Paparan Topik | Kebangkitan Nasional

Hari Kebangkitan Nasional: Latar Belakang, Polemik, dan Profil Budi Utomo

Hari Kebangkitan Nasional diperingati setiap tanggal 20 Mei oleh seluruh bangsa Indonesia. Semangat Kebangkitan Nasional menjadi penting untuk menumbuhkan motivasi bagi generasi penerus bangsa.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Pengunjung Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, memperhatikan patung-patung pendiri organisasi Boedi Oetomo, Sabtu (19/5/2018). Tanggal pendirian organisasi tersebut, 20 Mei 1908, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pendirian organisasi Boedi Oetomo dipandang sebagai titik awal tumbuhnya kesadaran nasional rakyat Indonesia.

Fakta Singkat

• Hari lahir Budi Utomo : 20 Mei 1908
• Hari Kebangkitan Nasional : 20 Mei

Landasan hukum Harkitnas:
• Keppres 316/1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari libur.
• Keppres 1/1985 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional
• Keppres 18/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional

Organisasi Budi Utomo 
• Pendiri BU: Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Raden Ongko Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, Raden Mas Goembrek

• Kongres pertama: 3-5 Oktober 1908
• Organisasi BU berakhir pada tahun 1935

Bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei setiap tahunnya. Tanggal tersebut bertepatan dengan tanggal lahir organisasi Budi Utomo atau dengan ejaan lama Boedi Oetomo pada tahun 1908 atau 37 tahun sebelum Indonesia Merdeka. Hari lahir Boedi Oetomo tersebut dianggap sebagai langkah awal menuju lahirnya semangat kebangsaan Indonesia.

Hari Kebangkitan Nasional mulai diperingati pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Henk Schulte Nordholt dkk dalam bukunya berjudul “Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia” menyebutkan, Presiden Soekarno pada tanggal 20 Mei 1948 di Yogyakarta menugaskan Ki Hajar Dewantara untuk merayakan hari lahir Budi Utomo sebagai Hari Kebangunan Nasional yang kemudian menjadi Hari Kebangkitan Nasional.

Tanggal tersebut dipilih oleh Soekarno sebagai momentum kebangkitan dan tertulis dalam dokumen Kesatuan Nasional 1948 yang ditandatangani oleh partai politik, serikat buruh dan tani, golongan pemuda, dan berbagai golongan masyarakat lainnya.

Selanjutnya, pada tanggal 16 Desember 1959, Presiden Soekarno secara resmi menetapkan hari Kebangkitan Nasional disingkat Harkitnas pada 20 Mei sebagai hari nasional bersama dengan lima hari nasional lain. Keputusan hari-hari bersejarah bagi nusa dan bangsa sebagai hari nasional tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari libur.

Pada tahun 1985, Presiden Soeharto juga mengeluarkan Keppres Keppres 1/1985 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Keppres tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Januari l985.

Dalam Keppres itu, ditegaskan bahwa penyelenggaraan peringatan Hari Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei dilakukan dengan acara yang bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional, serta mempertebal jiwa persatuan dan kesatuan nasional.

Adapun untuk pelaksanaan penyelenggaraan peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada era Soeharto dilakukan dan diatur oleh Menteri Penerangan dan biaya penyelenggaraan dibebankan pada anggaran Departemen Penerangan.

Kemudian pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres 18/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1985 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Dalam Keppres tersebut, ditegaskan bahwa dengan telah dilikuidasinya Departemen Penerangan dan telah terbentuknya susunan Kabinet Gotong Royong, maka pelaksanaan penyelenggaraan peringatan Hari Kebangkitan Nasional diselenggarakan dan diatur oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Adapun biaya penyelenggaraan peringatan Hari Kebangkitan Nasional dibebankan pada anggaran Departemen atau Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi.

Pada 20 Mei 2021, peringatan Hari Kebangkitan Nasional akan ditandai dengan Peluncuran Program Literasi Digital Nasional oleh Presiden Joko Widodo. Penyelenggaraan Hari Kebangkitan Nasional dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Program Literasi Digital Nasional ditujukan untuk membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang teknologi digital. Tujuan selanjutnya adalah meningkatkan kecakapan digital masyarakat Indonesia untuk menciptakan ruang digital yang aman, beretika, dan produktif.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Diorama di Museum Kebangkitan Nasional (STOVIA), Jakarta Pusat, Sabtu (15/12/2018).

Latar Belakang Peringatan

Awal mula munculnya gagasan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (sebelumnya disebut  Kebangunan  Nasional) itu tidak terlepas dari konteks sejarah pada tahun 1948.

Abdurrachman Surjomihardjo dalam artikelnya di Kompas berjudul “Budi Utomo dan Kebangunan Nasional: sebuah pendekatan ilmiah sedjarah” (20/5/1970) menjelaskan bahwa dalam tahun 1948, di tengah-tengah kecamuk Revolusi Indonesia, di istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta diadakan upacara 40 tahun Kebangunan Nasional. Republik Indonesia dan rakyatnya yang sedang berjuang terancam oleh gerakan-gerakan militer Belanda, berada di bawah bayangan perpecahan dan kegelisahan politik yang berbahaya bagi  kelangsungan hidup Republik dan cita-citanya yang masi muda itu.

Disebutkan pula, dalam suasana itulah, para pemimpin Republik merasa tepat untuk memperingati lahirnya sebuah organisasi yang lahir pada tanggal 20 Mei 1908. Peringatan itu disusul dengan penandatanganan sebuah “Dokumen Kesatuan Nasional” oleh wakil-wakil dari Front Demokrasi Rakyat, Partai Politik Islam Masjumi, Partai Nasional Indonesia, Kongres Wanita Indonesia dan Pemuda.

Dokumen itu antara lain berisi akan mengadakan usaha bersama untuk menolak bahaya yang mengancam atau menimpa bangsa Indonesia umumnya dan Negara Republik Indonesia khususnya. Selain itu, juga usaha bersama “menggiatkan seluruh rakyat Indonesia untuk perjuangan kemerdekaan yang total dalam lapangan politik ekonomi, sosial, dan ketentaraan”.

Peristiwa itu merupakan awal dari sebuah penilaian nasional terhadap kelahiran Budi Utomo dan peranannya di dalam rangkaian hidup-tumbuhnya pergerakan kebangsaan Indonesia. Sejak itu, tanggal 20 Mei dinyatakan sebagai Hari Kebangunan Nasional yang diperingati setiap tahunnya.

Baca juga: Sejarah Lahirnya Budi Utomo dan Kongres Pertama 1908

Adapun referensi lain menyebutkan pada tahun 1948, Presiden Soekarno berpidato tentang kebangkitan nasional. Informasi pidatonya tidak ada yang lengkap dan hanya “inti pidato Bung Karno” yang disimpulkan para pendengar serta media masa yang hadir pada peristiwa penting itu sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Secara garis besar terdapat beberapa peristiwa penting di tanah air yang terjadi pada 1948. Kabinet Amir Syarifuddin jatuh dan digantikan oleh Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Peristiwa ini berlanjut ke perseteruan panjang dan serius di antara keduanya, antara kelompoknya bahkan menyeret sejumlah partai politik besar pada waktu itu, seperti PNI, Masyumi, dan PSI.

Ketegangan juga muncul di kalangan militer (TNI). Situasi semakin tegang karena terjadi penculikan antar satuan sehingga untuk memperkuat situasi keamanan negara terpaksa pasukan Siliwangi dari Jawa Barat hijrah ke Solo, karena menuruti perjanjian Renville dan Belanda berkeinginan untuk menguasai kembali Jawa Barat.

Maka Soekarno akhirnya menetapkan lahirnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908  sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Harapannya, partai politik yang sedang bertengkar dan rakyat Indonesia melalui momen ini dapat mengumpulkan kekuatan bersatu melawan Belanda.

Untuk memperingati itu, digelar acara dengan merangkul semua partai politik dari berbagai golongan. Acara tersebut dilaksanakan di Solo pada tanggal 20 Mei 1948, yang dibungkus dalam pawai unjuk kekuatan militer pasukan Siliwangi yang didatangkan dari Jawa Barat serta mengadakan pawai bersama seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat. Soekarno berharap penetapan Hari Kebangkitan Nasional tersebut dapat mencegah perpecahan.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Pengunjung Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Rabu (20/5/2015), duduk di lantai salah satu ruangan diorama yang menceritakan suasana belajar di STOVIA.

Polemik Seputar Penetapan Tanggal Harkitnas

Kendati Hari Kebangkitan Nasional telah ditetapkan secara resmi oleh Presiden Soekarno pada tahun 1959 melalui Keppres 316/1959 dan diperingati setiap tahunnya, penetapan Harkitnas 20 Mei pernah mengundang diskusi yang menimbulkan polemik. Dasar pemilihan Budi Utomo sebagai pelopor kebangkitan nasional dipertanyakan lantaran keanggotaan Budi Utomo masih sebatas etnis dan teritorial Jawa.

Menurut BJO Schrieke seperti dikutip Akira Nagazumi dalam “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918” (1989), Budi Utomo sebenarnya merupakan perkumpulan cendekiawan Jawa dan memiliki ikatan kuat dengan kebudayaan Jawa (hal. 230-231). Lantaran sifatnya yang etnosentris itu, pemilihan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional masih menuai polemik karena dianggap hanya mengangkat etnis Jawa.

Sementara itu, dari penelusuran arsip Kompas, diskusi seputar pemilihan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional pernah pula diberitakan di harian Kompas. Pada tanggal 28 Oktober 1977, muncul berita berjudul “Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar: Tidak Tepat, Dasar Peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Kartini”.

Pendapat Harsya Bachtiar tersebut kemudian mendapat beberapa tanggapan, di antaranya tanggapan dari Moerwanto dan Soeroto dalam Surat Kepada Redaksi berjudul “Kita Sudah Salah Semenjak Puluhan Tahun” dan  “Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar dan Sejarah” yang dimuat Kompas, 3 November 1977.

Tanggapan lain juga tampak dalam tulisan di Tajuk Rencana Kompas berjudul  “Dr. Soetomo dan kawan-kawannya” pada terbitan 22 Mei 1978 dan tulisan opini karangan Anwar Luhthan dengan judul “Memahami arti Hari Kebangkitan nasional 20 Mei 1908” yang terbit 22 Mei 1978.

Dalam berita Kompas edisi 27 Oktober 1977, diberitakan bahwa pada pertemuan Dewan/Senat Mahasiswa se-Indonesia di Balai Pertemuan Ilimiah ITB, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar  berpendapat, hari lahir Budi Utomo sebenarnya tidak bisa menjadi dasar untuk Hari Kebangkitan Nasional. Sebab Budi Utomo tidak didirikan dengan Kesatuan Indonesia sebagai tujuan, melainkan cara untuk menaikkan taraf hidup orang Jawa dan Madura yang jadi tujuan Budi Utomo.

Ia juga berpendapat, kurang tepat merayakan hari Kartini yang disebut sebagai tokoh Emansipasi wanita. Harsya Bachtiar menilai Cut Nya Dhien lebih banyak peranannya sebagai tokoh wanita dibandingkan Kartini yang hanya memperhatikan pendidikan anak wanita dari golongan bangsawan saja.

Selanjutnya Prof. Harsya mengatakan, masalah-masalah seperti ini terjadi karena pejabat-pejabat kita kurang mengetahui sejarah, sehingga putusan-putusannya banyak merugikan kita semua.

Setahun kemudian, Anwar Luhthan dalam opininya di Kompas (22/5/1978) menanggapi pendapat Harsya Bachtiar tersebut dengan mengemukakan pentingnya memahami arti Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908.

Anwar Luhthan menuliskan, “Namun demikian, penting dicatat pendapat seorang politikus dan advokat Belanda, Mr Conrad Theodor van Deventer, mengenai hari lahirnya Budi Utomo itu. Mr Van Deventer dalam kedudukannya sebagai anggota Parlemen Belanda (1905-1909) mengatakan: Een wonder is geschied, mooi Insulinde dat slaapt is ontwaakt (Suatu keajaiban telah terjadi, Insulinde molek yang sedang tidur sudah bangun)”.

Lebih lanjut Anwar berpendapat “Dengan menggunakan nama Insulinde (nama dari seluruh kepulauan Indonesia sekarang) nampaknya Mr van Deventer mempunyai pandangan jauh ke depan dengan berdirinya Budi Utomo itu, sebagai suatu badan perhimpunan yang untuk pertama kalinya didirikan di tanah air kita ini secara modern dan dengan maksud-tujuan yang modern pula. Yaitu memperhatikan segala kepentingan hidup dan penghidupan dalam arti yang seluas-luasnya, kulturil dan sosial, dan mempertinggi derajat kebangsaan kita. Demikian maksud dan tujuan berdirinya Budi Utomo menurut statutennya.”

Dalam tulisannya, Anwar Luhthan juga menyoroti bahwa Budi Utomo sebagai batu loncatan. Ia menuliskan “Sesudah Budi Utomo berdiri, rakyat nampaknya mulai bangun dan sadar akan perlunya berorganisasi untuk memperbaiki nasibnya. Ini dapat dilihat dari banyak perkumpulan-perkumpulan didirikan, baik yang bercorak keagamaan, ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan, kepemudaan, kepanduan maupun kewanitaan dan lain-lain. Dengan demikian, Budi Utomo dapat dikatakan sebagai batu loncatan atau pendorong berdirinya perkumpulan-perkumpulan lainnya.  Budi Utomo merupakan dasar dari kebangunan atau kebangkitan bangsa kita di seluruh Nusantara”.

KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR

Diorama pada ruang asrama di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta (27/09/2018). Ruang asrama ini  pada awal abad ke-20 merupakan bagian dari Gedung School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau sekolah dokter. Di ruang asrama itu, para siswa STOVIA saling bersosialisasi dan memupuk gagasan untuk membentuk organisasi.

Profil Budi Utomo

Budi Utomo merupakan organisasi pelajar yang didirikan oleh para mahasiswa STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Jawa. Nyoman Dekker dalam bukunya “Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia” menyebutkan bahwa Dokter Wahidin Sudirohusodo adalah orang yang mula-mula dengan giat menyebarkan cita-cita pendirian organisasi.

Ketika itu, Dokter Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa “STOVIA” merasa sangat prihatin menyaksikan kesengsaraan dan keterbelakangan rakyat Indonesia. Kondisi itu disebabkan karena rakyat tidak mampu secara ekonomi dan kesulitan biaya sehingga tidak dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Tahun 1906-1907 Dokter Wahidin mulai mengadakan kampanye di kalangan priyayi di pulau Jawa.

Wahidin mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang “Dana Belajar” (studiefonds). “Dana Belajar” itu dimaksudkan untuk membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Meskipun gagasan tersebut kurang mendapat tanggapan, Dokter Wahidin tidak putus asa dan tetap giat menyebarkan gagasannya demi meningkatkan martabat rakyat Indonesia.

Pada akhir tahun 1907 di hadapan para pemuda pelajar Sekolah Dokter Jawa “STOVIA”, Wahidin Sudirohusodo menyampaikan tentang pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Cita-citanya adalah agar di Jawa dapat dibentuk suatu perkumpulan yang memiliki tujuan untuk memajukan pendidikan dan membiayai anak-anak yang cukup pandai namun tidak dapat bersekolah karena biaya.

Cita-cita Wahidin Sudirohusodo tersebut mendapat sambutan positif dari para pemuda pelajar Sekolah Dokter Jawa “STOVIA” terutama Soetomo dan Goenawan Mangoenkoesoemo.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Suasana salah satu halaman di Museum Kebangkitan Nasional (STOVIA), di Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (15/12/2018).

Pada tanggal 20 Mei 1908, Soetomo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, R Angka Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, R Mas Goembrek, Soeradji Tirtonegoro, dan Soewarno mendirikan suatu perkumpulan atau  organisasi yang dinamai “Boedi Oetomo” (Budi  Utomo).

Organisasi ini merupakan organisasi modern karena memiliki susunan pengurus secara lengkap dan tujuan organisasi secara jelas yang dituangkan ke dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah  Tangga Budi Utomo.

Adapun kepengurusan Budi Utomo saat berdirinya adalah Ketua Soetomo, Wakil Ketua Moehammad Soelaiman, Sekretaris I Gondo Suwarno, Sekretaris II Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Bendahara Angka. Selanjutnya pada bulan Juni 1908 pendirian Budi Utomo diumumkan di koran Bataviaasch Nieuwsblad.

Tak lama setelah didirikan, para siswa STOVIA mencurahkan tenaga untuk merebut hati rekan-rekan dari sekolah lanjutan lainnya untuk  bergabung dengan Budi Utomo. Dengan cepat cabang Budi Utomo berdiri di tiga dari delapan sekolah yang hadir saat pembentukan yaitu OSVIA di Magelang, sekolah pendidikan guru bumiputra di Yogyakarta, dan sekolah menengah petang di Surabaya, sehingga jumlah anggota Budi Utomo pada Juli 1908 telah mencapai 650 orang.

Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan kongres pertama di Yogyakarta. Dalam Kongres tersebut, dihasilkan susunan Pengurus Besar Budi Utomo, Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Budi Utomo  dan menentukan Kantor Pusat Budi Utomo .

Selanjutnya para pendiri Budi Utomo yang terdiri dari para pelajar STOVIA tersebut, merupakan pengurus Budi Utomo cabang Betawi. Sedangkan Kantor Pengurus Besar Budi Utomo yang berada di Yogyakarta diketuai  oleh RT A Tirto Kusumo dan Dokter Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketua.

Adapun tujuan Budi Utomo adalah menyadarkan kedudukan bangsa Jawa, Sunda, dan Madura pada diri sendiri dan berusaha mempertinggi akan kemajuan mata pencaharian serta penghidupan bangsa disertai dengan jalan memperdalam kesenian. Tujuan lainnya adalah menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat dengan menitikberatkan pada soal pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.

Tujuan umum yang hendak dicapai dari pendirian organisasi Budi Utomo tersebut antara lain memajukan pengajaran, memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan, memajukan teknik dan industri serta menghidupkan kembali kebudayaan. Sedangkan tujuan khususnya, antara lain memperhatikan kepentingan pelajaran umum, menjunjung tinggi dasar-dasar perikemanusiaan dan lain-lain yang dapat menjamin penghidupan bangsa yang pantas.

Keanggotaannya yang mula-mula terbatas hanya pada orang-orang Jawa dan Madura, kemudian meluas hingga mencapai Bali. Perkembangan selanjutnya keanggotaan Budi Utomo terbuka luas untuk seluruh bangsa Indonesia, tanpa memandang suku, agama, maupun golongan.

Dalam perjalanannya, banyak tokoh nasional yang bergabung dengan Budi Utomo, seperti Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), Tjipto Mangoenkoesomo, Tirto Adhi Soerjo, Pangeran Noto Dirodjo, dan Raden Adipati Tirtokoesoemo.

Pada periode 1908-1926, organisasi Budi Utomo masih bergerak di bidang sosial budaya dan belum berubah ke bidang politik. Namun setelah Soetomo kembali dari negeri Belanda dan mendirikan organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), yang bergerak dalam bidang politik maka Budi Utomo baru mulai mengubah langkah perjuangan ke dalam bidang politik.

Riwayat Budi Utomo berakhir pada 1935 setelah perhimpunan ini melebur ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra) di bawah pimpinan Soetomo.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Suasana tampak depan Museum Kebangkitan Nasional (STOVIA), di Jalan Abdurahman Saleh 26, Jakarta Pusat, Sabtu (15/12/2018).

Referensi

Arsip Kompas
  • “Budi Utomo Dan Kebangunan Nasional (sebuah pendekatan ilmiah sedjarah) (1), Kompas, 20 Mei 1970, hal. 03
  • “Budi Utomo dan Kebangunan Nasional (sebuah pendekatan ilmiah sedjarah) (2), Kompas, 21 Mei 1970, hal. 03
  • “Dari Laporan Kongres Bangsa Indonesia Yang Pertama – Awal Oktober 1908”, Kompas, 11 Oktober 1972, hal. 2
  • “Bagaimana Lahirnya Perkumpulan “Budi Utomo”, Kompas, 19 Mei 1973, hal. 5
  • “Empat puluh dua tahun yang lalu petisi Sutardjo diajukan”, Kompas, 15 Juli 1978, hal. 10
  • “Memahami arti Hari Kebangkitan nasional 20 Mei 1908”, Kompas, 22 Mei 1978, hal. 06
  • “Boedi Oetomo hasil perpaduan semangat nasional dan kesadaran intelektual”, Kompas,
  • “Hari Kebangkitan Nasional dalam Proses Sejarah, Kompas, 19 Mei 1985, hal. 2
  • “Boedi Oetomo adalah Organisasi Kemasyarakatan yang Pertama”, Kompas, 21 Mei 1986, hal. 4
  • “Boedi Oetomo: Awal Kebangkitan”. Kompas, 20 Mei 1987, hal. 4
  • “Budi Utomo, Benarkah Pergerakan Kebangsaan”, Kompas, 20 Mei 1988, hal.4
  • “Hari Kebangkitan Nasional: Sejarah dan Mitos”, Kompas, 20 Mei 1994, hal. 04
  • “Budi Utomo, Ekspresi Suatu Identitas * 50 Tahun Indonesia Emas”, Kompas, 20 Mei 1995, hal. 01
  • “Kebangkitan Nasional: Pelurusan Sejarah Boedi Oetomo”, Kompas, 25 April 2008, hal. 67
  • “100 Tahun Kebangkitan Nasional: Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo”, Kompas, 5 Mei 2008, hal. 01
  • “100 Tahun Kebangkitan Nasional: Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa”, Kompas, 12 Mei 2008, hal. 01
  • “Makna Satu Abad Budi Utomo”, Kompas, 16 Mei 2008, hal. 06
  • “100 Tahun Kebangkitan Nasional: Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara”, Kompas, 19 Mei 2008, hal. 01
  • “Sejarah: Boedi Oetomo dan Nagazumi”, Kompas, 19 Mei 2008, hal. 36
Buku dan Jurnal
Aturan
  • Keppres 316/1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari libur.
  • Keppres 1/1985 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional
  • Keppres 18/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional