Paparan Topik | Peringatan Pemberontakan Peta

Tentara Peta: Sejarah Pembentukan dan Pemberontakan di Blitar 1945

Tentara Peta dibentuk sebagai pasukan pertahanan wilayah. Pemberontakan Peta di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945, dimotori oleh seorang komandan peleton, Supriyadi.

IPPHOS

Calon tentara republik Indonesia yang akan membela tanah air.

Fakta Singkat

Tentara Peta

  • Dibentuk pada 3 Oktober 1943 dengan Osamu Sirei Nomor 44
  • Usulan pendirian: Gatot Mangkupradja, Sukarno, Beppan (intelijen di markas besar tentara keenambelas Jepang)
  • Dibentuk sebagai pasukan pertahanan wilayah dari serangan Sekutu
  • Pelatihan perwira dilakukan di Bogor

Pangkat Tentara Peta

  • Komandan Batalion (daidanco)
  • Komandan Kompi (chudanco)
  • Komandan Peleton (shodanco)
  • Komandan Regu (budanco)

Pemberontakan Peta di Blitar

  • Terjadi pada 14 Februari 1945
  • Dimotori oleh komandan peleton (Shodanco) Supriyadi
  • Diatasi Jepang dengan pengerahan pasukan dan perundingan
  • Enam orang dihukum mati
  • Keberadaan Supriadi masih misteri
  • Menginspirasi pemberontakan Peta di wilayah lain hingga Peristiwa Rengasdengklok

Pemberontakan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta) terjadi pada 14 Februari 1945. Meskipun bukan merupakan hari besar nasional, peristiwa tersebut diperingati oleh berbagai kalangan di Indonesia.

Pemberontakan tentara Peta di Blitar dianggap sebagai cikal bakal keberanian yang menginspirasi pemberontakan Peta di wilayah lain hingga peristiwa Rengasdengklok pada Agustus 1945.

Arsip Kompas mencatat, pada 14 Februari 1973, pemberontakan Tentara Peta di Blitar melawan Jepang diperingati oleh seluruh pejabat militer dan sipil Departemen Hamkam di Jakarta (Kompas, 15/2/1973).

Di Kota Blitar, peristiwa pemberontakan tentara Peta rutin diperingati dengan berbagai kegiatan. Pada tahun 2020, kegiatan peringatan dilakukan dengan doa bersama, deklarasi Hari Cinta Tanah Air, serta drama kolosal.

Pada tahun 2021, kegiatan peringatan pemberontakan Peta di Blitar berlangsung dengan lebih sederhana tanpa drama kolosal karena adanya pandemi Covid-19. Peringatan kali ini difokuskan pada  deklarasi agar tanggal 14 Februari ditetapkan sebagai Hari Cinta Tahan Air. Peringatan yang dipusatkan di Taman Makam Pahlawan (TPM) Raden Wijaya tersebut melibatkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Blitar, perwakilan komunitas, organisasi kepemudaan, mahasiswa, pelajar, dan pemuda Blitar Raya.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)

Museum Pembela Tanah Air (Peta) berada di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Bogor, Sabtu (30/7/2016). Museum Peta merupakan salah satu museum sejarah di Kota Bogor yang didirikan untuk mengenang perjuangan para tentara Peta dalam merintis kemerdekaan Indonesia.

Pembentukan Tentara Peta

Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 oleh panglima tertinggi tentara keenambelas (Rikugun) Jepang yang menguasai wilayah Jawa dan Madura. Pada awalnya, pasukan ini hanya disebut “Tentara Sukarela”. Baru pada pertengahan tahun 1944 populer disebut sebagai Pembela Tanah Air (Peta).

Dari sisi Jepang, pembentukan pasukan pembela tahah air diarahkan sebagai kekuatan pertahanan wilayah untuk menghadapi kedatangan Sekutu. Pasukan ini bukan bagian dari militer Jepang seperti Heiho. Sebagai pasukan sukarela pertahanan wilayah, pasukan Peta juga tidak disiapkan untuk dikirim ke luar Jawa seperti Heiho. Pasukan Peta disiapkan untuk mempertahankan daerah-daerah karesidenan setempat.

Ide pembentukan Peta memiliki sekurangnya empat versi. Versi pertama menyatakan bahwa panglima tertinggi tentara keenambelas Letnan Jenderal Kumakichi Harada mengumumkan pembentukan Peta sebagai perintah langsung dari Tokyo dan Saigon.

Pendapat kedua merujuk pada Sukarno An Autobiography. Sukarno menyatakan bahwa pembentukan Peta merupakan bagian dari rencana kerjanya. Sukarno menyatakan bahwa dirinya diminta oleh penguasa Jepang untuk menemukan kandidat perwira yang tepat untuk memulai program tersebut. Oleh karena itu, ia menyodorkan nama Gatot Mangkupradja untuk memulai pembentukan Peta.

Pendapat lain dikemukakan oleh Gatot Mangkupradja. Ia menyatakan bahwa proposal pembentukan pasukan sukarela pembela tanah air merupakan inisiatif pribadinya. Ia menyerahkan usulan tersebut kepada dinas intelijen khusus (Sambobu Tokubetsu-ham/Beppan) di markas besar tentara keenambelas setelah sebelumnya menuliskan usulannya di koran Tjahaya. Letnan Yanagawa yang menerima usulan Gatot kemudian menyetujuinya. Bahkan, untuk menegaskan keseriusannya, Gatot kemudian menulis surat permohonan pembentukan pasukan sukarela dengan darahnya.

Versi berbeda dinyatakan oleh Beppan yang merupakan bagian dari markas besar tentara keenambelas (Jawa-Madura). Beppan menunjuk Gatot untuk mengusulkan pembentukan tentara sukarela agar muncul kesan bahwa usulan berasal dari bangsa Indonesia, bukan Jepang.

Terlepas dari berbagai versi di atas, tentara keenambelas di Jawa kemudian mengeluarkan Osamu Sirei Nomor 44 pada 3 Oktober 1943. Penetapan tersebut berisi pembentukan pasukan sukarela untuk membela tanah air disebut juga Boei Giyugun. Dalam Osamu Sirei Nomor 44, disebutkan bahwa tentara sukarela pembela tanah air dibentuk untuk memenuhi keinginan penduduk di Jawa untuk membela tanah airnya dari serangan Sekutu. Disebutkan pula bahwa tentara sukarela tersebut akan beranggotakan penduduk asli dan berada di bawah perintah panglima tertinggi (saiko shikikan).

IPPHOS

Gatot Mangkupradja berfoto dalam peringatan Tri Dasawarda Partai Nasional Indonesia.  Gambar dari kiri: Suwirjo, Presiden Soekarno, Gatot Mangkupradja dan M Sujudi.

Kepangkatan dan Pendidikan Peta

Struktur organisasi tentara Peta terdiri atas lima jenjang kepangkatan yang diberikan berdasarkan kelas sosial dan pendidikan. Pertama adalah komandan batalion yang disebut daidanco. Mereka yang mendapat pangkat tersebut berasal dari kalangan pejabat birokrasi, pemuka agama, penegak hukum, maupun pamong praja.

Di bawah daidanco terdapat pangkat komandan kompi atau chudanco. Mereka ini kebanyakan berasal dari latar belakang pengajar atau guru. Selanjutnya terdapat pangkat komandan peleton atau shodanco. Pangkat ini disandang oleh mereka yang berpendidikan minimal sekolah menengah. Kemudian komandan regu atau budanco yang diberikan kepada mereka yang berpendidikan minimal sekolah dasar. Di posisi terbawah terdapat pangkat prajurit atau giyuhei. Mereka dipilih dari para pemuda yang belum pernah mendapatkan pendidikan.

Tentara Peta dikenal dengan seragamnya yang berwarna hijau dengan kerah leher putih, celana hijau, sepatu karet dengan setiwel lengkap, dan topi lapangan (bushi) yang juga berwarna hijau. Sedangkan, para perwiranya mengenakan jas berwarna hijau, juga dengan kerah putih, sepatur lars, dan pedang samurai di pinggang (Kompas, 14/2/1970).

Pendidikan calon tentara Peta dipusatkan di Bogor yang berada di bawah unit pelatihan (kyoikutai department of the renseitai) bernama Jawa Boei Giyugun Kanbu Resentai yang kemudian disebut juga Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyu Iku Tai. Pelatihan tersebut berada di bawah bagian intelijen khusus tentara Jepang (Beppan) menggunakan bekas barak KNIL. Perwira Jepang yang bertanggung jawab untuk melatih tentara Peta adalah Letnan Yanagawa. Ia juga merupakan staf Beppan yang membentuk Peta.

Sebelum secara resmi dibentuk Peta, Beppan juga telah mendirikan pusat pelatihan di Tangerang (Tangerang Seinen Dojo) untuk melatih para pemuda.  pelatihan di Tangerang ini kemudian ditutup setelah Peta dibentuk. Lulusan pusat pelatihan Tangerang ini kemudian terlibat sebagai instruktur Peta di pusat pelatihan Bogor.

Yanagawa, salah satu instruktur Peta dalam artikel Kompas. “Agustus 1945 Indonesia Masih Nol dalam Soal Tentara”, Kompas, 19 Agustus 1978, hlm. 1.

Pelatihan di Bogor angkatan pertama berlangsung dari 18 Oktober hingga 7 Desember 1943. Mereka yang dilatih di Bogor adalah calon perwira komandan bation (daidanco), komandan kompi (chudanco), komandan peleton (shodanco), serta komandan regu (budanco).

Seluruh pendidikan di Bogor diarahkan untuk membentuk semangat membela tanah air. Pelatihan untuk daidanco cukup singkat, sekitar satu setengah bulan. Mereka dilatih kepemimpinan serta kemampuan merekrut anggota batalionnya. Sedangkan, pelatihan untuk chudanco berlangsung sekitar tiga bulan. Setelah selesai pelatihan, para chudanco dikirim kembali ke daerahnya untuk melatih anggota kompinya masing-masing.

Pelatihan untuk pimpinan kompi dan peleton berisi hal terkait teknis militer, terutama pengamanan wilayah dan perang gerilya. Senjata yang digunakan untuk berlatih adalah senapan kayu karena Jepang khawatir digunakan untuk memberontak.

Setelah selesai dilatih, mereka disebar ke batalion atau daidan di sejumlah tempat di Jawa dan Madura untuk merekrut para pemuda di daerahnya untuk dijadikan komandan regu (budanco) dan prajurit (gyuhaei).

Organisasi Peta disusun berdasarkan wilayah dengan dua hingga lima batalion (daidan) di setiap karesidenan (shu). Untuk meminimalisasi bahaya bagi Jepang, tiap daidan tidak terhubung satu sama lain. Tiap daidan berada langsung di bawah komando tentara Jepang setempat. Komunikasi dengan tentara Jepang dilakukan oleh perwira Jepang yang dimasukkan dalam tiap daidan.

Pada November 1944, terdapat 66 batalion atau daidan Peta yang telah dibentuk di Jawa. Selain itu, pada Juni 1944 dibentuk tiga batalion Peta di Bali. Sebagai catatan, pada awalnya, hanya terdapat 35 batalion Peta mengikuti jumlah batalion Jepang (daitai) di Jawa. Selain itu, jumlah pasukan dalam satu batalion Peta hanya separuh dari jumlah pasukan dalam satu batalion Jepang, yakni 522 orang termasuk penasihat Jepang di tiap daidan. Hingga 1 Agustus 1945, terdapat 35.855 anggota Peta di Jawa dan 1.626 anggota Peta di Bali.

Berdasarkan jumlah batalion Peta tersebut, diperkirakan terdapat 70 orang Indonesia yang telah dilatih menjadi komandan batalion (daidanco), sejumlah 200 komandan kompi (chudanco), sejumlah 620 komandan peleton (shodanco), dan 2.000 komandan regu (budanco).

Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa terdapat beragam alasan para pemuda untuk bergabung dengan Peta. Mereka tertarik masuk Peta karena alasan pekerjaan dan gaji, membantu Jepang dalam perang, agar lepas dari kecurigaan Jepang, hingga kesadaran pentingnya wadah persiapan sebagai tentara jika Indonesia merdeka.

Pemberontakan Peta di Blitar

Batalion (daidan) Peta di Blitar dibentuk pada 25 Desember 1943, terdiri atas empat kompi (chudan). Daidan di Blitar merupakan satu dari tiga daidan di Karesidenan Kediri. Dua daidan lagi berada di Kediri dan Tulungagung (dibentuk setelah Kediri dan Blitar).

Pemberontakan tentara Peta di Blitar dipicu oleh kekecewaan terhadap situasi ekonomi pada zaman Jepang serta perlakukan kejam Jepang terhadap romusha. Para anggota Peta melihat situasi masyarakat petani di pedesaan yang semakin miskin karena kebijakan Jepang. Selain itu, saat bertugas menjadi penjaga romusha di pantai selatan pada pertengahan 1944, para tentara Peta Blitar melihat sikap Jepang yang sewenang-wenang terhadap para romusha.

Di samping itu, di dalam organisasi Peta sendiri terdapat kekecewaan karena perlakuan yang tidak setara antara perwira Jepang dan Indonesia. Salah satunya, terdapat kewajiban bagi seluruh perwira Peta, dari budanco hingga daindanco, untuk memberikan salam terlebih dahulu kepada serdadu Jepang, bahkan kepada prajurit Jepang berpangkat terendah.

Pemberontakan tersebut dimotori oleh komandan peleton (Shodanco) Supriyadi, lulusan pertama pelatihan Tangerang Seinen Dojo. Supriyadi, yang bernama kecil Priambodo, lahir pada 13 April 1926 di daerah Tulungagung. Ia merupakan anak Bupati Blitar, Darmadi. Sebelum masuk pendidikan dasar Peta, ia sempat menempuh pendidikan di HIS hingga Mosvia (Kompas, 14/2/1970).

Shodanco Supriyadi, penggagas pemberontakan Peta di Blitar, 14 Februari 1945. “Supriyadi- Siang Shodanco…”, Kompas, 25 Agustus 2008, hlm. 38.

Dalam mempersiapkan pemberontakan, Supriyadi dibantu oleh Shodanco Muradi dan Shodanco Suparjono. Suparjono pada saat itu merupakan wakil komandan batalion (daidan) Peta Blitar. Rencana pemberontakan juga melibatkan tiga budanco, yakni Sudarmo, Sunanto, dan Halir Mangkudidjaja.

Ide pemberontakan Supriyadi mendapatkan dukungan dari Chudanco dr Ismail (Ismangil), staf medis di Daidan Peta Blitar. Bahkan, Ismail dianggap sebagai pencetus gerakan tersebut mengingat Ismail adalah seorang intelektual dan lebih senior dari Supriyadi.

Perencanaan pemberontakan telah dimulai sejak bulan September 1944. Pada saat itu, direncakan untuk mengadakan kontak dengan batalion (daidan) lain untuk mengadakan pemberontakan. Rapat dilanjutkan pada November 1944 dengan melibatkan beberapa daidan Peta Jawa Timur dari Tulungagung, Kediri, Malang, Lumajang, Madiun, dan Surabaya. Perencanaan dilanjutkan pada Januari 1945 di Blitar. Bahkan, sempat direncanakan sebuah latihan bersama pemberontakan pada 19 Januari 1945, tetapi batal.

Pada 4 Februari dan 9 Februari 1945, Supriyadi mengumpulkan rekan-rekannya untuk segera melakukan pemberontakan sebelum diketahui Jepang. Akan tetapi, desakan Supriyadi belum disetujui dengan alasan bahwa daidan wilayah lain belum memberikan jawaban definitif atas usulan pemberontakan.

Akhirnya, pada 13 Februari 1945, Supriyadi kembali mengumpulkan rekan-rekannya untuk segera memberontak. Salah satu alasannya adalah Jepang dianggap sudah mengetahui rencana mereka, bahkan telah memberlakukan kebijakan pengurangan amunisi untuk Peta. Dengan alasan tersebut, mereka menyetujui segera dilaksanakan pemberontakan.

KOMPAS/A SUYATNA

Partohardjono pengibar bendera di alun-alun Blitar saat pemberontakan Peta Blitar.

Jalannya Pemberontakan

Pemberontakan didahului dengan keluarnya para anggota Peta dari markas pada tanggal 13 Februari 1945 tengah malam, pukul 23.00. Mereka berdalih ingin melakukan latihan malam (Kompas, 15 Februari 1981).

Pemberontakan dimulai pada pukul 03.00 pada tanggal 14 Februari 1945 dengan tembakan mortir ke arah Hotel Sakura. Hotel tersebut (eks Hotel van Rheeden) merupakan tempat tinggal para pembesar sipil Jepang  yang dalam keseharian berseragam dan bersenjata. Serangan juga diarahkan ke markas Kempetai yang terletak di samping barak daidan Peta Blitar dengan senapan mesin. Sekitar 360 orang terlibat dalam pemberontakan Peta di Blitar.

Dalam pemberontakan tersebut, direncanakan pula pengibaran bendera merah putih di lapangan depan markas Peta Blitar. Tugas tersebut diberikan kepada Shodanco Partohardjono. Bendera merah putih sempat berkibar selama dua jam sebelum kemudian diturunkan (Kompas, 15/8/1986).

Selanjutnya, mereka mendobrak penjara Blitar yang terletak di sebelah timur alun-alun Blitar untuk membebaskan para tahanan. Pasukan kemudian bergerak ke luar kota, dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok yang bergerak ke utara dipimpin Shodanco Sunardjo, pasukan yang ke timur dipimpin Budanco Sunanto. Kedua kelompok ini dipimpin oleh Shodanco Supriyadi. Sedangkan, kelompok yang bergerak ke arah barat dipimpin oleh tiga shodanco, yakni Muradi, Suparjono, dan S. Djono.

Pasukan Peta yang telah bersiap di perbatasan kota berupaya untuk mengantisipasi kedatangan bantuan Jepang dari tiga penjuru, yakni Kediri, Tulungagung, dan Malang. Bantuan pasukan sejumlah dua truk dari Surabaya yang masuk Blitar lewat Malang berhasil disergap oleh pasukan Supriyadi (Kompas, 14/2/1970).

Reaksi Jepang

Pemberontakan tersebut direspons dengan pengerahan satuan pasukan serta perundingan. Pasukan Jepang segera mengepung Blitar, yakni satu peleton dari batalion Katagiri yang datang dari arah Kediri dan satu kompi dari batalion yang sama datang dari arah Malang. Pasukan pemberontak kemudian disudutkan ke arah Gunung Kelud selatan bagian barat (Kompas, 15/2/1981).

Selain itu, para pembesar Jepang di Kediri, Tulungagung, Malang, dan Surabaya berkoordinasi dengan pusat di Jakarta. Ratusan tentara dan Heiho didatangkan ke Blitar. Agar berita pemberontakan tentara Peta Blitar tidak memicu pemberontakan di tempat lain, Jepang menutupi dengan pernyataan bahwa tentara Sekutu telah mendarat di pantai selatan Blitar. (Kompas, 17/2/1970).

Selain itu, Jepang juga melakukan perundingan dengan salah satu kelompok pemberontak, yakni dengan kelompok Shodanco Muradi. Dalam perundingan dengan Kolonel Katagiri, Muradi mengajukan empat syarat untuk kembali ke batalion. Pertama, mereka yang terlibat pemberotakan tidak akan dilucuti dan tak dikawal dalam perjalanan pulang. Kedua, pemberontak tidak dibawa ke pengadilan militer. Ketiga, Jepang akan mendisiplinkan tentara yang bertindak sewenang-wenang terhadap penduduk. Keempat, perwira Peta diperlakukan sejajar dengan tentara Jepang. Kolonel Katagiri memberikan pedangnya sebagai simbol persetujuan atas syarat yang diajukan Muradi. Dengan demikian, pasukan pimpinan Muradi kembali ke Blitar dengan senjata lengkap.

Di luar janji Kolonel Katagiri, Markas Besar Tentara Keenambelas di Jakarta meminta Kempetai untuk melakukan investigasi terhadap pemberontakan. Hasilnya, para pemimpin pemberontakan dipenjara dan diajukan ke pengadilan militer tiga minggu kemudian. Terdapat berbagai versi terkait jumlah mereka yang diadidli dan dikirim ke Jakarta, ada yang mengatakan 78, 68, maupun 55 orang.  Nugroho Notosusanto menyebut 55 orang diadili dan dikirim ke Jakarta, yang terdiri atas 2 chudanco, 8 shodanco, 35 budanco, dan 12 giyuhei.

KOMPAS/JB SURATNO

Sekretaris Yapeta Subroto Kusmohardjo (kiri) menyerahkan vandel Yapeta kepada Presiden Soeharto dalam kesempatan sarasehan dan ramah tamah Yayasan Peta (Yapeta) Pusat di Bina Graha, hari Senin (16/2/1987). Pada masa penjajahan Jepang, Presiden Soeharto juga anggota tentara Peta, berpangkat Chudancho di Dai I Daidan Yogyakarta Shu. Dalam acara yang dihadiri sekitar 120 bekas tentara Peta, hadir pula Wapres Umar Wirahadikusumah sebagai sesepuh Yapeta dan Ketua MPR/DPR Amirmachmud sebagai salah seorang anggota Badan Penasihat Yapeta.

Dari mereka yang diadili, sejumlah enam orang mendapatkan hukuman mati, enam orang yang lain dihukum seumur hidup, dan sisanya dihukum lebih ringan. Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa mereka yang dihukum mati adalah Chudanco dr Ismail (Ismangil), Shodanco Muradi, Shodanco Suparjono, Budanco Sunanto, Budanco Halir Mangkudijaja, dan Budanco Sudarmo.

Supriyadi sendiri menghilang. Berita tentang keberadaannya diliputi misteri. Salah satu versi menyatakan bahwa Supriyadi masih hidup dan sering mengunjungi rekan-rekannya, bahkan sempat bertemu dengan Presiden Soekarno. Versi lain menyatakan bahwa Supriyadi meninggal dalam pertempuran duel dengan salah satu pasukan Jepang bernama Gunsyo (sersan) Takeoda di sebelah utara Garum (Kompas, 15/2/1981). Akan tetapi, hingga saat ini keberadaan Supriyadi maupun makamnya masih belum diketahui.

Meskipun telah ditutup rapat, pemberontakan Peta di Blitar berhasil didengar oleh batalion Peta yang lain. Semangat revolusi yang dimulai dari Blitar kemudian ikut menguatkan tekad beberapa daidan lain untuk ikut memberontak, misalnya di Cilacap pada April 1945 dan di Cimahi. Selain itu, semangat pemberontakan Peta di Blitar juga terdengar sampai daidan di Rengasdengklok yang kemudian terlibat dalam penculikan Soekarno-Hatta pada Agustus 1945. (LITBANG KOMPAS)

Catatan Akhir

Daftar Personel Daidan Peta Blitar

Daftar Personel Daidan Peta Blitar

Komandan: Daidanco Surachmad

Wakil: 1) Shodanco Sukandar, 2) Shodanco Muradi

Staf

  • Medis: Chudanco Ismangil
  • Training: Chudanco Sukandar
  • Pioneers: Chudanco Sukeni
  • Artileri: Shodanco Suhardhi
  • Quartermaster: Shodanco Sumardi
  • Perbekalan: Shodanco Partohardjono
  • Colours: Shodanco Wahono, Shodanco Dasrip
  • Staf Shodanco: Shodanco Muljadi

Kompi 1

  • Komandan: Chudanco Suhud Prawiroatmodjo
  • Komandan Peleton 1: Shodanco Kusdi
  • Komandan Peleton 2: Shodanco Muljohardjono
  • Komandan Peleton 3: Shodanco S Djono

Kompi 2

  • Komandan: Chudanco Hasannawawi
  • Komandan Peleton 1: Shodanco Suparjono
  • Komandan Peleton 2: Shodanco Sunjoto
  • Komandan Peleton 3: Shodanco Mundjijat

Kompi 3

  • Komandan: Chudanco Tjiptoharsono
  • Komandan Peleton 1: Shodanco Supriyadi
  • Komandan Peleton 2: 1) Shodanco Muradi, 2) Shodanco Sunarjo
  • Komandan Peleton 3: 1) Shodanco Sukeni, 2) Shodanco Wahono

Kompi 4

  • Komandan: Chudanco Supatmo
  • Komandan Peleton 1: Shodanco Suwarma
  • Komandan Peleton 2: Shodanco Sukijat
  • Komandan Peleton 3: Shodanco Achijat

Sumber: Notosusanto, Nugroho. 1969.”The Revolt of a Peta-Battalion in Blitar” dalam Asian Studies 7:1 (1969).

Referensi

Arsip Kompas
  • “25 Tahun Pemberontakan PETA di Blitar” (bagian 2), Kompas, 17 Februari 1970, hlm.
  • “25 Tahun Pemberontakan PETA di Blitar”, Kompas, 14 Februari 1970, hlm. 1.
  • “Omong-omong Dengan Bekas Kolonel Yanagawa”, Kompas, 31 Mei 1972, hlm. 3.
  • “Pemberontakan Peta Diperingati”, Kompas, 15 Februari 1973, hlm.
  • “Agustus 1945 Indonesia Masih Nol dalam Soal Tentara”, Kompas, 19 Agustus 1978, hlm. 1.
  • “Peringatan 33 Tahun Pemberontakan Peta: ABRI Supaya Pelihara Kekompakan dengan Rakyat”, Kompas, 15 Februari 1978, hlm. 1.
  • “Latar Belakang Pemberontakan Peta Blitar”, Kompas, 15 Februari 1981, hlm.
  • “Enam Bulan Sebelum Proklamasi Merah Putih Pernah Berkibar di Blitar”, Kompas, 15 Agustus 1986
  •  “Supriyadi: Siang Shodanco…”, Kompas, 25 Agustus 2008, hlm. 38.
Buku dan Jurnal
  • Kahin, G.M.T. 1961. Nationalism and Revolution in Indonesia. New York: Cornell University Press.
  • Lebra, Joyce Chapman. 2010. Japanese-Trained Armies in Southeast Asia. Singapura: ISEAS Publishing.
  • Mangkupradja, 1968.”The Peta and My Relations with the Japanesse” dalam Jurnal Indonesia nomor 5 (1968)
  • Notosusanto, Nugroho. 1969.”The Revolt of a Peta-Battalion in Blitar” dalam Asian Studies 7:1 (1969)
  • Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
  • Pauker, G.J. “The Role of The Military in Indonesia”, dalam Rand Corporation (1961)
  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia Since C. 1300. California: Standford University Press.
  • 1997. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dari Budi Utomo Sampai dengan Pengakuan Kedaulatan. Jakarta: Depdikbud.