Paparan Topik | Pemilihan Umum

Pemilu dan Tren Keterpilihan Tokoh

Fenomena pemilihan umum di berbagai penjuru dunia menunjukkan tren kolektif yang sama. Sosok-sosok dengan karakter tertentu, terpilih seiring menguatnya paham atau ideologi populisme.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Tamu undangan menyaksikan layar yang menampilkan hasil Hitung Cepat 2024 Litbang Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (14/2/2024).

Fakta Singkat

Populisme dan Keterpilihan Tokoh:

  • Populisme, dari kata populum, dapat didefinisikan sebagai paham yang mengedepankan suara-suara dalam golongan besar tertentu, mengabaikan hak minoritas hingga supremasi hukum, dan membangun permusuhan.
  • Di berbagai negara, terjadi tren keterpilihan sosok-sosok kuat dan populis lewat proses pemilihan umum.
  • Pendukung populis cenderung anti terhadap keterbukaan, memainkan sentimen, otoriter, dan menjadi anti-tesis demokrasi.
  • Di Eropa, kebangkitan populisme ditunjukkan dengan berkuasanya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang berhasil meloloskan Brexit dan besarnya suara capres Prancis Marine Le Pen.
  • Kebangkitan populisme di Eropa juga ditunjukkan dengan menghangatnya isu-isu krusial seperti imigran, perubahan iklim, dan xenofobia.
  • Di Amerika Serikat, sosok populis hadir melalui mantan presiden Donald Trump yang memainkan narasi nasionalisme sempit dengan mayoritas pendukung fanatik kulit putih.
  • Di Asia, kebangkitan populisme ditunjukkan dengan sosok kuat dan militeristik Perdana Menteri India Narendra Modi dan kemenangan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr.
  • Kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menunjukkan kebangkitan populisme di Indonesia. Prabowo dengan rekam jejaknya yang keras dan militeristik mengangkat narasi kemiskinan dan mempolitisasi bansos.
  • Terdapat empat penyebab umum kebangkitan populisme, yakni distrust, destruction, de-alignment, dan deprivation.
  • Sejak 1941, Erich Fromm memprediksi kebangkitan sosok-sosok otoriter sebagai konsekuensi kehidupan modern yang alienatif.
  • Hal ini dipertegas kembali oleh Jeremiah Morelock pada 2018 dengan menyoroti kebangkitan populisme otoritarian yang menciptakan upaya dominasi atas kelompok tertentu.

Hitung cepat yang dilaksanakan Litbang Kompas menunjukkan pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meraih suara signifikan hingga 58,47 persen merupakan angka yang lebih dari cukup untuk menuju Istana Negara. Kemungkinan putaran kedua tampak mustahil seiring dengan hasil pencoblosan Pemilu 2024.

Jarak elektoral dengan kedua paslon lain juga cukup lebar. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memperoleh 25,23 persen suara, sementara Ganjar Pranowo-Mahfud MD memperoleh 16,3 persen.

Selain itu, pasangan Prabowo-Gibran juga dipastikan lolos salah satu syarat keterpilihan paslon, yakni memperoleh lebih dari 50 persen total suara sah. Dengan keunggulan yang begitu signifikan, Pilpres 2024 hanya akan berjalan satu putaran.

Padahal, sebelum dilaksanakannya pencoblosan pada 14 Februari, narasi dua putaran begitu ramai mewarnai wacana publik. Mengacu pada Kompaspedia (15/2/2024, Konsep Putaran Pemilu), kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud meyakini sekaligus mengharapkan tercapainya pemilu dua putaran untuk memperbesar kemungkinan dalam memenangi kontestasi pemilu.

Harapan sebaliknya justru muncul dari kubu Prabowo-Gibran yang menekankan satu putaran melalui narasi “Oke gas” dan tagar #AllInPrabowo. Terlaksananya pemilu satu putaran akan mengamankan capaian elektoral mereka yang ditunjukkan berbagai lembaga riset konsisten berada di peringkat pertama.

Apalagi, hari-hari menjelang pencoblosan menunjukkan tren yang tidak menguntungkan bagi pasangan tersebut. Meski konsisten meraih suara terbanyak, namun besaran elektabilitas masih berada di bawah angka 50 persen. Gelombang kritik dan protes terhadap sikap Prabowo dan kekuasaan yang mendukung di baliknya.

Identitas antidemokrasi yang begitu pekat dalam kubu Prabowo-Gibran. Sejumlah tulisan dan analisis menyebut Prabowo sebagai sosok “populis” yang konsisten menggunakan narasi makan gratis, menguasai propaganda dalam media sosial, hingga melangkahi konstitusi untuk maju bersama Gibran. Meski begitu, hal ini tidak serta-merta mematikan peluang elektoralnya yang sebaliknya, justru menang secara signifikan.

Pada tataran yang lebih luas, kehadiran wujud tokoh-tokoh populis demikian justru tengah memperoleh panggung di kancah global. Di berbagai negara, terjadi kebangkitan pemimpin populis melalui pemilihan umum yang sah. Mayoritas masyarakat tersebut secara sadar memilih pemimpin populis, bertangan besi, dan sikap yang mengesampingkan demokrasi.   

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Suasana “War Room” Hitung Cepat 2024 Litbang Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (14/2/2024). 

Konsep Pemimpin Populis dan Kuat

Pembahasan atas konsep pemimpin kuat dan populis terus meningkat seiring meningkatnya tren keterpilihan sosok-sosok tersebut di berbagai penjuru dunia. Populisme dan sosok otoriter dianggap menjadi antitesis bagi demokrasi.

Perbincangan sendiri didominasi oleh kelompok intelektual lewat produk-produk akademik, yang kompak menyoroti turunnya kualitas demokrasi. Mereka kompak mengangkat dan merefleksikkan tren kebangkitan ini. Bersamaan dengan itu, semakin banyak produk akademik yang lahir sebagai upaya pemikiran, analisis, dan refleksi untuk membangun kesadaran secara lebih luas.

Populisme berangkat dari kata populum, yang dalam Bahasa Latin berarti rakyat. Secara terminologis, KBBI lantas mendefinisikan populisme sebagai paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Sementara populis berarti pihak yang menjunjung paham populisme tersebut.

Menggabungkan pemahaman bahasa tersebut, Magnis-Suseno dalam buku Demokrasi, Agama, Pancasila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now menjelaskan bahwa pada hakikatnya, populisme hendak mengungkapkan persepsi yang antagonistik. Penganut populisme menyiratkan keberpihakkan murni pada rakyat untuk melawan elite yang cenderung korup. Artinya, ada kecenderungan pemecahan kelompok menjadi dua kubu, yakni antara aliansi atau kelompok populis melawan sosok musuh bersama.

Magnis-Suseno menilai pemecahan demikian sebagai hal yang destruktif. Dalam populisme, dikotomi kelompok dan permusuhan justru dirawat untuk menjaga ikatan aliansi/kelompok. Pembedaan antara “kami” dan “mereka” konsisten dilanggengkan, bukan atas dasar rasionalitas, namun sentimen personal.

Pada taraf lebih lanjut, populisme yang terbukti ampuh merawat polarisasi aliansi lewat obsesi identitas tersebut justru dimanfaatkan sebagai alat politik. Para penguasa menggunakannya untuk meraih basis massa dan memenangi kompetisi elektoral. Populisme direproduksi untuk memunculkan perasaaan identitas dalam arti sempit, yang menolak perubahan dan keterbukaan.

Oleh karenanya, Magnis-Suseno merumuskan pengguna paham populisme sebagai sosok yang berwawasan sempit, yang menutup mata terhadap keterbukaan. Mereka akan berusaha untuk membangun wacana tunggal, membatasi daya kritis pengikutnya, dan abai terhadap risiko yang ada semata untuk membangun aliansi dukungan. Oleh karenanya, tokoh populis cenderung menunjukkan sifat-sifat yang berbalik dengan semangat demokrasi.

Subir Sinha dalam artikel akademik ‘Strong Leaders’, Authoritarian Populism and Indian Developmentalism: The Modi Moment In Historical Context menuliskan bahwa populisme lantas memunculkan sosok-sosok “pemimpin kuat”. Kuat dalam konteks ini berarti menunjukkan sikap-sikap dominan, sentralistik, dan otoriter. Dilengkapi dengan akses kekuasaan yang masif, menjadi peluang besar pula sosok demikian akan lantas mengeksploitasi kekuatan militer.

Sementara Cass Mudde, ilmuwan politik dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa populisme biasa digunakan dalam kerangka agenda politik tertentu. Menjadi risiko besar karena inti dari ideologi populisme adalah mengedepankan suara-suara dalam golongan besar tertentu, sehingga mengabaikan hak minoritas hingga supremasi hukum (Kompas.id, 2/2/2024, Pemimpin Populis ”Ngetren” di Dunia, Baik atau Buruk bagi Rakyat?).

IPPHOS

Perayaan Hari Buruh Oleh Presiden Soekarno di Alun-alun Yogyakarta pada 1 Mei 1946.

Kebangkitan di Eropa (Inggris-Boris Johnson dan Prancis-Marine Le Pen)

Kebangkitan populisme begitu subur dan telah berlangsung begitu panjang di tanah Eropa. Sejak tahun 2000, kebangkitan tersebut telah ditandai dengan kemunculan koalisi pemerintahan Austria lewat partai ekstrem kanan, Partai Kebebasan (FPO). Kala itu, masyarakat Uni Eropa bereaksi begitu keras. Namun kini, gerakan kebangkitan tersebut tampak tak terbendung lagi.

Berbagai isu populis kian menguat di tengah masyarakat Eropa. Partai-partai sayap kanan kian dominan mendekati masa pemilihan Parlemen Eropa pada Juni mendatang. Sikap populis berdampak akan berdampak pada arah kebijakan Uni Eropa, terutama dengan menghangatnya isu-isu krusial seperti imigran, perubahan iklim, xenofobia, dan perluasan keanggotaan Uni Eropa.

Di berbagai negara Eropa, sosok-sosok populis bermunculan yang berdampak pada kebijakan-kebijakan ekstrem. Peristiwa “Britanian Exit” atau Brexit menjadi salah satu contoh besar yang terjadi di Inggris. Sosok mantan perdana menteri Boris Johnson menjadi sosok yang menghadirkan dimensi tersebut.

Sentimen identitas lokal dimainkan dalam referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Lewat kampanye “Taking Back Control” yang terus didengungkan, masyarakat Inggris percaya bahwa keluar dari Uni Eropa menjadi keputusan terbaik menyatakan kekuatan mereka. Narasi yang dihidupkan adalah bahwa Inggris menggelontorkan biaya begitu besar untuk Uni Eropa dan dana tersebut lebih baik dialokasikan untuk kepentingan nasional.

Narasi antiimigran juga mewarnai kampanye Brexit. Didengungkan bahwa Eropa akan membuka pintu bagi jutaan imigran dari Turki. Keluarnya Inggris akan menjadi cara terbaik untuk menjaga pertumbuhan dalam negeri, hal yang tidak sepenuhnya benar. Namun, masyarakat Inggris begitu percaya akan narasi populistik demikian, yang akhirnya berujung pada pemilihan untuk keluar dari Uni Eropa.

Keputusan tersebut harus dibayar mahal pasca turunnya Boris Johnson. Berbagai jajak pendapat terkini menunjukkan perubahan pandangan. Apabila referendum diadakan kembali, masyarakat Inggris akan memilih untuk tetap bergabung dalam Uni Eropa. Kekuatan populisme berimplikasi pada politik fiskal dalam skala yang luas (Kompas.id, 23/3/2019, Politik Populisme Anggaran).  

Di Perancis, tokoh ekstrem kanan Marine Le Pen secara mengejutkan menjadi pesaing ketat Presiden Emmanuel Macron hingga babak akhir pemilihan presiden 2022. Le Pen aktif mengangkat narasi nasionalisme konservatif, seperti janji mendeportasi imigran yang selama satu tahun tidak mendapat pekerjaan dan melarang pemakaian jilbab di tempat umum.

Pandangan-pandangan ekstrem Le Pen sampai mendapat perhatian calon presiden lainnya, Jacques René Chirac yang menolak diadakannya debat terbuka. Chirac khawatir forum dialog demikian hanya akan menjadi kesempatan Le Pen melegitimasi posisi ekstremnya di hadapan jutaan orang Prancis.

Kekhawatiran serupa disampaikan Macron secara terbuka dalam debat final pemilu putaran kedua. Disampaikan, Le Pen memiliki relasi yang dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang merupakan sosok otoriter dan militeristik yang berhasil melanggengkan kekuasaannya selama puluhan tahun. Macron juga menyampaikan khawatir bahwa kemenangan Le Pen yang xenofobic akan berdampak pada perang saudara (Kompaspedia, 12/1/2024, Sejarah Debat Capres di Berbagai Negara).

Pemilu Prancis di tahun tersebut memang ditutup dengan kemenangan Macron. Namun, tren populis ditunjukkan dengan besarnya kelompok masyarakat yang memilih Le Pen, mencapai 41,5 persen dari total suara sah. Besaran suara elektoral ini juga meningkat signifikan dibanding capaian Le Pen ketika Pemilu 2017 yang hanya meraih 33,9 persen.

AP PHOTO/MICHAEL SAWYER

Tokoh ekstrem kanan Perancis Jean-Marie Le Pen naik panggung sebelum berpidato di hadapan pendukungnya dalam acara Hari Mei di Paris, Selasa (1/5/2007). Le Pen menginstruksikan pendukungnya untuk abstain dalam pemilu putaran kedua, 6 Mei 2007. 

Kebangkitan di Amerika Serikat

Amerika Serikat, yang disebut-sebut sebagai polisi demokrasi dunia, juga tak luput dari kejangkitan populisme. Mengacu pada tulisan Ketimpangan Ekonomi, Sebuah Pradoks Demokrasi, Wijayanto Samirin mencontohkan bahwa tokoh populis tersukses justru datang dari Amerika. Sosok tersebut adalah mantan presiden Donald Trump.

Samirin menyoroti dampak masif kuasa populisme Trump, yang ia sebutkan “berhasil memporak-porandakan tatanan demokrasi Amerika Serikat yang sudah mapan”. Berangkat dari statusnya sebagai calon yang sama sekali tidak diunggulkan, Trump berhasil menang atas pesaingnya Hillary Clinton. Di belakangnya, Trump disokong oleh dukungan massa fanatik yang mayoritas masyarakat kulit putih dengan narasi “Make America Great Again”.

Menurut Samirin, kemenangan Trump disebabkan oleh narasi-narasi populisnya yang menunjukkan supremasi identitas ke-Amerika-an. Kampanye Trump bergerak di atas narasi antiimigran, antiIslam, antinegara lain, menolak sikap prolingkungan, dan tutup mata atas rasialisme yang justru menguntungkan dirinya. Trump juga mengeksploitasi persoalan ketimpangan ekonomi dan pengangguran bagi kelas menengah ke bawah di Amerika.

Pasca kemenangannya, Trump memilih untuk tetap merawat basis elektoralnya melalui sikap politik dan pembuatan kebijakan. Tentunya, berbagai produk kekuasaan tersebut konsisten berada dalam koridor populistik yang akhirnya menegasikan kepentingan umum lebih luas. Hingga derajat tertentu, Trump bahkan mengesampingkan kepentingan negaranya sendiri.

Demi mengejar dukungan pasar bebas, Trump melakukan deregulasi bisnis dan memotong drastis pajak bisnis. Di Mahkamah Agung, ia secara sepihak mengangkat tiga hakim baru dengan harapan dapat melindungi hak istimewa kaum-kaum konservatif, yang merupakan pendukung utamanya. Kepentingan konservatif juga dirawat Trump dengan menolak usul Partai Demokrat soal pengawasan kepemilikan senjata api.

Kebijakan internasional Trump juga berantakan yang didomestikasi semata demi kepentingan elektoralnya. Ia melompati berbagai konsensus internasional demi membuktikkan slogan “America First” yang diproduksinya. Salah satu pernyataan yang paling mengejutkan adalah pengakuan Trump terhadap Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Padahal, Jerusalem sebagai kota suci tiga agama (Islam, Kristen, dan Yudaisme) selalu menjadi titik kritis pembicaraan damai Israel-Palestina.

Trump mengklaim bahwa segala terobosannya dilakukan sebagai wujud perwakilan terhadap rakyat yang selama ini ditinggalkan oleh elite tanpa peduli bahwa kelompok rakyat yang ia klaim tersebut hanyalah kaum putih belaka (Kompas.id, 3/3/2021, Bahaya Populisme Amerika).

Sebagai dampaknya, masyarakat Amerika dihadapkan pada persoalan polarisasi sekaligus rasialisme yang begitu besar. Ketika Joe Biden keluar sebagai pemenang atas Trump, penolakan ekstrem diikuti kekerasan menjalar di berbagai titik di Amerika. Hingga satu titik, massa fanatik Trump bahkan merangsek masuk ke Gedung Capitol (kantor Kongres). Amerika dibanjiri oleh sentimen populis dan karenanya kian menjauh dari semangat demokrasi yang sehat.  

KOMPAS/NINA SUSILO

Pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump berlangsung akrab di sela pertemuan G-20, di Hamburg, Jerman (8/7/2017). Dalam pertemuan tersebut, Indonesia dan Amerika Serikat menyampaikan harapan untuk terus memperkuat dan menyeimbangkan perdagangan kedua negara.

 

Kebangkitan di Asia (India-Narendra Modi dan Filipina- Ferdinand Marcos Jr.)

Di Asia, dengan kebanyakkan negaranya yang masih begitu muda mengenal konsep demokrasi Barat, turut menemukan kebangkitan populisme dan keterpilihan sosok-sosok kuat. Ada dua contoh sosok kuat yang tengah memegang tampuk tertinggi kenegaraan, yakni Perdana Menteri India Narendra Modi dan Presiden Filipina Ferdinand  “Bongbong” Marcos Jr.

Nama yang disebutkan pertama telah menjadi sosok populis yang bertahan begitu lama di India. Pada Pemilu 2024, Modi akan kembali maju dalam kontestasi untuk mengincar masa jabatannya yang ketiga. Serupa dengan Trump, pendukung Modi didominasi oleh satu golongan identitas spesifik, yakni nasionalis Hindu yang menjadi mayoritas di India.

Sejak mengukuhkan dirinya di pucuk kekuasaan India pada tahun 2014, Modi konsisten memanfaatkan sentimen nasionalis Hindu yang kuat. Sentimen identitas ini membantunya memperoleh basis pendukung yang solid di wilayah utara dan barat. Strategi populistik serupa diterapkan Modi pada Pemilu 2019 yang memampukannya meraup kemenangan besar.

Mengacu kembali pada artikel akademik Subir Sinha, kemenangan pertamanya di India pada 2014 dilakukan lewat narasi permusuhan terhadap “neoliberalisme inklusif” sebagai krisis utama yang tengah berlangsung di India. Ia menuduh Partai Perserikatan Progresif Bersatu (UPA), lawan politik utama yang bersaing dengan partainya, Partai Bharatiya Janata (BJP), sebagai pengusung krisis tersebut.

Program-program yang ia kampanyekan fokus pada perlawanan terhadap kemapanan. Ia aktif mengangkat isu-isu populis, secara khusus kemiskinan, pengangguran, mahalnya harga bahan pokok, dan rendahnya kesejahteraan.

Sejak keterpilihan pertama hingga periode keduanya, Modi kian mengukuhkan diri sebagai sosok kuat yang dominan. Ia mengalihkan isu internasional, lewat peristiwa serangan Angkatan Udara India ke Pakistan, sebagai upaya nasionalis menjaga identitas keamanan India. Modi juga mengangkat slogan “ghar me ghus kar marenge” (kami akan menyerangmu di rumahmu sendiri) sebagai justifikasi atas tindakannya untuk mendorong pertumbuhan India.

Upaya pemeliharaan basis suara berdampak buruk pada pembuatan kebijakan publik India. Masa pandemi Covid-19 mempertontonkan hal ini. Di forum internasional, Forum Ekonomi Dunia pada Januari, 2021, Modi secara pongah mengatakan bahwa India telah berhasil “menyelamatkan kemanusiaan dari bencana besar dengan meredam korona secara efektif”. Dilengkapi dengan pengabaian terhadap protokol kesehatan, narasi pandemi dimainkan Modi untuk memenangi diri dan partainya dalam pemilu yang kala itu tengah berlangsung.

Masyarakat India harus membayar mahal pelonggaran kebijakan yang dilakukan Modi. Lonjakan kasus positif harian dan angka kematian harian akibat Covid-19 konsisten meningkat. memberi tekanan kepada Modi. Pada 9 Mei 2021 saja, negara tersebut mencatat jumlah kasus positif mencapai 22,3 juta kasus dengan 242.362 kasus kematian (Kompas.id, 10/5/2021, India Pikul Kalkulasi Modi yang Meleset).

Sementara di Filipina, Ferdinand  “Bongbong” Marcos Jr. adalah sosok yang sangat dekat dengan jejak kelam kejahatan kemanusiaan. Hampir 40 tahun sebelum dirinya terpilih, sang ayah Ferdinand Marcos Sr., lebih dulu menjadi Presiden Filipina. Di tangannya, korupsi dan nepotisme berlangsung begitu vulgar. Tak hanya itu, lebih dari 2.500 nyawa dibantai karena dianggap melawan kediktatoran sang penguasa.

Pada Pemilu 2022, giliran anak dari sosok diktator yang dipilih oleh masyarakat Filipina secara sukarela sebagai pemimpin mereka. Sadar bahwa isu hak asasi manusia akan menjadi kelemahannya, Bongbong Marcos konsisten menolak partisipasi dalam debat terbuka calon presiden, sebuah sikap yang dari awal telah menunjukkan penolakan atas keterbukaan.

Pemilu 2022 di Filipina diwarnai dengan misinformasi dan peredaran hoaks yang begitu masif. Para propagandis aktif membersihkan rekam jejak keluarga Bongbong dan membangun citra baru. Era Marcos Sr. diagungkan dan digambarkan sebagai masa-masa keemasan Filipina. Jejak kejahatan kemanusiaan digantikan dengan narasi pertumbuhan ekonomi. Sementara Bongbong memainkan diri sebagai korban tuduhan informasi tak berdasar (Kompas.id, 29/4/2022, Pelajaran dari Filipina dan Perancis).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo bersama Perdana Menteri India Narendra Modi bermain layang-layang dengan disaksikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di kawasan Monas, Jakarta, Rabu (30/5/2018). Kunjungan Perdana Menteri India Narendra Modi ke Indonesia menjadi bagian dalam rangka menyongsong 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-India tahun 2019 mendatang.

Populisme di Indonesia

Sejumlah analisis politik merumuskan bahwa kebangkitan populisme di Indonesia mulai tampak sejak Pemilu 2014. Calon presiden Prabowo Subianto yang kala itu menantang Joko Widodo menonjolkan diri sebagai “sosok kuat” yang siap membela rakyat. Ia mengutuk situasi Indonesia yang memberikan kekayaan pada elite dan kelompok asing, serta melanggengkan ketimpangan.

Seorang Indonesianis terkemuka, Marcus Mietzner, menyebut bahwa Prabowo adalah sosok “populis klasik”. Dalam pemilu tersebut, ia secara terang-terangan menyerang korporasi dan kuasa asing. Sebaliknya, ia menempatkan diri di pihak orang miskin, tak terdidik, dan tinggal di desa janji kepemimpinan yang tegas dan memberi kesan anti-demokrasi. Kala itu, Prabowo berhasil meraup hingga 46,85 persen suara. (Kompas.id, 15/1/2019, Populisme Indonesia).

Kini, dimensi populisme tersebut kembali muncul dalam Pemilu 2024. Secara eksplisit, paham ini dihidupkan oleh para kontestan politik dari berbagai level, mulai dari partai politik hingga capres-cawapres.

Di tingkat kepartaian, janji pada rakyat ditunjukkan melalui baliho-baliho. Salah satu calon legislatif dari Partai Gelora menjanjikan kemerdekaan bagi Palestina bila partainya menang. Janji yang penuh dengan tanda tanya ini sejalan dengan arah wacana arus utama masyarakat Indonesia yang terbukti memiliki sentimen solidaritas dengan perjuangan kemerdekaan Palestina.  

Selain itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga mengumandangkan janji populis lewat kuliah gratis di perguruan tinggi negeri. Sementara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjanji untuk mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota bila lolos masuk parlemen. Narasi-narasi ini menjadi wujud upaya mengakomodasi isu-isu yang menarik sentimen masyarakat.

Mengacu pada artikel akademik Authoritarian Populism in Indonesia: The Role of the Political Campaign Industry in Engineering Consent and Coercion, Rakhmani dan Saraswati menunjukkan bahwa tren perebutan suara demikian berdampak pada strategi politik. Kampanye menjadi layaknya pasar, yang berusaha menawarkan janji-janji dan wacana selaras dengan apa yang laku di tengah mayoritas masyarakat. Akomodasi terhadap kepentingan mayoritas ini menjadikan pemilihan pemimpin layaknya transaksi jual-beli yang dangkal.

Dalam konteks pemilihan capres-cawapres, Ulil Abshar-Abdalla atau Gus Ulil dalam artikel Memahami Kemenangan Prabowo (Kompas, 15/2/2024) mengajak publik untuk tidak semata terpaku pada protes dan penolakan atas hasil pemilu. Sebaliknya, ia mendorong penggalian lebih lanjut untuk menggali makna di balik kemenangan Prabowo-Gibran.

Prabowo memiliki rekam jejak yang gelap dalam sejarah hak asasi di Indonesia. Citra dirinya lekat dengan identitas “sosok kuat” melalui operasi militer di Timor Leste dan peristiwa penculikan aktivis 1998. Selain itu, keberpihakkan Presiden Jokowi, penggunaan bansos, serta permainan lembaga yudikatif Mahkamah Konstitusi (MK) juga turut berdampak pada reputasi kubu Prabowo-Gibran.

Ditambah lagi, tengah berlangsung gelombang kritik yang masif terhadap Presiden Joko Widodo. Presiden dinilai ikut berpihak dan memainkan bantuan sosial (bansos) sebagai alat pemenangan Prabowo-Gibran. Berbagai situasi tersebut membuka lebar kemungkinan dua putaran sebelum pencoblosan pada Rabu, 14 Februari.

Bansos menjadi salah satu program andalan yang ditargetkan bagi kelompok tidak mampu. Penyerahan bansos, terutama melalui kanal-kanal pemerintahan yang dikuasai Presiden Jokowi, dilakukan secara simultan terhadap setidaknya 22 juta masyarakat dengan penerimaan tidak tetap di Indonesia.

Dengan ragam identitas dan kritik terhadapnya, keluarnya Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon terpilih lewat hitung cepat menjadi sebuah kejutan tersendiri. Banyak kalangan lantas segera bersuara dan menyuarakan kekecewaan atas hasil ini.

Gelombang protes akademisi yang beberapa pekan belakangan vokal mengritisi Presiden Jokowi dan Prabowo seolah tak berhasil mengubah preferensi elektoral masyarakat.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menemui pendukungnya di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2024). Hasil quick count atau hitung cepat Litbang Kompas Prabowo-Gibran unggul satu putaran.  

Penyebab Kebangkitan Populisme

Diskusi politik dan ekonomi telah banyak mengisi ruang diskusi soal kebangkitan sosok-sosok kuat dan ideologi populisme ini. Salah satu analisis dapat ditemukan dengan merujuk kembali pada tulisan Wijayanto Samirin.

Ia menjelaskan bahwa kebangkitan populisme yang terjadi secara konsisten dalam satu dekade terakhir merupakan wujud dari tingginya kekecewaan terhadap demokrasi. Selama ini, masyarakat telah menyaksikkan bagaimana demokrasi justru menjadi sistem yang melayani sebagian elite.

Samirin mengutip buku National Populism: The Revolt Against Liberal Democracy yang merumuskan empat penyebab. Pertama, kondisi distrust ketika mayoritas pemilih merasa bahwa suara mereka tak mampu mengubah keadaan. Kedua, adanya perasaan terancam dengan kemapanan yang rusak (destruction). Rakyat merasa terancam akibat imigran, pekerja asing, dan perusahaan.

Ketiga, adanya kecenderungan de-alignment. Massa kian berjarak dengan dengan partai politik yang seharusnya mewakili suara mereka. Akhirnya, rakyat pun mencari kanal-kanal alternatif untuk menyuarakan wacana politik mereka. Terakhir, deprivation lewat kondisi politik dan ekonomi yang terpuruk. Keterpurukkan diakibatkan oleh kemiskinan dan ketimpangan.

Situasi-situasi demikian lantas dimanfaatkan oleh para populis untuk mendulang suara dan kuasa politik. Dirumuskan oleh Samirin, tiga modal yang lantas mereka lakukan adalah membaca kegelisahan rakyat untuk meramunya sebagai suatu wacana konkret, menarasikan wacana tersebut melalui kesosokan, dan menyebarkan narasi terkait secara masif.

Analisis ekonomi secara khusus menggarisbawahi kondisi deprivation. Ideologi  neoliberalisme yang kian berkembang dan dipraktikkan di berbagai negara terbukti tidak menghadirkan kemakmuran pada masyarakat. Dalam konteks ini, ketimpangan ekonomi (faktor relatif) menjadi faktor yang lebih determinan dibanding kemiskinan (faktor absolut).

Sementara pendekatan para pemimpin populis dinilai mampu melawan ketimpangan tersebut. Ketidakpuasan massa membuat mereka percaya terhadap tokoh-tokoh yang cenderung konservatif – yang muncul dengan menawarkan kebangkitan dan mengaggungkan kedigdayaan massa.

Meski demikian, turut terdapat sudut pandang sosiologis dan filosofis dalam pembacaan atas kebangkitan ini. Pembacaan demikian dapat ditemukan lebih mendalam lewat penggalian dimensi humanisme yang melatarbelakangi fenomena ini.

Erich Fromm, sosiolog dan filsuf berdarah Jerman, mengawali buku The Fear of Freedom­-nya dengan pembacaan langsung atas kecenderungan manusia memilih pemimpin yang otoriter. Fromm memprediksi bahwa usai memperoleh kebebasan, manusia justru cenderung akan melepaskan kebebasannya tersebut demi memperoleh kepastian dan menanggalkan individualisme.

Ia berangkat dari kondisi empirik masyarakat Jerman pasca Perang Dunia Pertama. Sekilas, masyarakat seolah memperoleh kebebasan dan kemerdekaannya. Demokrasi seolah ada di depan mata. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi kebangkitan sosok otoritarian melalui Adolf Hitler. Fromm menyoroti bahwa kuasa Hitler tidak semata berdiri di atas kelicikan dan kekejiannya, namun juga dukungan jutaan orang Jerman yang rela melepaskan kemerdekaan mereka.

Tokoh Sekolah Frankfurt generasi pertama ini memprediksi bahwa hal serupa – dimana masyarakat melepaskan kebebasan mereka dengan memilih sosok otoriter – akan kembali terjadi, terutama dalam situasi kapitalisme yang kian masif. Hal ini disebabkan oleh dampak kebebasan yang “ambivalen”.

Pada satu sisi, kapitalisme memang memberikan kebebasan yang seolah tanpa batas bagi pencapaian sosial dan ekonomi tiap-tiap individu. Kekuasaan eksternal ditanggalkan, dimana kini tiap-tiap manusia mampu mengusahakan nasibnya sendiri.

Namun di saat bersamaan, kapitalisme menghadirkan tingkat individualisme dan ketidakpastian yang begitu tinggi. Manusia terlepas dari ikatan-ikatan personal mereka, dimana relasi berubah menjadi kepentingan belaka. Manusia harus menyerah pada kuasa pasar yang kini mendominasi. Tidak ada lagi pihak yang memberikan kontrol dan kepastian bagi nasib mereka.

Fromm menyebutkan kondisi ini sebagai “alienasi” – dimana dalam kebebasannya, manusia justru merasa terasing, karena tidak lagi memiliki rasa aman, dipenuhi rasa sendirian, dan takut menjadi diri yang otentik. Dampaknya, manusia lantas menyerahkan kebebasannya dengan memilih sosok-sosok kuasa baru yang akan mengatur kehidupannya dan memberikan rasa kepastian.

Dalam bukunya yang terbit pada 1941 itu, Fromm menulis, “Tidakkah, barangkali, selain hasrat bawaan untuk mencapai kebebasan, ada pula kecenderungan naluriah untuk dapat tunduk terhadap sesuatu. Jika tidak, bagaimana bisa kita menjelaskan ketundukan terhadap seorang pemimpin yang kerap terlihat dalam masyarakat belakangan ini?”

Gagasan Fromm diangkat kembali pada tahun 2018 oleh Jeremiah Morelock dalam artikelnya yang dimuat pada buku Critical Theory and Authoritarian Populism. Dalam konteks yang lebih aktual, Morelock menyoroti bagaimana kapitalisme kontemporer telah menyedot manusia ke dalam ketidakpastian dan memunculkan krisis ketidakamanan. Ikatan-ikatan tradisional kian tanggal dan manusia kini mencari kekuatan-kekuatan baru yang dapat memberikan diri mereka rasa aman.

Atas hal ini, muncul kecenderungan bernegara masuk dalam “populisme otoritarian”. Morelock mendefinisikan konsep tersebut sebagai paham yang mempolarisasi rakyat, untuk kemudian melawan suatu sosok musuh bersama, dan mengusir atau mendominasi sosok tersebut yang dinilai bukan bagian dari mereka.

Umumnya, kebangkitan ini akan dilakukan oleh sosok-sosok pemimpin kuat dan berkharisma. Dalam populisme otoritarian, perbedaan menjadi hal yang harus dientaskan. Namun paham ini akan bertahan, karena memberikan rasa persatuan dan kepastian dalam suatu kelompok identitas besar yang sama. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Magnis-Suseno, F. (2021). Demokrasi, Agama, Pancasila. Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Morelock, J. (2018). Critical Theory and Authoritarian Populism. Dalam J. M. (ed.), The Frankfurt School and Authoritarian Populism – A Historical Outline (hal. xiii–xxxviii). London: University of Westminster Press.
  • Samirin, W. (2021). Ketimpangan Ekonomi, Sebuah Paradoks Demokrasi. Dalam N. T. (ed.), Demokrasi di Era Digital (hal. 254-264). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Artikel Akademik
  • Sinha, S. (2021). ‘Strong Leaders’, Authoritarian Populism and Indian Developmentalism: The Modi Moment in Historical Context. Geoforum 124, 320–333.
  • Rakhmani, I., & Saraswati, M. S. (2021). Authoritarian Populism in Indonesia: The Role of the Political Campaign Industry in Engineering Consent and Coercion. Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 40, Number 3 , 436–460.
Arsip Kompas