko menjabat sebagai Menteri Penerangan dan menjadi politisi sipil pertama yang dipercaya oleh Soeharto menjadi ketua umum Golkar. Pada periode ini figur militer masih menempati posisi penting didalam tubuh Golkar, seperti Ary Mardjono menjabat sebagai Sekjen Golkar. Menurut Daniel Dhakidae (dalam Partai Politik 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016), Golkar mengalami pergeseran setelah dipimpin oleh Harmoko, semula sebagai partai birokratik, sipil dan militer kemudian secara perlahan mengubah dirinya menjadi suatu partai kader sambil meningkatkan massa pendukungnya.
Pada fase ini Golkar mengalami guncangan akibat desakan publik terhadap suksesi kepemimpinan politik nasional dalam gerakan reformasi 1998. Kekuasaan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto akhirnya runtuh setelah 32 tahun berkuasa. Harmoko yang saat itu menjadi Ketua MPR membuat keputusan dengan mencabut mandat presiden karena sudah tidak dipercaya oleh rakyat, sedikit banyak meninggalkan ketegangan antara keduanya.
Para politisi didalam tubuh Golkar akhirnya bisa bertarung memperebutkan kursi ketua umum tanpa harus mendapat restu dan dukungan dari Ketua Dewan Pembina setelah lengsernya Soeharto. Terbukti pada Munas Golkar 1998, yang merupakan Munas paling demokratis dalam sejarah politik Golkar. Yakni dengan munculnya dua kubu yang memperebutkan kursi ketua umum. Setelah terpilihnya Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum pada Munas 1998, membuka lembaran baru Golkar. Selain proses pemilihan ketua umum, dalam Munas tersebut memutuskan untuk menghapus Ketua Dewan Pembina. Pada era ini Golkar memasuki era politisi kedua setelah periode Harmoko.
Dinamika politik saat Munas Golkar 1998 cukup memanas saat dua kubu antara Akbar Tandjung dengan Edi Sudrajat memperebutkan kursi Ketua Umum Golkar. Edi Sudrajat yang kalah kemudian mengundurkan diri. Edi Sudrajat yang merupakan representasi kekuatan militer di Golkar kemudian membuat partai baru yakni Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Namun, pada era pimpinan Akbar Tandjung kembali muncul representasi militer yakni Tuswandi sebagai Sekjen mendampingi Akbar Tanjung yang merupakan pensiunan militer.
Pada Munas Golkar 2004, Jusuf Kalla terpilih sebagai Ketua Umum Golkar yang menggantikan Akbar Tandjung. Golkar dibawah pimpinan Jusuf Kalla mulai memasuki era kepemimpinan pengusaha. Terpilihnya Jusuf Kalla bersaing dengan Akbar Tandjung cukup mengalami dinamika politik kepentingan Golkar di Munas 2004 yakni adanya tarik menarik kekuatan kedua kubu. Pada era kepemimpinan pengusaha tidak dipungkiri kekuatan militer tetap mendapatkan tempat sebagai sekjen yang dijabat oleh Soemarsono untuk mendampingi Jusuf Kalla.
Pada Munas VIII Partai Golkar di Pekanbaru 5-9 Oktober 2009, Aburizal Bakrie terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar yang merupakan mantan Ketua Umum KADIN. Saat itu Partai Golkar yang berkoalisi dengan Partai Hanura mengalami kekalahan pasangan yang sudah diusung pada Pilpres 2009 dan mempengaruhi konstelasi politik yang terjadi di ajang Kongres Golkar di Pekanbaru. Terdapat dua kubu, yakni kubu yang menginginkan Golkar menjadi partai oposisi denga alasan calon presiden yang diusung Golkar yaitu Jusuf Kalla kalah dalam Pilpres 2009. Di sisi lain, kubu yang lain yang menginginkan Golkar tetap berada didalam pemerintahan yang menjadikan Aburizal Bakrie sebagai calon yang diusung di Kongres tersebut.
Pada era pimpinan Bakrie, jabatan sekjen tidak lagi diberikan kepada kalangan militer melainkan diserahkan kepada politisi sipil, yakni Idur Marham. Era Bakrie tidak jauh berbeda dengan model politik yang dimainkan Golkar di era Pemerintahan Yudhoyono-Kalla pada 2004-2009. Golkar kembali masuk dalam pemerintahan, bahkan Bakrie menjabat sebagai Ketua Harian Sekretariat Bersama Koalisi pendukung pemerintah. Aburizal Bakrie membawa kembali Partai Golkar sebagai partai politik pendukung pemerintah dengan berkoalisi bersama Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Posisi Partai Golkar merupakan pemenang kedua pemilu setelah Partai Demokrat serta kelihaian politik Aburizal Bakrie, menjadikan bargaining politik partai ini terhadap pemerintah beserta koalisinya semakin kuat.
Sejak terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian Sekretariat Bersama Partai Koalisi pendukung pemerintah, posisi Golkar semakin kuat. Hal ini membuktikan bahwa Aburizal Bakrie cukup piawai dalam memainkan politik Golkar. Sebagai partai pendukung pemerintah, di sisi lain partai ini juga sering melancarkan serangan politik terhadap pemerintah. Seperti kasus skandal dana Century, ada keterlibatan Golkar melalui para politisnya di DPR dalam menggulirkan kasus ini. Karir politik Aburizal Bakrie sudah dimulai sejak lengser dari Ketua Umum KADIN selama dua periode. Modal sebagai Ketua Umum KADIN mengantarkan Aburizal Bakrie sebagai salah satu politisi elite di Indonesia ditambah keberadaannya sebagai barisan elit dari sebuah parpol besar seperti Golkar.
Bakrie pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian periode 2004-2005 dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2005-2009) dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I. Hal ini menjadikan dirinya sebagai tokoh politik Golkar yang diperhitungkan hingga sampai puncaknya Bakrie menjabat Ketua Umum Golkar pada periode 2009-2014. Bakrie memiliki kemampuan dalam mengendalikan Partai Golkar dengan mampu meredam desakan atas peninjauan kembali keputusan Golkar mengajukan sebagai calon presiden. Aburizal Bakrie tercatat sebagai ketua umum yang paling gencar dalam mendapatkan perlawanan dari internal partai. Desakan tersebut tidak lepas dari masih rendahnya popularitas dan elektabilitas yang diraihnya dari hasil-hasil survei.
Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung melihat elektabilitas Aburizal Bakrie belum mampu mengimbangi elektabilitas partai. Akan tetapi, kepiawaian politik Bakrie mampu meredam desakan internal tersebut. Pada Pemilu 2014 merupakan ujian kepemimpinan Bakrie karena akan menentukan dan turut mempengaruhi potensi desakan, apakah meredam atau sebaliknya menguat terhadap pencalonannya sebagai capres Golkar. Namun, Aburizal Bakrie gagal menjadi calon presiden dan Golkar hanya menjadi partai politik pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Di sisi lain, nama Jusuf Kalla yang merupakan mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi pasangan calon presiden Joko Widodo.
Artikel Terkait
Dualisme Golkar
Konflik internal Partai Golkar makin memanas pasca Pemilu 2014. Munas Partai Golkar pecah dan menjadi dua kubu. Pada Munas IX Partai Golkar versi Aburizal Bakrie digelar di Nusa Dua, Bali (30/11/2014) dihadiri oleh beberapa unsur pimpinan parpol. Aburizal Bakrie kembali terpilih secara aklamasi untuk periode 2014-2019. Agung Laksono bersama dengan sejumlah politisi Partai Golkar membentuk Presidium Penyelamat Partai Golkar sebagai bentuk protes terhadap pelaksanaan Munas IX Golkar di Bali.
Munas tersebut mendapat reaksi cukup keras dari Presidium Penyelamat Partai Golkar dengan menggelar Munas IX Partai Golkar di Hotel Mercure Ancol, Jakarta pada 6 Desember 2014. Hasil Munas tersebut memilih Agung Laksono sebagai ketua umum. Di sisi lain, Bakrie mendaftarkan kepengurusan Partai Golkar versi Munas Bali di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun, pada 5 Desember 2014 Golkar versi Agung Laksono mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut kubu Aburizal Bakrie, kubu Agung Laksono sudah mengingkari kesepakatan untuk menempuh musyawarah.
Kubu Aburizal Kabrie menunjuk Akbar Tandjung sebagai mediator untuk mengupayakan perdamaian antara kedua kubu pada 10 Desember 2014. Namun, sebelum gugatan kubu Agung selesai, pada Januari 2015 Golkar kubu Aburizal Bakrie mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Upaya islah pun gagal terlaksana karena kedua kubu telah menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Dualisme Golkar yang terjadi membuat arah kebijakan Partai Golkar juga bersayap. Pada 8 Januari 2015 kepengurusan DPP Partai Golkar versi Agung Laksono memutuskan untuk mendukung pemerintah, sebaliknya kubu Aburizal Bakrie cenderung berada di posisi di luar pemerintah bersama Koalisi Merah Putih yang merupakan pendukung pasangan Prabowo-Hatta di Pilpres 2014. Kemudian pad 18 Mei 2015 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan DPP Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie dan SK Menkumham yang mengesahkan DPP Golkar kubu Agung Laksono dibatalkan. Namun, kubu Agung Laksono tetap melawan dengan mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.
Pada 10 Juli 2015, PTUN mengeluarkan putusan menerima banding Menteri Hukum dan HAM serta pengurus Golkar versi munas Ancol dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang menunda pengesahan kepengurusan Golkar versi munas Ancol. Kubu Bakrie mengambil tindakan dengan menggugat kasasi putusan PTTUN Jakarta ke Mahkamah Agung. Hasilnya pada 20 Oktober 2015, MA membatalkan putusan PTTUN dan menguatkan putusan PTTUN yang membatalkan SK Menkumham. Setelah putusan tersebut kedua kubu akhirnya melakukan rekonsiliasi.
Pada 30 Desember 2015, Kemenkumham mencabut dan membatalkan SK Menkumham yang mengesahkan DPP Partai Golkar versi Munas Ancol yakni kubu Agung Laksono. Namun, Kemenkumham tidak serta merta mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar pimpinan Aburizal Bakrie hasil Munas Bali. Kemenkumham mengembalikan kepengurusan Golkar hasil Munas Riau 2009, akan tetapi kepengurusan ini hanya berlaku hingga 31 Desember 2015. Setelah pencabutan SK Kepengurusan Golkar hasil Munas Ancol, belum ada kepengurusan Golkar yang disahkan oleh Kemenkumham. Wacana diadakan Munas rekonsiliasi pada 2016 menjadi salah satu solusi yang dimunculkan untuk mengatasi problem kepengurusan di Golkar.
Pada 15 Januari 2016, Mahkamah Partai Golkar memutuskan untuk membentuk Tim Transisi untuk menyelesaikan konflik internal Partai Golkar. Tim dipimpin oleh Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI, yang pernah menjadi Ketua umum DPP Partai Golkar. Salah satu agenda tim transisi yakni menyiapkan pelaksanaan musyawarah nasional sebagai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan perpecahan ditubuh Partai Golkar.
Pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 17 Mei 2016 di Nusa Dua, Bali, Setya Novanto terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar. Setya Novanto bisa terpilih secara aklamasi tanpa pemungutan suara putaran kedua karena bakal calon ketum yang menjadi saingan terberatnya yaitu Ade Komarudin menyatakan tak melanjutkan pertarungan melawan Setya Novanto.
Sayangnya, karir Setya Novanto kandas setelah Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, menjatuhkan vonis bersalah kepada Setya Novanto dalam perkara korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik pada Selasa, (24/4/2018). Mantan Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar ini juga berpotensi harus meninggalkan dunia politik dan ditinggalkan koleganya di dunia politik.
Dalam putusannya Majelis Hakim mencabut hak Novanto untuk menduduki jabatan publik hingga 5 tahun seusai menjalani pidana. Pidana yang dijatuhkan atas Novanto adalah 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia juga wajib membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dipotong Rp 5 miliar yang telah dikembalikan Novanto kepada KPK. (Kompas, 25 April 2018, Setya Novanto Ditinggalkan).
Pada 2017, Airlangga Hartarto terpilih sebagai Ketua Umum definitif Partai Golkar secara aklamasi melalui rapat pleno yang digelar di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta pada 13 Desember 2017. Keputusan aklamasi dicapai setelah Aziz Syamsuddin mengundurkan diri dari pencalonan sebagai ketua umum Golkar.
Pada 2019, Airlangga Hartarto sah kembali terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Golkar Periode 2019-2024. Hal tersebut ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Jakarta pada 4 Desember 2019.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Aburizal Bakrie bersama pendukungnya meluapkan kegembiraan setelah memastikan diri menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 2009-2015 seusai unggul atas kandidat kuat, Surya Paloh, pada lanjutan Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, Kamis (8/10/2009) dini hari. Aburizal Bakrie mendapat 296 suara, sedangkan Surya Paloh memperoleh 240 suara.
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dari masa ke masa
Kepengurusan Partai Golkar 1998-2004
- Ketua Umum : Akbar Tandjung
- Sekretaris Jenderal : Tuswandi
- Bendahara Umum : Fadel Muhammad
Kepengurusan Partai Golkar 2004-2009
- Ketua Umum : Jusuf Kalla
- Sekretaris Jenderal : Letjen (Purn.) Sumarsono
- Bendahara Umum : Adhara Zakile
Pengurus DPP Partai Golkar 2009-2015
- Ketua Umum : Aburizal Bakrie
- Sekretaris Jenderal : Idrus Marham
- Bendahara Umum : Setya Novanto
Pengurus DPP Partai Golkar 2014-2019 Hasil Musyawarah Nasional Bali 2015
- Ketua Umum : Aburizal Bakrie
- Sekretaris Jenderal : Idrus Marham
- Bendahara Umum : Bambang Soesatyo
FOTO: DPP PARTAI GOLKAR
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memberikan pidato saat peringatan HUT ke-57 Partai Golkar di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Jakarta, Rabu (20/10/2021).
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar 2019-2024
- Ketua Umum : Airlangga Hartarto
- Sekretaris Jenderal : Lodewijk F. Paulus
- Bendahara Umum : Dito Ganinduto
- Wakil Ketua Umum(Madya): Bambang Soesatyo
- Wakil Ketua Umum (Koordinator Bidang Perekonomian): Agus Gumiwang Kartasasmita
- Wakil Ketua Umum(Koordinator Bidang Kepartaian): Kahar Muzakkir
- Wakil Ketua Umum (Pratama): Nurdin Halid
- Wakil Ketua Umum (Koordinator Bidang Hubungan Kelembagaan): Melchias Marcus Mekeng
- Wakil Ketua Umum (Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu): AhmadDoli Kurnia
- Wakil Ketua Umum (Koordinator Bidang dan Badan Bencana Alam): Roem Kono
- Wakil Ketua Umum (Koordinator Bidang PenggalanganStrategis): Rizal Mallarangeng
- Wakil Ketua Umum (Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat): Hetifah Sjaifudian
- Wakil Ketua Umum (Koordinator Bidang Komunikasi dan lnformasi): Nurul Arifin
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kanan) didampingi Ketua Fraksi Golkar Kahar Muzakir menghadiri konferensi pers bersama pimpinan DPR di Komples Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/9/2021). Airlangga Hartarto menyerahkan nama Lodewijk Freidrich Paulus sebagai pengganti Azis Syamsuddin sebagai Wakil Ketua DPR yang mengundurkan diri karena menjadi tersangka kasus dugaan suap bekas penyidik KPK untuk mengurus penanganan kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus Kabupaten Lampung Tengah.
Visi dan Misi
Visi Partai Golkar
Terwujudnya masyarakat Indonesia yang bersatu, berdaulat, maju, modern, damai, adil, makmur, beriman dan berakhlak mulia, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bermartabat dalam pergaulan dunia.
Misi Partai Golkar
- Menegaskan, mengamankan, dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa demi memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Mewujudkan cita-cita proklamasi melalui pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang untuk merealisasikan masyarakat yang demokratis dan berdaulat, sejahtera dan makmur, menegakkan supremasi hukum dan mengjormati hak azasi manusia, serta terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia.
- Mewujudkan pemerintahan yang efektif dengan tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa dan demokratis.
Tujuan Partai Golkar
-
- Mempertahankan dan mengamalkan Pancasila serta menegakkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Menciptakan masyarakat adil dan makmur, merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi, yang menghormati dan menjunjung tinggi kebenaran, keadilan hukum dan hak azasi manusia.
Artikel Terkait
Penguasaan dan Basis Massa Partai
Pada era kekuasaan Orde Baru, Partai Golkar mendominasi dengan kemenangan mutlak sepanjang era tersebut. Namun setelah runtuhnya kekuasaan tersebut pasca gelombang reformasi perolehan suara partai ini cenderung tergerus. Pada Pemilu 1971 merupakan kemenangan Partai Golkar yang menjadi langkah awal bagaimana partai ini medominasi hasil pemilu serta berlanjut pada lima pemilu selanjutnya di era Orde Baru.
Kemenangan dalam lima pemilu ini karena adanya dukungan oleh tiga pilar utama, yakni militer, birokrasi, dan teknokrat. Kondisi tersebut menjadikan Golkar sebagai The Ruling Party, pada Pemulu 1977 Golkar memperoleh 62,1 persen suara, Pemilu 1982 meraih 63,9 persen suara, Pemilu 1987 mencapai 73,1 persen serta Pemilu 1992 meraih 68,1 persen. Partai Golkar saat dibawah kepemimpinan Harmoko yang merupakan tokoh sipil pertama memperoleh suara tertinggi sepanjang pemilu. Pada Pemilu 1997, Golkar memperoleh 74,5 persen suara, bahkan di beberapa wilayah luar Jawa perolehan suara mencapai 90 persen.
Pada babak baru Partai Golkar setelah era Orde Baru banyak pihak yang memprediksi partai ini akan habis bersama masa tersebut karena Golkar berdiri atas kekuasaan Soeharto saat itu. Namun hingga saat ini terbukti partai ini mampu bertahan sebagai salah satu partai besar. Terbukti setelah era reformasi pada Pemilu 1999 partai ini berada diurutan kedua setelah PDI Perjuangan dengan perolehan suara 22,4 persen. Umar Ibnu Alkhatab (dalam Partai Politik 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Penerbit Buku Kompas, 2016 halaman 125) menjelaskan bahwa bertahannya Golkar di Pemilu 1999 tidak lepas dari pembaruan yang dilakukan Golkar dengan paradigma baru, yaitu menciptakan kultur politik baru yang demokratis dan egaliter dengan berupaya memutus hubungan dengan sejarah gelap pada era Orde Baru.
Wilayah-wilayah yang menyumbang suara Partai Golkar pada Pemilu 1999, yakni Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah luar Jawa dengan sumbangan suara terbanyak sebesar 2,4 juta, setelah itu Jawa Barat dengan sumbangan suara 5,4 juta dan Jawa Timur 2,5 juta suara. Di Pulau Sumatera, pada wilayah Provinsi Sumatera Utara menjadi penyumbang terbesar yakni sebanyak 1,1 juta suara.
Pada Pemilu 1999 mulai terjadi perubahan politik dan konflik di dalam tubuh partai ini. Perpecahan yang terjadi yakni satu per satu kadernya memisahkan diri dan membentuk parpol baru seperti Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), Partai MKGR, Partai Karya Peduli Bangsa, serta Partai Patriot Pancasila. Terdapat tiga parpol yang pendirinya merupakan mantah elite partai Golkar, yakni Partai Nasdem, Hanura, serta Gerindra.
Pada Pemilu 2004, konsolidasi dan repoisi Golkar dengan paradigma baru berhasil mengembalikan kemenangan Golkar. Walaupun perolehan suara partai ini menurun menjadi 21,6 persen, namun penguasaan wilayah oleh Partai Golkar lebih luas cakupannya dibandingkan PDI Perjuangan. Sebanyak 27 provinsi dari 33 provinsi yang ada menjadi wilayah genggaman Golkar.
Wilayah kekuasaan Golkar meningkat tajam pada tingkat kabupaten/kota jika dibandingkan dengan Pemilu 1999. Dari 440 kabupaten/kota 61,6 persen (271 kabupaten/kota) menyumbang untuk kemenangan Golkar pada 2004 meningkat 36,4 persen dibanding pemilu sebelumnya. Basis massa Golkar sebagian besar (88,6 persen) berada diluar Pulau Jawa yang tersebar di 240 kabupaten/kota. Provinsi Sulsel merupakan wilayah hampir seluruh kawasannya menjadi penyumbang suara terbesar ke empat bagi SBY-JK dalam pemilihan presiden putaran kedua. Di Pulau Jawa Golkar hanya mempertahankan suara di 31 kabupaten/kota.
Pada Pemilu Presiden 2004, Partai Golkar mencalonkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, di sisi lain Jusuf Kalla selaku pengusaha dan fungsionaris Golkar berduet dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Partai Demokrat. Hal tersebut merupakan awal dari perpecahan di dalam tubuh Golkar. Kubu terbagi menjadi dua yakni kubu Akbar Tandjung yang mendukung Wiranto dan kubu Jusuf Kalla yang berduet dengan SBY. Hasil dari putaran pertama Pilpres 2004 menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono –Jusuf Kalla pada urutan pertama dengan perolehan sebanyak 39,8 juta suara (33,574 persen) dan pasangan dukungan Golkar Wiranto-Salahuddin Wahid berada di urutan ketiga dengan perolehan suara 26,28 juta suara (22,154 persen). Pasangan dua teratas yakni SBY-JK dan Megawati Soekarnoputri-K.H. Hasyim Muzadi lolos untuk putaran kedua.
Perpecahan Partai Golkar semakin memanas ketika Jusuf Kalla dibebastugaskan sebagai Penasihat DPP Partai Golkar serta sembilan pengurus Partai Golkar dipecat sementara sebagai anggota maupun pengurus. Alasan pemecatan tersebut adalah karena Jusuf Kalla bersama sembilan fungsionaris lainnya dianggap telah melakukan berbagai gerakan secara sengaja, sistematis, dan terencana untuk tidak mematuhi keputusan rapat pimpinan partai. Pemecatan tersebut merupakan kali pertama sepanjang sejarah perjalan partai ini. Menurut Fahmi Idris, pemecatan ini cukup fenomenal karena sejak berdiri tahun 1964 dalam bentuk Sekber Golkar belum pernah ada pemecatan massal seperti itu. Menurut Idris, ini merupakan wujud kepanikan pengurus dan patut dipertanyakan dari segi kesetiakawanan (Kompas, 16 September 2004).
Pada putaran kedua pemilihan presiden, kubu Akbar Tandjung mendukung pasangan Megawati-K.H. Hasyim Muzadi sementara Jusuf Kalla terus melenggang dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Hasil akhir Pilpres 2004 dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kemenang tersebut kemudian menjadi arus balik Jusuf Kalla di dalam tubuh partai Golkar.
Pada Munas VII Partai Golkar di Bali tanggal 16-19 Desember 2004, Jusuf Kalla berhasil mengalahkan Akbar Tandjung dalam perebutan jabatan Ketua Umum Golkar periode 2004-2009. Kemenangan tersebut mengukuhan bahwa penguasa dan pengusaha kini mendominasi Partai Golkar sekaligus semakin menguatkan wajah Golkar yang selalu menempel dengan kekuasaan.
Golkar terbukti mampu memanfaatkan dukungan basis massa yang sebagian besar ada di pedesaan dan di luar Pulau Jawa dengan berbagai isu yang lebih dekat dengan kultur politik lokal. Walaupun sering kali bersifat transaksional, seperti isu pembangunan fisik desa, dukungan bagi Golkar dari pemilih pedesaan terbukti menopang tegaknya partai ini yang mulai goyah di kawasan perkotaan. Pada ajang parlemen, Golkar ditopang dengan 120 kursi pada Pemilu 1999 dan 127 kursi pada hasil Pemilu 2004 serta beberapa menteri di dalam kabinet, sudah memberi amunisi yang cukup bagi Golkar untuk menaikan daya tawar dan menghalangi pembaruan-pembaruan politik yang mungkin bisa merugikannya.
Dalam tiga pemilu terakhir tercatat bahwa kantong-kantong suara Partai Golkar lebih banyak berasal dari wilayah luar Jawa. Dari perbandingan persentase suara nasional dibandingkan persentase perolehan suara di tingkat provinsi dapat diketahui pasokan suara paling besar dari partai ini berasal dari luar Jawa. Pada Pemilu 1999 Partai Golkar secara nasional meraih 22,4 persen. Sebanyak 17 provinsi tercatat perolehan suaranya berada diatas persentase suara nasional. Di Sulawesi tercatat rata-rata mendapatkan suara di atas 50 persen lebih. Pada Pemilu 2004 tidak jauh berbeda dengan Pemilu 1999 meskipun mengalami penurunan dengan raihan suara Golkar secara nasional mencapai 21,6 persen. Sulawesi menjadi pemasok terbesar karena wilayah ini mampu mendulang suara melebihi persentase suara nasional. Walaupun suara nasional turun, penetrasi kantong-kantong suara Golkar bertambah. Pada Pemilu 2004, provinsi raihan suara yang melebihi persentase nasional bisa bertambah menjadi 18 provinsi jika sebelumnya di Pemilu ada 17 provinsi.
Pada Pemilu 2009, partai ini mengalami penurunan perolehan suara yang cukup signifikan yang hanya mencapai 14,5 persen. Namun penetrasi kantong penguasaan wilayah kembali bertambah dengan perolehan suara melebihi persentase suara nasional di 22 provinsi. Sulawesi masih masuk dalam penyumbang terbesar suara karena raihannya melebihi persentase suara nasional. Meningkatnya suara dibeberapa provinsi, seperti Sulawesi Selatan tidak lepas dari sosok Jusuf Kalla yang merupakan putra daerah dari wilayah tersebut.
Pemilu 2014 merupakan momentum bagi Partai Golkar untuk tetap berada di papan atas kancah politik nasional. Golkar menempati posisi kedua teratas setelah PDI Perjuangan. Perolehan suara partai ini sebesar 14,7 persen yang setara dengan 18,4 juta suara dan menempatkan 91 kadernya di kursi DPR. Pemilu ini merupakan satu-satunya menjadikan suara Golkar mengalami peningkatan.
Sebelumnya, Partai Golkar selalu mengalami penurunan suara sejak 1999 hingga 2009 meskipun tetap bertahan sebagai partai papan atas. Namun, peningkatan suara yang terjadi tidak dapat menghantarkan partai ini untuk mencalonkan Aburizal Bakrie menjadi calon presiden. Golkar kemudian memutuskan untuk mendukung pasang Prabowo-Hatta Rajasa yang merupakan calon usungan Partai Gerindra, PKS, PPP, dan PAN. Di sisi lain, pada Pilpres 2014 Jusuf Kalla yang merupakan kader dan sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar diangkat menjadi calon wakil presiden berpasangan bersama capres Joko Widodo.
Pada karakter pemilih, Partai Golkar selama Pemilu 2009 dan 2014, pendukungnya cenderung penduduk desa. Partai ini konsisten dengan basis pendukungnya di luar Jawa dalam dua pemilu terakhir. Pada Pemilu 2014, Partai Golkar memperoleh peningkatan dukungan dari pendukung yang berada di wilayah perkotaan dan di Pulau Jawa.
Pada segi demografi, partai ini telah lama diminati oleh pemilih usia 35 tahun keatas. Namun, pada Pemilu 2014 ada peningkatan persentase pemilih yang berusia 17-35 tahun. Partai ini pun dominan dengan dukungan pemilih yang bersuku selain Jawa. Sebagai partai nasionalis, Golkar cukup diminati oleh pemilih yang beragama selain Islam dengan persentase pemilih non-Muslim Golkar tiga persen lebih besar daripada persentase pemilih non-Muslim nasional.
Partai Golkar cenderung didukung secara merata oleh pemilih mulai dari tingkat pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi serta kelas ekonomi bawah sampai atas.pada Pemilu 2009, mayoritas pendukung Golkar berprofesi sebagai wirausaha. Akan tetapi, pada Pemilu 2014, pemilih partai ini meningkat signifikan dari kalangan pelajar dan mahasiswa, aparat negara, serta pegawai swasta.
Artikel Terkait
Menuju Pemilu 2024
Pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar tanggal 5-6 Maret 2021, sebanyak 34 DPD dan 10 organisasi sayap Golkar mendukung Airlangga Hartarto sebagai capres dalam Pilpres 2024. Disepakati pula Golkar akan berkonsentrasi mengaktifkan seluruh media penggalangan opini di pusat, daerah, hingga desa dan kelurahan.
Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, mengatan bahwa sebagai Ketua Umum Golkar Airlangga adalah simbol partai dan juga kader terbaik partai. ”Begitu keinginan atau aspirasi dan dorongan dari kader-kader Golkar muncul, harus disertai upaya-upaya yang sistematis dan terarah untuk menyosialisasikan beliau kepada seluruh lapisan masyarakat.” (Kompas, 8 Maret 2021, Golkar Akan Dongkrak Elektabilitas Airlangga)
Ace juga menuturkan posisi Airlangga sebagai Menko Perekonomian sekaligus Ketua Umum Golkar tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, sosialisasi mengenai kinerja dan pencapaian Airlangga sebagai seorang menteri yang diberi tanggung jawab untuk menangani pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi Covid-19 adalah sebuah keniscayaan.
Saat ini Airlangga fokus pada penanganan ekonomi sebagaimana tugasnya sebagai Menko Perekonomian. Pada 2024 mendatang, ketika dilaksanakan pemilihan presiden serta pemilihan legislatif secara serentak, saat itu menjadi momentum bagi Partai Golkar untuk mencalonkan dan menempatkan kader-kader terbaiknya di dalam kekuasaan.
Sampai saat ini kader Partai Golkar tetap akan mendorong agar Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menjadi capres karena memenuhi unsur obyektivitas dan subyektivitas. Dilihat segi obyektivitas , Airlangga merupakan panglima terdepan dalam penanganan pandemi Covid-19 karena menjadi Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Dari segi subyektivitas, pencalonannya bisa memunculkan ”efek ekor jas”.
Meski dalam sejumlah survei elektabilitas Airlangga belum signifikan, ia meyakini sisa waktu dua tahun bisa mengubah peta politik dengan terus menyosialisasikan nama Airlangga ke publik. Partai Golkar juga sama sekali belum berpikiran untuk mencalonkan kadernya sebagai calon wakil presiden karena fokus mendorong capres. (Kompas, 8 Maret 2021, Golkar Akan Dongkrak Elektabilitas Airlangga)
Kerja-kerja politik untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas Airlangga belum maksimal. Hal ini dikarenakan mereka mengikuti arahan Airlangga agar fokus lebih dahulu memulihkan perekonomian negara dan mengatasi dampak pandemi Covid-19. Namun, komunikasi politik dengan parpol lain terus dilakukan untuk menggalang koalisi.
Pada Juli 2021, Partai Golkar mulai gencar menyosialisasikan Ketua Umum Airlangga Hartarto agar lebih dikenal publik. Salah satunya adalah dengan memasang foto Airlangga secara masif di seluruh daerah. DPP Partai Golkar telah memberikan instruksi khusus kepada pengurus tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga organisasi sayap dan ormas pendukung untuk memasang foto Airlangga di papan iklan dan videotron.
Instruksi yang tertuang dalam Surat Perintah Nomor 23/DPP/Golkar/VII/2021 tertanggal 3 Juli 2021 itu merupakan tindak lanjut keputusan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) 2021, yang menetapkan tahun ini sebagai tahun sosialisasi dan media serta penggalangan opini. Sosialisasi Airlangga yang mendapat dukungan menjadi calon presiden dari Partai Golkar jadi salah satu program. (Kompas, 5 Juli 2021, Golkar Dongkrak Elektabilitas Airlangga)
Sosialisasi tersebut dibenarkan oleh Ace Hasan Syadzily yang membenarkan adanya upaya untuk menyosialisasikan Airlangga seluas-luasnya. Perintah pemasangan foto Airlangga merupakan bagian dari upaya partai memperkuat popularitas dan penerimaan publik terhadap sosok Airlangga. ”Sosialisasi Ketua Umum itu amanat dari Munas 2019, yang menetapkan Partai Golkar akan mengusung kader terbaiknya sebagai calon presiden. Ini ditegaskan kembali dalam rapimnas dan rakernas Maret lalu,” ujar Ace.
Hasil survei periodik Litbang Kompas pada September-Oktober 2021 menunjukkan, parpol-parpol lama yang mewarnai panggung politik nasional masih mendominasi pilihan publik. Tiga besar parpol hasil Pemilu 2019 tetap berada di papan atas tingkat keterpilihan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berada di posisi pertama dengan tingkat elektabilitas mencapai 19,1 persen. Disusul Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di posisi kedua dengan elektabilitas 8,8 persen, dan posisi ketiga Partai Golkar dengan tingkat keterpilihan 7,3 persen. (Kompas, 21 Oktober 2021, Menguji Kemapanan Pilihan Partai Politik). (LITBANG KOMPAS)
Referensi
Partai Politik 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa (2016), Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Kompas, 8 Maret 2021, Golkar Akan Dongkrak Elektabilitas Airlangga
Kompas, 11 Juni 2021, Utak-atik Calon Presiden 2024
Kompas, 5 Juli 2021, Golkar Dongkrak Elektabilitas
Laman Partai Golkar