Paparan Topik

Potret Kenaikan Harga Bahan Bakar dan Subsidi bagi Masyarakat

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Pertamax diwarnai beragam latar belakang dan konsekuensi kebijakan. Kenaikan ini berdampak kepada masyarakat yang diikuti kenaikan harga komoditas lainnya. Pemerintah kembali menaikkan harga BBM per 3 September 2022 untuk menekan beban subsidi energi.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Antrean sepeda motor yang hendak mengisi bahan bakar minyak jenis pertalite di SPBU di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (19/8/2022). Dalam RAPBN 2023, anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk subsidi dan kompensasi energi tahun 2023 sebesar Rp336,7 triliun. Nilai ini turun 33,07 persen dari anggaran subsidi dan kompensasi tahun 2022 yang mencapai Rp502 triliun.

Fakta Singkat

  • Alokasi subsidi BBM mencapai angka Rp502,4 triliun untuk tahun 2022.
  • Pengurangan subsidi BBM dilatarbelakangi oleh harga minyak dunia yang tengah naik, subsidi yang tidak tepat sasaran, dan APBN yang kian terbebani.
  • Sebesar 80 persen subsidi BBM Pertalite dinikmati oleh golongan mampu. Sementara kelompok miskin dan rentan hanya menjadi 20 persen dari kelompok penikmat subsidi.
  • Kenaikan harga BBM bersubsidi akan memberikan efek rambatan, termasuk kenaikan harga bahan makanan pokok, menurunnya daya beli masyarakat, hingga inflasi.
  • Jumlah Rp502,4 triliun setara dengan pembangunan 3.333 rumah sakit skala menengah, 41.666 puskesmas, pembangunan 227.886 bangunan sekolah dasar, atau pembukaan 3.501 ruas tol baru.
  • Pemerintah telah mengarahkan alokasi subsidi BBM ke beragam bentuk bantuan sosial dengan total Rp24,17 triliun.
  • Subsidi BBM merupakan “lingkaran setan” dalam kondisi minyak mentah yang kian langka, harga yang terus meningkat, dan permainan pasar internasional
  • Pemberian kompensasi bantuan, pengadaan energi alternatif, dan komunikasi publik menjadi upaya strategi untuk mencapai penerimaan pengurangan subsidi BBM.

Sejak konflik militer Ukraina-Rusia pada awal tahun 2022, harga bahan bakar kian menjadi momok bagi masyarakat dunia maupun Indonesia. Selain gejolak internasional tersebut, distribusi dan pemanfaatan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tdak tepat sasaran juga menimbulkan polemik.

Setelah pernah mengalami kenaikan harga pada Maret dan April 2022, harga BBM bersubsidi kembali mengalami kenaikan pada Sabtu (3/9/2022). Harga per liter Pertalite mengalami kenaikan dari Rp7.650 menjadi Rp10.000. Harga per liter Solar bersubsidi naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800. Selain itu, pemerintah juga menaikkan harga Pertamax dari Rp12.500 per liter jadi Rp14.500 per liter.

Pengumuman kenaikan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo melalui konferensi pers perihal kenaikan harga BBM dan pengalihan subsidi. ”Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM asehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian,” ujar Joko Widodo.

Konferensi pers turut dihadiri oleh sejumlah menteri yang mendampingi Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta. Para menteri tersebut, antara lain, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif (Kompas, 4/9/2022, “Kenaikan Harga Perlu Diikuti Pembenahan”).

Kebijakan kenaikan harga sendiri sudah bergaung sejak hampir sebulan sebelum kenaikan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjadi yang pertama menyinggungnya dalam Kuliah Umum di Universitas Hasanuddin yang disiarkan virtual, Jumat (19/8/2022). Dalam kesempatan tersebut, Luhut menyatakan pemerintah tengah berhitung untuk menaikkan harga BBM subsidi.

Menurutnya, selama ini subsidi yang dikeluarkan lewat APBN untuk menahan harga BBM sudah terlalu membebani kas negara dan Presiden Joko Widodo pun sudah menunjukkan berbagai indikasi bila subsidi tak lagi bisa ditahan. “Menaikkan harga Pertalite yang kita subsidi cukup banyak dan juga itu solar, modeling ekonominya (hitung-hitungan) sudah dibuat. Nanti mungkin minggu depan Pak Presiden akan umumkan mengenai apa dan bagaimana mengenai kenaikan harga ini,” papar Luhut.

Wacana kenaikan demikian lantas diperkuat dengan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati setelah melakukan rapat koordinasi kebijakan subsidi BBM pada Jumat (26/8/2022). Sri Mulyani menyampaikan bahwa alokasi anggaran BBM bersubsidi yang selama ini digelontorkan pemerintah telah mencapai angka 502,4 triliun pada tahun 2022.

Besaran jumlah tersebut tidak lagi mampu dibebani kepada kas negara ketika pada saat bersamaan masih terdapat sektor-sektor lain yang perlu mendapat perhatian. Oleh karenanya, kebijakan yang mungkin diterapkan adalah mengurangi alokasi subsidi BBM–yang mana akan membuat harganya meningkat (Kompas, 27/8/2022, “Subsidi Dinikmati Warga Mampu”).

Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, melakukan proyeksi terhadap kenaikan harga Pertalite dan Biosolar (sebagai dua jenis BBM bersubsidi yang utama). Satria menyebutkan bahwa apabila masing-masing BBM mengalami kenaikan Rp2.850 per liter saja, akan cukup untuk mengompensasi kebutuhan anggaran BBM bersubsidi oleh negara hingga akhir tahun. Namun, kenaikan dalam taraf tersebut hampir pasti akan memberikan dampak-dampak sampingan yang membebankan masyarakat, secara khusus kelompok menengah ke bawah (Kompas, 30/8/2022, “Jaga Daya Beli, Tiga Bantalan Disiapkan”).

Kehadiran wacana tersebut pun segera memicu berbagai reaksi, tidak hanya dari kelompok pemerintah dan politisi, melainkan juga pada masyarakat sebagai kelompok yang jelas akan begitu terdampak. Media sosial diramaikan oleh komunikasi mengenai pengurangan subsidi. Pada Senin (29/8/2022), kelompok aktivis mahasiswa juga telah menggelar aksi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi di depan Gedung DPR, Jakarta (Kompas, 30/8/2022, “Rencana Kenaikan Harga BBM”).

Sebelum harga BBM bersubsidi mengalami kenaikan, pemerintah terlebih dahulu menurunan harga BBM non-subsidi pada Kamis (1/9/2022). Harga Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex turun dalam kisaran 3 sampai 11 persen. Penyesuaian demikian dipengaruhi dinamika harga minyak mentah dunia yang tengah menurun dibandingkan bulan-bulan sebelumnya (Kompas.id, 1/9/2022, “Harga BBM Nonsubsidi Turun, Pertalite-Biosolar Masih Sama”).

Potensi Dampak Kenaikan BBM Subsidi

Hingga saat ini, BBM merupakan komoditas kunci dalam sektor ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy menyampaikan bahan bakar merupakan salah satu unsur ongkos produksi fundamental dalam dunia usaha.

Oleh sebab itu, kenaikan harga BBM bersubsidi akan memberikan efek rambatan yang luas pada berbagai lini kehidupan. Produsen akan merespon kenaikan ongkos produksi dengan menaikkan harga jual. “Kenaikan harga Pertalite ini berpotensi menciptakan efek beruntun ke banyak hal tak hanya ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga kepada stabilitas sektor keuangan. Ini yang perlu diwaspadai semua pihak,” ujarnya di Jakarta, Selasa (30/8/2022).

Menurut perhitungan Budi, kenaikan harga BBM akan secara otomatis meningkatkan inflasi. Inflasi akan terkerek sampai 8 persen hingga akhir tahun. Padahal pada Juli 2022 lalu, inflasi nasional sudah mencapai angka 4,94 persen, tertinggi sepanjang 2022 (Kompas.id, 30/8/2022, “Waspadai Efek Rambatan Kenaikan Harga BBM Subsidi”).

Apa yang disampaikan Budi selaras dengan penyampaian Satria Sambijantoro di atas. “Kenaikan harga BBM bersubsidi dapat memberikan efek lanjutan pada kenaikan harga bahan pangan, bahan bangunan, dan transportasi. Setiap ada inflasi, yang paling terkena imbasnya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah karena porsi bahan pangan dalam konsumsi mereka paling besar,” ujar Satria. Namun sedikit berbeda dengan Budi, perhitungannya menunjukkan bahwa inflasi yang dapat tercapai akibat kenaikan harga BBM kali ini mencapai level 6,8 — 7,2 persen (Kompas, 30/8/2022, “Jaga Daya Beli, Tiga Bantalan Disiapkan”).

Penjelasan yang disampaikan Budi dan Satria secara nyata terjadi. Ketika pengurangan subsidi BBM masih sebatas pemberitaan, ribuan nelayan kecil di pantai utara Jawa Tengah telah resah dengan wacana makroekonomi tersebut. Para nelayan, utamanya dengan kapal berukuran di bawah 30 GT, panik sebab pendapatan mereka akan menjadi kian minim. Selama ini, BBM menjadi pengeluaran terbesar dari biaya perbekalan melaut mereka—dan BBM subsidi mampu menekan biaya tersebut.

Disampaikan oleh salah seorang nelayan, dalam sepekan melaut mereka membutuhkan biaya perbekalan hingga Rp17 juta. Angka itu termasuk 1,5 ton solar subsidi, es pendingin ikan, dan kebutuhan konsumsi awak. Dengan perkiraan hasil tangkapan ikan maksimal, para nelayan akan mendapatkan Rp20 juta. Selisih tiga juta begitu terbatas untuk mengupah para awak kapal dan membayar pemilik kapal.

Oleh sebab itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) sektor Jateng Riswanto memandang kenaikan harga BBM subsidi tidaklah bijak. Ia melihat bahwa pemerintah seharusnya justru memastikan nelayan mendapatkan akses BBM yang murah demi keberlangsungan sektor usaha kelautan dan perikanan.

“Para nelayan kecil resah dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi di tengah harga ikan yang terus menurun. Kami ingin pemerintah meninjau ulang rencana kenaikan harga BBM subsidi khusus untuk nelayan kecil,” ucap Riswanto (Kompas.id, 29/8/2022, “Harga BBM Subsidi Naik, Beban Nelayan Kecil Kian Berat”).

Selain itu, dampak lain yang sangat mungkin terjadi adalah potensi kenaikan harga jasa ojek daring. Riset Kompas pada pertengahan Agustus 2022 menunjukkan bahwa perubahan biaya akan jasa ojek daring sangat diperlukan untuk menyesuaikan kenaikan harga bahan BBM, beserta rembetan kenaikan barang kebutuhan pokok.

Rentetan kenaikan harga demikian dinilai menekan pendapatan riil para mitra pengemudi—dan oleh karenanya, sudah mendapat perhatian dan dicoba dirumuskan melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022. Namun, secara mengejutkan pemberlakuan keputusan tersebut ditunda pada Minggu (28/8/2022) (Kompas, 30/8/2022, “Tarif Jasa Naik, Siapa Untung?”).

Kenaikan harga tersebut juga akan memberikan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat yang mengonsumsi jasa tersebut. Daya jual dan daya saing dari pemberian layanan ojek daring juga pun berpotensi menurun. Alhasil, pengemudi ojek daring harus dihadapkan pada masalah yang kian kompleks, termasuk berkurangnya jumlah pengguna jasa dan kenaikan harga bensin serta sembako.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas menunggu pelanggan di SPBU Coco di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. PT Pertamina (Persero) pada Sabtu (5/1/2019) pukul 00.00 waktu setempat menurunkan harga BBM non subsidi, Pertalite turun Rp 150 per liter, Pertamax Rp 200 per liter, Pertamax Turbo Rp 250 per liter, Dexlite Rp 200 per liter, dan Dex Rp 100 per liter.

Pertimbangan Kenaikan Harga BBM Subsidi

Dari segala permasalahan potensial sebagai akibat pengurangan subsidi BBM di atas, turut terhampar berbagai pertimbangan faktual yang mengharuskan kebijakan tersebut tetap dilakukan. Oleh karena kondisi-kondisi faktual inilah, pertimbangan pengurangan subsidi BBM muncul.

BBM Bersubsidi Tidak Tepat Sasaran

Mengacu pada artikel Kompas (27/8/2022, “Subsidi Dinikmati Warga Mampu”), masalah pemicu utama adalah penggunaan subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Sejatinya pemberian BBM bersubsidi diperuntukkan bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah—termasuk para ojek daring dan nelayan-nelayan kecil.

Namun pada kenyataannya, 80 persen subsidi BBM Pertalite saja dinikmati oleh mereka yang tergolong mampu. Sementara, kelompok rumah tangga miskin dan rentan hanya menjadi 20 persen dari kelompok penikmat subsidi. Selain itu, dalam konferensi pers mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi (3/9/2022), Joko Widodo juga memaparkan fakta serupa. Disampaikan bahwa 70 persen lebih keseluruhan subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, utamanya pemilik mobil pribadi (Kompas, 4/9/2022, “Kenaikan Harga Perlu Diikuti Pembenahan”).

Sebagaimana dinyatakan langsung oleh Joko Widodo, BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran merupakan kontras dari makna keadilan. Ia pun berkali-kali menekankan bahwa pemerintah tidak pernah anti-subsidi. Hanya saja, subsidi yang diberikan harus tepat sasaran diberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Hal serupa turut dijelaskan oleh Sri Mulyani secara lebih rinci. Hingga saat ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp502,4 triliun untuk sepanjang tahun 2022. Secara lebih spesifik, pemerintah menyiapkan 23,05 juta kiloliter Pertalite dan 15,1 juta kiloliter Solar. Jumlah penyediaan tersebut berangkat dari kalkulasi pemerintah bahwa rata-rata konsumsi bulanan Pertalite adalah 2,5 juta kiloliter dan Solar mencapai 1,5 juta kiloliter.

Anggaran subsidi dan kompensasi BBM sebesar Rp502,4 triliun itu sendiri merupakan hasil peningkatan hingga tiga kali lipat untuk tahun 2022. Awalnya, jumlah tersebut adalah Rp152,5 triliun. Peningkatan terus terjadi dan diperkirakan akan terus meningkat

Dampak dari distribusi BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran membuat alokasi dan kalkulasi yang telah dibuat tidak lagi sesuai. Kuota yang telah disiapkan pun terancam tidak cukup karena masyarakat dari kelompok mampu ikut menikmati.

“Jika pola konsumsi BBM bersubsidi tak berubah, total kuota Solar yang dibutuhkan 17,44 juta kiloliter dan Pertalite 29,07 juta kiloliter sampai akhir 2022,” ujar Sri Mulyani setelah melakukan rapat koordinasi terkait kebijakan subsidi BBM di Jakarta, Jumat (26/8/2022). Apabila skenario tersebut sungguh terjadi, lantas pemerintah harus menambah Rp195,6 triliun ke dalam anggaran subsidi.

Tambahan alokasi dalam jumlah tersebut akan sangat berdampak pada alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Disampaikan lebih lanjut oleh Sri Mulyani, jika harga BBM bersubsidi tidak naik, maka beban APBN tahun depan semakin berat. Hal tersebut ia sampaikan pada Sidang Paripurna Tanggapan Pemerintah terhadap Pemandangan Umum Fraksi atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN 2023 Beserta Nota Keuangannya, Selasa (30/8/2022), di Jakarta.

“Dengan pertimbangan tren harga minyak dunia, kurs rupiah, serta konsumsi Pertalite dan Biosolar yang melebihi kuota, jika harga BBM bersubsidi dipertahankan, jumlah subsidi dan kompensasi diperkirakan mencapai Rp 698 triliun hingga akhir tahun. Hal ini menjadi tambahan belanja RAPBN 2023,” kata Sri Mulyani (Kompas, 31/8/2022, “Subsidi Tepat Sasaran Jadi Fokus Pemerintah”).

Pengalihan Alokasi Subsidi ke Sektor Lain

Bagi APBN secara khusus maupun kebutuhan nasional secara umum, angka alokasi subsidi sebelum kenaikan BBM sebesar Rp 502,4 trilun sudah begitu besar dan berat. Apalagi jumlah tersebut hanya ditujukan bagi sektor BBM semata. Beban tersebut akan menjadi kian bertambah apabila harus menyentuh angka Rp 698 triliun.

Dalam Konferensi Pers Tindak Lanjut Hasil Rakor KemenkoPerekonomian terkait Kebijakan Subsidi BBM pada Sabtu (27/8/2022), Sri Mulyani memaparkan bahwa besaran Rp 502 triliun untuk subsidi BBM semata dapat diarahkan pada sektor-sektor lain. Di bidang kesehatan, jumlah tersebut setara dengan pembangunan 3.333 rumah sakit skala menengah atau 41.666 puskesmas.

Di bidang pendidikan, jumlah tersebut setara dengan pembangunan 227.886 bangunan sekolah dasar. Selain itu, jumlah tersebut daapt juga digunakan untuk membuka 3.501 ruas tol baru. Konferensi pers itu sendiri disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Kementerian Keuangan.

Selain itu, mengacu pada Kompas (29/08/2022, Kenaikan Harga BBM dan Perlindungan Sosial), penyesuaian atas harga BBM tak perlu dilakukan sekaligus. Dari simulasi yang dilakukan, apabila harga BBM mengalami kenaikan 30-35 persen saja, hanya akan berdampak pada pengeluaran tambahan Rp 100.000/bulan/keluarga. Jumlah ini mampu menjaga agar tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin dan rentan tak menurun.

Namun, angka ini akan berdampak besar pada penghematan APBN yang dapat mencapai Rp 125 triliun per tahun. Lebih lanjut, apabila penghematan ini dapat dicapai secara nyata, dapat dilakukan pengalokasian pemberian bantuan setidaknya kepada 25 persen rumah tangga dengan kemampuan ekonomi terbawah – atau setara dengan 15,5 juta rumah tangga. Untuk memberikan bantuak tersebut, hanya dibutuhkan Rp 1,5 triliun per bulan atau Rp 9 triliun dari dana yang berhasil dihemat.

Oleh karena begitu besarnya jumlah subsidi BBM saat ini, padahal pada sisi lain dapat dialihkan pada pembangunan dan pengembangan masif di sektor-sektor lain, Sri Mulyani menegaskan saatnya angka Rp 502 triliun dialihkan untuk subsidi lain. Terutama sekali, subsidi yang lebih tepat sasaran kepada kelompok miskin dan rentan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Informasi harga baru BBM di salah satu SPBU di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2022).

Pengalihan Subsidi BBM ke Bantuan Lain

Oleh karena berbagai pertimbangan tersebut, pemerintah pun sudah berada dalam posisi siap untuk mengalihkan subsidi kepada rumah tangga miskin dan rentan. Lantas sebagai tindak lanjut, sejak Senin (29/8/2022), pemerintah telah mulai mewujudkan pengalihan subsidi tersebut. Mengacu pada Kompas.id (29/8/2022, “Meski Belum Dicabut, Pekan Ini Pemerintah Alihkan Subsidi BBM ke Bansos Rp 24,17 Triliun”), perwujudan ini dilakukan melalui sejumlah tambahan bentuk dan besaran pemberian bantuan sosial.

Tambahan yang pertama akan digelontoran kepada kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM sebagai pengalihan subsidi BBM sebesar Rp12,4 triliun. BLT BBM akan disalurkan melalui kantor pos di seluruh Indonesia. ”Yang akan mulai dibayarkan oleh Ibu Mensos (Menteri Sosial Tri Rismaharini), Rp150.000 selama empat kali. Jadi dalam hal ini Ibu Mensos akan membayarkannya dua kali, yaitu Rp300.000 dan Rp300.000,” jelas Sri Mulyani.

Sementara untuk bantuan sosial yang kedua, instruksi dari Joko Widodo mengarahkan pada pemberian bantuan sebesar Rp600.000 bagi 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan. Total anggaran bantuan sosial kedua bagi para pekerja tersebut adalah sebesar Rp9,6 triliun. Sebagai tindak lanjut nantinya, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah akan segera menerbitkan petunjuk teknis agar bantuan bisa langsung dibayarkan.

Selain kedua bantuan senilai masing-masing Rp12,4 triliun dan Rp9,6 triliun tersebut, Joko Widodo juga mengarahkan pemerintah daerah agar segera menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditansfer dari APBN. Diharapkan, pemerintah daerah turut serta melindungi daya beli masyarakat yang aturannya akan diterbitkan Kementerian Dalam Negeri.

Mengenai hal ini, Sri Mulyani menjelaskan bahwa alokasi APBN yang ditransfer ke kas daerah merupakan bentuk dana transfer umum, yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Kedua dana tersebut lantas diarahkan untuk pemberian bantuan sosial di daerah.

“Selama ini, kan, setiap bulan kita (pemerintah pusat) mengirimkan Dana Alokasi Umum dan DBH. Itu, dua persen dari DAU dan DBH, diminta untuk diberikan kepada masyarakat dalam bentuk bantuan-bantuan untuk transportasi dan juga untuk ojek, nelayan, dan tambahan bantuan sosial,” ujar Sri Mulyani.

Untuk mempertegas arahan tersebut, Kementerian Keuangan akan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan untuk mengatur penggunaan dua persen dari DAU dan DBH untuk didistribusikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi transportasi tersebut. Sri Mulyani menyampaikan bahwa meski bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah pusat sudah cukup besar, namun pemerintah daerah tetap diminta untuk berpartisipasi. Bantuan dari pemerintah daerah ini memiliki nilai Rp2,17 triliun.

Oleh karenanya, ketiga bentuk bantuan sosial yang ditetapkan oleh Presiden dan pemerintah pusat mencapai total Rp24,17 triliun. “Ini diharapkan akan bisa mengurangi, tentu, tekanan kepada masyarakat dan bahkan mengurangi kemiskinan sehingga kita bisa memberikan dukungan kepada masyarakat yang memang dalam hari-hari ini dihadapkan pada tekanan terhadap kenaikan harga,” ujar Sri Mulyani.

Meski hingga Jumat (2/9/2022) kenaikan harga BBM bersubsidi masih tak kunjung mendapatkan kejelasan, namun besaran dan bentuk bantuan sosial tersebut sudah diputuskan sebagai alokasi dari pengalihan subsidi BBM saat ini. Pemerintah pusat pun menegaskan bahwa bentuk-bentuk bantuan sosial ini sudah dapat dieksekusi dengan langsung dan segera.

Joko Widodo secara lansgung meminta Kementerian Keuangan dan Kementerian Sosial untuk mengumumkan bahwa seluruh bantuan hasil pengalihan subsidi BBM sudah siap dan akan mulai diekseskusi sejak Senin (29/8/2022). ”Jadi, ini akan dilakukan Bu Risma begitu beliau siap, PT Pos untuk mendistribusikan, maka kita akan mulai melakukannya pada minggu ini,” katanya. Menanggapi hal ini, Sri Mulyani juga mendukung pemberian bantuan sosial secara segera. “Kalau bisa dilakukan pada minggu ini. Ini semua dilakukan dalam rangka memberikan bantalan sosial untuk masyarakat,” ujarnya.

Hanya selang dua hari dari instruksi Presiden atas bantuan sosial tersebut, penyaluran BLT tahap pertama pun sudah dijalankan. Mengacu pada siaran pers dari laman resmi Kementerian Sosial, pada Rabu (31/8/2022) di Jayapura, Joko Widodo bersama Tri Rismaharini telah secara simbolis melakukan penyerahan bantuan kepada 100 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Kabupaten Jayapura di Kantor Pos Indonesia Kabupaten Jayapura, Sentani.

“Hari ini kita telah memulai pembagian BLT BBM, yang diberikan kepada masyarakat selamat empat bulan, perbulannya diberikan 150 ribu (rupiah) jadi totalnya 600 ribu dan diberikan dua kali, tiga ratus, tiga ratus,” jelas Joko Widodo di Kantor Pos Sentani (31/8/2022). Penyaluran BLT BBM dimulai dari wilayah Indonesia timur, yaitu Provinsi Papua.

Paradoks Subsidi BBM

Secara umum, pemberian subsidi BBM sendiri memang telah mengandung dimensi paradoksal. Hal demikian ditunjukkan dalam segi historis, teoritis, maupun empiris. Pada satu sisi, sebagaimana telah dipaparkan di atas, pemberian subsidi BBM memang merupakan bentuk kebijakan populis yang memberikan kenikmatan pada masyarakat, harapannya secara terkhusus pada masyarakat kecil.

Di negara Indonesia yang konsumsi dan ketergantungan pada BBM masih begitu tinggi, bahkan pemberian subsidi BBM dapat menahan laju inflasi. Menaikkan harga Pertalite menjadi Rp10.500 per liter dan harga Biosolar menjadi Rp8.000 per liter saja bisa berdampak pada terkereknya inflasi ke level 6,8 — 7,2 persen tahun ini (Kompas, 29/08/2022, “Risiko Kebijakan BBM Perlu Diantisipasi”).

Namun, mengacu pada tulisan-tulisan dalam buku BBM: Antara Hajat Hidup dan Lahan Korupsi, harga BBM bagaimanapun juga akan terus mengalami peningkatan. Pada akhirnya, pemerintah yang terus mengorbankan APBN untuk memenuhi kebutuhan politik dan tuntutan publik dengan pemberian subsidi BBM akan menjadikan masalah ini sebagai bom waktu – hanya menunda efek sungguhan yang pasti terjadi di ujung waktu.

Salah satu penyebab subsidi BBM hanya akan berdampak buruk pada pembangunan ekonomi nasional adalah terus meningkatnya harga minyak bumi. Peningkatan ini sendiri sudah menunjukkan sejumlah masalah – termasuk, terus berkurangnya ketersediaan minyak dunia, perubahan posisi pasar Indonesia dari produsen menjadi konsumen minyak, permainan pasar yang dilakukan oleh negara maju, dan lain sebagainya.

Oleh karena keniscayaan naiknya harga minyak tersebut, dalam buku tersebut Iwan Santosa menuliskan bahwa masalah minyak hanya akan menjadi “lingkaran setan” yang membelit Indonesia. Pemberian subsidi bukanlah solusi yang memutus lingkaran tersebut, justru sebaliknya. Pertambahan subsidi dari tahun ke tahun hanya akan terus membebani keuangan negara akibat kebijakan yang salah sasaran.

Selain itu, pemberian subsidi juga menghapus sensitivitas dan ketergantungan masyarakat. Iwan mengutip pengamat ekonomi Faisal Basri yang mengatakan bahwa subsidi BBM justru membuat konsumsi terhadapnya meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena harganya yang murah, masyarakat tidak memiliki sensitivitas terhadap kondisi pasokan minyak yang sesungguhnya kian langka dan tak dapat diperbaharui.

Menurut Faisal Basri, pemberian subsidi membuat penggunaan BBM jauh dari kata efektif. Tidak adanya sensitivitas atas kelangkaan BBM, membuat pertumbuhan kendaraan bermotor kian tidak terkendali. Pembelian kendaraan motor pribadi pun terus meningkat dalam angka yang tinggi. Lebih lanjut, hal ini membuat masyarakat kian berjarak dengan penggunaan kendaraan umum yang sejatinya merupakan solusi dari kemacetan dan permasalahan urban lainnya.

Mengacu pada Kompas (30/8/2022, “Terbiasa Menikmati Murahnya Harga BBM Bersubsidi”), masyarakat Indonesia jelas sudah begitu terlena dalam penyediaan BBM bersubsidi oleh pemerintah. Dengan mengutip data Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia (HEESI) 2021 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dipaparkan bahwa 90 persen konsumsi BBM kendaraan masyarakat Indonesia merupakan konsumsi bensin bersubsidi. Dalam periode 2017–2021, rata-rata sekitar 83 persen bensin yang dikonsumsi masyarakat Indonesia per tahun adalah jenis subsidi.

Pada 2021, seiring dengan peniadaan bensin jenis Premium, konsumsi Pertalite langsung melonjak menjadi sekitar 71 persen dari seluruh konsumsi BBM jenis bensin. Laporan ini memprediksi bahwa pada tahun 2022, Pertalite akan semakin mendominasi konsumsi bensin nasional. Hal ini bertolak dari penetapan RON 90 sebagai kadar minimal untuk Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) sejak Maret 2022.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga antre membeli bahan bakar minyak di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Sabtu (3/9/2022). Pemerintah mengumumkan menaikkan harga bahan bakar minyak. Pertalite yang semula Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, Solar subsidi yang semula Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, Pertamax yang semula Rp 12.5000 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.

Ketepatan Sasaran dan Komunikasi publik

Agar kenaikan BBM berjalan dengan efektif dan tidak menjadi kontra-produktif, maka perlu dipikirkan strategi-strategi yang solutif. Strategi ini juga diperlukan agar perubahan harga dapat disosialisasikan dengan baik, menghindari terjadinya konflik, dan bantuan alternatif mencapai perwujudannya yang sesuai target.

Kembali mengacu pada Kompas (29/8/2022, Kenaikan Harga BBM dan Perlindungan Sosial), pemerintah Indonesia sendiri sesungguhnya memiliki pengalaman kaya dalam mengelola pengurangan subsidi energi dengan tertib dan tanpa gejolak, secara khusus dalam perihal subsidi BBM. Oleh karena itu, pengalaman ini mampu menjadi modal refleksi dan pembelajaran dewasa ini.

Salah satu pengalaman spesifik adalah pada tahun 2005 dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu, negara dihadapkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Mengacu pada waktu-waktu sebelumnya, kebijakan menaikkan harga BBM akan selalu menimbulkan berbagai protes. Untuk menanggulangi dan meminimalisir potensi tersebut, pemerintah lantas berencana memberikan kompensasi langsung kepada rumah tangga miskin dan rentan.

Namun, yang menjadi kendala pada masa itu adalah belum tersedianya data rumah tangga miskin dan rentan untuk mendistribusikan kompensasi tersebut. Akhirnya, pada Maret 2005 pemerintah memutuskan untuk hanya menyesuaikan harga BBM 29 persen dan tidak menaikkan harga minyak tanah yang pada masa itu jadi konsumsi terbanyak oleh masyarakat miskin dan rentan.

Setelah enam bulan Badan Pusat Statistik (BPS) berhasil melaksanakan pendataan rumah tangga miskin dan rentan. Hasilnya diperoleh jumlah 19,1 juta rumah tangga yang terdata miskin. Melalui daftar ini, pemerintah lantas memberikan kompensasi berupa BLT sebesar Rp100.000 per bulan selama satu tahun.

Oleh karena sudah dimungkinkannya pemberian kompensasi, pada Oktober 2005, pemerintah lantas menaikkan harga BBM sebesar 114 persen dan harga minyak tanah hampir tiga kali lipat. Pemberian BLT kepada 19,1 juta rumah tangga ini menjadi pemberian BLT terbesar di dunia.

Jalan menghadirkan kompensasi dari kenaikan harga BBM juga dimuat dalam tulisan Buyung Wijaya Kusuma pada buku BBM: Antara Hajat Hidup dan Lahan Korupsi. Buyung percaya bahwa pemerintah sesungguhnya sangat bisa mengurangi subsidi BBM tanpa membuat reaksi penolakan dari rakyat. Cara yang ia gagas adalah melalui pemberian energi alternatif sebagai pengganti BBM bagi rakyat. Gas dan listrik menjadi wujud alternatif energi yang dapat diusahakan.

Selain menghadirkan alternatif maupun kompensasi, keberhasilan mengelola kondisi pasca-kebijakan pengurangan subsidi BBM juga tak lepas dari komunikasi publik yang efektif. Narasi penyampaian pesan yang kuat perlu dibangun. Narasi tersebut harus menyampaikan bahwa tujuan pengalihan subsidi BBM semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan pembangunan di masa depan. Penyampaian narasi demikian perlu disampaikan dengan baik dan benar kepada semua pihak serta secara terus-menerus.

Pada akhirnya, dengan berbagai perangkat perlindungan sosial yang tersedia dan variasi kebutuhan, saatnya subsidi energi sebesar Rp502,4 triliun dikelola kepada kelompok yang paling membutuhkan. Mengacu pada pengalaman bangsa Indonesia sendiri, dengan tersedianya perlindungan sosial yang tepat sasaran, pengadaan energi alternatif, serta komunikasi publik yang baik, pengalihan subsidi BBM dapat diterima semua pihak. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Ghazali, et.al. 2005. BBM, Antara Hajat Hidup dan Lahan Korupsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Arsip Kompas
  • “Jaga Daya Beli, Tiga Bantalan Disiapkan”. Kompas, 30 Agustus 2022, Hlm. 1 dan 15.
  • “Kenaikan Harga Perlu Diikuti Pembenahan”. Kompas, 4 September 2022, Hlm. 1 dan 15.
  • “Opini: Kenaikan Harga BBM dan Perlindungan Sosial”. Kompas, 29 Agustus 2022, Hlm. 6.
  • “Rencana Kenaikan Harga BBM”. Kompas, 30 Agustus 2022, Hlm. 2.
  • “Subsidi Dinikmati Warga Mampu”. Kompas, 27 Agustus 2022, Hlm. 1 & 15.
  • “Subsidi Tepat Sasaran Jadi Fokus Pemerintah”. Kompas, 31 Agustus 2022, Hlm. 1 dan 15.
  • “Harga BBM Nonsubsidi Turun, Pertalite-Biosolar Masih Sama”. Kompas.id., 1 September 1 2022. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/09/01/harga-bbm-nonsubsidi-turun-pertalite-biosolar-masih-sama
  • “Harga BBM Subsidi Naik, Beban Nelayan Kecil Kian Berat”. Kompas.id., 29 Agustus 2022, Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/08/29/nelayan-kecil-di-pantura-jateng-khawatir-harga-bahan-bakar-subsidi-naik
  • “Mengencangkan Tali Pinggang untuk Bertahan Hidup”. Kompas.id., 7 April 2022. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/metro/2022/04/06/mengencangkan-tali-pinggang-untuk-bertahan-hidup
  • “Meski Belum Dicabut, Pekan Ini Pemerintah Alihkan Subsidi BBM ke Bansos Rp 24,17 Triliun”. Kompas.id., 29 Agustus 2022. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/08/29/alihkan-subsidi-bbm-pemerintah-siapkan-bantalan-sosial-rp-2417-triliun
  • “Waspadai Efek Rambatan Kenaikan Harga BBM Subsidi”. Kompas.id., 30 Agustus 2022.Diambil kembali dari kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/08/30/waspada-efek-rambatan-kenaikan-harga-bahan-bakar-minyak-subsidi
Internet
  • Putri, I. O. (2022, Agustus 31). Presiden RI Salurkan BLT BBM Agar Daya Beli Masyarakat Lebih baik. Diambil kembali dari kemensos.go.id: https://kemensos.go.id/presiden-ri-salurkan-blt-bbm-agar-daya-beli-masyarakat-lebih-baik