Paparan Topik

Sejarah Berakhirnya Kolonialisme Hindia Belanda

Negara Hindia Belanda menjadi salah satu wilayah jajahan paling penting bagi Kerajaan Belanda sejak abad ke-19 sampai ke-20. Namun, negara ini runtuh pada tahun 1942 setelah diserang oleh Jepang dalam Perang Dunia II.

IPPHOS

Pasukan TNI tetap siap bersiaga (1/8/1950)

Fakta Singkat

Tanggal didirikan Hindia Belanda:

19 Agustus 1816

Tanggal dibubarkan Hindia Belanda:

8 Maret 1942

Penyebab bubarnya Hindia Belanda:

  • Ekspansi Jepang yang cukup masif sejak tahun 1930-an di Hindia Belanda membuat banyak orang Jepang telah banyak tinggal di Hindia.
  • Pemerintah Hindia Belanda tidak mendapat banyak dukungan dari bumiputra maupun dari Kerajaan Belanda yang saat itu diduduki oleh Jerman dalam Perang Dunia II.
  • Rakyat bumiputra tidak banyak yang membantu Hindia Belanda melawan Jepang karena termakan propaganda Jepang sebagai negara yang akan membebaskan Asia dari belenggu kolonialisme Barat. Selain itu, rakyat bumiputra menaruh kekecewaan kepada pemerintah Hindia Belanda karena banyak tokoh nasionalis yang ditangkap.

Kerajaan Belanda telah menancapkan kekuasaannya di Hindia Belanda sejak berakhirnya kongsi dagang Vereenigde Oost Indies Compagnie (VOC) tahun 1799. Setelah itu, Kerajaan Belanda mengontrol wilayah Hindia sebagai bagian dari negara kolonial. Belanda pun rela melakukan peperangan dengan negara-negara Barat lain dan kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menguasai wilayah Hindia secara penuh.

Belanda melihat wilayah Hindia Belanda adalah sumber pemasukan yang cukup besar bagi negara induk Belanda. Dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia bumiputra Hindia, negara Belanda mendapatkan keuntungan besar.

Namun, pemerintah Hindia Belanda tidak mampu mempertahankan wilayahnya ketika Jepang melakukan ekspansi ke Asia sejak tahun 1930-an. Jepang yang telah menanamkan benih-benih ekspansi di Hindia mendapatkan hasilnya. Sejak peristiwa Pearl Harbour tahun 1941 tidak lama kemudian pada tahun 1942 Jepang dapat dengan mudah menguasai Hindia Belanda.

Politik Hindia Belanda dan Malaise

Kebijakan Politik Etis yang dijalankan di Hindia Belanda sejak awal abad ke-20 membawa pengaruh yang cukup besar bagi kaum bumiputra. Tidak hanya modernitas yang diperkenalkan oleh orang-orang barat. Kesadaran akan nasionalisme dan keinginan untuk lepas dari penjajahan juga berkembang di tanah Hindia.

Banyak dari kalangan terpelajar bumiputra mulai membentuk organisasi yang didasarkan pada keinginan agar negeri Hindia bisa lepas dari negara induk Belanda. Bahkan sejak awal abad ke-20 organisasi tersebut mulai berkembang. Sebut saja Boedi Oetomo, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan lainnya.

Pergerakan di tanah Hindia kerap menyuarakan sikap-sikap untuk merdeka dan menolak segala bentuk kolonialisme Belanda di Hindia. Akibatnya, pada dekade awal abad ke-20, banyak dari golongan nasionalis ini dibuang dan dijauhkan dari masyarakat agar tidak memberikan pengaruh lebih bagi rakyat bumiputra. Soewardi Soerjaningrat, Semaoen, Tjipto Mangoenkoesoemo adalah beberapa nama yang dibuang ke negeri Belanda.

Pada November 1926, Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda di Banten dan Batavia. Pemberontakan ini juga terjadi di Padang tahun 1927. Aksi ini kemudian gagal karena tidak didukung oleh organisasi, bahkan Tan Malaka pun yang merupakan agen Comitern untuk wilayah timur menolak aksi tersebut.

Meskipun pemberontakan ini gagal dan para simpatisannya ditangkap serta dibuang ke Boven Digul, pengaruhnya cukup besar bagi Hindia Belanda. Sepanjang dua dekade awal abad ke-20, politik etis dinilai membawa pengaruh buruk bagi Hindia Belanda. Anggota parlemen di negeri Belanda kemudian melakukan protes dan meninjau kembali kebijakan etis di negeri Hindia Belanda.

Pada tahun 1930, parlemen negeri Belanda dikuasai oleh kelompok Roman-Katholieke Staats-Partaij (RKSP) yang bersikap kritis terhadap golongan nasionalis bumiputra Hindia. Bagi RKSP golongan bumiputra tidak dapat diajak untuk bekerja sama dan mendorong agar pemerintah Belanda untuk menerapkan kebijakan konservatif dibandingkan dengan Politik Etis. Kebijakan ini juga didukung oleh golongan protestan sayap kanan yang diwakili oleh Anti-Revolutionaire Partij.

Christopher Reinhart, dalam bukunya yang berjudul Mempertahankan Imperium, menjelaskan bahwa konservatif adalah usaha mempertahankan status quo dan tatanan lama, sebagai perpanjangan tangan arah Tuhan yang mewujud dalam pemerintahan. Prinsip ini yang kemudian membuat golongan konservatif di Belanda didukung oleh partai-partai agama.

Golongan konservatif menilai bahwa pergerakan di Hindia adalah usaha untuk memindahkan kekuasaan dari tangan pemerintah ke tangan rakyat. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip golongan konservatif yang lebih ingin memperkuat pemerintahan dibandingkan dengan memberikan kekuasaan pada rakyat. Selain itu, golongan konservatif melihat pergerakan di Hindia justru mengganggu ketentraman negara.

Pada Mei 1931, Kerajaan Belanda menunjuk Jhr. Bonifacius Cornelis de Jonge sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru. Sejak saat itu, Hindia Belanda mulai menerapkan gaya pemerintahan koservatif. Segala bentuk pemikiran nasionalisme akan ditangkap dan dijauhkan dari masyatakat. Keadaan ini membuat politik bumiputra harus berhadapan dengan aksi-aksi represif dari pemerintah.

Pada awal pemerintahannya, Gubernur Jenderal De Jonge mengubah tugas dan fungsi dari Politieke Inlichtingen Dients (PID), dari yang semula sebagai badan pengamat pergerakan menjadi badan pengawas pergerakan. PID mengawasi tokoh-tokoh bumiputra yang beraliran nasionalis untuk menghindari pergerakan melawan pemerintahan. Akibatnnya, PID dikenal sebagai lembaga yang mengantarkan para tokoh bangsa ke dalam balik jeruji.

Kebijakan Gubernur Jenderal De Jonge untuk menangkap para golongan nasionalis tidak dapat dilepaskan dari kondisi Hindia Belanda yang terdampak krisis ekonomi global. Krisis ekonomi dunia tahun 1929 atau Malaise berpengaruh pada ekonomi Hindia Belanda maupun di negeri induk Belanda.

Krisis ekonomi global 1929 terjadi akibat saham Amerikat jatuh. Kondisi ini pun berdampak pada negara-negara Eropa. Negara jajahan Eropa pun ikut terdampak. Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java: Colonial Relationships in Trade and Finance, 1800-1942 menyebut ekspor di Hindia mengalami penurunan, sementara impor semakin tinggi. Hal ini berujung pada malapetaka di masyarakat, yakni pemotongan gaji, pengangguran, kenaikan pangkat yang cenderung lambat, dan penurunan biaya hidup. Saat itu, banyak tenaga kerja sulit mencari pekerjaan.

Keadaan masyarakat bumiputra yang semakin tertekan oleh kemiskinan membuat mereka melakukan aksi protes. Situasi inilah yang kemudian membuat Gubernur Jenderal De Jonge lebih banyak menangkap masyarakat bumiputra yang dianggap berbahaya bagi ketentraman dan kedamaian negeri Hindia.

Anggaran pemerintahan Hindia Belanda pun kemudian mengalami defisit karena ekspor yang semakin lesu. Maka untuk menyiasati keadaan ini, pemerintah kemudian menerapkan kebijakan impor dari Jepang karena barang dari Eropa biayanya cukup mahal. J.S. Furnivall dalam bukunya Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk memperlihatkan pada dekade ketiga abad ke-20 impor Jepang ke Hindia meningkat signifikan setiap tahunnya.

Kondisi Hindia Belanda yang semakin tertekan dengan krisis ekonomi dan gejolak politik membuat Kerajaan Belanda berniat untuk mengganti De Jonge. Oleh karena itu, pada tahun 1936 ditunjuklah seorang diplomat yang cocok untuk mengisi jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, yakni Jhr. Mr. A.W.L. Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer.

IPPHOS

Tentara Jepang yang dilucuti oleh TKR siap di angkut ke Pelabuhan Pasuruan pada tanggal 28/04/1946.

Jepang dan Penetrasi ke Hindia

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mengganti negara asal impor dari negara-negara Eropa menjadi Jepang justru membawa malapetaka. Sepanjang tahun 1930-an barang-barang impor dari Jepang masuk dalam volume yang tinggi ke Hindia Belanda. Apalagi barang-barang Jepang tersebut memiliki nilai jual yang sangat murah sehingga digemari oleh masyarakat bumiputra.

Pada awal abad ke-20 Jepang memiliki ambisi untuk menjadi negara yang dapat menguasai wilayah Asia Timur secara luas. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari Restorasi Meiji yang dilakukan Jepang pada abad ke-19. Sejak saat itu, Jepang menjadi negara yang belajar kepada Barat untuk membangun sebuah negara yang makmur.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul gerakan Pan Asia yang dimotori oleh Jepang. Mereka beranggapan bahwa bangsa Asia memiliki kesetaraan yang sama dengan bangsa-bangsa dari Barat. Hasilnya pun tidak terduga, di mana Jepang menjadi satu-satunya bangsa Asia yang mampu mengalahkan Rusia dalam perang Jepang-Rusia tahun 1904–1905.

Atas dasar inilah Jepang kemudian melebarkan imperialismenya ke negara-negara tetangganya, seperti Tiongkok dan Korea. Jepang juga berkeinginan menyebarkan pengaruhnya ke seluruh wilayah Asia yang saat itu banyak dikuasai negara-negara Barat.

Namun, penyebaran pengaruh Jepang ke wilayah Asia khususnya di Hindia Belanda tidak dilakukan secara terbuka. Mereka melakukan aksi-aksi spionase dan propaganda melalui simbol-simbol yang tidak banyak diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda. Apalagi sejak tahun 1930-an secara diam-diam Jepang mulai mengintai tanah Hindia Belanda pasca-dibukanya keran impor.

Sebelum tahun 1930-an, orang Jepang sendiri sudah ada yang tinggal dan menetap di Hindia Belanda. Dalam jurnal yang berjudul Aksi dan Propaganda Jepang Sepanjang Tahun 1930–1942 Sebelum Pendudukannya di Hindia Belanda tercatat bahwa tidak ada mengetahui orang Jepang pertama kali datang ke Hindia pada tahun berapa. Namun, arsip sejarah diplomatik yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Jepang menyebutkan bahwa orang Jepang sudah ada di Hindia sejak tahun 1912.

Keberadaan orang Jepang di Hindia pada tahun itu bertujuan untuk melakukan perdagangan. Selain itu, ada juga orang Jepang yang berprofesi di bidang pertanian, perikanan, pertambangan, manufaktur, transportasi, dan lain sebagainya. Melihat ini semua dapat dipastikan bahwa hubungan orang Jepang dengan Hindia Belanda sudah terjalin cukup lama dan hanya sebatas pada profesi saja.

Kedatangan imigran Jepang ke Hindia semakin meningkat sejak tahun 1930-an berbarengan dengan membanjirnya barang-barang Jepang ke Hindia juga. Saat bersamaan, di negeri Jepang muncul paham bahwa Jepang merupakan bangsa pemimpin dan bangsa penyelamat bagi bangsa-bangsa di Asia. Paham ini menganggap Jepang adalah negara yang akan melepaskan Asia dari cengkeraman kolonialisme bangsa Barat. Atas dasar inilah orang Jepang melakukan perjalanan ke selatan baik melalui jalur resmi maupun tidak resmi.

Membanjirnya barang-barang Jepang di Hindia juga dimanfaatkan sebagai bentuk propaganda Jepang kepada masyarakat bumiputra. Harga produk yang terjangkau saat masyarakat mengalami krisis membuat bumiputera jatuh hati.

Sistem perdagangan Jepang di Hindia pun terlihat eksklusif di mana barang-barang mereka hanya dijual di toko-toko milik orang Jepang saja. Secara finansial, dana mereka diatur oleh bank-bank Jepang di Hindia Belanda. Hasilnya barang-barang Jepang ini mampu menggeser produk-produk dari dalam negeri maupun Eropa.

Namun, para imigran Jepang ini tidak hanya bekerja sebagai pedagang, tetapi juga melakukan kontak dengan pemerintah Jepang terkait kondisi di Hindia Belanda. Mereka inilah yang dikenal sebagai agen-agen spionase Jepang. Spion-spion Jepang banyak yang melakukan penyamaran seperti menjadi wartawan, nelayan, tukang potret, kuli, penunggu toko kelontong, orang yang mengoperasikan rumah pelacuran, hingga menjadi bintang film.

Selain itu, mereka juga melakukan indoktrinasi kepada penduduk bumiputra bahwa Jepang datang sebagai penyelamat bangsa Asia. Orang Jepang melakukan propaganda tentang anti-Barat dan menyerukan kepada penduduk bumiputera untuk anti-imperialisme Barat.

Akibatnya, banyak dari masyarakat bumiputra mulai tertarik dengan Jepang terlebih pergerakan nasional melawan Belanda terus dibelenggu oleh pemerintah. Keadaan di Hindia Belanda pun semakin runyam yang kemudian membuat Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer turun tangan.

IPPHOS

Tentara Jepang yang dilucuti oleh pasukan TKR (28/04/1946).

Jepang Bergerak

Jepang semakin menunjukkan kekuatannya kepada dunia sebagai salah satu negara di Asia yang setara dengan negara-negara di Barat. Pada Januari 1941 Laksamana Yamamoto memberitakan kepada Washington rencana untuk menyerang Pearl Harbour. Namun, rencana tersebut tidak ditanggapi oleh Amerika Serikat.

Pada 8 November 1941, Washington mengetahui isi telegram dari Perdana Menteri Jepang Tojo kepada Nomura, wakil Jepang dalam perundingan dengan Amerika Serikat. Isi dari telegram tersebut menyatakan bahwa hasil perundingan perang antara Jepang dengan Amerika Serikat harus dicapai selambatnya tanggal 23 November 1941. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer mengeluarkan pernyataan perang dengan Jepang.

Tanggal 27 November 1941, Amerika Serikat mengeluarkan perintah untuk berjaga-jaga apabila Jepang mulai menyerang. Namun, secara tidak terduga, tanggal 7 Desember 1941 Jepang membombardir Pearl Harbour yang saat itu belum siap menerima penyerangan dari Jepang. Dalam hitungan jam, Pearl Harbour luluh lantak dan pangkalan Amerika Serikat pun lumpuh.

Sesaat setelah peristiwa Pearl Harbour tersebut, pemerintah Belanda mulai melakukan perundingan atas sikap Jepang. Apalagi Jepang semakin kuat di wilayah Asia dan mengancam keberadaan Hindia Belanda. Pada 8 Desember 1941, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer mengeluarkan pernyataan untuk memulai perang dengan Jepang.

Pernyataan gubernur jenderal tersebut kemudian ditanggapi oleh Jepang pada 1 Januari 1942 untuk melakukan perjanjian damai dengan Hindia Belanda. Namun, pihak Hindia Belanda menolak karena mengikuti negara sekutunya yakni Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda yang terlebih dahulu menyatakan perang kepada Jepang.

Sejak saat itu, Jepang mulai melakukan penyerangan ke beberapa wilayah di Hindia Belanda mulai 10 Januari 1942 dengan menyerang Tarakan. Pada tanggal yang sama Jepang juga menyerang Manado dan Palembang. Wilayah-wilayah Hindia Belanda kemudian dengan mudah ditaklukkan oleh Jepang, terlebih orang-orang Jepang sudah lama bercokol di Hindia.

Pemerintah Hindia Belanda yang mulai kerepotan dengan aksi-aksi penyerangan Jepang di wilayah-wilayah Hindia mulai mengajak warga bumiputra untuk ikut serta berperang. Gubernur Jenderal Tjarda berpendapat bahwa Hindia Belanda harus diberikan kemandirian demi menarik rakyat Hindia memerangi Jepang. Namun, keputusan ini diragukan Kerajaan Belanda. Hindia Belanda merupakan satu-satunya wilayah politis Belanda.

Ide dari Gubernur Jenderal Tjarda ternyata tidaklah sesuai dengan harapannya. Rakyat Hindia Belanda juga menolak untuk membantu pemerintah Hindia Belanda melawan Jepang. Warga Hindia Belanda sudah terlanjur dikecewakan oleh sikap pemerintah yang telah memberangus para tokoh nasional. Mereka juga termakan oleh propaganda Jepang yang menyebutnya sebagai negara yang akan membebaskan Asia dari kolonialisme Barat.

Gubernur Jenderal Tjarda kemudian memerintahkan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook untuk mempersiapkan jalur pelarian melalui Lapangan Terbang Andir. Beberapa petinggi dan pejabat Hindia Belanda juga bersiap untuk mengungsi menuju Australia dan negara-negara jajahan terdekat.

Kejatuhan armada laut Amerika Serikat di Filipina oleh Jepang semakin membuat Hindia Belanda tertekan. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Batavia ke Bandung. Tentara Hindia Belanda dan Sekutu pun melihat pertahanan Hindia Belanda sudah tidak mungkin dipertahankan. Situasi tersebut membuat Kerajaan Belanda memerintahkan gubernur jenderal menyerahkan pimpinan perang ke tangan Jenderal Hein ter Poorten.

Tak lama berselang, pada 1 Maret 1942, Jawa dikepung oleh pasukan Jepang yang dipimpin Jenderal Hitoshi Imamura. Mereka mendaratkan pasukan-pasukannya di pantai utara Jawa. Kehadiran Jepang di Jawa membuat Hindia Belanda menyerah di Kalijati pada 8 Maret 1942. Titik inilah yang menjadi akhir negara Hindia Belanda. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Claver, Alexander. 2014. Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java: Colonial Relationships in Trade and Finance, 1800-1942. Leiden: KITLV.
  • Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute.
  • Goto, Ken‘Ichi. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Astuti, Meta Sekar Puji. 2008. Apakah Mereka Mata-mata? Orang-orang Jepang di Indonesia (1868-1942). Yogyakarta: Ombak.
  • 1987. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: PT Gramedia.
  • Reinhart, Christopher. 2021. Mempertahankan Imperium: Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer dan Akhir Hindia Belanda. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
  • The Netherlands Information Bureau. 1942. Ten Years of Japanese Burrowing in The Netherlands East Indies: Official Report of The Netherlands East Indies Governement on Japanese Subversive Activities in The Archipelago During The Last Decade. New York: The Netherlands Information Bureau.
Jurnal

Wicaksana, Martinus Danang Pratama, dan Yerry Wirawan. “Aksi dan Propaganda Jepang Sepanjang Tahun 1930-1942 Sebelum Pendudukannya di Hindia Belanda”. Bandar Maulana: Jurnal Sejarah dan Budaya Vol. 24 No. 1 2019.