Foto

Tradisi dan Nilai Budaya Karapan Sapi Madura

Karapan sapi mengandung nilai budaya ,di antaranya adalah kerja keras, kerjasama, persaingan, ketertiban, dan sportivitas. Hal ini tercermin dalam proses merawat dan melatih sapi. Supaya menjadi sapi yang kuat dan tangkas perlu adanya kerja keras, ketekunan, dan kesabaran. Tanpa melakukan proses merawat dan melatih sapi dalam jangka waktu yang panjang, mustahil seekor sapi dapat menunjukkan kehebatannya pada saat bertanding di lapangan.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Sepasang sapi karapan tengah berpacu untuk dapat mengalahkan lawannya dalam Perlombaan Karapan Sapi Piala Presiden 2002 di Stadion Sunarto Hadi Wijoyo, Pamekasan, Minggu (27/10/2002). Puluhan pasang sapi karapan yang merupakan juara dari beberapa kabupaten di Pulau Madura mengikuti lomba tersebut.

Karapan sapi merupakan salah satu pesta rakyat di Madura. Karapan sapi identik dengan mengadu sapi supaya berlari cepat untuk menjadi pemenang. Beberapa kota di Madura menggelar tradisi Karapan Sapi pada Agustus atau September, kemudian pelaksanaan babak final akan digelar pada akhir September atau Oktober. Karapan sapi diselenggarakan tidak hanya di Madura. Pada awal 1960-an, untuk pertama kalinya karapan sapi diselenggarakan di Lapangan Ikada, Jakarta. Kemudian, pada 2 Juni 1991 baru diselenggarakan kembali di Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara.

Mengenai asal-usulnya, tidak banyak sumber yang menjelaskan secara pasti dan jelas. Ada dua versi mengenai asal-usul kata Kerapan atau Karapan, dilansir situs Kemdikbud. Pertama, istilah Kerapan berasal dari kata Kerap atau Kirap yang artinya berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata kerapan berasal dari bahasa Arab kirabah yang berarti persahabatan. Pasangan sapi dipacu untuk adu cepat melawan pasangan-pasangan lain.

Sapi yang digunakan untuk lomba pada umumnya berasal dari Pulau Sapudi. Pulau Sapudi merupakan satu pulau kecil di timur Madura. Karapan sapi ini terus dikembangkan menjadi acara menarik dan digemari, sehingga tahun 1956 ada peraturan khusus diciptakan dan serangkaian lomba karapan sapi diselenggarakan secara rutin.

Segala cara yang ditempuh pemilik sapi untuk memenangkan karapan sapi, hal ini kini  tidak lepas dari bisnis sapi. Kemenangan di arena karapan sapi sangat mempengaruhi harga sapi. Dampak yang paling terasa kini, yakni pesta karapan sapi yang setiap tahun berlangsung empat sampai lima kali di setiap tempat, tidak lagi dirasakan sebagai pesta peternak. Pesta yang semula menjadi ajang untuk mewujudkan rasa syukur, beralih menjadi ajang adu kemampuan materi.

Untuk memenangkan lomba, pemilik sapi karapan sejak pertengahan 1980-an mulai menggunakan jamu berupa telur atau ramuan tradisional lain. Jahe, lengkuas sampai belerang, menjadi menu sehari-hari sapi untuk mengikuti lomba karapan sapi. Bahkan, ada yang bisa menghabiskan 100 butir telur setiap harinya. Untuk mengendorkan otot-otot sapi, pada waktu tertentu diurut yang bertujuan agar tidak mengalami kejang otot.

Sapi juga dilatih untuk berlari di sawah yang berlumpur, agar ditempat yang keras sapi bisa berlari lebih cepat. Selain sapi dan joki, para dukun juga ikut berperan dalam lomba karapan sapi. Pemilik sapi mencari dukun untuk melindungi sapinya dari kekuatan-kekuatan gaib. Jika ada sapi yang menang, berarti dukunnya yang tangguh (“Memelihara Sapi Balap di Madura. Kompas, 28 Juni 1971, hlm 3).

Penyelenggaran karapan sapi tidak hanya sapi dan pemiliknya, melainkan melibatkan beberapa pihak, di antaranya orang yang bertugas untuk mengendalikan sapi di atas kaleles (tukang tongko), orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas (tukang tambeng), orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat (tukang gertak), orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi (tukang tonja), serta anggota rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi (tukang gubrak). Karapan sapi di Madura menggunakan kaleles. Kaleles disini merupakan sarana pelengkap untuk dinaiki joki atau sais yang menurut istilah Madura disebut tukang tongkok.

Tradisi karapan sapi dimulai, pasangan-pasangan sapi diarak mengelilingi arena lomba karapan sapi dengan iringan gamelan Madura. Selain untuk melemaskan otot-otot sapi, proses ini menjadi arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi yang berlomba. Setelah parade selesai, barulah pakaian dan seluruh hiasan dibuka. Kemudian perlombaan karapan sapi dimulai. Ada beberapa urutan babak dalam penyelenggaraannya, antara lain, babak klasemen peserta, babak penyisihan, kemudian babak final. Dalam perlombaan karapan sapi, sistem permainannya menggunakan sistem gugur.

Beberapa peristiwa Lomba Karapan Sapi Madura yang terangkum dalam foto-foto di Arsip Kompas.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga menjemur sapi miliknya di Desa Talaga, Kecamatan Nonggunong, Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Sejak turun-temurun sapi sudah menjadi binatang kesayangan dan simbol status masyarakat setempat. Sejak zaman Belanda, Pulau Sapudi dikenal sebagai pulau tempat pemurnian sapi khas Madura. Total populasi sapi saat ini mencapai 39.977 ekor dan merupakan pemasok utama sapi karapan di Pulau Madura.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga memandikan sapi karapan di pantai di Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan, Rabu, (9/3/2016).

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Setiap hari seekor sapi karapan diberi jamu yang diramu khusus oleh pemiliknya. Seekor sapi dapat menghabiskan ratusan butir telur ayam kampung dalam sehari untuk memperkuat tenaganya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

“Ngetrain” atau latihan sapi karapan di Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Jumat (30/3/2012). Selain sebagai pusat pelatihan bibit sapi karapan, sejak jaman Belanda, Pulau Sapudi dikenal sebagai pulau tempat pemurnian sapi khas Madura. Total populasi sapi saat ini mencapai mencapai 39.977 ekor dan merupakan pemasok sapi karapan utama di Pulau Madura.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Masih banyak bentuk-bentuk kesenian tradisional Pulau Madura yang belum dikenal oleh masyarakat di luar pulau tersebut, seperti kesenian seronen. Keberadaan kesenian seronen yang merupakan musik khas Madura selama ini lebih banyak menjadi musik pengiring pada lomba karapan sapi.

KOMPAS/MAMAK SUTAMAT

Tari Bubung dan Manuk Bere mengawali karapan sapi.

KOMPAS/KARTONO RIYADI

Karapan Sapi di Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara, Selasa (4/6/1991). Berlangsung selama dua hari ini memperebutkan Piala Wali Kota. Bagi mereka, karapan sapi bukan cuma perlombaan biasa, tetapi satu tradisi mendarah daging yang sudah menjadi semacam persoalan hidup dan mati.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Salah seorang peserta karapan sapi berlaga di Stadion Raden Soenarto Hadi Widjojo di Pamekasan, Minggu (24/10/2010), dalam Festival Karapan Sapi Se-Madura 2010 memperebutkan Piala Presiden. Karapan sapi menjadi salah satu daya tarik wisata Madura yang banyak diminati wisatawan dalam negeri dan luar negeri.

KOMPAS/NORMAN EDWIN

Balapan atau Karapan Sapi yang biasanya digelar di Madura, kali ini “diboyong” ke kawasan Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara, memperebutkan Piala Wali Kota Jakarta (4/6/1991). Lomba digelar selama dua hari, Senin – Selasa (3 – 4 Juni 1991).

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Peserta karapan memacu lari sapi dalam karapan sapi brujul di Desa Curah Grinting, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Jawa Timur, Rabu (2/9.2015). Dalam karapan itu, sapi yang digunakan adalah sapi yang biasa digunakan untuk membajak, dan digelar di persawahan berlumpur.

Foto lainnya dapat diakses melalui https://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.