Fakta Singkat
Didirikan
2002
Regulasi Pendirian:
UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Ketua Bawaslu:
Ai Maryati Solihah
(2022–2027)
Kewenangan KPAI:
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak
Sekilas KPAI dan Perlindungan Anak:
- Kehadiran KPAI diamanatkan sejak 2002 melalui UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
- Tujuan utama pembentukan KPAI adalah meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak.
- Kehadiran KPAI secara nyata baru terbentuk pada 2004. Hingga 2023, KPAI telah mencapai enam kali periode kepengurusan.
- Total kasus penculikan anak yang berhasil terdata sepanjang 2022 mencapai 28 kasus. Sementara pada 2021, kasus serupa terjadi sebanyak 15 kasus.
- Sepanjang 2022, sebanyak 14 anak Papua menjadi korban kekerasan aparat keamanan maupun kelompok sipil bersenjata. Sebanyak 12 anak terluka dan dua meninggal.
- Dampak permasalahan kesehatan jiwa akibat kekerasan lebih rentan bagi anak perempuan. Sebanyak 21 dari 100 perempuan dalam rentang usia 13–17 tahun yang pernah mengalami kekerasan fisik memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri.
- Dalam isu perlindungan digital, 60 persen mengaku pernah menjadi korban perundungan melalui media digital
- KPAI berupaya melindungi hak-hak anak Indonesia, mengawal kasus, membuka dan menerima laporan publik, dan membangun Bank Data Perlindungan Anak.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural kampanye perlindungan anak tergambar di tembok rumah warga di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat, Selasa (15/1/2019). Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat kasus pelanggaran hak anak meningkat, dari 4.579 kasus pada 2017 menjadi 4.855 kasus pada 2018.
Penculikan Malika Anastasya (6) menjadi alarm besar bagi upaya perlindungan anak di Indonesia. Malika diketahui hilang sejak Rabu (7/12/2022) di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat dan baru ditemukan hampir sebulan setelahnya, pada Senin (2/1/2023) di pertokoan Haji Kohar, Rukun Warga 005 Kelurahan Jurangmangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten. Ketika ditemukan, Malika tengah berada di dalam gerobak pemulung bersama penculiknya.
Berdasarkan informasi, Malika terus diajak untuk berputar keliling kompleks perumahan hingga pasar. Hingga malam, Malika disuruh untuk berjalan kaki bahkan hingga sandalnya tipis, demi memungut barang bekas ke karung. Orang kerap memberi Malika uang untuk membeli makanan, namun sering kali dirampas oleh Iwan (Kompas, 7/1/2023, “Kilas Metro: Atasi Trauma, Malika dan Orangtuanya Didampingi Ahli”).
Hasil dari investigasi, polisi menyimpulkan bahwa modus Iwan tidak hanya untuk mengajak korbannya bekerja memulung barang bekas. Tersangka juga diduga memiliki hasrat seksual, khususnya terhadap anak-anak. Meski begitu, hasil visum menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak terbukti dialami Malika. Namun, ditemukan adanya kekerasan fisik umum berkategori ringan, seperti akibat sentilan dan pukulan.
Dari kejadian ini, Malika pun mengalami gangguan tidur. Hingga seminggu sejak ditemukan, ia baru bisa memejamkan mata pukul 02.00. Malika belum dapat melupakan penculikan, penganiayaan, dan eksploitasi yang dialaminya. Meski sudah mulai mampu tersenyum, raut muka muram masih menghiasi wajahnya ketika mengingat kembali apa yang terjadi (Kompas, 4/1/2023, “Senyum Kembali Hiasi Wajah Malika”).
Meski telah ditemukan dan mendapatkan upaya rehabilitasi, trauma dalam diri Malika masih mungkin tersimpan. Kehadiran trauma ini dapat sangat berdampak pada masa depannya kelak. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, kasus Malika tidak dapat berhenti pada penangkapan pelaku semata.
Menurut KPAI, keberhasilan kepolisian harus didukung oleh peran serta lintas sektor dalam merespons dan memberi solusi secara menyeluruh kondisi keluarga Malika. Masalahnya yang terjadi, tidak semata pada kehadiran pelaku penculikan, tapi terbatasnya kemampuan keluarga untuk mengawasi dan mendampingi anak.
Pernyataan KPAI tersebut merupakan representasi kehadiran negara dalam upaya perlindungan anak Indonesia. Hadirnya lembaga negara seperti KPAI menunjukkan bahwa negara menyadari betul masalah-masalah yang mampu mengancam keselamatan dan pertumbuhan anak Indonesia.
Kasus penculikan Malika menjadi 1 dari 21 kasus serupa yang dilaporkan ke KPAI sepanjang tahun 2022 lalu. Jumlah tersebut meningkat dari hanya 11 kasus pada 2021 yang mayoritas terjadi di wilayah Jabodetabek. Dari total jumlah tersebut, baru delapan kasus yang berhasil terungkap. Sementara itu, untuk total kasus penculikan anak secara keseluruhan sepanjang 2022 yang berhasil terdata mencapai 28 kasus, meningkat dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 15 kasus.
Sejarah KPAI
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin sedang menunjukkan foto Malika saat ditemukan. Malika ditemukan pada Senin (2/1/2023) malam.
KPAI berdiri dengan status lembaga negara independen. Pembentukannya diamandatkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU tersebut lantas diubah lewat UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
KPAI memiliki tugas pokok untuk menjawab upaya perlindungan anak-anak Indonesia. Usaha demikian menjadi koridor utama KPAI yang independen, yang turut mewujudkan kehadiran negara bagi keamanan anak. Pada Pasal 74 dari UU Nomor 35 tahun 2014, disebutkan bahwa:
- Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan Hak Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.
- Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.
Secara umum, masyarakat masih kerap salah memahami KPAI dengan lembaga perlindungan dan pendampingan anak lainnya. Kesalahan persepsi ini terutama ditemukan dengan perbandingan pada Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak).
Kedua nama yang disebutkan terakhir sendiri merupakan lembaga masyarakat. Dalam status legal demikian, lembaga negara seperti KPAI jelas berbeda dengan lembaga masyarakat. Lembaga negara terbentuk dengan dasar mandat negara dan disahkan melalui peraturan perundang-undangan. Sementara lembaga masyarakat dibentuk oleh masyarakat, di mana dalam hal ini dilakukan sebagai bentuk partisipasi dalam perlindungan anak.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anak-anak bermain gim daring di sebuah pos jaga di kawasan Cibunar, Bogor, Jawa Barat, Minggu (21/3/2021). Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap 25.264 anak dari 34 provinsi di Indonesia, selama pandemi sebanyak 76,8 persen anak diizinkan menggunakan gawai selain untuk keperluan belajar. Mereka menggunakan gawai untuk chatting, menonton Youtube, mencari informasi, media sosial, dan sebagainya.
Artikel terkait
Kehadiran lembaga KPAI dalam struktur kelembagaan dan upaya perlindungan anak Indonesia dimulai sejak tahun 2002, seiring dengan pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU tersebut disahkan melalui Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002 dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Oktober 2002.
Pada Pasal 74 tertulis bahwa KPAI dibentuk dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak. Dalam operasional, keanggotaan KPAI terdiri atas satu orang ketua, dua wakil ketua, satu sekretaris, dan lima anggota.
Dalam keanggotaan tersebut, komisi terdiri atas berbagai unsur masyarakat. Termasuk unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Meski telah diamanatkan sejak 2002, namun laman resmi KPAI (KPAI.go.id) menuliskan bahwa periodisasi keberlangsungan lembaga ini sendiri baru dimulai pada 2004. Pada 2003, Presiden menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang KPAI. Dalam pembentukan ini, memakan waktu delapan bulan untuk memilih dan mengangkat anggota KPAI selaras dengan UU yang ada.
Jangka waktu 2004 sampai 2007 menjadi periode pertama, dengan diketuai oleh Lily I. Rilantono dan Giwo Rubianto Wiyogo. Setiap periode kepengurusan berjalan selama tiga tahun. Hingga awal 2023, KPAI telah memasuki periode kepengurusan keenamnya. Lebih lanjut, pada tahun 2014 UU Nomor 23 Tahun 2002 mengalami revisi. Hadir UU Nomor 35 Tahun 2014 yang secara lebih detail mengurus soal perlindungan anak.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus memberikan keterangan terkait terbongkarnya bisnis prostitusi dengan menjadikan 91 anak sebagai pekerja seks, Kamis (25/2/2021) di markas Polda Metro Jaya, Jakarta. Turut hadir Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar (keempat kiri), Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto (ketiga kiri), Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar (kedua kanan), Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Kementerian Sosial Hasrifah Musa (kedua kiri), dan Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta Wiwik Andayani (kanan).
Artikel terkait
Visi, Misi, dan Tugas KPAI
Visi:
Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang Andal, Profesional, Inovatif, dan Berintegritas dalam Meningkatkan Sistem Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Nasional yang Efektif dan Kredibel untuk mendukung tercapaianya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan berkepribadian berlandaskan Gotong Royong.
Misi:
- Meningkatkan Sistem Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Nasional.
- Meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam melakukan pengawasan penyelenggaran pembangunan perlindungan anak.
Tugas Lembaga KPAI
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak.
- Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak.
- Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak.
- Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak.
- Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak.
- Melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak.
- Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Seto Mulyadi (akrab dipanggil Kak Seto) memberikan motivasi melalui permainan, lagu, dongeng dan sulap kepada anak-anak jalanan siswa Sekolah Master di Depok, Jawa Barat, Senin (18/5/2020). Kegiatan ini bertujuan untuk memotivasi anak-anak marginal agar tetap semangat dan gembira belajar saat pandemi Covid-19. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dalam kelompok kecil dan berjarak sosial.
Dokumen
Ketua KPAI dan Struktur Organisasi
- Periode Pertama (2004–2007): Lily I. Rilantono dan Giwo Rubianto Wiyogo
- Periode Kedua (2007–2010): Masnah Sari dan Hadi Supeno
- Periode Ketiga (2010–2013): Maria Ulfah Anshor dan Badriyah Fayumi
- Periode Keempat (2014–2017): Asrorun Ni’am Sholeh
- Periode Kelima (2017–2022): Susanto
- Periode Keenam (2022–2027): Ai Maryati Solihah
Struktur Organisasi KPAI
Kasus Permasalahan Anak di Indonesia
Selain kasus penculikan yang dialami oleh Malika Anastasya, masih juga terdapat berbagai kasus-kasus konkret yang menunjukkan tidak amannya anak-anak di Indonesia. Kehadiran kasus, mulai dari penculikan, kekerasan, hingga pemerkosaan, menunjukkan bahwa situasi tidak aman masih dan marak terjadi bagi anak Indonesia.
Kasus Pemerkosaan Anak (2022)
Pada Desember 2022 lalu, Brebes, Jawa Tengah, menjadi saksi kasus pemerkosaan anak perempuan berusia 15 tahun oleh enam pemuda sekaligus. Korban terlebih dahulu dicekoki minuman keras oplosan, sebelum akhirnya digilir keenam pelaku.
Pada pertengahan Januari 2023, kasus ini kembali naik. Rupanya, hangatnya kembali kasus tersebut karena situasi yang kian, di mana kejadian pemerkosaan ini malah berujung damai. Pihak keluarga korban dan pelaku dimediasi oleh pihak yang menyebut diri sebagai “Lembaga Swadaya Masyarakat” (LSM).
Dari hal ini, muncul reaksi dan kemarahan oleh para tokoh publik maupun masyarakat dunia maya. Salah satunya diungkapkan oleh tokoh perempuan Brebes sekaligus anggota DPR, Paramitha Widya Kusuma. Mitha mengecam kejadian pemerkosaan yang berujung damai di tanah kelahirannya. “Kenapa kejadian seperti ini bisa berakhir damai? Damai untuk siapa? Apa bisa si korban seumur hidup berdamai dengan perasaannya bahwa ia pernah diperkosa oleh enam laki-laki?,” kata Mitha, Selasa (17/1/2023).
Kasus terhadap Santri (2022)
Salah satu kasus yang juga sangat meramaikan jagat maya pada tahun 2022 adalah pemerkosaan oleh Herry Wirawan terhadap para anak santrinya di pesantren tahfidz di Bandung, Jawa Barat. Selama lebih dari empat tahun, antara 2016 sampai 2021, Herry memanfaatkan posisinya sebagai pendidik dan melanggengkan relasi kuasa yang sangat tidak berimbang.
Dengan dalih mengikuti perintah Herry sebagai guru, sebanyak 13 orang santriwati pun mengalami pemerkosaan. Saat kejadian, para korban bahkan masih berada di bawah umur. Kekejian Herry membuat masa depan para korban menjadi gelap, dipenuhi trauma dan penderitaan berkepanjangan (Kompas, 6/4/2022, “Tajuk Rencana: Vonis Mati Dijatuhkan”).
Kejadian ini lantas disambut dengan amarah publik. Reaksi luas demikian ditangkap oleh Pengadilan Negeri Bandung yang akhirnya menjatuhkan hukuman seumur hidup. Kasus tersebut lantas naik banding ke Mahkamah Agung (MA) – di mana justru pada 8 Desember 2022, majelis kasasi menjatuhkan vonis mati terhadap Herry.
MA tidak hanya menolak kasasi yang diajukan Herry, namun juga menguatkan putusan banding Pengadilan Tinggi Bandung yang memidana Herry dengan hukuman mati. Pembayaran restitusi juga turut dibebankan kepada Herry, di mana turut dilakukan perampasan kekayaan Herry berupa tanah dan bangunan, serta hak-hak terdakwa dalam yayasan yatim piatu, pondok pesantren, sekolah asrama, serta aset lainnya.
Hasil biaya akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mendukung biaya pendidikan dan kelangsungan hidup para korban, bahkan hingga anak dan bayi-bayi dari korban hingga dewasa dan menikah.
Kelakuan keji Herry telah membuat korban anak-anak trauma dan mengalami penderitaan berkepanjangan. Masa depan korban pun menjadi gelap. Untuk itu, majelis hakim juga menetapkan sembilan anak hasil dari perkosaan Herry untuk diserahkan dan dirawat oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Jawa Barat hingga mereka siap secara mental dan kejiwaan (Kompas.id, 5/1/2023, “Pidana Mati Pemerkosa 13 Santriwati dan Rezim KUHP Baru”).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pelajar memainkan permainan tradisional loncat tali saat berlangsung Peringatan Hari Anak Nasional di Kebun Raya Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Senin (23/7/2018) yang mengambil tema Anak Genius (Gesit, Empati, Berani, Unggul, dan Sehat).
Kekerasan terhadap anak (2002)
Selain rentetan kasus pemerkosaan, tindak kekerasan terhadap anak juga masih terjadi. Akumulasi peristiwa di wilayah Papua menunjukkan hal ini. Mengacu pada Kompas (8/11/2022, “Kemanusiaan: Anak di Papua Jadi Korban Kekerasan”), jumlah anak yang menjadi korban kekerasan di Papua selama 2022 meningkat tajam.
Data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berhasil mencatat setidaknya 14 anak di berbagai kabupaten di Papua yang menjadi korban perbuatan aparat keamanan dan kelompok sipil bersenjata. Dari jumlah tersebut, 12 anak mengalami luka-luka dan 2 anak lainnya tewas.
Peristiwa kekerasan anak terakhir di Papua yang tercatat adalah Elpina Dwitau yang terkena pantulan peluru di pinggang kanan saat aparat keamanan menangkap anggota kelompok kriminal bersenjata di Kabupaten Intan Jaya pada awal November 2022. Pihak keamanan pun mengevakuasi anak tersebut ke Kabupaten Nabire untuk menjalani perawatan medis secara intensif.
Secara keseluruhan, prevalensi kekerasan terhadap anak di Indonesia dalam tiga tahun terakhir memang terus mengalami penurunan. Meski begitu, akumulasi kejadian kekerasan terhadap anak dalam bentuk apa pun masih tinggi. Lebih daripada itu, bahkan gangguan kesehatan mental dan pengalaman kekerasan yang dialami anak-anak cukup tinggi.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan bahwa persentase perempuan remaja (berusia 13–17 tahun) di perkotaan dan perdesaan yang memiliki gejala permasalahan kesehatan jiwa lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. SNPHAR 2021 menunjukkan adanya hubungan kuat antara pengalaman kekerasan dan permasalahan kesehatan jiwa.
Dalam konteks tersebut, 21 dari 100 perempuan remaja yang mengalami kekerasan fisik memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri. Bahkan, sebanyak 17 dari 100 perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual pernah berpikir untuk bunuh diri dan 8 dari 100 anak tersebut pernah mencoba untuk bunuh diri (Kompas, 1/12/2022, “Kekerasan pada Anak Masih Belum Berhenti”).
Perundungan Anak dan Eksploitasi Daring
Selain kasus-kasus secara konkret, situasi ketidakamanan anak-anak Indonesia secara umum juga ditunjukkan dalam relasi dalam dunia internet. Bagaikan pedang bermata dua, internet memang memberikan manfaat bagi anak-anak, seperti kemudahan mengakses ilmu pengetahuan dan membangun relasi. Namun di sisi lain, internet menghadirkan bentuk-bentuk ancaman baru bagi masa depan anak-anak.
Kompas (21/12/2022, “Terpapar Perundungan dan Eksploitasi di Ranah Daring”) mencatat, seiring kemudahan mengakses internet, kekerasan di ranah daring semakin meningkat. Tanpa harus bertatap muka langsung, anak-anak masa kini bisa menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan, eksploitasi seksual, dan perundungan di ranah daring.
Survei yang dilakukan oleh Child Fund pada Juli–Oktober 2022 menemukan bahwa hampir 50 persen anak dan anak muda pernah menjadi pelaku perundungan daring dan hampir 60 persen mengaku pernah menjadi korban perundungan daring dalam tiga bulan terakhir. Survei tersebut melibatkan 1.610 responden pelajar dan mahasiswa usia 13–24 tahun di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung.
Jenis perundungan daring yang terjadi pun kiam beragam seiring dengan proses digitalisasi. Risiko-risiko digital yang harus dihadapi oleh anak-anak zaman sekarang, antara lain:
- Pelanggaran privasi (menyebarkan rahasia atau informasi pribadi).
- Pengucilan (dapat berupa pengabaian pesan orang lain atau memblokir akun).
- Penguntitan (secara daring). Hal ini dilakukan dengan melakukan pengintaian secara daring ataupun luring.
- Pencemaran nama baik. Dilakukan dengan menyamar sebagai seseorang atau akun palsu dan menyebarkan informasi palsu kepada orang lain atau berpura-pura mengaku sebagai seseorang dan melakukan hal buruk di internet.
- Pelecehan daring. Jenis perundungan ini paling banyak terjadi pada para anak-anak. Lebih dari 30 persen responden mengaku pernah menghina orang lain di internet (31,7 persen) dan dihina secara daring (35,8 persen). Bahkan, 21,9 persen mengaku menerima hinaan seksual saat berinteraksi secara daring.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Anak-anak SDN Lalomerui, Routa, Konawe, Sulawesi Tenggara, tertawa riang saat istirahat siang, Kamis (21/7/2022). Sekolah dasar satu-satunya di desa ini merupakan tempat belajar dan bermain puluhan siswa di pelosok Sultra ini. Sekolah ini hanya memiliki tiga kelas, sehingga siswa harus berbagi tempat belajar setiap hari.
Penguatan Perlindungan Anak Indonesia
Dengan terus munculnya risiko dan kasus berbahaya terhadap keselamatan dan pertumbuhan anak, peran serta KPAI menjadi begitu penting. Dalam perhatian yang demikian, KPAI secara aktif melakukan upaya-upaya perlindungan dan jaminan keselamatan bagi anak. Sejumlah upaya konkret yang dilakukan oleh lembaga KPAI sendiri, antara lain:
Terlibat langsung dalam mengawal kasus
Kembali mengacu pada laman resminya, salah satu upaya konkret KPAI dalam mengusahakan perlindungan anak adalah dengan turun langsung mengawal kasus yang tengah terjadi. Dalam kasus penculikan Malika misalnya, KPAI mengapresiasi kinerja pihak kepolisian.
Namun, KPAI juga melakukan upaya dorongan kepada berbagai lembaga untuk tidak hanya berhenti pada proses pencarian Malika dan pidana pelaku. Sinergi lintas lembaga, seperti kementerian, lembaga pemerintah, dan perangkat terdekat, harus turut memerhatikan upaya pemulihan korban.
Selain itu, KPAI juga mengawal kasus pencabulan yang dilakukan oleh guru mengaji di Kelurahan Proyonanggan Lor Batang, Jawa Tengah. Kasus yang mirip oleh guru ngaji Herry tersebut melibatkan 21 anak dalam rentang usia 5–15 tahun. KPAI pun melalukan koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Pendidikan dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Batang dan Polda Jawa Tengah agar pelaku segera diberikan hukuman sesuai UU berlaku.
KPAI berusaha memastikan agar 21 korban tersebut dapat memperoleh hak secara maksimal dan mendapatkan rehabilitasi serta trauma healing untuk penyembuhan mental. Secara lebih luas, KPAI lantas mengajak semua pihak untuk bersama-sama berpartisipasi mengawal kasus ini maupun kasus-kasus serupa agar ada sinergi untuk mencegah kejadian serupa kedepannya.
Layanan Pengaduan
Selain melakukan upaya pemantauan langsung, KPAI juga menerima laporan-laporan dari masyarakat umum akan kasus-kasus terhadap anak. Hal demikian diperlukan agar KPAI dapat memperoleh informasi secara lebih luas sekaligus detail dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Layanan pengaduan oleh KPAI dapat diakses secara terbuka lewat berbagai platform resminya.
Penyediaan Bank Data
Selain giat langsung seperti mengawal kasus dan membuka layanan pengaduan, KPAI juga membangun bank data sendiri. Bank Data KPAI didefinisikan sebagai “pusat sarana pelayanan informasi publik berbasis situs online yang mencakup bank data dan informasi tentang perlindungan anak secara komprehensif, mudah diakses oleh masyarakat maupun stakeholder yang terintegrasi dengan seluruh kementerian/lembaga terkait penyelenggara perlindungan anak di Indonesia”.
Urgensi kehadiran Bank Data KPAI selaras dengan kedua upaya perlindungan anak yang sebelumnya dituliskan. Kehadiran bank data demikian diperlukan, bahkan kian mendesak, untuk mengetahui secara holistik situasi perlindungan anak dewasa ini. Dari data yang ada, KPAI pun secara terbuka menyatakan bahwa masalah perlindungan anak kian mengkhawatirkan. Meski persentase perlindungan anak meningkat, namun pelanggaran hak anak juga menunjukkan tren yang naik.
Sebelum kehadiran Bank Data KPAI, masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup untuk mengakses data, informasi, dan kebijakan/regulasi terkait persoalan anak. KPAI pun berharap kehadiran bank data dapat memudahkan masyarakat ataupun stakeholder dalam memperoleh data dan informasi yang akurat. Akurasi ini dapat digunakan untuk penanganan kasus, memberikan wawasan, dan bahan pembuatan kebijakan. (LITBANG KOMPAS)
- Kompas. (2022, November 8). Anak di Papua Jadi Korban Kekerasan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 11.
- Kompas. (2022, Desember 1). Kekerasan pada Anak Masih Belum Berhenti. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
- Kompas. (2022, November 8). Kemanusiaan: Anak di Papua Jadi Korban Kekerasan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 11.
- Kompas. (2022, April 6). Tajuk Rencana: Vonis Mati Dijatuhkan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 6.
- Kompas. (2022, Desember 21). Terpapar Perundungan dan Eksploitasi di Ranah Daring. Jakarta: Harian Kompas. Hlm B.
- Kompas. (2023, Januari 7). Kilas Metro: Atasi Trauma, Malika dan Orangtuanya Didampingi Ahli. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 12.
- Kompas. (2023, Januari 4). Senyum Kembali Hiasi Wajah Malika. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1 & 15.
- Kompas.id. (2023, Januari 5). Pidana Mati Pemerkosa 13 Santriwati dan Rezim KUHP Baru. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/01/04/nasib-pidana-mati-pemerkosa-13-santriwati-setelah-kuhp-baru
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Diambil kembali dari KPAI.go.id: https://www.kpai.go.id/