Litbang Kompas/inggra parandaru
.
Fakta Singkat
- Rambu Solo’ adalah semua upacara keagamaan Aluk Todolo yang mempersembahkan babi dan kerbau untuk arwah leluhur atau untuk orang yang meninggal dunia.
- Secara harfiah, Rambu Solo’ berarti sinar yang mengarah ke bawah.
- Rambu Solo’ mengikuti aturan upacara pada sore hari (aluk rampe matampu) dan dilakukan di sebelah barat rumah, arah matahari tenggelam.
- Rambu Solo’ bertujuan mengantar arwah ke alam roh.
- Masyarakat Toraja penganut Aluk Todolo baru benar-benar dikatakan meninggal bila rangkaian prosesi upacara rambu Solo’ terpenuhi.
- Rambu Solo’ kebalikan dari Rambu Tuka’ yang merupakan upacara terkait kehidupan.
Upacara kematian dan penguburan jenazah di Toraja, Sulawesi Selatan, dikenal dengan nama Rambu Solo’ atau Aluk Rampe Matampu’. Rambu Solo’ merupakan upacara kematian dan penguburan jenazah dari masyarakat Toraja yang dahulu menganut Aluk Todolo. Rambu Solo’ sendiri adalah semua upacara keagamaan yang mempersembahkan babi dan kerbau untuk arwah leluhur atau untuk orang yang meninggal dunia.
Pelaksanaan upacara Rambu Solo’ dilaksanakan oleh seluruh anggota keluarga karena kematian membawa malapetaka dan penderitaan batin bagi keluarga yang ditinggalkan. Kematian membawa konsekuensi tanggung jawab untuk menjaga kehormatan keluarga di masyarakat selama anggota keluarga masih bersedia mengikuti tradisi, adat dan agama.
Masyarakat Toraja menganggap seseorang benar-benar meninggal setelah rangkaian prosesi upacara Rambu Solo’ terpenuhi. Jika belum, perlakuan terhadap orang yang meninggal sama dengan perlakuan kepada orang sakit. Jenazah disediakan makanan, minuman, dan tempat tidur.
Bila seseorang meninggal dan langsung dikubur, akan meninggalkan kesedihan yang mendalam ibarat burung elang yang menyambar mangsa dan membawanya terbang secara tiba-tiba. Dengan menunda penguburan, perasaan keluarga yang ditinggalkan diharapkan semakin rela dan menyadari bahwa manusia akan mati.
Kematian anggota keluarga harus dikabarkan ke seluruh keluarga besar. Anak Toraja memiliki kewajiban untuk hadir dan memberikan penghormatan terakhir kepada ibu dan bapaknya. Khusus untuk anak perempuan, wajib meneteskan air mata yang terakhir kepada orang tua mereka yang telah membawa mereka ke dunia. Seluruh keluarga diberi kesempatan untuk bermusyawarah menentukan waktu dan tingkat upacara pemakaman, serta mengumpulkan uang.
Upacara ini bisa memakan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah, tergantung strata sosial seseorang yang akan dimakamkan. Penganut Aluk Todolo meyakini dengan membawa segala pengorbanan materi, anggota keluarga telah mengantarkan jiwa seseorang agar damai dan selamat meninggalkan dunia fana menuju dunia jiwa yang tenteram di Puya, alam tempat menemui Tuhan.
Artikel terkait
Aluk Todolo
Sebelum Kristen masuk, tidak ada kepercayaan lain di Toraja. Istilah Aluk Todolo muncul untuk membedakan keyakinan asli dengan keyakinan baru.
Dalam Aluk Todolo, Tuhan tertinggi adalah Puang Matua, pencipta manusia pertama, alam, dan segala isinya. Puang Matua menurunkan Aluk Todolo dengan segala hukumnya agar hidup manusia teratur. Untuk mengawasi kehidupan masyarakat, Puang Matua memberi kuasa kepada Puang Titanan Tallu (Tri Maha Tunggal) yang terdiri dari Dewata Puang Banggai Rante yang menguasai bumi dan isinya, Puang Tulak Padang yang menguasai isi bumi dan air, dan Gaun Tikembong yang menguasai angkasa, angin, dan halilintar.
Dewata adalah makhluk halus yang diberi kekuasaan oleh Puang Matua untuk mengawasi manusia dalam hidupnya dan menghukum siapa saja yang melanggar perintah Puang Matua. Dewata ada yang baik dan melindungi manusia, ada pula yang ditakuti. Roh orang mati bisa menjadi dewata yang disebut Tomembali Puang/Tomembali Dewata bila upacara kematiannya telah selesai dan segala persyaratan telah dipenuhi.
Pemimpin Aluk Tadolo dalam upacara keagamaan untuk persembahan korban kepada dewata disebut Tominaa yang diangkat dari golongan menengah. Untuk mengurus pemakaman orang mati disebut Tomebalun yang diangkat dari golongan masyarakat tingkat terendah. Tomebalun disebut juga dengan nama Toma’ kayo di bagian Selatan Tana Toraja. Tominaa dan Tomebalun adalah manusia sangat sederhana yang tidak mendapat gaji dan mencari nafkah sendiri seperti masyarakat lainnya.
Dalam sistem kepercayaan asli Aluk Todolo, upacara keagamaan dikelompokkan dalam dua jenis, yakni Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. Rambu Tuka’ berkaitan dengan upacara kehidupan, seperti kelahiran, perkawinan, pesta panen, dan pesta sukacita. Upacara ini dilakukan saat matahari terbit hingga tengah hari (aluk rampe mataallo). Rambu Solo’ merupakan upacara terkait kematian. Upacara yang umumnya prosesi penguburan ini mengikuti aturan upacara pada sore hari (aluk rampe matampu).
Bagi penganut Aluk Todolo kehidupan setelah meninggal atau kehidupan jiwa sama dengan kehidupan di dunia. Saat orang hidup di dunia jiwa, mereka juga membutuhkan rumah, pakaian, makanan, dan hewan. Karena alasan ini, setiap orang yang meninggal dipotongkan kerbau dan babi agar dibawa pergi ke dunia jiwa (alam roh). Selain itu pemotongan hewan merupakan penghargaan seorang anak kepada orang tua.
Saat Belanda datang, kepercayaan Aluk Todolo tidak diakui. Belanda menganggap Aluk Todolo masuk dalam kategori animisme.
Artikel terkait
Tingkatan Rambu Solo'
Rambu Solo’ diartikan sebagai sinar yang mengarah ke bawah. Secara garis besar pelaksanaan Rambu Solo’ baru bisa dimulai selepas tengah hari, mengiringi perjalanan matahari terbenam dan menjemput gelapnya malam. Ritual Rambu Solo’ dilakukan di sebelah barat rumah, arah tenggelam matahari. Dalam Rambu Solo’, puluhan hingga ratusan ekor kerbau ditebas parang tajam tukang jagal yang disebut patinggoro tedong.
Proses upacara Rambu Solo’ berbeda-beda tergantung tingkat dalam Aluk Todolo seperti berikut:
Disilli
Upacara pemakaman paling sederhana. Upacara penguburan disili dulu untuk orang miskin dari tingkatan budak dengan hanya membekali mayat dengan telur ayam. Saat ini, rata-rata keluarga membekali dengan memotong seekor babi. Upacara disili juga untuk anak yang belum dewasa. Anak yang lahir dan meninggal ditanam tanpa upacara keagamaan. Anak yang meninggal sebelum giginya tumbuh dimasukkan dalam pohon kayu besar dengan upacara sederhana tanpa pembalut kain. Pohon tempat pekuburan anak kecil disebut Liang Pia atau Passilliran.
Dipasang Bongi
Upacara penguburan dengan acara satu malam di rumah, serta hanya memotong seekor kerbau dan beberapa ekor babi. Upacara ini diperuntukkan bagi golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu secara ekonomi.
Dipatallung Bongi
Upacara penguburan selama tiga malam di rumah. Hewan yang dipotong berupa kerbau sebanyak empat ekor dan babi sekitar sepuluh ekor. Pada hari kedua tamu datang membawa sumbangan berupa babi, tuak, dan ubi-ubian. Sejumlah tempat nasi tidak boleh dimakan di tempat dan para keluarga terdekat tidak diperbolehkan makan nasi sejak upacara hingga beberapa hari sesudahnya.
Dipalimang Bongi
Upacara penguburan selama lima hari lima malam. Penerimaan tamu baru pada hari ketiga. Tamu yang datang diperkenankan membawa sumbangan berupa minuman tuak, buah-buahan, ubi, babi, atau kerbau. Setidaknya sembilan ekor kerbau dan puluhan ekor babi dipotong. Orang tua yang meninggal dibuatkan patung dari bambu yang disebut Tau-tau Lampa yang dihiasi dengan pakaian adat. Pada waktu penguburan pakaian dan perhiasan diambil kembali. Saat malam terakhir ada acara khusus Ma’parando. Seluruh cucu almarhum yang masih gadis diarak pada malam hari dan duduk di atas bahu laki-laki. Upacara Dipalimang Bongi termasuk tipe upacara paling tinggi dan hanya kampung-kampung tertentu yang melakukannya.
Dipapitung Bongi
Upacara tujuh hari tujuh malam. Setiap hari ada acara pemotongan kerbau dan babi. Keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Saat penerimaan tamu kerbau yang dipotong mencapai 9–20 ekor. Kepala kerbau disimpan untuk dipajang di tongkonan dan dagingnya diberikan kepada tamu.
Dirapai’
Upacara penguburan paling mahal karena dua kali upacara sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah tongkonan dan orang mati diistirahatkan satu tahun baru setelah itu upacara kedua dilaksanakan. Upacara pertama disebut dialuk pia, sementara upacara kedua disebut ma’palo/ma’pasonglo.
Ada upacara kedua orang mati diarak dengan dipikul oleh ratusan orang dari rumah tongkonan ke rante, tempat upacara kedua. Orang mati dibungkus kain merah dilapisi emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan dihiasi emas, serta puluhan ekor kerbau jantan yang aka diadu.
Setelah tiba di rante, jenazah dinaikkan ke Lakkian, sebuah bangunan tinggi khusus orang mati. Acara-acara lain menyusul kemudian seperti acara adu kerbau, sisemba, dan tari-tarian. Dirapai’ terbagi tiga, yakni rapasan dilayu-layu (minimal 12 ekor kerbau), rapasan sundun (minimal 24 ekor kerbau), dan rapasan sapurandanan (minimal 30 ekor).
Artikel terkait
Pergeseran Makna
Upacara-upacara adat di Tana Toraja terutama Rambu Solo’ tidak hanya dilihat dari perspektif religi tetapi juga sosial. Semakin banyak kerbau yang dipotong dan semakin lama upacara berlangsung, maka semakin tinggi tingkat stratifikasi sosial seseorang/keluarga. Namun, kemewahan yang tampak pada upacara-upacara kematian di Toraja saat ini telah mengalami pergeseran makna dari ajaran awalnya.
Stratifikasi sosial di Toraja awalnya berdasarkan pada keturunan dan kedudukan. Kasta atau Tana’ dalam sistem pelapisan sosial di Toraja adalah tana’ bulaan (bangsawan tinggi, pemegang aturan dan pemimpin agama), tana’ bassi (bangsawan menengah), tana’ karurun (rakyat kebanyakan, orang-orang terampil), dan tana’ kua-kua (hamba pengabdi bangsawan). Lambat laun terjadi perubahan, strata sosial di Toraja tak lagi mengacu pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemapanan ekonomi.
Pada tahun 1997, Guru Besar Sastra Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Cornelius Salombe’ berpendapat, kebudayaan Toraja, terutama upacara adat rambu solo’, bergeser sangat jauh dari aslinya (Kompas, 29 Juni 1997). Upacara penguburan jenazah orang Toraja pada awalnya sangat sederhana. Berdasarkan kesaksiannya, upacara rambu solo’ berlangsung tanpa pemotongan hewan dengan jumlah berpuluh-puluh dan tanpa kemewahan berlebihan. Kondisi ini berlangsung hingga sebelum Perang Dunia II pecah.
Menurut Salombe, pada zaman dulu orang-orang Toraja, terutama pemuka adat sangat marah kalau ada upacara pemakaman yang disertai pemotongan hewan (kerbau, babi, atau ayam) terlalu banyak. Pemotongan hewan dalam upacara pemakaman merupakan kesepakatan yang pada saat itu dipegang teguh oleh masyarakat Toraja. Kesepakatan ini dilatari oleh keinginan mewujudkan pandangan hidup, bahwa manusia adalah mahluk utama dan mulia, meski sudah meninggal dunia.
Menurut IY Panggalo, pengajar pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Toraja, pergeseran budaya mulai terjadi pada dekade 1960-an dan semakin mencolok pada tahun 1980-an pada zaman Orde Baru. Saat itu, banyak orang Toraja yang berhasil secara ekonomi maupun sosial melakukan upacara adat dengan jumlah pemotongan kerbau yang banyak (Kompas, 22 Januari 2007).
Generasi muda Toraja saat ini memandang upacara adat dengan lebih realistis. Besarnya biaya yang dikeluarkan berpotensi terhadap beban ekonomi di masa mendatang. Meski demikian, menghapus tradisi yang telah ada sejak abad ke-9 bukan perkara mudah. Terlebih tradisi ini menarik minat banyak wisatawan baik dari dalam dan luar negeri. Pada akhirnya masyarakat Toraja dalam melaksanakan upacara adat Rambu Solo’ menemui benturan nilai-nilai lama dengan realitas sosial saat ini, antara tradisi, status sosial, dan ekonomi. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Dulu Upacara Kematian Amat Sederhana. Kompas, 29 Juni 1997, hlm. 19.
- Mengenai Keunikan Toraja: Kehidupan Diatur dari Langit…. Kompas, 29 Juni 1997, hlm. 19.
- Kearifan Lokal Tana Toraja. Kompas, 15 Januari 2005, hlm. 48, 49.
- Rambu Solo’, Pesta Pemakaman Para Pahlawan. Kompas, 19 Agustus 2005, hlm. 8.
- Sebuah Otokritik Orang Toraja. Kompas, 22 Januari 2007, hlm. 40.
- Ritual Tana Toraja Bukan Hanya “Rambu Solo'”. Kompas, 24 Agustus 2008, hlm. 3.
- Pesona Toraja: Desember, Pesta dan Cinta. Kompas, 30 Desember 2012, hlm. 1, 11.
- Tradisi: Ada Pesta di Saat Suka dan Duka. Kompas, 30 Desember 2012, hlm. 13.
- Budaya Toraja: Eksistensi Kristen di Tengah “Aluk Todolo”. Kompas, 18 Maret 2013, hlm. 24.
- Tenun Toraja: Kain Tanda Cinta Kasih di ”Rambu Solo”. Kompas, 25 Mei 2014, hlm. 1, 15.