KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga mengikuti tradisi nyadran dengan membawa wadah atau tenong yang berisi beragam makanan untuk dibawa ke makam leluhur mereka di Desa Tlogo Pucang, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (12/10/2016). Tradisi tahunan tersebut sebagai wujud syukur warga desa atas rezeki dan keselamatan serta menjaga tradisi yang terus mereka pertahankan.
Tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa menjelang Ramadhan, merupakan suatu kebersamaan yang dianut budaya Jawa sampai sekarang. Tradisi ini sekarang tergerus oleh kehidupan modern dan masyarakat yang semakin individualistis. Tradisi jelang Ramadhan ada beberapa macam, seperti sadranan, padusan, dan apeman, selalu melibatkan banyak orang. Di mana dalam penyelenggaraannya butuh banyak orang yang bekerja sama dan ambil bagian. Mereka saling membaur tanpa dibatasi latar belakang status ekonomi. Tradisi tersebut juga mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan, kepedulian sosial, dan toleransi yang kuat. Tradisi sadranan biasanya diselenggarakan antara tanggal 15–25 Ruwah menurut penanggalan Jawa. Adapun setiap daerah tidak selalu berbarengan dalam penyelenggaraannya.
Konon tradisi sadranan di Jawa berasal dari zaman Majapahit pada abad ke-14. Pada saat pemerintahan Hayam Wuruk, Sang Prabu memerintahkan Patih Gajah Mada untuk menyelenggarakan upacara Srada untuk menghormati roh Rajapatni. Upacara penghormatan terhadap roh itu diuraikan cukup panjang lebar dalam Negarakretagama. Kerajaan dihias dengan indah. Para pelukis menghias takhta yang akan diduduki raja dalam upacara. Baki makanan, bokor-bokoran, dan arca disiapkan. Hiasan dari janur melambai-lambai. Demikian kurang lebih kemeriahan upacara Srada dilukiskan Negarakretagama. Sadranan adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
Kegiatan yang biasa dilakukan saat sadranan adalah ziarah kubur sambil membersihan makam leluhur masing-masing yang telah meninggal dunia, pembacaan doa, tahlilan, dan kumpul bersama keluarga di depan makam. Namun, ada beberapa daerah melaksanakan tradisi ini dengan cara yang berbeda, di antaranya mengunjungi makam leluhur sambil membawa bungkusan berisi makanan hasil bumi. Bungkusan makanan tersebut selanjutnya akan ditinggalkan di area makam. Biasanya pihak keluarga juga akan meninggalkan uang untuk biaya pengelolaan makam. Sementara beberapa daerah lain ada yang tidak membawa bungkusan makanan, tetapi cukup mengunjungi makam dan melakukan kegiatan bersih-bersih kuburan, serta menabur bunga. Tidak lupa mereka juga melakukan doa bersama untuk mendoakan para leluhur. Saat ini beberapa masyarakat Jawa menilai bahwa nyadran serupa dengan ziarah kubur.
Tradisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Dahulu, seluruh tenong terbuat dari bambu, tetapi kini tak sedikit yang membawa tenong aluminium. Di dalam tenong ada nasi, lauk pauk, termasuk ingkung ayam, serta potongan buah atau penganan. Makanan ini disantap bersama di makam setelah selesai memanjatkan doa bagi leluhur, atau dibagikan kepada sesama.
Tujuan menyelenggarakan tradisi sadranan adalah mendidik generasi muda agar lebih mengenal sejarah dan menghormati kepada yang lebih tua, menjalin interaksi sosial antarwarga, melestarikan tradisi, dan ungkapan rasa syukur atas berkah Tuhan melalui sedekah kepada masyarakat sekitar.
Beberapa peristiwa Tradisi Sadranan di Bulan Ruwah yang terangkum dalam foto-foto di Arsip Kompas.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Bersilaturahmi
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga berdoa dan membersihkan makam di Dusun Tangkisan, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, yang juga menjadi lokasi kuburan massal bagi korban erupsi Gunung Merapi tahun 2010 lalu, Selasa (10/7/2012). Tradisi Nyadran dilangsungkan tiap bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa untuk mendoakan arwah para leluhur dan menyambut bulan Ramadhan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Mendoakan Leluhur
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga berdoa bersama dengan membawa tenong (tempat makanan) berisi makanan dalam tradisi sadranan di Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (24/5/2016). Nyadran juga dimaknai sebagai tradisi membangun kembali tali kekeluargaan antarwarga yang terpisah jarak untuk kembali ke kampung bertegur sapa.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Berdoa Bersama
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga menata makanan yang akan disantap bersama dalam tradisi Sadranan di Dusun Kebondalem, Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (7/1/2022). Tradisi tersebut digelar setiap satu tahun sekali sebagai wujud syukur warga dan untuk sarana mempererat persaudaraan. Warga yang merantau ke luar daerah selalu menyempatkan pulang untuk mengikuti tradisi itu. Pemerintah desa setempat juga memanfaatkan acara tersebut untuk sarana sosialisasi pentingnya vaksinasi Covid-19 bagi masyarakat.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Menyantap Makanan
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Berbagi Makanan
Foto lainnya dapat diakses melalui https://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.