Kronologi | Politik Luar Negeri

Politik Bebas Aktif: Awal Politik Luar Negeri Indonesia (Bagian Satu)

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Republik Indonesia harus menentukan arah kebijakan luar negerinya. Konsep yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan berkembangnya Perang Dingin menjadi dasar pemikiran Politik Bebas Aktif.

Soekarno/Hatta. Foto: IPPHOS

Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari kekalahan Jepang dari Sekutu pada Perang Dunia II yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pasca-Perang Dunia II Amerika Serikat muncul sebagai salah satu negara adidaya bersama Uni Soviet. Kedua negara ini memiliki sistem dan kepentingan berbeda yang menimbulkan silang pendapat di antara keduanya. Perbedaan ini sudah tampak sejak Perang Dunia II dan memuncak ketika perang usai.

Perkembangan konflik hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet disebut dengan Perang Dingin. Suasana Perang Dingin diwarnai dengan perlombaan di segala bidang baik politik, ekonomi, militer, budaya, maupun propaganda. Persaingan keduanya membagi dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang menuntut semua negara menentukan pilihan.

Indonesia yang baru merdeka dan terkena dampak Perang Dunia II berada dalam posisi terjepit. Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia melalui Sekutu yang pro Amerika Serikat (Blok Barat), sementara di dalam negeri terjadi pemberontakan menentang kebijakan RI dari FDR/PKI yang pro Uni Soviet (Blok Timur).

Republik Indonesia sebagai negara baru harus menentukan arah kebijakan luar negerinya. Dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, disebutkan bahwa Indonesia berkewajiban ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Konsep ini menjadi dasar berkembangnya Politik Bebas Aktif.

Kiprah Indonesia di kancah politik internasional dimulai pada tahun 1950 dengan bergabung dengan PBB. Sikap Indonesia yang memilih tidak memihak blok tertentu tercermin saat menjadi salah satu inisiator Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Konferensi ini menghasilkan Dasasila Bandung yang ditindaklanjuti menjadi Gerakan Non-Blok pada tahun 1961.

Menjelang akhir Orde Lama, sejumlah peristiwa membawa Indonesia cenderung condong memusuhi Barat yang dituding mendukung imperialisme jenis baru. Puncaknya, kekesalan Presiden Soekarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang direncanakan oleh Pemerintah Inggris berujung pada keluarnya Indonesia dari PBB pada tahun 1965.


Kronologi Fase Awal Politik Luar Negeri Indonesia (1945–1965)

6 Agustus 1945
Amerika Serikat menjatuhkan bom di Kota Hiroshima, Jepang.

8 Agustus 1945
Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang.

9 Agustus 1945
Amerika Serikat menjatuhkan bom di Kota Nagasaki, Jepang.

15 Agustus 1945
Jepang menyerah tanpa syarat.

17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

18 Agustus 1945
Pengesahan UUD 1945, dalam pembukaanya disebutkan bahwa Indonesia berkewajiban ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Bersamaan dengan ini, lahirlah konsep politik luar negeri pemerintah RI yang kemudian dikenal dengan nama “Politik Bebas Aktif”.

2 September 1945
Konferensi Tokyo. Dalam konferensi ini dilakukan perjanjian-perjanjian untuk negara-negara yang kalah perang. Konferensi Tokyo membahas perjanjian dengan Jepang.

24 Oktober 1945
Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri.

2 Agustus 1948
Konferensi Postdam membahas perjanjian-perjanjian dengan Jerman selaku negara kalah perang. Pasca-Perang Dunia II Amerika Serikat dan Uni Soviet muncul sebagai dua kekuatan raksasa dunia yang menjadi cikal-bakal Perang Dingin.

2 September 1948
Wakil Presiden Mohammad Hatta di muka Badan Pekerja KNIP (parlemen) mengemukakan penjelasan pertama tentang konsep politik bebas aktif. Meski kata-kata politik bebas aktif tidak disebut, Hatta menegaskan agar Indonesia tidak menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, dan harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikapnya sendiri.

September 1950
Kabinet Natsir meninjau politik luar negeri Indonesia dari segi pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Situasi ini memunculkan persaingan dan pertentangan ideologi yang membentuk Blok Barat dan Blok Timur. Dalam kondisi berbahaya ini Indonesia memutuskan untuk melaksanakan politik luar negeri yang bebas, dan akan membantu segala usaha-usaha untuk mengembalikan perdamaian dunia.

28 September 1950
Indonesia diterima menjadi anggota PBB.

Mei 1951
Kabinet Sukiman memberikan keterangan kepada parlemen yang mengatakan politik luar negeri RI tetap berdasarkan Pancasila yang menghendaki perdamaian dunia.

Mei 1952
Kabinet Wilopo menerangkan politik luar negeri Indonesia bersifat bebas dengan makna tidak memilih salah satu pihak dan mengikat diri untuk selamanya. Indonesia tidak akan ikut campur dan akan bersikap netral dalam pertentangan antara dua blok.

18–25 April 1955
Konferensi Asia Afrika I berlangsung di Bandung yang menghasilkan Dasasila Bandung. KAA menjadi cikal-bakal Gerakan Non-Blok.

Presiden Soekarno tatkala menyampaikan pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Di latar belakang antara lain tampak PM India Nehru, PM Birma U Nu, Pm Ali Sastroamidjojo serta para pemimpin negara sponsor KAA lainnya. Foto: IPPHOS.

 

30 September 1957
Presiden Soekarno berpidato di hadapan Sidang Umum PBB. Soekarno menyatakan, sebagai pertarungan dunia melawan kolonialisme dan imperialisme, pertikaian di Irian Barat antara Indonesia dan Belanda dapat mengancam perdamaian dunia karena masih adanya kolonialisme di wilayah tersebut.

5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang memberlakukan kembali UUD 1945 yang menjadi penanda awal dimulainya demokrasi terpimpin. Kebijakan luar negeri Indonesia menjadi semakin militan dalam perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme (nekolim).

1961
Gerakan Non-Blok berdiri dan melakukan sidang pertama pada 1–6 September 1961 di Beograd, Yugoslavia.

20 Januari 1963
Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio, di hadapan Resimen Mahakarta di Yogyakarta, mengatakan Indonesia bermaksud menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia yang direncanakan oleh Pemerintah Inggris.

6 Januari 1965
Indonesia keluar dari PBB terhitung sejak 1 Januari 1965. Keputusan tersebut disampaikan melalui surat pada 6 Januari 1965.

2 April 1965
Soekarno, di depan peserta seminar Angkatan Barat di Istana Bogor, mengatakan negara-negara yang baru merdeka di Asia Afrika dan tidak tergabung ke dalam dua blok besar merupakan blok tersendiri yang disebut “the new Emerging Forces” (Nefos).

Presiden Sukarno sedang berpidato dalam rapat raksasa mengganyang Malaysia di Gelora Bung Karno tgl 28 Juli 1963. Foto: IPPHOS.

 

1 Mei 1965
Presiden Soekarno dalam pidato peringatan hari buruh menggagas organisasi dunia tandingan PBB bernama Conference the New Emerging Forces (Conefo) sebagai wadah persatuan kekuatan-kekuatan revolusioner di dunia.

17 Agustus 1965
Melalui pidatonya, Presiden Soekarno menyampaikan poros antiimperalis yang disebut sebagai “Poros Jakarta-Peking”.

30 September 1965
Peristiwa G30S.

11 Maret 1966
Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) keluar dan memberikan legitimasi kepada Soeharto sebagai Komandan Pemulihan Keamanan.

22 Juni 1966
Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban dengan judul “Nawaksara”. Pidato pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

12 Maret 1967
Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.

Referensi

Buku

  • Sabir, Mohamad. 1987. Politik Bebas Aktif. Jakarta: CV Haji Masagung.
  • Suryadinata, Leo, Subono, dan Nur Iman (tr.). 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.
  • Wuryandari, Ganewati (ed.). 2008. Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar – P2P LIPI.

Arsip Kompas

  • “Globalisasi Indonesia: Apakah Kita Perlu Politik Luar Negeri?”. Kompas, 17 Juli 2010, hlm. 11.
  • “Tantangan Diplomasi RI”. Kompas, 19 Agustus 2017, hlm. 10.

Internet

Penulis
Inggra Parandaru

Editor
Susanti Agustina Simanjuntak