Fakta Singkat
- Politik etis adalah politik balas budi pemerintah Belanda terhadap rakyat Hindia yang mengalami ketidakadilan sehingga menurunkan taraf hidup warga pribumi.
- Para pendukung politik etis: Ratu Wihelmina, Douwes Dekker (Multatuli), W.R. van Hoevel, Mr. Conrad Th. Van Deventer, A.W.F. Idenburg, G.P. Rauffaer, E.B. Kielstra, dan D. Fock.
- Politik etis mulai dijalankan pada awal abad ke-20.
- Tiga program besar yang dijalankan dalam politik etis, yakni pengairan (irigasi), pendidikan, dan perpindahan penduduk (transmigrasi).
- Dampak dari politik etis adalah munculnya benih-benih nasionalisme yang dirintis oleh mahasiswa STOVIA pada 20 Mei 1908 lewat pendirian Boedi Oetomo.
Kemunculan organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908 tidak dapat dipisahkan dengan program politik etis pada awal abad ke-20. Para mahasiswa dari School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) sadar akan perlunya organisasi modern untuk menyatukan kaum pribumi. Kesadaran ini mereka terima setelah mendapatkan pendidikan Belanda yang mulai banyak dibuka di Hindia Belanda.
Politik etis sendiri tidak hanya bergerak dibidang pendidikan saja, namun juga pada program pertanian dan transmigrasi. Dari ketiga program tersebut, terdapat latar belakang dari berbagai macam peristiwa di negeri Belanda hingga mereka mau menerapkannya di tanah jajahan. Padahal sebelumnya pada abad ke-19, Hindia Belanda menjadi objek penghisapan besar-besaran oleh pemerintah kolonial.
Kondisi Ekonomi-Politik di Belanda
Pada abad ke-19, negeri Belanda dilanda kebangkrutan secara ekonomi. Penyebabnya adalah pada masa itu, Belanda menghabiskan banyak dana untuk perang perebutan wilayah di Hindia Belanda. Diantaranya, perang padri di Sumatera Barat, perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro, perang Aceh yang terus berlangsung hingga abad ke-20, dan lain sebagainya.
Selain itu, Belanda juga kehilangan sumber pendapatan dari industri setelah Belgia memisahkan diri pada tahun 1830. Akibatnya, Belanda kehilangan pemasukannya dari ekspor. Keadaan ini membuat Belanda semakin tertinggal dari Inggris yang saat itu merajai industri di daratan Eropa.
Perekonomian negeri Belanda yang berada diujung kehancuran membuat para pejabatnya memutar otak untuk menyelamatkan negeri tersebut. Salah satunya adalah memanfaatkan negeri jajahan Belanda untuk dieksploitasi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van den Bosch berencana mengambil keuntungan sebesar-besarnya keuntungan dari Jawa untuk menyelamatkan negeri Belanda.
Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 1 menjelaskan bahwa ide dari Van den Bosch ini adalah Sistem Tanam Paksa. Berbeda dengan sistem sebelumnya, Sistem Tanam Paksa didasarkan pada sebuah kewajiban atau pemaksaan menanam tanaman dan dengan prinsip monopoli. Setiap orang bumiputra dipaksa untuk menanam tanaman yang laku untuk pasaran ekspor dunia.
Para petani diharuskan menyediakan lahan yang harus ditanami dengan tanaman-tanaman ekspor. Hasil panen dari tanaman tersebut harus disetor kepada pemerintah setempat. Target tinggi yang ditetapkan untuk para petani inilah yang membuat mereka cukup kewalahan. Bahkan, para petani tidak mendapatkan waktu untuk mengerjakan lahan untuk kepentingan pribadinya.
Semenjak Sistem Tanam Paksa diterapkan, negeri Belanda mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Bahkan, Sistem Tanam Paksa membuat pihak-pihak swasta berkeinginan untuk menguasai tanah-tanah di Jawa. Sebelumnya Sistem Tanam Paksa hanya berlaku bagi pihak pemerintah saja, namun kondisi berubah pada tahun 1850-an ketika negeri Belanda mulai dikuasai kaum liberal.
Parlemen negeri Belanda berhasil mengeluarkan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Menurut Bernard Vlekker dalam bukunya yang berjudul Nusantara, dijelaskan bahwa undang-undang tersebut mengatur bahwa pihak swasta diperbolehkan memiliki tanah-tanah di Jawa. Bahkan, perusahaan pemegang sewa atas tanah tersebut berhak memilikinya selama 75 tahun.
Sistem kapiltalisme modern yang dibawa oleh pihak swasta ke Hindia Belanda memiliki dampak yang cukup besar. Hal ini terlihat dari kebutuhan tenaga kerja dari orang-orang pribumi yang dirasa belum sesuai dengan kualifikasi mereka. Padahal, Hindia Belanda dinilai sebagai salah satu pasar yang potensial, namun standar hidupnya masih perlu ditingkatkan.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker) cetakan pertama yang berbahasa Perancis dipamerkan di Museum Multatuli Rangkasbitung, Lebak, Banten (9/5/2018). Buku ini dianggap sebagai pembuka mata dunia tentang kekejaman pemerintah kolonial Belanda.
Kritik terhadap Belanda
Sistem Tanam Paksa yang memberikan keuntungan besar dan mampu membangkitkan ekonomi Belanda ternyata tidak diterima baik oleh semua orang Belanda. Terdapat beberapa kalangan yang mengkritik sistem tersebut karena terlalu mengekspolitasi Hindia Belanda.
Keadaan ini mendorong beberapa pihak mengajukan kritik terhadap pemerintah Belanda. Orang Belanda yang pertama kali mengkritik pemerintah adalah W.R. van Hoevel. Dia menuntut keadilan kepada pemerintah kolonial bagi orang pribumi. Van Hoevel menganggap eksploitasi Belanda di Hindia terlalu berlebihan dan tidak didasarkan pada prinsip kesejahteraan sosial. Namun, kritik dari van Hoevel tidak mampu mengubah keputusan di pemerintahan.
Kritik juga datang dari sebuah buku yang berjudul Max Havelaar yang ditulis seorang tokoh bernama samaran Multatuli. Buku tersebut sempat mengguncang negeri Belanda karena isinya yang dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap sebuah bangsa. Dalam waktu singkat, buku tersebut menjadi laris manis dan mampu mempengaruhi warga Belanda terhadap praktik pemerintahannya di negeri jajahan.
Multatuli adalah nama yang dipakai Douwes Dekker untuk menyembunyikan identitasnya. Penyebabnya karena Douwes Dekker sendiri merupakan seorang pejabat administrasi di Hindia Belanda. Dia bekerja sebagai asisten residen di Jawa Barat. Di sana ia melihat penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang dilakukan oleh bupati Lebak. Menurutnya, praktik tersebut harus dikontrol oleh pejabat kolonial.
Dekker mengajukan perubahan terhadap praktik administrasi kolonial langsung kepada Gubernur Jenderal. Namun, ide tersebut ditentang. Dekker pun dipersalahkan sehingga dipindahtugaskan ke daerah yang tidak disukainya. Dengan rasa kesal, Dekker kemudian mengirimkan surat pengunduran diri.
Pengalaman tersebut mendorong Dekker untuk menulisnya dalam bentuk sastra satir. Buku tersebut juga memuat banyak praktik kolonialisme yang membuat warga pribumi semakin tidak bermartabat. Pemerintah Belanda seakan-akan memeras penduduk Hindia demi meraup keuntungan besar untuk dinikmati oleh negeri induk Belanda.
Tidak berhenti di situ saja. Kritik terhadap praktik Belanda kepada warga pribumi juga dilancarkan oleh Mr. Conrad Th. Van Deventer. Ia menulis sebuah artikel yang berjudul “A Debt of Honor” dalam majalah ternama De Gids pada tahun 1899. Van Deventer berargumen bahwa Belanda telah memperoleh berjuta-juta keuntungan dari Hindia melalui Sistem Tanam Paksa, maka sudah saatnya Belanda harus membayar itu semua kepada warga pribumi.
Menurut Van Deventer, Sistem Tanam Paksa yang dijalankan dari tahun 1867–1878 saja meraup keuntungan hingga 187 juta gulden. Dana tersebut langsung mengalir ke negara induk di Belanda. Akibatnya, masyarakat pribumi tidak mendapatkan manfaat apapun. Atas dasar tersebut, Van Deventer menganggap bahwa pemerintah Belanda memiliki utang kepada warga pribumi dan harus dikembalikan dalam bentuk apapun.
Pemerintah Belanda diharuskan membayar utangnya kepada Hindia dengan cara mendirikan sekolah-sekolah bagi warga pribumi. Kehadiran sekolah tidak hanya mampu memberikan peradaban moral, namun juga dapat meningkatkan pendidikan kaum pribumi sehingga bermanfaat bagi kepentingan publik Hindia.
Kritik tersebut mampu menggerakkan pemerintah Belanda untuk membayar utang kepada Hindia. Buku Politik Etis dan Pergerakan Nasional yang ditulis oleh Deffi Oktavianuri mengungkapkan, pada tahun 1901 Ratu Wihelmina dalam pidatonya menyatakan, “Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi dari penduduk Hindia.”
KOMPAS/LASTI KURNIA
Museum Kebangkitan Nasional (STOVIA) di Senen, Jakarta Pusat (15/12/2018).
Kemunculan Politik Etis
Sesaat setelah pidato Ratu Belanda tentang hutang moral kepada warga Hindia, maka pemerintah pun bergerak dengan cepat. Dipilihlah A.W.F. Idenburg sebagai Menteri Urusan Jajahan. Kemudian Idenburg mengatur sebuah komite khusus untuk melakukan penelitian penyebab menurunnya kesejahteraan warga pribumi di Jawa.
Pada tahun 1904, Idenburg kemudian memilih beberapa tokoh untuk melakukan penelitian lanjutan. Hasil dari penelitian ini untuk mengetahui program yang dapat dijalankan demi meningkatkan perekonomian Hindia Belanda. Maka dipilih beberapa tokoh pendukung politik etis, yakni Van Deventer, G.P. Rauffaer, E.B. Kielstra, dan D. Laporan dari mereka dibawa ke negeri Belanda untuk didiskusiikan di tingkat parlemen.
Sebelum laporan tersebut dibawa ke negara Belanda, Idenburg memiliki beberapa kesimpulan dari permasalahan yang ada di Hindia. Idenburg menyatakan bahwa selama dua puluh lima tahun terakhir pada abad ke-19, jumlah penduduk di Jawa telah bertambah 45%, sedangkan tanah sawah hanya tumbuh sebesar 23%. Karenanya, Idenburg sampai pada dua usulan program tentang utang moral Belanda, yakni pengembangan industri di Jawa dan irigasi lahan pertanian.
Usulan mengenai pengairan, kredit pertanian, dan emigrasi mendapatkan perhatian yang cukup banyak di parlemen Belanda. Namun, usulan Van Deventer tentang pendidikan bagi pribumi ditolak oleh parlemen. Padahal, menurut Van Deventer, tidak akan ada perbaikan bagi Hindia Belanda tanpa tenaga-tenaga pribumi yang berpendidikan.
Pada tahun 1905, Van Deventer kemudian masuk ke dalam kabinet parlemen di Belanda. Menteri Jajahan pun digantikan oleh seorang liberal bernama D. Fock yang dahulu juga ikut dalam penelitian kesejahteraan warga pribumi bersama Van Deventer. Keberadaan kedua orang tersebut menjadi cukup penting untuk merealisasikan program pendidikan di tanah Hindia yang sebelumnya sempat ditolak.
Keberadaan dari tokoh-tokoh etis dalam jajaran pejabat kolonial membuat program politik etis atau politik balas budi disetujui untuk dijalankan di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Persetujuan dari parlemen Belanda serta naiknya Idenburg sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru memudahkan program-program dari politik etis dijalankan.
Artikel Terkait
KOMPAS/LASTI KURNIA
Diorama Museum Kebangkitan Nasional di Jalan Abdurrahman Saleh No.26, Jakarta Pusat (17/5). Sebelum menjadi museum, bangunan ini dahulu adalah sekolah kedokteran yang didirikan oleh Belanda dengan nama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen disingkat STOVIA atau Sekolah Dokter Bumiputra.
Program Politik Etis
Politik etis yang mulai dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda terfokus pada tiga program besar, yakni pengairan/irrigate (irigasi dan infrastuktur), pendidikan/educate, dan perpindahan penduduk/emigrate (transmigrasi). Ketiga bidang tersebut menjadi jargon utama dalam politik etis atau sering disebut Trilogi Politik Etis.
Pengairan atau irigasi merupakan program yang fokus pada pembenahan sistem pertanian di Hindia. Sehingga, pemerintah memperbaiki sarana prasarana pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan komoditas yang dapat dijual di pasaran. Pemerintah membangun waduk-waduk besar sebagai penampung air hujan sehingga dapat dialirkan menuju tanah-tanah pertanian dan perkebunan. Selain itu, pemerintah juga membangun infrastruktur lainnya yang masih berhubungan dengan pertanian, yakni kereta api. Keberadaan kereta api menjadi penting untuk mengirim hasil pertanian dari pedalaman Hindia menuju pelabuhan. Kehadiran kereta api dapat menghemat waktu dan efisien sehingga pembusukan hasil komoditas dapat dihindari.
Pendidikan atau edukasi merupakan program pemerintah Hindia Belanda untuk meningkatkan sumber daya manusia warga pribumi. Tujuannya, untuk memberantas buta huruf dan mencetak tenaga kerja modern namun memiliki upah yang murah. Sebelumnya, pemerintah lebih banyak menggunakan tenaga kerja yang diimpor dari Eropa. Mereka merupakan tenaga kerja dengan upah mahal.
Pemerintah kemudian membuka sekolah-sekolah bagi pribumi sesuai dengan tingkatannya. Mereka diajar untuk membaca, menulis, berhitung, pengetahuan umum, bahasa Belanda, dan lain sebagainya. Maka berdirilah sekolah-sekolah di Hindia seperti Inlandsche School, Hollandsche Inlandsche School, Hoogere Burgerschool, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, penduduk di Pulau Jawa dan Madura semakin padat. Pada tahun 1900 penduduk di kedua pulau tersebut diperkirakan telah mencapai 14 juta jiwa. Tidak hanya pemukiman saja yang semakin padat karena penduduk yang banyak, namun juga lapangan pekerjaan yang semakin sulit didapatkan.
Oleh karena itu, pemerintah kemudian memindahkan sejumlah penduduk menuju pulau-pulau lain di luar Jawa, seperti halnya di Sumatera lewat program emigrasi. Di tanah perantauan para penduduk disediakan tanah-tanah yang dapat mereka olah baik untuk pertanian maupun perkebunan.
Baca juga Dari Budi Utomo sampai Pagebluk
Artikel Terkait
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Pengunjung Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, memerhatikan patung-patung pendiri Organisasi Boedi Oetomo (19/5/2018). Tanggal pendirian organisasi tersebut, 20 Mei 1908, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pendirian Boedi Oetomo dipandang sebagai titik awal tumbuhnya kesadaran nasional rakyat Indonesia.
Dampak Politik Etis
Politik etis yang sudah mulai dijalankan ternyata memiliki dampak yang cukup besar terhadap perubahan sosial di antara masyarakat pribumi. Perkembangan infrastruktur semakin lebih maju dibandingkan dengan abad sebelumnya. Tidak hanya fasilitas kereta api yang semakin luas pembangunannya di Jawa dan Sumatera, namun juga industri di Hindia semakin lebih maju dengan keberadaan SDM pribumi yang terlatih dan terdidik.
Dampak yang benar-benar terasa dari ketiga program politik etis tersebut adalah pendidikan. Melalui pendidikan, banyak orang pribumi kemudian berkenalan dengan pemikiran-pemikiran barat. Maka pada abad ke-20 menjadi masa yang disebut oleh Robert van Niel sebagai masa munculnya elit-elit modern Indonesia.
Para priyayi Jawa kemudian berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya di sekolah untuk orang Belanda. Selain untuk mempelajari bahasa Belanda, mereka juga diajarkan untuk menjadi pegawai-pegawai birokrasi. Salah satunya adalah sekolah untuk pamong praja bernama OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). Bahkan, ada juga yang dikirim ke negeri Belanda untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Ada sekolah di Hindia yang menjadi salah satu favorit bagi priyayi Jawa, yakni STOVIA atau sekolah kedokteran Jawa. Mereka yang mendapatkan pendidikan di STOVIA tidak hanya memiliki pendidikan ala Eropa, tetapi juga memiliki status sosial yang lebih tinggi. Para mahasiswa STOVIA ini tidak hanya belajar mengenai pendidikan Belanda dan menjadi seorang dokter Jawa, mereka juga bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran nasionalisme yang berasal dari barat.
Inilah dampak terbesar politik etis bagi kaum pribumi. Tokoh-tokoh dari STOVIA, antara lain, Dr. Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, dan lain sebagainya. Pada 20 Mei 1908 para mahasiswa STOVIA tersebut mendirikan organisasi Boedi Oetomo yang menjadi tonggak awal masa pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia.
Baca juga Mengenang Boedi Oetomo pada Hari Kebangkitan Nasional
Referensi
- “Hari Kebangkitan Nasional: Sejarah dan Mitos”. Kompas, 20 Mei 1994, hal. 4.
- “Pergerakan: Pendidikan dan Kesadaran Berbangsa”. Kompas, 19 Mei 2008, hal. 36.
- Baudet, H & Brugmans, I.J. (ed.). 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Niel, Robert van. 2009. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Oktavianuri, Deffi. 2018. Politik Etis dan Pergerakan Nasional. Pontianak: Derwati Press.
- Reinhart, Christopher. 2021. Mempertahankan Imperium: Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer dan Akhir Hindia Belanda. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
- Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
- Sartono Kartodirdjo. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia.
- ——. 2015. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Ombak.
- Vlekke, Bernard H.M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.